TESIS
Oleh
EFZAH
NIM: 117041196
FAKULTAS KEDOKTERAN
MEDAN
2016
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Ilmu Penyakit Dalam
dan Spesialis Penyakit Dalam dalam Program Studi Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Oleh
EFZAH
117041196
FAKULTAS KEDOKTERAN
MEDAN
2016
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
PembimbingTesis I
Nama : EFZAH
NIM : 117041196
Tanda Tangan :
Nama : Efzah
NIM : 117041196
Konsentrasi : IlmuPenyakitDalam
JenisKarya : Tesis
Merawat dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.
Dibuat di : Medan
Yang menyatakan
Efzah
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
PembimbingTesis I
Telah diuji
Latar belakang: Asma adalah penyakit saluran nafas kronik yang masih menjadi
masalah kesehatan serius di seluruh dunia. Telah diketahui bahwa tidak ada
kesembuhan untuk penyakit asma tetapi penyakit ini dapat dikontrol pada beberapa
pasien. Kontrol asma menitikberatkan pada adekuasi terapi. Guideline GINA untuk
penilaian asma terkontrol ini menggunakan alat pengukur fungsi paru, namun
evaluasi ini sulit dilaksanakan karena kurangnya fasilitas spirometri sebagai alat
pengukur fungsi paru di pelayanan primer. Alat kontrol asma yang sederhana, efisien
dan mudah didapat diperlukan untuk pasien asma. Asthma Control Test (ACT) adalah
suatu uji skrining berupa kuesioner tentang penilaian klinis seorang penderita asma.
Metode: Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang (cross sectional study)
yang bersifat analitik, pada 61 pasien asma yang diambil secara consecutive
sampling. Seluruh subjek penelitian melakukan pengisian kuesioner ACT dan diikuti
dengan pemeriksaan spirometri. Hasil penelitian di analisis dengan menggunakan uji
korelasi pearson.
Hasil: Dari 61 subjek penelitian, diperoleh 39 subjek berjenis kelami perempuan dan
22 subjek laki-laki dengan rerata umur 54,44 tahun. Berdasarkan nilai ACT subjek
terdiri 31,1 % terkontrol baik, 21.3 % terkontrol sebagian dan mayoritas subjek yaitu
47.5% tidak terkontrol. Nilai cut off ACT berdasrkan receiver operating
characteristic (ROC) untuk membedakan FEV1% prediksi normal dan < 80% adalah
21.5 dengan sensitifitas 71.4% dan spesifisitas 96.3 %. Dengan uji korelasi pearson
diperoleh korelasi yang signifikan antara ACT dengan FEV1 % prediksi (r 0.503,
p<0.001), menunjukkan korelasi positif sedang. Korelasi antara ACT dan FEV 1(L)
menunjukkan korelasi positif lemah (r 0.319, p 0.012). Korelasi ACT dan FEF 25-
75% menunjukkan korelasi positif lemah (r 0.243, p 0.059) dan korelasi ACT dan
PEF (%) menunjukkan korelasi positif lemah (r 0.356, p 0.005).
Kesimpulan: Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara asthma control test (ACT) dengan spirometri
dengan korelasi positif sedang. Sehingga ACT dapat digunakan untuk menilai kontrol
asma di fasilitas kesehatan yang tidak tersedia spirometri.
Kata kunci: asma bronkial, tingkat kontrol asma, asthma control test, spirometri.
Method: This study was cross sectional study, in 61 patients with asthma were taken
by consecutive sampling. The whole subject of study conduct ACT questionnaire and
spirometry followed by examination. The analysis data using the ROC curve for
diagnostic value and Pearson correlation test.
Result: 61 subjects, 39 female and 22 male subjects with a mean age of 54.44 years.
Based on the value of the subject ACT consists of 31.1% is well controlled, partly
controlled 21.3% and 47.5% is not controlled. ACT cutoff values based on those
receiver operating characteristic (ROC) to distinguish between normal and FEV1
<80% was 21.5 with 71.4% sensitivity and 96.3% specificity. By using the Pearson
correlation test found a significant correlation between the ACT with FEV1 (p
<0.001), showed strong positive correlation (r= 0.503). correlation between the ACT
and FEV 1(L) showed weak positive correlation (r 0.319, p 0.012). Correlation the
ACT and FEF 25-75% showed weak positive correlation (r 0.243, p 0.059) and
correlation the ACT and PEF (%) showed weak positive correlation (r 0.356, p
0.005).
Keyword: asthma bronchial, level of asthma control, asthma control test (ACT),
spirometry
10
11
12
Untuk Ayah dan Ibu Mertua yang sangat penulis sayangi dan cintai, Bapak
Sofyan Iryansyah Nasution dan Ibu Siti Sundari, rasa hormat dan terima kasih tidak
terhingga penulis persembahkan kepada keduanya atas segala jerih payah,
pengorbanan, memberikan dukungan moril dan materil. Semoga Allah SWT selalu
memberikan kesehatan, kebahagian, rahmat dan karunia-Nya.
Terima kasihku yang tak terhingga untuk kakanda Rahmi Marlinda, SE dan
suami muzli, Ns. Yuliana S.Kep dan suami Dedy Suryana SE dan dr. Fitri Yanti Sp.
A dan suami dr. M. Rizky Yaznil, Sp. OG serta seluruh anggota keluarga yang telah
banyak membantu, memberi semangat dan dukungan doa selama pendidikan.
13
Kepada semua pihak, baik perorangan maupun instansi yang tidak mungkin
penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dan berperan dalam
menyelesaikan penelitian dan pendidikan saya ini, penulis ucapkan banyak terima
kasih.
Penulis
14
Halaman
Abstrak................................................................................................ i
Abstract............................................................................................. ii
Kata Pengantar................................................................................. iii
Daftar Isi...................................................................................................... viii
Daftar Tabel................................................................................................. x
Daftar Gambar................................................................................... xi
Daftar Singkatan dan Lambang................................................................ xiii
Daftar Lampiran.......................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN.............................................................. 1
1.1 Latar Belakang…................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah............................................................. 2
1.3 Hipotesis .................................................................... 2
1.4 Tujuan Penelitian................................................................. 2
1.5 Manfaat Penelitian............................................................... 3
1.6 Kerangka Konsep......................................................... 4
2.1.7 Pengobatan…………………………………………… 18
2.2 Kriteria Kontrol Asma…..………………………………… 20
2.3 Spirometri…………………………………………………. 21
28
2.4 Asthma control test………………………………………...
15
DAFTAR RUJUKAN...........…………………………………………… 61
16
4.9 Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi untuk jenis kelamin laki-laki .... 52
17
18
19
Ig E Imunoglobulin E 5
Th2 T Helper 2 6
20
PDE4D Phosphodiesterase 4D 9
IL13 Interleukin 13 9
IL33 Interleukin 33 9
Hipereaktivitas Bronkus
21
PEF 15
Zα Derivat Baku α 33
Sen Sensitifitas 33
D Presisi 33
22
5 Analisa Statistik...........................................………………… 73
23
Latar belakang: Asma adalah penyakit saluran nafas kronik yang masih menjadi
masalah kesehatan serius di seluruh dunia. Telah diketahui bahwa tidak ada
kesembuhan untuk penyakit asma tetapi penyakit ini dapat dikontrol pada beberapa
pasien. Kontrol asma menitikberatkan pada adekuasi terapi. Guideline GINA untuk
penilaian asma terkontrol ini menggunakan alat pengukur fungsi paru, namun
evaluasi ini sulit dilaksanakan karena kurangnya fasilitas spirometri sebagai alat
pengukur fungsi paru di pelayanan primer. Alat kontrol asma yang sederhana, efisien
dan mudah didapat diperlukan untuk pasien asma. Asthma Control Test (ACT) adalah
suatu uji skrining berupa kuesioner tentang penilaian klinis seorang penderita asma.
Metode: Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang (cross sectional study)
yang bersifat analitik, pada 61 pasien asma yang diambil secara consecutive
sampling. Seluruh subjek penelitian melakukan pengisian kuesioner ACT dan diikuti
dengan pemeriksaan spirometri. Hasil penelitian di analisis dengan menggunakan uji
korelasi pearson.
Hasil: Dari 61 subjek penelitian, diperoleh 39 subjek berjenis kelami perempuan dan
22 subjek laki-laki dengan rerata umur 54,44 tahun. Berdasarkan nilai ACT subjek
terdiri 31,1 % terkontrol baik, 21.3 % terkontrol sebagian dan mayoritas subjek yaitu
47.5% tidak terkontrol. Nilai cut off ACT berdasrkan receiver operating
characteristic (ROC) untuk membedakan FEV1% prediksi normal dan < 80% adalah
21.5 dengan sensitifitas 71.4% dan spesifisitas 96.3 %. Dengan uji korelasi pearson
diperoleh korelasi yang signifikan antara ACT dengan FEV1 % prediksi (r 0.503,
p<0.001), menunjukkan korelasi positif sedang. Korelasi antara ACT dan FEV 1(L)
menunjukkan korelasi positif lemah (r 0.319, p 0.012). Korelasi ACT dan FEF 25-
75% menunjukkan korelasi positif lemah (r 0.243, p 0.059) dan korelasi ACT dan
PEF (%) menunjukkan korelasi positif lemah (r 0.356, p 0.005).
Kesimpulan: Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara asthma control test (ACT) dengan spirometri
dengan korelasi positif sedang. Sehingga ACT dapat digunakan untuk menilai kontrol
asma di fasilitas kesehatan yang tidak tersedia spirometri.
Kata kunci: asma bronkial, tingkat kontrol asma, asthma control test, spirometri.
Method: This study was cross sectional study, in 61 patients with asthma were taken
by consecutive sampling. The whole subject of study conduct ACT questionnaire and
spirometry followed by examination. The analysis data using the ROC curve for
diagnostic value and Pearson correlation test.
Result: 61 subjects, 39 female and 22 male subjects with a mean age of 54.44 years.
Based on the value of the subject ACT consists of 31.1% is well controlled, partly
controlled 21.3% and 47.5% is not controlled. ACT cutoff values based on those
receiver operating characteristic (ROC) to distinguish between normal and FEV1
<80% was 21.5 with 71.4% sensitivity and 96.3% specificity. By using the Pearson
correlation test found a significant correlation between the ACT with FEV1 (p
<0.001), showed strong positive correlation (r= 0.503). correlation between the ACT
and FEV 1(L) showed weak positive correlation (r 0.319, p 0.012). Correlation the
ACT and FEF 25-75% showed weak positive correlation (r 0.243, p 0.059) and
correlation the ACT and PEF (%) showed weak positive correlation (r 0.356, p
0.005).
Keyword: asthma bronchial, level of asthma control, asthma control test (ACT),
spirometry
PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit saluran nafas kronik yang masih menjadi masalah
kesehatan serius di seluruh dunia. Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran
napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan
dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi
berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest
tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari.1 Menurut
National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu yang rentan,
gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi dan
hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya.2
Semua tingkatan umur dapat mengalami gangguan saluran nafas dan dapat
ditemukan dinegara maju maupun berkembang. Saat ini 1-18 % populasi dunia (300
juta penduduk) menderita asma. Diperkirakan penderita asma didunia akan
bertambah 400 juta pada tahun 2025.1 Di Indonesia menurut Riset Kesehatan dasar
(RISKESDA) 2013 prevalensi asma 4,5%.3
Telah diketahui bahwa tidak ada kesembuhan untuk penyakit asma tetapi
penyakit ini dapat dikontrol pada beberapa pasien. Kontrol asma menitikberatkan
pada adekuasi terapi. Kriteria asma terkontrol menurut Global Initiative for asthma
(GINA) sebagai berikut gejala harian termasuk gejala malam tidak ada ( 2 atau
kurang/ minggu), tidak ada keterbatasan aktifitas, kebutuhan bronkodilator minimal (
2 atau kurang/ minggu), fungsi paru normal.4
Menurut rekomendasi GINA dan NAEPP tujuan utama manajemen terapi
asma adalah mencapai kontrol asma dan mencegah exaserbasi asma. Rendahnya
penilaian kontrol asma merupakan penyebab utama kurang optimalnya manajemen
asma di seluruh dunia. Sehingga focus utama menajemen terapi beralih ke penilaian
dan pengobatan berdasarkan kontrol asma.4
24
Apakah ada hubungan antara asthma control test dengan spirometri sebagai
alat pengukur tingkat kontrol asma pada pasien asma bronkial?
25
Ada hubungan antara asthma control test dengan spirometri sebagai alat
pengukur tingkat kontrol asma pada pasien asma bronkial.
- Untuk mengetahui nilai diagnostik asthma control test untuk menilai tingkat
kontrol asma.
Asthma control test (ACT) dapat menjadi alternatif alat pengukur tingkat
kontrol asma pada daerah geografis yang fasilitas spirometrinya belum memadai.
26
Asthma
Asthma Control
Quesioner (ACQ)
Asthma Therapy
Assesment Quesioner
(ATAQ)
27
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Defenisi
Meskipun asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu. Para ahli masih
belum sepakat mengenai defenisi asma. Secara praktis para ahli berpendapat: asma
adalah penyakit paru dengan karakteristik 1. Obstruksi saluran nafas yang reversible
baik secara spontan maupun dengan pengobatan 2. Inflamasi saluran nafas 3.
Peningkatan respon saluran nafas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktifitas).7
2.1.2 Epidemiologi
28
2.1.3 Patofisiologi
Gambar 2.1: Hubungan antara inflamasi, gejala klinis dan patofisisologi asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat
terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis
didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi),
terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah
besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat
pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan
29
30
Disisi lain ditemukan sel Treg yang memilki kemampuan untuk mengontrol
respon Th2. Peran proteksi sel Treg pada asma didukung oleh penelitian epidemiologi
dan immunologi. Pada populasi di pertanian terjadi peningkatan jumlah dan fungsi
Treg dan sekresi sitokin Th2 yang rendah.9,10
Pada tikus, inflamasi Th2 juga merangsang remodeling saluran nafas jangka
panjang dengan fibrosis dan peningkatan otot polos. Sama halnya pada manusia,
perubahan struktur saluran nafas pada asma berkontribusi pada perkembangan dan
progreisifitas penyakit, pada kasus yang berat, obstruksi aliran nafas sering
diakibatkan hyperplasia sel mucus, penebalan membrane subepitelial, peningkatan
otot polos melalui hipertrofi dan hyperplasia, saluran nafas mulai fibrosis dengan
peningkatan deposit jaringan ikat dan terjadi juga proliferasi mioblast dan fibroblast.9
Aktivasi otot polos saluran nafas selama bronkokonstriksi merubah ukuran
saluran nafas dan menyebabkan stress mekanikal pada dinding saluran nafas. Sel
epital saluran nafas, sel otot polos dan fibroblast merupakan respon terhadap stress
mekanikal tersebut. Respon epitel terhadap stress mekanik adalah berinteraksi dengan
sel mesenkim untuk koordinasi remodeling jaringan.9
31
Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor individu dan faktor
lingkungan.
1. Genetik
Chip yang memiliki ratusan ribu variasi genetik yang umum telah digunakan
pada genome-wide association studies (GWAS) untuk mencari hubungan
antara ribuan kasus asma dan kontrol. Penelitian ini melaporkan bukti adanya
locus yang berhubungan dengan asma yaitu pada gen CHI3L1 (yang juga
dikenal sebagai YKL40), IL6R, dan DENND1B pada kromosom 1, IL1RL1–
32
1. Allergen
Dalam rumah: tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing dll
33
34
2.1.5.1 Anamnesa
35
Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil oleh karena
kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat
menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada volume
paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal
ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan mengi.4
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri
dan arus puncak ekspirasi (APE). Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai
obstruksi jalan nafas, reversibility kelainan faal paru, variability faal paru, sebagai
penilaian tidak langsung hiperensponsif jalan nafas. 4, 6
Pemeriksaan foto thorax tidak rutin dilakukan untuk diagnosa asma, tetapi
digunakan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma. 13
36
2.1.6 Klasifikasi
Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa
derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derat gejala eksaserbasi
atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung derajat sebelumnya.
37
38
Table 2.3: Klasifikasi kontrol asma berdasarkan National Heart, Lung and Blood
Institut
39
40
41
42
43
2.3 Spirometri
44
• Mudah digunakan
45
• Persyaratan kalibrasi
Prosedur tindakan 27
• Posisi berdiri tegak, kecuali tidak memungkinkan: dalam posisi duduk
• Penderita menghirup udara semaksimal mungkin, kemudian meniup melalui
mouth piece sekuat-kuatnya dan sampai semua udara dapat dikeluarkan
sebanyak-banyaknya, dengan tidak ada udara yang bocor melalui celah antara
bibir dan mouth piece.
46
47
48
49
2.3.6 Validasi
Sesuai rekomendasi dari American thoracic society/ European respiratory
society system spirometri harus dievaluasi dengan menggunakan computer-driven
mechanical syringe atau yang sejenis.26
50
51
52
53
54
55
56
METODOLOGI
57
Kriteria penolakan
1. Pasien yang memiliki penyakit paru lain seperti COPD, TB paru,
bronkiektasis
2. Pasien gagal jantung kongestif
3. Pasien dengan tingkat asma akut berat
4. Wanita hamil
n = Besar sampel
p = sensitifitas alat yang diinginkan = 92 %.
d = presisi penelitian ditetapkan 30%
α = tingkat kesalahan ditetapkan sebesar 5% sehingga Zα = 1.96
Jumlah sampel minimal = 61 orang
58
59
60
61
62
63
Darah lengkap
Foto thoraks
Spirometri
64
65
Suku 0,295
Pekerjaan 0,109
• Untuk 2 kategori digunakan uji T test tidak berpasangan dan untuk lebih dari 2
kategori digunakan ANOVA
66
Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Fungsi Paru dengan Spirometri terhadap nilai
ACT
Parameter Jumlah (%) sampel Rerata (±SD) skor P value
ACT
67
• Untuk 2 kategori digunakan uji T test tidak berpasangan dan untuk lebih dari 2
kategori digunakan ANOVA
Terkontrol baik
13,1 %
Tidak terkontrol
52,5 % Terkontrol Terkontrol baik
sebagian 34.4 %
Terkontrol sebagian
Tidak terkontrol
68
31%
48%
Terkontrol baik
Terkontrol sebagian
69
40,00% 34.4%
31,10%
30,00%
21,30%
20,00%
13,10%
10,00%
0,00%
FEV1 % prediksi ACT
Gambar 4.4 Kurva ROC ACT untuk Memprediksi Tingkat Kontrol Asma
70
24
26
Gambar 4.5 Kurva sensitifitas dan spesifisitas ACT terhadap Tingkat Kontrol
Asma
Berdasarkan kurva sensitifitas dan spesifisitas maka diperoleh nilai Cut Off
untuk ACT adalah 21,5. Dengan menggunakan cut off point 21,5 maka didapatkan
nilai sensitivitas ACT adalah 71,4% dan spesifisitas 96,3%.
Tabel 4.4 Sensitivitas, spesifisitas, positive dan negative predictive value dari
ACT terhadap Tingkat Kontrol Asma
Kontrol Asma Sensitifi Spesifi
ACT NPP NPN RKP RKN
Ya Tidak tas sitas
Nilai Prediksi Positif (NPP) ACT adalah sebesar 71,4% dan Nilai Prediksi
Negatif (NPN) adalah 96,3%. Sedangkan untuk rasio kemungkinan positif adalah
19,3 dan rasio kemungkinan negatif adalah 0,3. Akurasi ACT terhadap pemeriksaan
spirometri untuk menentukan subyek dengan asma yang terkontrol atau tidak adalah
93,44%.
71
72
73
74
75
Tabel 4.9 Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi untuk jenis kelamin laki-laki
FEV1 % prediksi
P r (korelasi)
ACT 0.001 0,653
Gambar 4.10 Grafik Scatterplot Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi untuk
jenis kelamin laki-laki
76
Tabel 4.10 Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi untuk jenis kelamin
perempuan
FEV1 % prediksi
P r (korelasi)
ACT 0.012 0,397
Gambar 4.11 Grafik Scatterplot Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi untuk
jenis kelamin perempuan
77
4.2 Pembahasan
Asma adalah penyakit saluran nafas kronik yang masih menjadi masalah
kesehatan serius di seluruh dunia. Asma merupakan sebuah penyakit kronik
saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang
berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu
episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa
tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau
dini hari.1
78
Telah diketahui bahwa tidak ada kesembuhan untuk asma tetapi penyakit
ini dapat dikontrol pada beberapa pasien. Penilaian kontrol asma untuk tujuan
klinis sangat penting, meliputi gejala, perubahan fungsi paru, kualitas hidup dan
kemampuan fisiologis tubuh. Pengukuran fungsi paru dapat dilakukan dengan
spirometri, namun spirometri sebagai alat yang dapat menilai kontrol asma sering
tidak tersedia di tempat layanan primer.28
Beberapa alat untuk menilai asma terkontrol secara subjektif yang sudah
diakui seperti asthma control questioner (ACQ), asthma control test (ACT),
asthma therapy assessment questionnaire (ATAQ) dan asthma control scoring
system (ACSS). 7
Asthma control test adalah suatu uji skrining berupa kuesioner tentang
penilaian klinis seorang penderita asma untuk mengetahui asmanya terkontrol
atau tidak. Kuesioner ini terdiri dari 5 pertanyaan, dikeluarkan oleh American
Lung Association bertujuan memberikan kemudahan dokter dan pasien untuk
mengevaluasi asma penderita yang berusia diatas 12 tahun dan menetapkan terapi
pemeliharaannya. Berbeda dengan ACS, ACT tidak memakai kriteria faal paru
untuk menilai kontrol asma. Interpretasi hasil yaitu apabila jumlah nilai sama atau
lebih kecil 15 tidak terkontrol, jumlah nilai 16-19 terkontrol sebagian, jumlah
nilai sama atau lebih besar 20 terkontrol baik.5
Analisis penelitian ini bertujuan melihat korelasi ACT dengan spirometri.
Jumlah populasi pada penelitian ini sebanyak 61 orang dengan rerata umur 54,44
tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh bora dkk dimana
rerata umur 42,3 ± 11,4 tahun.38
Baseline karakteristik pada penelitian ini juga didasarkan atas jenis kelamin.
Berdasarkan penelitian ini mayoritas subjek penelitian berjenis kelamin
perempuan, yaitu sebanyak 39 subjek (63,9%). Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh ilyas dkk di rumah sakit persahabatan Jakarta pada tahun
79
Rerata BMI dari keseluruhan subjek adalah 26,82 kg/m2 dengan status
preobesitas merupakan proporsi terbanyak sebanyak 41%. Sejumlah penelitian
melaporkan terdapatnya hubungan antara asma dan obesitas dan apakah hubungan
yang kuat didapatkan pada perempuan dibanding laki-laki masih kontroversial.
Beckett dkk mendapatkan hubungan yang bermakna antara insiden derajat asma
dengan BMI selama 10 tahun observasi, hubungan bermakna terbatas pada
perempuan dan hubungan tidak tergantung aktifitas fisik.40
80
ACT dapat membantu pasien mencapai tingkat kontrol asma yang lebih baik
sehingga pasien dapat membuat personal asthma action plans dan memonitor
tingkat kontrol asmanya. Jika asma gagal mencapai terkontrol dengan regimen
terapi yang dipakai, naikkan pengobatan sampai tingkat kontrol asma tercapai.
Tingkat kontrol asma yang bertahan selama 3 bulan berturut-turut
mengindikasikan penurunan dosis pengobatan. Sebagai tambahan ACT
merupakan upaya memicu komunikasi antara pasien dan klinis, membantu pasien
membangun kepercayaan terhadap pengobatannya dan meningkatkan kinerja
dokter dan menilai hasil terapi. 41
81
Hasil penelitian ini menggambarkan korelasi yang signifikan antar ACT dan
spirometri. Berdasarkan penelitian sorkness dkk menemukan kombinasi nilai
ACT dan % prediksi FEV1 memberikan prediksi yang lebih akurat untuk asma
tidak terkontrol.42
Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan johnbull dkk pada 65 pasien
asma, didapati hubungan ACT dan % prediksi FEV1 diperoleh hubungan yang
lemah (r=0.0220, p <0,078).30 Namun penelitian yang dilakukan zhou dkk dengan
403 pasien asma umur rata-rata 44 ± 13,7 tahun didapati hubungan yang kuat
antara ACT dan % prediksi FEV1 (r=0.580) dimana terdapat semakin tinggi nilai
ACT semakin tinggi juga nilai % prediksi FEV1.41
Analisis hubungan ACT dengan FEV1 (L) berdasarkan uji korelasi spearman
diperoleh hubungan yang sedang (r= 0,319), secara statistik bermakna (p < 0.05).
Hasil ini tidak berbeda jauh dari penelitian yang dilakukan lutfi dkk yang meneliti
100 pasien asma diperoleh korelasi yang sedang antara ACT dan FEV1 (L) (r
0.354, p 0.000).33
Analisis hubungan ACT dengan PEF (%) berdasarkan uji korelasi pearson
diperoleh hubungan yang sedang (r= 0,356), secara statistik bermakna (p < 0.05).
Hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan oleh shirai dkk
pada 105 sampel asma bronkial, didapati korelasi sedang antara ACT dan PEF
(%) (r 0.387, p 0.001).43 hasil ini berbeda pada penelitian yang dilakukan ilyas
82
Pada penelitian ini juga dianalisa hubungan ACT dengan hasil spirometri
berdasarkan jenis kelamin. Berdasarkan uji korelasi pearson diperoleh hubungan
ACT dan FEV1 % prediksi paling kuat pada jenis kelamin laki-laki dibanding
perempuan (r 0.653 vs 0.397 ).
4.3 Keterbatasan
Penelitian ini memiliki keterbatasan, diantaranya, satu.populasi penelitian
yang kecil, hanya dilakukan pada 2 rumah sakit. Sehingga tidak menggambarkan
sejumlah besar populasi masyarakat.
83
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara asthma control test dengan spirometri untuk mengukur
tingkat kontrol asma, dimana semakin tinggi nilai ACT maka akan diikuti oleh
peningkatan nilai FEV1. Sehingga ACT potensial digunakan dalam praktek klinik
sehari-hari untuk menilai kontrol asma pada tempat pelayanan primer yang tidak
tersedia fasilitas spirometri.
5.2 Saran
Perlunya penelitian lebih lanjut dengan populasi lebih besar, multicenter dan
penelitian yang menghubungkan dengan derajat asma berdasarkan kriteria GINA.
84
85
86
87
88
89
Nama :
No. MR :
Umur :
Jenis kelamin :
No. Pertanyaan 1 2 3 4 5
2. Dalam 4 minggu Lebih dari 1 kali 3-6 kali 1-2 kali Tidak
terakhir, seberapa 1 kali sehari seminggu seminggu pernah
sering anda sehari
mengalami sesak
nafas ?
3. Dalam 4 minggu 4 kali atau 1-2 kali 1 kali 1-2 kali Tidak
terakhir, seberapa lebih seminggu seminggu sehari pernah
sering gejala asma seminggu
(bengek, batuk-
batuk, sesak nafas,
nyeri dada atau rasa
tertekan di dada)
menyebabkan anda
terbangun di malam
hari atau lebih awal
dari biasanya ?
4. Dalam 4 minggu > 3 kali 1-2 kali 2-3 kali < 1 kali Tidak
terakhir, seberapa
90
Jumlah Skor :
91
Frequency Table
jk
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
suku
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
pekerjaan
92
Cases
Descriptives
93
Median 56,00
Variance 208,451
Minimum 18
Maximum 88
Range 70
Interquartile Range 17
Skewness -,407 ,306
94
95
96
Variance ,916
Minimum ,52
Maximum 5,36
Range 4,84
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
97
KatBMI
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
KatFEV25_75
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
FEV1/FVC
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
98
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
katFEV1
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
katACT
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
99
Notes
100
The test result variable(s): ACT has at least one tie between the positive actual state group
and the negative actual state group. Statistics may be biased.
a. Under the nonparametric assumption
b. Null hypothesis: true area = 0.5
101
The test result variable(s): ACT has at least one tie between the positive
actual state group and the negative actual state group.
a. The smallest cutoff value is the minimum observed test value minus 1,
and the largest cutoff value is the maximum observed test value plus 1.
All the other cutoff values are the averages of two consecutive ordered
observed test values.
102
FEV1_2
<21,5 Count 2 52 54
Cases
Descriptives
Median 58,00
Variance 373,832
Minimum 22
Maximum 121
Range 99
103
Median 16,00
Variance 24,799
Minimum 7
Maximum 25
Range 18
Interquartile Range 9
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
104
Notes
105
FEV1 ACT
**
Spearman's rho FEV1 Correlation Coefficient 1,000 ,447
N 61 61
**
ACT Correlation Coefficient ,447 1,000
N 61 61
106