Anda di halaman 1dari 108

HUBUNGAN ANTARA ASTHMA CONTROL TEST (ACT) DENGAN

SPIROMETRI SEBAGAI ALAT PENGUKUR TINGKAT KONTROL ASMA

TESIS

Oleh

EFZAH

NIM: 117041196

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

SPESIALIS ILMU PENYAKIT DALAM

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2016

Universitas Sumatera Utara


HUBUNGAN ANTARA ASTHMA CONTROL TEST (ACT) DENGAN
SPIROMETRI SEBAGAI ALAT PENGUKUR TINGKAT KONTROL ASMA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Ilmu Penyakit Dalam
dan Spesialis Penyakit Dalam dalam Program Studi Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

EFZAH

117041196

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

SPESIALIS ILMU PENYAKIT DALAM

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2016

Universitas Sumatera Utara


Judul Tesis : HUBUNGAN ANTARA ASTHMA CONTROL TEST

(ACT) DENGAN SPIROMETRI SEBAGAI ALAT

PENGUKUR TINGKAT KONTROL ASMA

Nama Mahasiswa : EFZAH

Nomor Induk Mahasiswa : 117041196

Program Magister : Magister Kedokteran Klinik

Konsentrasi : Penyakit Dalam

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

dr. Zuhrial Zubir, SpPD, KAI

PembimbingTesis I

Ketua Program Studi KepalaDepartemen

Ilmu Penyakit Dalam Ilmu PenyakitDalam

dr.Zainal Safri, Sp.PD,Sp.JP dr.Refli Hasan,Sp.PD,Sp.JP(K)

NIP. 19680504 199903 1 001 NIP. 19610403 198709 1 001

Universitas Sumatera Utara


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah karya penulis sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah penulis nyatakan dengan benar

Nama : EFZAH

NIM : 117041196

Tanda Tangan :

Universitas Sumatera Utara


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN
AKADEMIS

Sebagai sivitasa kademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertandatangan di


bawah ini:

Nama : Efzah

NIM : 117041196

Program Studi : Magister KedokteranKlinik

Konsentrasi : IlmuPenyakitDalam

JenisKarya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas


Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right ) atas
tesis saya yang berjudul:

HUBUNGAN ANTARA ASTHMA CONTROL TEST (ACT) DENGAN


SPIROMETRI SEBAGAI ALAT PENGUKUR TINGKAT KONTROL ASMA
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini,
Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola
dalam bentuk database,

Merawat dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

PadaTanggal : 02 Juni 2016

Yang menyatakan

Efzah

Universitas Sumatera Utara


Judul Tesis : HUBUNGAN ANTARA ASTHMA CONTROL TEST

(ACT) DENGAN SPIROMETRI SEBAGAI ALAT

PENGUKUR TINGKAT KONTROL ASMA

Nama Mahasiswa : EFZAH

Nomor Induk Mahasiswa : 117041196

Program Magister : Magister Kedokteran Klinik

Konsentrasi : Penyakit Dalam

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

dr. Zuhrial Zubir, SpPD, KAI

PembimbingTesis I

Program Studi Magister KedokteranKlinik Dekan

Sekretaris Program studi FakultasKedokteran USU

dr.MurniatiManik, MSc,Sp.KK,Sp.GK Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K)

NIP. 19530719198003 2 001 NIP. 19660524 199203 1 002

Universitas Sumatera Utara


Tanggal Lulus :02 Juni 2016

Telah diuji

Pada Tanggal: 02 Juni 2016

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Refli Hasan, Sp.PD, SpJP (K)

Anggota : Dr. dr. Juwita Sembiring, Sp.PD, KGEH

dr. Rahmad Isnanta, Sp.PD (KKV)

dr. Syafrizal Nasution, Sp.PD, KGH

Universitas Sumatera Utara


Abstrak

HUBUNGAN ANTARA ASTHMA CONTROL TEST (ACT) DENGAN


SPIROMETRI SEBAGAI ALAT PENGUKUR TINGKAT KONTROL ASMA

Latar belakang: Asma adalah penyakit saluran nafas kronik yang masih menjadi
masalah kesehatan serius di seluruh dunia. Telah diketahui bahwa tidak ada
kesembuhan untuk penyakit asma tetapi penyakit ini dapat dikontrol pada beberapa
pasien. Kontrol asma menitikberatkan pada adekuasi terapi. Guideline GINA untuk
penilaian asma terkontrol ini menggunakan alat pengukur fungsi paru, namun
evaluasi ini sulit dilaksanakan karena kurangnya fasilitas spirometri sebagai alat
pengukur fungsi paru di pelayanan primer. Alat kontrol asma yang sederhana, efisien
dan mudah didapat diperlukan untuk pasien asma. Asthma Control Test (ACT) adalah
suatu uji skrining berupa kuesioner tentang penilaian klinis seorang penderita asma.

Metode: Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang (cross sectional study)
yang bersifat analitik, pada 61 pasien asma yang diambil secara consecutive
sampling. Seluruh subjek penelitian melakukan pengisian kuesioner ACT dan diikuti
dengan pemeriksaan spirometri. Hasil penelitian di analisis dengan menggunakan uji
korelasi pearson.

Hasil: Dari 61 subjek penelitian, diperoleh 39 subjek berjenis kelami perempuan dan
22 subjek laki-laki dengan rerata umur 54,44 tahun. Berdasarkan nilai ACT subjek
terdiri 31,1 % terkontrol baik, 21.3 % terkontrol sebagian dan mayoritas subjek yaitu
47.5% tidak terkontrol. Nilai cut off ACT berdasrkan receiver operating
characteristic (ROC) untuk membedakan FEV1% prediksi normal dan < 80% adalah
21.5 dengan sensitifitas 71.4% dan spesifisitas 96.3 %. Dengan uji korelasi pearson
diperoleh korelasi yang signifikan antara ACT dengan FEV1 % prediksi (r 0.503,
p<0.001), menunjukkan korelasi positif sedang. Korelasi antara ACT dan FEV 1(L)
menunjukkan korelasi positif lemah (r 0.319, p 0.012). Korelasi ACT dan FEF 25-
75% menunjukkan korelasi positif lemah (r 0.243, p 0.059) dan korelasi ACT dan
PEF (%) menunjukkan korelasi positif lemah (r 0.356, p 0.005).

Kesimpulan: Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara asthma control test (ACT) dengan spirometri
dengan korelasi positif sedang. Sehingga ACT dapat digunakan untuk menilai kontrol
asma di fasilitas kesehatan yang tidak tersedia spirometri.

Kata kunci: asma bronkial, tingkat kontrol asma, asthma control test, spirometri.

Universitas Sumatera Utara


Abstract

RELATIONSHIP BETWEEN THE ASTHMA CONTROL TEST (ACT) WITH


SPIROMETRY AS INSTRUMENT FOR MEASURING ASTHMA CONTROL

Background: Asthma is a chronic respiratory disease that still a serious health


problem worldwide. It is known that there is no cure for asthma, but the disease can
be controlled in some patients.Asthma control is focuses on the adequacy therapy.
GINA guideline for the assessment of asthma control using gauges lung function, but
this evaluation is difficult because of lack of facilities spirometry as a measure of
lung function in primary care. Asthma control tool that is simple, efficient, easy and
necessary for asthma patients. Asthma Control Test (ACT) is a screening test in the
form of a questionnaire on a clinical assessment of patients with asthma.

Method: This study was cross sectional study, in 61 patients with asthma were taken
by consecutive sampling. The whole subject of study conduct ACT questionnaire and
spirometry followed by examination. The analysis data using the ROC curve for
diagnostic value and Pearson correlation test.

Result: 61 subjects, 39 female and 22 male subjects with a mean age of 54.44 years.
Based on the value of the subject ACT consists of 31.1% is well controlled, partly
controlled 21.3% and 47.5% is not controlled. ACT cutoff values based on those
receiver operating characteristic (ROC) to distinguish between normal and FEV1
<80% was 21.5 with 71.4% sensitivity and 96.3% specificity. By using the Pearson
correlation test found a significant correlation between the ACT with FEV1 (p
<0.001), showed strong positive correlation (r= 0.503). correlation between the ACT
and FEV 1(L) showed weak positive correlation (r 0.319, p 0.012). Correlation the
ACT and FEF 25-75% showed weak positive correlation (r 0.243, p 0.059) and
correlation the ACT and PEF (%) showed weak positive correlation (r 0.356, p
0.005).

Conclusion: There is a significant relationship between asthma control test (ACT)


with spirometry with moderate positive correlation. So that ACT can be used to
assess asthma control in health facilities were spirometry not available.

Keyword: asthma bronchial, level of asthma control, asthma control test (ACT),
spirometry

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur yang tidak terhingga senantiasa


penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis sangat menyadari bahwa
tanpa bantuan semua pihak, tesis ini tidak mungkin dapat penulis selesaikan. Oleh
karena itu, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasa hormat,
penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan FK USU, Ketua TKP-PPDS FK


USU, dan Ketua Program Studi Magister Kedokteran FK USU yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan
Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam dan Magister Kedokteran Penyakit Dalam
di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Direktur RSUP H. Adam Malik (Plt) Dr. Welly Refnealdi, MKes yang telah
memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menggunakan fasilitas
dan sarana Rumah Sakit kepada penulis dalam menjalani penelitian dan
pendidikan.
3. dr. Refli Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K) selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan dan dr. Ilhamd, Sp.PD-KGEH
selaku Sekretaris Departemen yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk mengikuti pendidikan serta senantiasa membimbing, memberikan
dorongan dan kemudahan selama penulis menjalani pendidikan.
4. dr. Zainal Safri, Sp.PD, Sp.JP sebagai Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam
dan dr. Wika Hanida Lubis, Sp. PD, KPsi sebagai Sekretaris Program Studi yang
telah dengan sungguh-sungguh membantu, membimbing, memberi dorongan dan

10

Universitas Sumatera Utara


membentuk penulis menjadi dokter Spesialis Penyakit Dalam yang berbudi luhur
serta siap mengabdi dan berbakti pada nusa dan bangsa.
5. Khusus mengenai tesis ini, kepada dr. Zuhrial Zubir, Sp. PD, KAI selaku
pembimbing tesis, yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan bagi
penulis selama mengadakan penelitian juga telah banyak meluangkan waktu dan
dengan kesabaran membimbing penulis sampai selesainya tesis ini.
6. dr. Muhammad rahmatsyah nasution dan dr.Taufik, M.Kes selaku pembimbing
statistik yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi
dengan penulis dalam menyusun tesis ini.
7. Seluruh staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU/RSUP H. Adam
Malik/RSUD dr. Pirngadi/Medan, Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH,
Prof. dr. Bachtiar Fanani Lubis,Sp.PD-KHOM, Prof. dr. Habibah Hanum
Nasution, Sp.PD-KPsi, Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp.JP(K), Prof. dr.
Azhar Tanjung, Sp.PD-KP, KAI, Sp.MK(K), Prof. dr. OK Moehad Sjah, Sp.PD-
KR, Prof. dr. Lukman H. Zain, Sp.PD-KGEH, Prof. dr. M. Yusuf Nasution,
Sp.PD-KGH, Prof. dr. Azmi S Kar, Sp.PD-KHOM, Prof. dr. Gontar Alamsyah
Siregar, Sp.PD-KGEH, Prof. dr. Haris Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K), dr. Rustam
Effendi YS, Sp.PD-KGEH, dr. Mabel Sihombing, Sp.PD-KGEH, (Alm) dr. Salli
Roseffi Nasution, Sp.PD-KGH, DR. dr. Juwita Sembiring, Sp.PD-KGEH,dr.
Alwinsyah Abidin, Sp.PD-KP, dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH,
(Alm) dr. Zulhelmi Bustami, Sp.PD-KGH, DR. dr. Dharma Lindarto, Sp.PD-
KEMD, dr. Yosia Ginting, Sp.PD-KPTI, dr. EN. Keliat, Sp.PD-KP, dr. Armon
Rahimi, Sp.PD-KPTI, dr. Leonardo Basa Dairi, Sp.PD-KGEH,(Alm) dr. Pirma
Siburian, Sp.PD-KGer,dr. Zuhrial Zubir, Sp.PD-KAI, DR. dr. Blondina
Marpaung, Sp.PD-KR, dr. Tambar Kembaren, Sp.PD-KPTI, dr. Mardianto,
Sp.PD-KEMD,dr. Rahmat Isnanta, Sp.PD (KKV), dr. Santi Syafril, Sp.PD-
KEMD, dr. Ariantho S. Purba, Sp.PD, dr. Franciscus Ginting, Sp.PD, dr.Endang,
Sp.PD, dr. T. Abraham, Sp.PD, dr. Daud Ginting, Sp.PD, dr. Hariyani Adin,
Sp.PD, dr. Suhartono, Sp.PD, dr. Asnawi Arief, Sp.PD, dr. Saut Marpaung,
Sp.PD, dr. Meutia, Sp.PD, dr. Jerahim Tarigan, Sp.PD, dr. Bastanta, Sp.PD-

11

Universitas Sumatera Utara


KEMD, dr. Ida Nensi, Sp.PD, dr. Savita Handayani, Sp.PD, dr. Sugiarto Gani,
Sp.PD,dr. Syafrizal Nasution, Sp.PD-KGH, dr. Anita Rosari Dalimunthe, Sp.PD,
dr. Wika H. Lubis, Sp.PD, dr. Deske Muhadi, Sp.PD, dr. Radar Tarigan, Sp.PD,
dr. Leni Sihotang, Sp.PD, dr. Ameliana Purba, Sp.PD, dr. Imelda Rey, Sp.PD, dr.
Taufik Sungkar, Sp.PD, dr. Henny Syahrini, Sp.PD, dr. Dina Aprillia Ariestine,
Sp.PD, dr.Melati Silvani Nasution, Sp.PD, dr. Restuti Hidayani Saragih, Sp.PD,
dr. M. Aron Pase, Sp.PD, dr. Sari Harahap, Sp. PD, dr. Naomi Dalimunte, Sp.
PD, dr. Bayu Rusfandi, Sp. PD, dr. Dian Anindita Lubis, dr. Brama ihsan sazli,
Sp. PD, dr. Meivina Pane serta para guru lainnya yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, yang dengan kesabaran dan perhatian senantiasa
membimbing penulis selama mengikuti pendidikan.
8. Kepada Kepala Divisi Pulmonologi Fakultas kedokteran Universitas Sumatera
Utara beserta staf yang telah membantu dan memberikan kemudahan kepada
penulis hingga penelitian ini dapat selesai.
9. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan yang telah memberikan dorongan
semangat , dr. Taufik Siregar, dr. Abdussomad Harahap, dr. Julahir
Siregar, dr. Juang rangkuti, dr. Ricky Rivalino, dr. Daniel Tarigan, dr.
ahmad Muhar, dr. reni Fahila, dr. Inda Damayanti, dr. Rina lisa Madona,
dr. Ernita Sinaga yang telah bersama mengalami suka dan duka selama
mengikuti pendidikan.
10. Abang, kakak, dan adik-adik keluarga besar IKAAPDA dan peserta Program
Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK USU yang telah banyak
membantu penulis selama menjalani pendidikan ini.
11. Seluruh Perawat/Paramedis diberbagai tempat dimana penulis pernah bertugas
selama pendidikan.
12. Syarifuddin Abdullah, Lely Husna Nasution, Amd, Erjan, Sriwanti, Tanti, Ita,
Fitri, Julita Ramadayanti, Tika, Idriyanti, Ali dan seluruh pegawai administrasi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU, yang telah banyak membantu
memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

12

Universitas Sumatera Utara


Ucapan terima kasih tidak terhingga dan rasa hormat serta sembah sujud dan
sayang aku persembahkan kepada kedua orang tua yang sangat aku sayangi dan
cintai, Ayahanda ku Suhaimi dan Ibunda Siti Rahmah, atas segala jerih payah,
pengorbanan dan dengan kasih sayang yang tulus telah melahirkan, membesarkan,
mendidik, mendoakan tiada henti, memberikan dukungan moril dan materil, serta
mendorong penulis dalam berjuang menjalani hidup dan mencapai cita-cita. Teriring
doa khusuk untuk Almarhum Ayahku : “Ya Alllah SWT sang Malikul akhir, Malikul
Barzah dan Malikul qubur, berikanlah tempat terbaik Mu serta ampunan Mu yang
terindah dan terbaik bagi Ayahku”. Khusus kepada Ibunda ku yang juga sebagai
teman terdekat sampai saat ini, maafkan lah aku seandainya aku tak mempunyai
cukup waktu untuk membahagiakan Ibu, “satu pinta ku kepada-Mu Ya Allah, tolong
bahagiakanlah orang tua ku dengan segenap kasih sayang-Mu”. Semoga Allah SWT
selalu memberikan kesehatan, kebahagian, rahmat dan karunia-Nya kepada keduanya.

Untuk Ayah dan Ibu Mertua yang sangat penulis sayangi dan cintai, Bapak
Sofyan Iryansyah Nasution dan Ibu Siti Sundari, rasa hormat dan terima kasih tidak
terhingga penulis persembahkan kepada keduanya atas segala jerih payah,
pengorbanan, memberikan dukungan moril dan materil. Semoga Allah SWT selalu
memberikan kesehatan, kebahagian, rahmat dan karunia-Nya.

Terima kasihku yang tak terhingga untuk kakanda Rahmi Marlinda, SE dan
suami muzli, Ns. Yuliana S.Kep dan suami Dedy Suryana SE dan dr. Fitri Yanti Sp.
A dan suami dr. M. Rizky Yaznil, Sp. OG serta seluruh anggota keluarga yang telah
banyak membantu, memberi semangat dan dukungan doa selama pendidikan.

Kepada suamiku tercinta, dr. Muhammad Rahmatsyah Nasution, saya


ucapkan terima kasih atas kesabaran dan kepercayaan mas agar saya dapat menjalani
pendidikan. Pengorbanan mas tidak hanya terbatas pada kesabaran tetapi juga
mengurus diri sendiri tanpa disertai dengan kehadiran saya. Perkenankan pula
permohonan maaf, karena sadar selama proses pencapaian ini tentu banyak waktu,
perhatian serta dana yang tersita, sehingga banyak hal tidak atau kurang mendapatkan

13

Universitas Sumatera Utara


perhatian dengan baik. Rasannya tidak mungkin pendidikan ini dapat tercapai,tanpa
dukungan doa-doa mas dikala sholat. Penulis sangat yakin tiada keberhasilan penulis,
tanpa dukungan dari masku, sekali lagi terimakasih.

Kepada semua pihak, baik perorangan maupun instansi yang tidak mungkin
penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dan berperan dalam
menyelesaikan penelitian dan pendidikan saya ini, penulis ucapkan banyak terima
kasih.

Akhirnya, izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas


kesalahan dan kekurangan yang pernah penulis lakukan selama menjalani pendidikan.
Semoga tesis ini dapat menjadi sumbangan yang berharga bagi perkembangan
keilmuan dalam dunia kedokteran. Semoga segala bantuan, dukungan, bimbingan dan
petunjuk yang telah diberikan kiranya mendapat balasan berlipat-ganda dari Allah
SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Amin ya Rabbal Alamin.

Medan, Juni 2016

Penulis

14

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman
Abstrak................................................................................................ i
Abstract............................................................................................. ii
Kata Pengantar................................................................................. iii
Daftar Isi...................................................................................................... viii
Daftar Tabel................................................................................................. x
Daftar Gambar................................................................................... xi
Daftar Singkatan dan Lambang................................................................ xiii
Daftar Lampiran.......................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN.............................................................. 1
1.1 Latar Belakang…................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah............................................................. 2
1.3 Hipotesis .................................................................... 2
1.4 Tujuan Penelitian................................................................. 2
1.5 Manfaat Penelitian............................................................... 3
1.6 Kerangka Konsep......................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................... 5


2.1 Asma bronkial….............................................................. 5
2.1.1 Defenisi…………...........…………………………… 5
2.1.2 Epidemiologi… ……………………………………… 5
2.1.3Patofisiologi…........…………………………………. 6
2.1.4 Faktor Resiko Asma.....……………………………… 9
2.1.5 Diagnosa.............................................................….. 12
2.1.6 Klasifikasi….………………………………………… 14

2.1.7 Pengobatan…………………………………………… 18
2.2 Kriteria Kontrol Asma…..………………………………… 20

2.3 Spirometri…………………………………………………. 21
28
2.4 Asthma control test………………………………………...

2.5 Kerangka Teori……………………………………………. 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN........................................ 32

15

Universitas Sumatera Utara


3.1 Desain Penelitian................................................................. 32
3.2 Persetujuan Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan.. 32
3.3Tempat dan Waktu Penelitian....................................... 32
3.4 Populasi dan Subyek Penelitian………………………….. 33
3.5 Kriteria Penerimaan dan Penolakan...………………….. 33
3.6 Cara Penelitian..…………………………………………... 34
3.7 Definisi Operasional……………………………………… 35
3.8 Rencana Pengolahan dan Analisis Data......................... 38
3.9 Kerangka Operasional.................................................. 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................... 41


4.1 Hasil Penelitian..........………………………………….... 41
4.2 Pembahasan……………………………………………... 54
4.3 Keterbatasan Penelitian………………………………….. 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……………………………… 60


5.1 Kesimpulan………………………………………….......... 60
5.2 Saran……………………………………………………… 60

DAFTAR RUJUKAN...........…………………………………………… 61

16

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Gejala-gejala kunci diagnosa asma ..................................................... 12

2.2 Klasifikasi asma berdasarkan derajat kontrol asma ............................ 13

2.3 Klasifikasi kontrol asma berdasarkan National Heart, Lung,

and Blood Institute .............................................................................. 13

2.4 Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis ..............

2.5 Klasifikasi Derajat berat asma menurut NHLBI ................................. 17

2.6 Indikasi spirometri .............................................................................. 21

2.7 Derajat abnormalitas fungsi ventilasi paru .......................................... 26

2.8 Kualitas kontrol alat ............................................................................ 27

2.9 Kuesioner asthma control test............................................................. 31

4.1 Karakteristik Demografi Subjek Penelitian terhadap nilaiACT.......... 41

4.2 Hasil Pemeriksaan Spirometri terhadap nilai ACT ............................. 43

4.3 Hasil Pemeriksaan ACT ...................................................................... 44

4.4 Sensitivitas, spesifisitas, positive dan negative predictive value

dari ACT terhadap Tingkat Kontrol Asma.......................................... 46

4.5 Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi ................................................... 48

4.6 Korelasi ACT dan FEV1 (L) ............................................................... 49


4.7 Korelasi ACT dan FEF 25-75% .......................................................... 50

4.8 Korelasi ACT dan PEF (%)................................................................. 51

4.9 Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi untuk jenis kelamin laki-laki .... 52

4.10 Korelasi ACT dan FEV1%prediksi untuk jenis kelamin perempuan . 53

4.11 Korelasi antara nilai ACT dan spirometri ........................................... 54

17

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1 Kerangka Konsep..................................................................... 4

2.1 Hubungan antara inflamasi, gejala klinis dan patofisiologi 6


asma……………………………………………………………

2.2 Patofisiologi asma berat dan remodeling…………………….. 9

2.3 Kriteria kontrol asma dan pengobatannya… ............................ 19

2.4 Kurva kelainan fungsi ventilasi paru………………………… 26

2.5 Kerangka teori………………………………………………… 32

3.1 Kerangka Operasional………………………………………… 40

4.1 Persentase kontrol asma berdasarkan FEV1 % prediksi............ 44

4.2 Persentase kategori ACT............................................................ 45

4.3 Grafik perbandingan kontrol asma berdasarkan FEV1 % 45


prediksi…………………………………………………………

4.4 Kurva ROC ACT untuk Memprediksi Tingkat Kontrol Asma.. 46

4.5 Kurva sensitifitas dan spesifisitas ACT terhadap Tingkat 46


Kontrol Asma………………………………………………….

Grafik Scatterplot Korelasi ACT dan FEV1 %


4.6 48
prediksi……………………………………………………...

Grafik Scatterplot Korelasi ACT dan FEV1 (L)………………


4.7 49

18

Universitas Sumatera Utara


4.8 Grafik Scatterplot Korelasi ACT dan FEF 25-75 %.................. 50

4.9 Grafik Scatterplot Korelasi ACT dan PEF……………………. 51

4.10 Grafik Scatterplot Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi untuk 52


jenis kelamin laki-laki…………………………………………

Grafik Scatterplot Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi untuk


4.11 53
jenis kelamin perempuan……………………………………

19

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

Singkatan Nama Pemakaian pertama


kali pada halaman

NHLBI National Hearth, lung and blood Institute 1

RISKESDA Riset Kesehatan dasar 1

GINA Global Initiative for Asthma 2

ACT Asthma control test 2

ACQ Asthma Control Quesioner 2

ACS Asthma Control Scoring 2

ATAQ Asthma Therapy Assesment Quesioner 2

ACSS Asthma Control Scoring System 2

SKRT Survey kesehatan rumah tangga 4

Ig E Imunoglobulin E 5

APC Antigen Presenting Cell 6

CGRP Calcitonin Gene Related Peptide 6

CD4 Cluster of Differentiation 6

VEP1 Volume Ekspirasi Paksa detik 1 6

APE Arus Puncak Ekspirasi 6

KVP Kapasitas Vital Paksa 6

Th2 T Helper 2 6

20

Universitas Sumatera Utara


Treg T regulasi 7

GWAS Genome wide association studies 8

CHI3L1 Chitinase 3 like protein 1 8

IL6R Interleukin 6 Receptor 8

DENND1B DENN Domain Containing 1 B 8

IL1RL1 Interleukin 1 Receptor Like-1 8

IL18R1 Interleukin 18 Receptor 1 9

PDE4D Phosphodiesterase 4D 9

RAD50 DNA repair protein RAD50 9

IL13 Interleukin 13 9

HLA DQ Human Leukocyte Antigen DQ 9

IL33 Interleukin 33 9

SMAD3 Similarity to the Drosophilia gene 9


Mothers Against Decapentaplegic family
member 3

ORM1 Like Protein 3


ORMDL3 9
Gasdermin B
GSDMB 9
Interleukin 2 Receptor ub unit Beta
IL2RB 9
Pyrin and HIN Doman Family Member
PYHIN1 1 9

Hipereaktivitas Bronkus

21

Universitas Sumatera Utara


HRB Forced Expiratory Volume in 1 second 13

FEV1 Peak Expiratory Flow 13

PEF 15

NAEPP National asthma education and 19


prevention program

USA United State America 20

VEP1 Volume Ekspirasi Paksa detik 1 20

KVP Kapasitas vital paksa 20

FVC Forced Vital Capacity 23

FEF Forced Expiratory Flow 23

ACS Asthma control scoring 27

FeNo Fractional Exhaled Nitric Oxide 30

Ppb Production Probability Boundary 30

Zα Derivat Baku α 33

Sen Sensitifitas 33

D Presisi 33

22

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Persetujuan Komite Etik Penelitian......................................... 66

2 Lembar Isian Penelitian……………..................................…. 67

3 Quesioner Asthma Control Tes................................................ 68

4 Master Tabel Hasil Penelitian……………......……………… 69

5 Analisa Statistik...........................................………………… 73

6 Daftar Riwayat Hidup....................………………………….. 87

23

Universitas Sumatera Utara


Abstrak

HUBUNGAN ANTARA ASTHMA CONTROL TEST (ACT) DENGAN


SPIROMETRI SEBAGAI ALAT PENGUKUR TINGKAT KONTROL ASMA

Latar belakang: Asma adalah penyakit saluran nafas kronik yang masih menjadi
masalah kesehatan serius di seluruh dunia. Telah diketahui bahwa tidak ada
kesembuhan untuk penyakit asma tetapi penyakit ini dapat dikontrol pada beberapa
pasien. Kontrol asma menitikberatkan pada adekuasi terapi. Guideline GINA untuk
penilaian asma terkontrol ini menggunakan alat pengukur fungsi paru, namun
evaluasi ini sulit dilaksanakan karena kurangnya fasilitas spirometri sebagai alat
pengukur fungsi paru di pelayanan primer. Alat kontrol asma yang sederhana, efisien
dan mudah didapat diperlukan untuk pasien asma. Asthma Control Test (ACT) adalah
suatu uji skrining berupa kuesioner tentang penilaian klinis seorang penderita asma.

Metode: Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang (cross sectional study)
yang bersifat analitik, pada 61 pasien asma yang diambil secara consecutive
sampling. Seluruh subjek penelitian melakukan pengisian kuesioner ACT dan diikuti
dengan pemeriksaan spirometri. Hasil penelitian di analisis dengan menggunakan uji
korelasi pearson.

Hasil: Dari 61 subjek penelitian, diperoleh 39 subjek berjenis kelami perempuan dan
22 subjek laki-laki dengan rerata umur 54,44 tahun. Berdasarkan nilai ACT subjek
terdiri 31,1 % terkontrol baik, 21.3 % terkontrol sebagian dan mayoritas subjek yaitu
47.5% tidak terkontrol. Nilai cut off ACT berdasrkan receiver operating
characteristic (ROC) untuk membedakan FEV1% prediksi normal dan < 80% adalah
21.5 dengan sensitifitas 71.4% dan spesifisitas 96.3 %. Dengan uji korelasi pearson
diperoleh korelasi yang signifikan antara ACT dengan FEV1 % prediksi (r 0.503,
p<0.001), menunjukkan korelasi positif sedang. Korelasi antara ACT dan FEV 1(L)
menunjukkan korelasi positif lemah (r 0.319, p 0.012). Korelasi ACT dan FEF 25-
75% menunjukkan korelasi positif lemah (r 0.243, p 0.059) dan korelasi ACT dan
PEF (%) menunjukkan korelasi positif lemah (r 0.356, p 0.005).

Kesimpulan: Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara asthma control test (ACT) dengan spirometri
dengan korelasi positif sedang. Sehingga ACT dapat digunakan untuk menilai kontrol
asma di fasilitas kesehatan yang tidak tersedia spirometri.

Kata kunci: asma bronkial, tingkat kontrol asma, asthma control test, spirometri.

Universitas Sumatera Utara


Abstract

RELATIONSHIP BETWEEN THE ASTHMA CONTROL TEST (ACT) WITH


SPIROMETRY AS INSTRUMENT FOR MEASURING ASTHMA CONTROL

Background: Asthma is a chronic respiratory disease that still a serious health


problem worldwide. It is known that there is no cure for asthma, but the disease can
be controlled in some patients.Asthma control is focuses on the adequacy therapy.
GINA guideline for the assessment of asthma control using gauges lung function, but
this evaluation is difficult because of lack of facilities spirometry as a measure of
lung function in primary care. Asthma control tool that is simple, efficient, easy and
necessary for asthma patients. Asthma Control Test (ACT) is a screening test in the
form of a questionnaire on a clinical assessment of patients with asthma.

Method: This study was cross sectional study, in 61 patients with asthma were taken
by consecutive sampling. The whole subject of study conduct ACT questionnaire and
spirometry followed by examination. The analysis data using the ROC curve for
diagnostic value and Pearson correlation test.

Result: 61 subjects, 39 female and 22 male subjects with a mean age of 54.44 years.
Based on the value of the subject ACT consists of 31.1% is well controlled, partly
controlled 21.3% and 47.5% is not controlled. ACT cutoff values based on those
receiver operating characteristic (ROC) to distinguish between normal and FEV1
<80% was 21.5 with 71.4% sensitivity and 96.3% specificity. By using the Pearson
correlation test found a significant correlation between the ACT with FEV1 (p
<0.001), showed strong positive correlation (r= 0.503). correlation between the ACT
and FEV 1(L) showed weak positive correlation (r 0.319, p 0.012). Correlation the
ACT and FEF 25-75% showed weak positive correlation (r 0.243, p 0.059) and
correlation the ACT and PEF (%) showed weak positive correlation (r 0.356, p
0.005).

Conclusion: There is a significant relationship between asthma control test (ACT)


with spirometry with moderate positive correlation. So that ACT can be used to
assess asthma control in health facilities were spirometry not available.

Keyword: asthma bronchial, level of asthma control, asthma control test (ACT),
spirometry

Universitas Sumatera Utara


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma adalah penyakit saluran nafas kronik yang masih menjadi masalah
kesehatan serius di seluruh dunia. Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran
napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan
dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi
berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest
tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari.1 Menurut
National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu yang rentan,
gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi dan
hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya.2
Semua tingkatan umur dapat mengalami gangguan saluran nafas dan dapat
ditemukan dinegara maju maupun berkembang. Saat ini 1-18 % populasi dunia (300
juta penduduk) menderita asma. Diperkirakan penderita asma didunia akan
bertambah 400 juta pada tahun 2025.1 Di Indonesia menurut Riset Kesehatan dasar
(RISKESDA) 2013 prevalensi asma 4,5%.3
Telah diketahui bahwa tidak ada kesembuhan untuk penyakit asma tetapi
penyakit ini dapat dikontrol pada beberapa pasien. Kontrol asma menitikberatkan
pada adekuasi terapi. Kriteria asma terkontrol menurut Global Initiative for asthma
(GINA) sebagai berikut gejala harian termasuk gejala malam tidak ada ( 2 atau
kurang/ minggu), tidak ada keterbatasan aktifitas, kebutuhan bronkodilator minimal (
2 atau kurang/ minggu), fungsi paru normal.4
Menurut rekomendasi GINA dan NAEPP tujuan utama manajemen terapi
asma adalah mencapai kontrol asma dan mencegah exaserbasi asma. Rendahnya
penilaian kontrol asma merupakan penyebab utama kurang optimalnya manajemen
asma di seluruh dunia. Sehingga focus utama menajemen terapi beralih ke penilaian
dan pengobatan berdasarkan kontrol asma.4

24

Universitas Sumatera Utara


Guideline GINA untuk penilaian asma terkontrol ini menggunakan alat
pengukur fungsi paru, namun evaluasi ini sulit dilaksanakan karena kurangnya
fasilitas spirometri sebagai alat pengukur fungsi paru di pelayanan primer. Alat
kontrol asma yang sederhana, efisien dan mudah didapat diperlukan untuk pasien
asma. Junifer dkk menulis bahwa kontrol asma dapat diskrining dalam bentuk
kuesioner. Berbagai macam kuesioner sudah dipublikasikan antara lain Asthma
Control Test (ACT), Asthma Control Quesioner (ACQ), Asthma Control scoring
(ACS), Asthma Therapy Assesment Quesioner (ATAQ) dan asthma Control Scoring
System (ACSS). Nathan et al (2004) telah menguji reliabilitas dan validitas kontrol
asma menggunakan kuesioner yang dikenal dengan Asthma Control test (ACT).5
Asthma Control Test (ACT) adalah suatu uji skrining berupa kuesioner
tentang penilaian klinis seorang penderita asma. Kuesioner ini terdiri dari 5
pertanyaan, dikeluarkan oleh American Lung Association yang bertujuan memberi
kemudahan kepada dokter dan pasien untuk mengevaluasi penderita asma yang
berusia diatas 12 tahun dan menetapkan terapi pemeliharaannya. ACT merupakan alat
kontrol asma yang sederhana dan tidak menggunakan kriteria faal paru untuk menilai
kontrol asma penderita. Sehingga ACT dapat digunakan dalam praktek klinik sehari-
hari untuk menilai kontrol asma pada tempat pelayanan yang tidak tersedia fasilitas
spirometri.5
Kota medan merupakan ibukota provinsi sumatera utara dan merupakan kota
terbesar ketiga diindonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Penyakit asma
menyebabkan disabilitas sebesar 1% penduduk dunia per tahun. Oleh sebab itu
diperlukan penelitian untuk mengetahui validitas dan reliabilitas ACT di kota medan
khususnya di RSUP H. Adam Malik dan RSUD H. Pirngadi Medan

1.2 Perumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara asthma control test dengan spirometri sebagai
alat pengukur tingkat kontrol asma pada pasien asma bronkial?

25

Universitas Sumatera Utara


1.3 Hipotesa

Ada hubungan antara asthma control test dengan spirometri sebagai alat
pengukur tingkat kontrol asma pada pasien asma bronkial.

1.4 Tujuan penelitian

- Untuk mengetahui hubungan antara asthma control test dengan spirometri


sebagai alat pengukur tingkat kontrol asma pada pasien asma bronkial.

- Untuk mengetahui hubungan asthma control test dengan spirometri untuk


menilai tingkat kontrol asma berdasarkan jenis kelamin.

- Untuk mengetahui pengaruh karakteristik demografi terhadap nilai asthma


control test untuk menilai tingkat kontrol asma

- Untuk mengetahui nilai diagnostik asthma control test untuk menilai tingkat
kontrol asma.

1.5 Manfaat penelitian

Asthma control test (ACT) dapat menjadi alternatif alat pengukur tingkat
kontrol asma pada daerah geografis yang fasilitas spirometrinya belum memadai.

26

Universitas Sumatera Utara


1.6 Kerangka Konsep

Faktor Resiko Asma

• Faktor individu ( genetic, obesitas, jenis kelamin, ras dan etnik).


• Faktor lingkungan ( allergen, infeksi pernafasan, asap rokok,
polusi udara, diet, bahan dilingkungan kerja, status sosioekonomi

Asthma

Tingkat Kontrol Asma

• Gejala harian Spirometri Penilaian Subjektif melalui


• Keterbatasan Kuesioner
aktifitas
• Gejala malam hari Asthma Control Test
• Kebutuhan obat (ACT)

Asthma Control
Quesioner (ACQ)

Asthma Therapy
Assesment Quesioner
(ATAQ)

27

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asma bronkial

2.1.1 Defenisi

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang terdapat di


seluruh dunia. Asma berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran nafas yang
ditandai dengan episode mengi berulang, sesak nafas, batuk, rasa tertekan didada
terutama di malam hari atau dini hari.1, 6

Meskipun asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu. Para ahli masih
belum sepakat mengenai defenisi asma. Secara praktis para ahli berpendapat: asma
adalah penyakit paru dengan karakteristik 1. Obstruksi saluran nafas yang reversible
baik secara spontan maupun dengan pengobatan 2. Inflamasi saluran nafas 3.
Peningkatan respon saluran nafas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktifitas).7

2.1.2 Epidemiologi

Asma merupakan masalah kesehatan yang paling umum di seluruh dunia,


dimana terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat
terjadi pada anak-anak dan dewasa, dengan prevalensi secara global berkisar 1-18%.
Angka mortalitas asma diperkirakan 250.000 penduduk/ tahun.1

Menurut hasil penelitian Riskesda 2013, prevalensi asma berkisar 4,5%


dengan prevalensi wanita lebih tinggi dibanding pria. Berdasarkan usia, prevalensi
asma tertinggi pada usia 25-34 tahun, dengan prevalensi yang sama antara perkotaan
dan pedesaan.3

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di


Indonesia. Dari data survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986
menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas)
bersama-sama dengan bronchitis kronis dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma,

28

Universitas Sumatera Utara


bronchitis kronis dan emfisema sebagai peyebab kematian ke-4 di Indonesia atau
sebesar 5,6%. 6

2.1.3 Patofisiologi

Asma merupakan inflamasi kronik saluran nafas. Berbagai sel inflamasi


berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus inflamasi saluran nafas pada penderita asma.1, 2, 6,7

Gambar 2.1: Hubungan antara inflamasi, gejala klinis dan patofisisologi asma

Sumber: NHLBI 2007

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat
terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis
didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi),
terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah
besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat
pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan

29

Universitas Sumatera Utara


bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase
sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan
dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang
dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin.
Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi
mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus,
sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat,
obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen.
Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama
histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi
terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan
kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel
mast dan antigen presenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis
asma. 1, 2, 6,7
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.
Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang
dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih
permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang
dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel
mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada
keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal
mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah
yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.1,2,6,7

30

Universitas Sumatera Utara


Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi saluran
nafas dapat dinilai secara objektif dengan spirometri yaitu nilai VEP1 (volume
ekspirasi paksa detik pertama) atau APE (arus puncak ekspirasi), sedangkan
penurunan KVP (kapasitas vital paksa) menggambarkan derajad hiperinflasi paru.1, 2,
6, 7

Patofisiologi asma (khususnya kasus yang berat) memiliki gambaran


hyperplasia sel mukus dan infiltrasi sel-sel inflamasi, dan didominasi oleh sel T
CD4+, eosinofil dan sel mast. Infiltrasi sel T mengekspresikan sitokin Th2 interleukin
13, interleukin 4 dan interleukin 5 yang berkoordinasi dalam pengaturan inflamasi
alergi.9,10,11

Disisi lain ditemukan sel Treg yang memilki kemampuan untuk mengontrol
respon Th2. Peran proteksi sel Treg pada asma didukung oleh penelitian epidemiologi
dan immunologi. Pada populasi di pertanian terjadi peningkatan jumlah dan fungsi
Treg dan sekresi sitokin Th2 yang rendah.9,10
Pada tikus, inflamasi Th2 juga merangsang remodeling saluran nafas jangka
panjang dengan fibrosis dan peningkatan otot polos. Sama halnya pada manusia,
perubahan struktur saluran nafas pada asma berkontribusi pada perkembangan dan
progreisifitas penyakit, pada kasus yang berat, obstruksi aliran nafas sering
diakibatkan hyperplasia sel mucus, penebalan membrane subepitelial, peningkatan
otot polos melalui hipertrofi dan hyperplasia, saluran nafas mulai fibrosis dengan
peningkatan deposit jaringan ikat dan terjadi juga proliferasi mioblast dan fibroblast.9
Aktivasi otot polos saluran nafas selama bronkokonstriksi merubah ukuran
saluran nafas dan menyebabkan stress mekanikal pada dinding saluran nafas. Sel
epital saluran nafas, sel otot polos dan fibroblast merupakan respon terhadap stress
mekanikal tersebut. Respon epitel terhadap stress mekanik adalah berinteraksi dengan
sel mesenkim untuk koordinasi remodeling jaringan.9

31

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.2 Patofisiologi asma berat dan remodeling

2.1.4 Faktor resiko asma

Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor individu dan faktor
lingkungan.

2.1.4.1 Faktor individu

1. Genetik
Chip yang memiliki ratusan ribu variasi genetik yang umum telah digunakan
pada genome-wide association studies (GWAS) untuk mencari hubungan
antara ribuan kasus asma dan kontrol. Penelitian ini melaporkan bukti adanya
locus yang berhubungan dengan asma yaitu pada gen CHI3L1 (yang juga
dikenal sebagai YKL40), IL6R, dan DENND1B pada kromosom 1, IL1RL1–

32

Universitas Sumatera Utara


IL18R1 pada kromosom 2, PDE4D and RAD50–IL13 pada kromosom 5,
HLA-DQ pada kromosom on chromosome 6, IL33 pada kromosom 9, SMAD3
pada kromosom15, ORMDL3–GSDMB pada kromosom 17, IL2RB pada
kromosom 22, dan PYHIN1pada kromosom 1 Afrika-Amerika. Tetapi pada
penelitian yg lain tidak ditemukan gen pada lokus yang sama seperti
gambaran pada GWAS. Sebuah penelitian yang menggunakan quantitative
genetic score dari pengaruh kombinasi ribuan polimorfism yang sering
dijumpai secara individu memiliki pengaruh yang kecil dalam risiko asma,
sehingga diduga asma melibatkan komponen poligenik.9,12
Faktor genetik yang berhubungan dengan perkembangan asma adalah
a. Atopi: produksi allergen – antibodi IgE spesifik
b. Hiperresponsif saluran nafas
c. Mediator inflamasi: cytokine, chemokin dan factor pertumbuhan
d. Rasio Th1 dan Th2
2. Obesitas
Prevalensi asma lebih banyak pada individu dengan body mass indeks
> 30 kg/m2 dengan tingkat kontrol asma yang jelek. Meskipun mekanismenya
belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat
memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
3. Jenis kelamin
Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
4. Ras dan etnik

2.1.4.2 Faktor Lingkungan

1. Allergen
Dalam rumah: tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing dll

33

Universitas Sumatera Utara


Luar rumah: serbuk sari dan spora jamur
2. Infeksi pernafasan
Riwayat infeksi saluran pernafasan telah dihubungkan dengan kejadian asma.
Menurut study prospektif oleh sigurs dkk (2000), sekitar 40% anak penderita
asma dengan riwayat infeksi saluran pernafasan (respiratory sincytial virus)
akan terus menderita mengi atau menderita asma dalam kehidupannya.
3. Asap rokok
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok
sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan asma pada usia dini.
Menurut dezateux dkk (1999), balita dari ibu yang merokok memiliki resiko 4
kali lebih tinggi menderita kelainan seperti mengi dalam tahun pertama
kelahiran.
4. Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
Polusi udara sebagai faktor resiko asma masih kontroversial. Polusi udara
berhubungan dengan penurunan fungsi paru, meskipun mekanismenya belum
diketahui dengan jelas.
5. Diet
Data dari beberapa penelitian menyebutkan hubungan antara kejadian mengi
usia dini meningkat pada bayi dengan pemberian susu sapi atau susu kedelai
dibandingkan dengan air susu ibu.
6. Bahan dilingkungan kerja
Lebih dari 300 bahan berhubungan dengan asma karena lingkungan
kerja.angka prevalensi meningkat pada dewasa dengan perkiraan 1 dari 10
kejadian asma.
7. Status sosioekonomi
Mielek dkk (1996) menemukan hubungan antara status sosioekonomi dengan
prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi asma berat paling banyak
terjadi pada penderita dengan status sosioekonomi yang rendah, yaitu sekitar
40%.

34

Universitas Sumatera Utara


2.1.5 Diagnosis

2.1.5.1 Anamnesa

Diagnosa penyakit asma dapat ditegakkan dengan anamnesa yang baik,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru terutama reversibility kelainan faal paru
akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Riwayat penyakit/ gejala, yaitu:4, 6, 7, 8
• Asma bersifat episodik, sering bersifat reversible dengan atau tanpa
pengobatan.
• Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap allergen,
gejala musiman, riwayat alergi/ atopi dan riwayat keluarga pengidap
asma.
• Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak nafas yang episodik, rasa
berat didada dan berdahak.
• Gejala timbul/ memburuk terutama pada malam/ dini hari.
• Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik.
• Respon positif terhadap pemberian bronkodilator.

Table 2.1: Gejala gejala kunci diagnosa asma

35

Universitas Sumatera Utara


2.1.5.2 Pemeriksaan fisik

Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat


normal. Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah wheezing
pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun
pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan nafas.4, 6 Oleh
karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada saat
pemeriksaan terdapat gejala- gejala obstruksi saluran pernafasan.12

Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil oleh karena
kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat
menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada volume
paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal
ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan mengi.4

2.1.5.3 Faal paru

Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri
dan arus puncak ekspirasi (APE). Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai
obstruksi jalan nafas, reversibility kelainan faal paru, variability faal paru, sebagai
penilaian tidak langsung hiperensponsif jalan nafas. 4, 6

2.1.5.4 Foto thorax

Pemeriksaan foto thorax tidak rutin dilakukan untuk diagnosa asma, tetapi
digunakan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma. 13

2.1.5.5 Pemeriksaan IgE.


Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE
spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor
pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma.

36

Universitas Sumatera Utara


Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test
(RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).4, 6, 7

2.1.5.6 Penanda inflamasi.


Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan
spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif
inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel
eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas.
Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan
Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi
endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang
atau sulit dilakukan di luar riset. 4, 6, 7

2.1.5.7 Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB.


Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan
dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi
droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada
penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada
subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan
pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um
sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang
memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik
untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara
dingin atau kering, histamin, dan metakolin. 4, 6, 7

2.1.6 Klasifikasi
Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa
derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derat gejala eksaserbasi
atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung derajat sebelumnya.

37

Universitas Sumatera Utara


2.1.6.1 klasifikasi berdasarkan Etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi,
terutama dengan bahan lingkungan yang mensensitisasi. Namun hal itu sulit
dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.8

2.1.6.2 klasifikasi menurut derajat berat asma14


Klasifikasi asma menurut derajat berat asma berguna untuk menentukan obat
yang diperlukan pada awal penangan asma. Menurut derajat berat asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten
berat.8

2.1.6.3 klasifikasi menurut kontrol asma


Kontrol asma dapat didefenisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya
istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau sembuh. Namun pada asma,
hal itu tidak realistis, maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit. Kontrol
yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah
memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat
yang aman dan tanpa efek samping. 8

38

Universitas Sumatera Utara


Table 2.2: klasifikasi asma berdasarkan derajat Kontrol asma

Sumber : GINA revisi 2010

Table 2.3: Klasifikasi kontrol asma berdasarkan National Heart, Lung and Blood
Institut

Sumber NHLBI 2007

39

Universitas Sumatera Utara


Table 2.4: klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis

Table 2.5: Klasifikasi Derajat berat asma menurut NHLBI

40

Universitas Sumatera Utara


2.1.7 Pengobatan
Pengobatan asma meliputi kontrol lingkungan dan terapi farmakologis, untuk
asma berat pengobatan komorbiditas juga penting. Paparan lingkungan merupakan
pencetus pada asma, tetapi peran kontrol lingkungan dan penghindaran allergen untuk
terapi asma masih kontroversial. Intervensi lingkungan yang menyeluruh termasuk
mengurangi paparan allergen kecoa dan tungau debu dapat mengurangi kematian
yang berhubungan dengan asma. Penghindaran allergen sebagai terapi tunggal pada
asma secara klinis tidak efektif. 9,15
Tujuan pengobatan asma untuk mencapai dan mempertahankan kontrol klinis
yang baik.1 Obat-obatan terapi asma dapat digolongkan menjaadi controller dan
reliever.1,16 Controller adalah obat-obatan yang digunakan rutin, dengan cara kerja
panjang untuk mempertahankan asma dalam kontrol klinis yang baik melalui efek
antiinflamasi. Seperti: glukortokoid sistemik dan inhalasi, leukotrien modifier, β2
agonis aksi panjang dengan glukortikoid inhalasi, teofilin lepas lambat dan anti IgE.
Sampai saat ini controller yang paling efektif adalah glukortikoid inhalasi. Reliever
adalah obat-obatan yang digunakan untuk melegakan bronkokonstriksi, seperti: β2
agonis aksi cepat, antikolinergik inhalasi, teofilin lepas lambat, oral β2 agonis.9,16
Kortikosteroid inhalasi dengan atau tanpa β2 agonis aksi panjang merupakan
terapi utama untuk asma ringan sampai moderat. Jika digunakan regular,
kortikosteroid inhalasi efektif untuk kontrol asma, memperbaiki fungsi paru, dan
mengurangi resiko eksaserbasi. 9,16
Pengobatan untuk pasien dengan asma berat, yang tidak terkontrol dan sering
eksaserbasi walaupun dengan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dan β2 agonis aksi
panjang atau dengan kortikosteroid oral, masih merupakan tantangan. Pasien ini
membutuhkan biaya pengobatan yang tinggi dan mengalami keterbatasan karena
asma yang berat.9
Pasien dengan asma yang berat, khususnya anak-anak bersifat highly atopic
dan omalizumab, monoclonal antibody IgE menurunkan eksaserbasi asma sebesar
30%. Omalizumab juga menurunkan angka eksaserbasi pada pasien dewasa dengan
asma berat, tetapi pengaruhnya terhadap keluhan asma sehari-hari kurang

41

Universitas Sumatera Utara


memuaskan, dengan harganya yang mahal menjadi keterbatasan penggunaan obat ini.
Monoklonal antibody interleukin 5 rasional diberikan pada asma dengan gambaran
subfenotip sputum eosinofilia. Penelitian pada anak usia 12 tahun ke atas dengan
asma berat menunjukkan bahwa mepolizumab menurunkan kejadian eksaserbasi
tetapi tidak ada perbaikan pada kontrol asma dan fungsi paru.9
Tujuan terapi asma adalah untuk mengontrol penyakit, kontrol penyakit yang
baik akan mencegah munculnya keluhan, mengurangi kebutuhan β2 agonis aksi cepat,
membantu mempertahankan fungsi paru yang baik, mencegah eksaserbasi asma,dan
mencegah remodeling.1,17 Pentingnya kontrol yang baik pada asma, dan guideline
GINA meletakkan tatalaksana asma berdasarkan kontrolnya.1

Gambar 2.3 Kriteria kontrol asma dan pengobatannya

42

Universitas Sumatera Utara


2.1.8 Kriteria kontrol asma
Asma harus dikontrol dengan baik, karena proses inflamasi dan remodeling
akan terus berlangsung, asma yang tidak terkontrol akan mengganggu kualitas hidup,
biaya kesehatan yang tinggi dan morbiditas serta mortalitas.9
Kontrol asma dapat didefenisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya
istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau sembuh. Namun pada asma,
hal itu tidak realistis, maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit. Kontrol
yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah
memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat
yang aman dan tanpa efek samping. 7
Rekomendasi The 2007 National Asthma Education and Prevention Program
(NAEPP) mendefenisikan asma terkontrol adanya pengurangan gejala saat ini (
seperti gejala klinis, gangguan tidur, keterbatasan aktifitas harian, penggunaan obat
pelega) dan resiko akan datang ( seperti eksaserbasi asma, progresifitas penurunan
fungsi paru pada dewasa, gangguan pertumbuhan atau efek samping pengobatan).
Meskipun rekomendasi dari NAEPP bertujuan untuk strategi pencapaian kontrol
asma dan manajemen terapi, dari penelitian sebelumnya menunjukkan asma tidak
terkontrol terdapat pada sebagian besar pasien.18
Beberapa penelitian telah mempelajari faktor-faktor yang berhubungan
dengan tingkat kontrol asma. Schatz dkk menemukan hubungan antara akses layanan
kesehatan dan penggunaan yang sulit dijangkau terhadap buruknya kontrol asma.
Vogt dkk dan Bloomberg dkk mengindentifikasi tingkat sosio-ekonomi merupakan
faktor yang sangat penting. Secara keseluruhan, studi epidemiologi menunjukkan
bahwa akses layanan kesehatan dan penggunaannya, status merokok, ketidakpatuhan
terhadap saran dokter, kesalahan dalam penggunaan inhaler, penggunaan
kortikosteroid oral, dan kurangnya perawatan spesialis merupakan faktor yang
signifikan terkait dengan kontrol asma yang buruk.18
Nguyen dkk melaporkan penelitian di eropa 82% pasien memiliki kontrol
asma yang buruk dan sebagian besar berdampak pada gangguan aktifitas hariannya.
Penelitian di USA melaporkan tiga perempat dari 60.000 pasien memiliki kontrol

43

Universitas Sumatera Utara


asma yang buruk dan tiga perempatnya menunjukan gangguan aktifitas seminggu
sebelumnya. 19
Penelitian yang dilakukan zainudin dkk pada tahun 2000 pada 2323 pasien
asma bronkial tentang kontrol asma pada pasien dewasa di asia-pasifik menunjukkan
bahwa derajat keparahan asma bervariasi secara bermakna sesuai area tempat
tinggalnya, dimana Vietnam dan cina daratan dilaporkan banyak kasus asma berat
dan persisten. Keparahan asma berhubungan erat dengan usia lanjut dan rendahnya
tingkat pendidikan pasien. 20
Penelitian yang dilakukan lai dkk di delapan Negara asia tentang kontrol asma
dan pengaruhnya terhadap biaya perawatan menunjukan hasil bahwa kontrol asma
yang buruk berhubungan dengan peningkatan kunjungan ke tempat pelayanan
kesehatan yang berdampak pada peningkatan biaya perawatan, penemuan ini merata
pada daerah asia pasifik. 21, 22

2.3 Spirometri

Spirometri merupakan alat diagnostik non invasive yang digunakan untuk


pemeriksaan faal paru.23 Spirometri merekam secara grafis atau digital volume
ekspirasi paksa dan kapasitas vital paksa. Pemeriksaan dengan spirometri ini dapat
digunakan untuk membedakan gangguan fungsi paru obstruktif (hambatan aliran
udara) dan gangguan fungsi paru restriktif ( hambatan pengembangan paru).23
Seseorang dianggap mempunyai gangguan fungsi paru obstruktif bila nilai
VEP1/KVP kurang dari 70% dan menderita gangguan fungsi paru restriktif bila nilai
kapasitas vital paksa kurang dari 80% dibanding dengan nilai standar.24,26

44

Universitas Sumatera Utara


Table 2.6: Indikasi spirometri26

Diagnostik Untuk mengevaluasi gejala dan tanda

Untuk mengukur fungsi paru

Untuk skrining pada individu yang memiliki factor resiko penyakit


paru

Untuk menilai resiko pra operasi

Untuk menilai prognosa

Untuk menilai status kesehatan sebelum dimulai aktifitas fisik yang


berat

Monitoring Untuk menilai keberhasilan pengobatan

Untuk menggambarkan perjalanan penyakit yang mempengaruhi


fungsi paru

Untuk memantau efek samping obat dengan toksisistas paru

Untuk memantau individu yang terpapar agen yang berbahaya

Evaluasi Untuk menilai pasien dengan program rehabilitasi

Untuk menilai resiko penyakit sebagai evaluasi asuransi kesehatan

Kesehatan Survey epidemiologi


masyarakat
Penelitian ilmiah

Sumber: M.R Miller standardization of spirometry

2.3.1 Faktor yang perlu dipertimbangkan ketika Memilih sebuah spirometri


27

• Mudah digunakan

• Mudah dibaca dengan menampilkan real-time grafis dari manuver

• Menyediakan kualitas feedback langsung termasuk Reproduktifitas

• Penyediaan laporan spirometri

• Harga dan biaya operasional

45

Universitas Sumatera Utara


• Keandalan dan kemudahan pemeliharaan

• Pelatihan, pelayanan dan perbaikan spirometer disediakan

• Kemampuan untuk percobaan spirometer dalam pengaturan sebelum membeli

• Penyediaan disposable sensor atau sirkuit pernapasan yang dapat dengan


mudah dibersihkan dan didesinfeksi
• Penyediaan nilai normal dengan batas bawah normal

• Penyediaan sarana komprehensif untuk pengoperasian spirometri,


pemeliharaan dan kalibrasi

• Persyaratan kalibrasi

• Kesesuaian dengan standar kinerja spirometri

• Sesuai standar keselamatan listrik

2.3.2 Teknik penggunaan spirometri


Penderita 27
• Tidak menggunakan bronkodilator minimal 8 jam (kerja singkat) atau 24 jam
( kerja panjang)
• Tidak merokok atau makan kenyang dalam 2 jam sebelum pemeriksaan
• Tidak berpakaian ketat
• Diterangkan tujuan dan cara pemeriksaan, serta contoh cara melakukan
pemeriksaan
• Diukur tinggi badan dan berat badan

Prosedur tindakan 27
• Posisi berdiri tegak, kecuali tidak memungkinkan: dalam posisi duduk
• Penderita menghirup udara semaksimal mungkin, kemudian meniup melalui
mouth piece sekuat-kuatnya dan sampai semua udara dapat dikeluarkan
sebanyak-banyaknya, dengan tidak ada udara yang bocor melalui celah antara
bibir dan mouth piece.

46

Universitas Sumatera Utara


• Pemeriksaan dilakukan untuk mendapatkan 3 nilai yang reproduksibel (beda
antara 2 nilai terbesar dari ketiga percobaan ≤ 5% atau ≤ 100 ml)

2.3.3 Nilai spirometri 27


Secara konvensional spirometri digunakan untuk mengukur waktu, volume
inspirasi dan ekspirasi sehingga dapat dinilai efektifitas pengisian dan pengosongan
paru-paru.
Pengukuran yang umumnya dibuat:
1. Kapasital vital (VC)
Adalah volume udara maksimal dikeluarkan dari paru setelah suatu inspirasi
maksimal dalam satuan mililiter (ml).
2. Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1)
adalah volume udara yang dapat dikeluarkan dalam satu detik pertama dengan
sekuat tenaga, yang dimulai dari paru pada posisi inspirasi maksimal, dalam
satuan mililiter per detik (ml/dtk).
3. Rasio FEV1/FVC
adalah perbandingan antara FEV1 dengan FVC, dinyatakan dalam persen (%)
4. FEF 25-75%
Adalah rata-rata aliran ekspirasi separuh maneuver FVC
5. PEF
Adalah maksimal kecepatan aliran ekspirasi.
6. FEF 50% dan FEF 75%
adalah aliran ekspirasi maksimal yang diukur pada titik di mana 50% dari
FVC telah berakhir (FEF50%) dan setelah 75% FVC telah berakhir
(FEF75%).
7. FVC6
adalah volume ekspirasi paksa selama 6 detik pertama dan dapat sebagai
pengganti FVC

47

Universitas Sumatera Utara


2.3.4 Prediksi Nilai normal 27
Setiap individu yang melakukan tes fungsi paru hasilnya dibandingkan
dengan nilai referensi yang diperoleh dari populasi normal seperti umur, jenis
kelamin, tinggi badan dan etnik yang menggunakan protocol pelaksanaan yang sama.
Nilai prediksi normal untuk fungsi ventilasi umumnya bervariasi sebagai berikut:
1. Jenis kelamin
Untuk tinggi badan dan umur yang sesuai, pria memiliki FEV1, FVC, FEF
25-75% dan PEF yang tinggi, akan tetapi memiliki nilai rasio FEV1/FVC
yang relative kecil.
2. Umur
Pada usia sampai 20 untuk wanita dan 25 tahun untuk pria nilai FEV1, FVC,
FEF 25-75% dan PEF akan terus meningkat, sedangkan rasio FEV1/FVC
akan relative menurun. Setelah usia ini, semua nilai prediksi akan mengalami
penurunan secara bertahap, namun tidak diketahui secara pasti nilai
penurunanya.
3. Tinggi badan
Semua indeks selain rasio FEV1/FVC akan meningkat sesuai dengan tinggi
badan.
4. Etnik
Kaukasian memiliki nilai FEV1 dan FVC yang paling tinggi dan polinesia
memiliki nilai yang paling rendah dari berbagai etnik di dunia. Etnik chinese
memiliki nilai FVC 20% lebih rendah dan Indian 10% lebih rendah dibanding
etnik kaukasian.
2.3.5 Interpretasi nilai spirometri 24
Pengukuran fungsi ventilasi paru sangat penting dalam menegakkan diagnosa,
memantau perjalanan penyakit, toleransi preoperative dan menentukan keberhasilan
pengobatan.Gangguan fungsi ventilasi dapat disimpulkan bila adanya kelainan nilai
FEV1, VC, PEF, atau FEV1/FVC.
Normal : FEV1 dan FVC ≥ 80% nilai prediksi
Rasio FEV1/FVC ≥ 0,7

48

Universitas Sumatera Utara


Obstruksi : FEV1 < 80% nilai prediksi
FVC turun atau normal
FEV1, Rasio FEV1/FVC < 0,7
Restriksi : FEV1 turun < 80% nilai prediksi atau normal
FVC turun < 80% nilai prediksi
Rasio FEV1/FVC normal atau meningkat
Campuran : Penurunan nilai FVC dan rasio FEV1/FVC

Gambar 2.4: kurva kelainaan fungsi ventilasi paru

Table 2.7: Derajat abnormalitas fungsi ventilasi paru


Kelas Derajat Restriktif Obstruktif
kerusakan VC % FEV1/FVC VC % FEV1?FVC

0 Normal >80 >75 >80 >75


I Ringan 60-80 >75 >80 60-75
II Sedang 50-60 >75 >80 40-60
III Berat 35-50 >75 ↓ <40
IV Sangat berat <35 N/ ↓ ↓↓ <40

49

Universitas Sumatera Utara


Beberapa masalah yang berkaitan dengan spirometri
• Usaha kurang maksimal
• Kebocoran antara bibir dan mouthpiece.
• Inspirasi dan ekspirasi tidak komplet
• Ragu-ragu pada awal pemeriksaan
• Batuk
• Penutupan glottis
• Sumbatan mouthpiece dengan lidah
• Berbicara pada saat maneuver
• Postur yang buruk

2.3.6 Validasi
Sesuai rekomendasi dari American thoracic society/ European respiratory
society system spirometri harus dievaluasi dengan menggunakan computer-driven
mechanical syringe atau yang sejenis.26

Kalibrasi dan Kualiti kontrol


Kalibrasi dan kualiti kontrol merupakan prosedur yang penting dalam
pemeriksaan spirometri. Kalibrasi merupakan prosedur untuk menstabilkan sensor-
nilai determine dari aliran atau volume dan nilai normal aliran atau volume.19
Table 2.8: summary equipment quality control19

50

Universitas Sumatera Utara


Sumber : standardization of spirometry

2.4 Asthma control test (ACT)


Telah diketahui bahwa tidak ada kesembuhan untuk asma tetapi penyakit ini
dapat dikontrol pada beberapa pasien. Penilaian kontrol asma untuk tujuan klinis
sangat penting, meliputi gejala, perubahan fungsi paru, kualitas hidup dan
kemampuan fisiologis tubuh. Pengukuran fungsi paru dapat dilakukan dengan
spirometri, namun spirometri sebagai alat yang dapat menilai kontrol asma sering
tidak tersedia di tempat layanan primer.28
Beberapa alat untuk menilai asma terkontrol secara subjektif yang sudah
diakui seperti asthma control questioner (ACQ), asthma control test (ACT), asthma
therapy assessment questionnaire (ATAQ) dan asthma control scoring system
(ACSS). 7
Asthma control test adalah suatu uji skrining berupa kuesioner tentang
penilaian klinis seorang penderita asma untuk mengetahui asmanya terkontrol atau
tidak. Kuesioner ini terdiri dari 5 pertanyaan, dikeluarkan oleh American Lung
Association bertujuan memberikan kemudahan dokter dan pasien untuk mengevaluasi
asma penderita yang berusia diatas 12 tahun dan menetapkan terapi pemeliharaannya.
Berbeda dengan ACS, ACT tidak memakai kriteria faal paru untuk menilai kontrol

51

Universitas Sumatera Utara


asma. Interpretasi hasil yaitu apabila jumlah nilai sama atau lebih kecil 15 tidak
terkontrol, jumlah nilai 16-19 terkontrol sebagian, jumlah nilai sama atau lebih besar
20 terkontrol baik.5
Tujuan asthma control test adalah menyeleksi asma yang tidak terkontrol,
mengubah pengobatan menjadi lebih efektif, melaksanakan pedoman pengobatan
secara lebih tepat dan memberikan pendidikan atau pengetahuan tentang bahaya asma
yang tidak terkontrol. Kuesioner ini telah diteliti dan divalidasi sehingga dapat
digunakan secara luas untuk menilai dan memperbaiki kondisi asma seseorang.5
Penelitian yang dilakukan Nathan dkk pada tahun 2004 menilai
perkembangan asthma control test untuk penilaian derajat kontrol asma menunjukkan
dari 22 pertanyaan yang menunjukan konsistensi reliabilitas 0.84 secara analisis
regresi ada 5 pertanyaan. Hasil ini memperkuat ACT merupakan alat yang mudah,
sederhana untuk penilaian kontrol asma. 5
Penelitian schatz dkk untuk menilai reliabilitas, validitas dan responsifitas
asthma control test pada 313 kasus baru asma bronkial. Menunjukkan ACT reliable,
valid dan responsive terhadap perubahan kontrol asma dari waktu ke waktu. Cut of
point ≤ 19 adalah asma tidak terkontrol, dengan skor ACT ≤ 19 sensitifitas 71%,
spesifisitas 71 % untuk menilai asma tidak terkontrol.28
Penelitian yang dilakukan johnbull dkk untuk membandingkan asthma control
test (ACT) dan global initiative for asthma (GINA) dalam penilaian kontrol asma di
pusat pelayanan medis yang sederhana, dengan metode cross sectional 65 pasien
asma bronkial dinilai kontrol asmanya dengan menggunakan ACT dan kriteria GINA,
didapati hasil pasien dengan kontrol asma buruk 37 % dengan ACT dan 23 % dengan
kriteria GINA. Terdapat hubungan positif antara ACT dan kriteria GINA.29
Penelitian yang dilakukan johnbull dkk untuk menilai kontrol asma dengan
menggunakan asthma control test (ACT) dan hubungannya dengan parameter fungsi
paru. Hasil yang didapat rerata FEV1 pre bronkodilator 1.97±0.87L, rerata skor ACT
18.2+4.28. skor ACT berkorelasi lemah dengan FEV1 dan PEF. Disimpulkan bahwa
pasien dengan kontrol asma buruk berdasarkan parameter fungsi paru berkorelasi
lemah dengan skor ACT. 30

52

Universitas Sumatera Utara


Penelitian yang dilakukan mendoza dkk dengan membandingkan asthma control
test (ACT) dan klasifikasi GINA termasuk FEV1 dalam memprediksi derajat
keparahan asma. Dengan metode kohort prospektif dengan hasil dari 86 pasien asma
bronkial, 62 pasien memiliki skor ACT < 20, dengan prevalensi asma tidak terkontrol
72% dengan mayoritas derajat asma persisten sedang. Terdapat hubungan signifikan
antara ACT dan klasifikasi GINA (p value < 0.00). Rendahnya skor ACT
berhubungan dengan perburukan gejala pada pasien asma bronkial, sensitifitas
92.3%, spesifisitas 90.5 % , positive predictive value 98% dan negative predictive
value 79%. Dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi ACT dapat digunakan
sebagai alat menilai derajat asma di tempat pelayanan medis yang tidak tersedia
spirometri atau peak flow meter. Skor ACT > 20 dapat diklasifikasikan asma pada
intermiten atau asma terkontrol, skor ACT < 20 dapat diklasifikasikan asma persisten
atau asma tidak terkontrol. 31
Penelitian yang dilakukan ilyas dkk di rumah sakit persahabatan-jakarta.
Menilai hubungan antara asthma control test dan spirometri sebagai alat pengukur
tingkat kontrol asma. Pada 100 pasien asma bronkial menunjukkan hubungan
bermakna antara ACT dan spirometri. Walaupun hubungannya lemah, tetapi ACT
berguna untuk melengkapi peran spirometri dalam menilai kontrol asma. 32
Penelitian yang dilakukan Mohamed dkk di sudan menilai reliabilitas asthma
control test untuk kontrol asma menunjukkan hasil skor ACT mempunyai korelasi
bermakna dengan klasifikasi national asthma education and prevention program
(NAEPP). Sehingga ACT dapat digunakan untuk menilai kontrol asma dan dapat
memfasilitasi dokter dalam menilai perkembangan penyakit pasien. 33
Penelitian yang dilakukan nguyen dkk di Vietnam menilai asthma control test
(ACT) sebagai alternatif sesuai kriteria GINA dalam menilai kontrol asma.
Sensitifitas 70%, spesifisitas 93% , positive predictive value 89%, cut of point 19.
Validitas ACT sesuai kriteria GINA konsisten untuk kedua jenis kelamin, tetapi
kurang konsisten untuk pasien dewasa muda. skor ACT berkorelasi bermakna
terhadap FEV1 dan persentase PEF.34

53

Universitas Sumatera Utara


Penelitian yang dilakukan sigari dkk di Persia untuk memvalidasi ACT versi
Persian berdasarkan kriteria GINA dengan hasil skor ACT berkorelasi bermakna
terhadap kontrol asma sesuai kriteria GINA dan korelasi skor ACT dengan nilai
FEV1 prediksi adalah moderat. Dengan kesimpulan ACT versi Persia valid dan
reliable sebagai alat menilai kontrol asma.35
Penelitian yang dilakukan gutierrez dkk menilai hubungan asthma control test
dengan fungsi paru, kadar nitric oxide dan kontrol asma sesuai kriteria GINA
menunjukan cut off poin skor ACT untuk asma terkontrol > 21, terkontrol sebagian
19-20 dan untuk tidak terkontrol < 18, terdapat perbedaan yang bermakna kadar
FeNo dan fungsi paru terhadap skor ACT ≥ 21 dan skor ACT ≤18. 36
Penelitian yang dilakukan Thomas dkk menilai asthma control test sebagai
prediktor menilai kontrol asma sesuai kriteria GINA, menunjukan skor ACT ≤ 19
dapt memprediksi asma terkontrol sebagian/ asma tidak terkontrol sesuai kriteria
≥ 20 dapat memprediksi asma terkontrol
GINA sebesar 94 %, untuk skor ACT
sebesar 51% dengan kappa statistik 0.42 (moderate agreement).37
Penelitian yang dilakukan bora dkk menilai apakah kontrol asma yang dinilai
dengan asthma control test menggambarkan inflamasi saluran nafas. Menunjukkan
hasil skor ACT tidak berhubungan secara bermakna terhadap parameter inflamasi
saluran nafas. Dalam penelitian ini terdapat penurunan persentasi pasien dengan
methacoline bronchial provocation test positif dan kadar FeNo > 20 ppb
menggambarkan pentingnya konsep kontrol dalam manajemen pengobatan asma
bronkial.38
Berdasarkan data diatas, ACT potensial untuk dijadikan alat diagnostik
alternatif untuk menilai derajat kontrol asma dan hubungannya dalam memprediksi
derajat berat asma dengan atau tanpa adanya spirometri atau peak flow meter.

54

Universitas Sumatera Utara


Table 2.9: kuesioner Asthma control Test

55

Universitas Sumatera Utara


2.5 . Kerangka Teori

56

Universitas Sumatera Utara


BAB III

METODOLOGI

3.1 Desain penelitian


Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang (cross sectional study)
yang bersifat analitik untuk menilai hubungan nilai ACT dengan spirometri sebagai
alat pengukur tingkat kontrol asma.

3.2 Persetujuan Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan


Penelitian ini dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik
Penelitian Bidang Kesehatan dan tiap subyek telah menandatangani informed consent
sebelum prosedur penelitian dilakukan.

3.2 Waktu dan tempat penelitian


Penelitian dilakukan di poliklinik pulmonologi dan alergi RS H. Adam Malik
dan RS pirngadi Medan, mulai bulan agustus 2015 sampai jumlah sampel terpenuhi.

3.4 Populasi dan subjek penelitian


Populasi terjangkau adalah penderita asma bronkial yang merupakan pasien
rawat jalan RS H. adam malik dan RS pirngadi medan. Subjek penelitian diambil
secara consecutive sampling yaitu mengambil semua sampel yang memenuhi kriteria
penerimaan sampai jumlah sampel penelitian tercapai, jumlah sampel pada penelitian
ini 61 orang.

3.5 Kriteria penerimaan dan penolakan


Kriteria penerimaan
1. Pasien asma bronchial yang berusia >18 tahun
2. Menerima pemberian informasi dan persetujuan partisipasi bersifat
sukarela dan tertulis untuk menjalani pemeriksaan fisik, laboratorium,

57

Universitas Sumatera Utara


radiologi yang diketahui serta disetujui oleh Komite Etik Penelitian
Bidang Kesehatan.
3. Tidak termasuk dalam kriteria penolakan.

Kriteria penolakan
1. Pasien yang memiliki penyakit paru lain seperti COPD, TB paru,
bronkiektasis
2. Pasien gagal jantung kongestif
3. Pasien dengan tingkat asma akut berat
4. Wanita hamil

3.6 Cara Penelitian


3.6.1 Estimasi sampel penelitian
Rumus perhitungan besar sampel untuk untuk uji diagnostik adalah :

n = Besar sampel
p = sensitifitas alat yang diinginkan = 92 %.
d = presisi penelitian ditetapkan 30%
α = tingkat kesalahan ditetapkan sebesar 5% sehingga Zα = 1.96
Jumlah sampel minimal = 61 orang

3.6.2 Cara memperoleh subyek penelitian


Setiap pasien yang datang ke poliklinik pulmonologi alergi dan imunologi dan
poliklinik paru RSU Adam Malik dan poliklinik pulmonologi RS Pirngadi
sesuai dengan kriteria klinis. Setelah memenuhi kriteria penelitian, pasien
mengisi surat persetujuan setelah mendapat penjelasan. Sampel penelitian dipilih
secara konsekutif terhadap pasien yang memenuhi kriteria, sampai jumlah
sampel yang diperlukan terpenuhi.

58

Universitas Sumatera Utara


3.6.3 Prosedur penelitian
6.1 Anamnesa dan pemeriksaan fisik
Seluruh subjek dalam penelitian ini telah dilakukan anamnesa dan
pemeriksaan fisik.
6.2 Pemeriksaan cek darah lengkap
Seluruh subjek dalam penelitian dilakukan pemeriksaan darah
lengkap.
6.3 Pemeriksaan radiologi
Seluruh subjek penelitian dilakukan pemeriksaan foto thoraks untuk
menyingkirkan adanya penyakit lain.
6.4 Pemeriksaan fungsi paru
Seluruh subjek penelitian juga dilakukan pemeriksaan fungsi paru
dengan spirometri untuk diagnosa asma bronkial dan menilai tingkat kontrol
asma dan pasien tetap mendapat pengobatan yang biasa digunakan sehari-
hari.
6.5 Pemeriksaan kontrol asma dengan ACT
Seluruh subjek dalam penelitian dinilai tingkat kontrol asma dengan
kuesioner asthma control test yang terdiri dari 5 pertanyaan.

3.7 Defenisi Operasional


7.1 Asma bronkial merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas dengan
gejala: sesak nafas, mengi, batuk dan dada terasa terhimpit yang bersifat
episodik, terutama setelah terpapar dengan alergen, ataupun cuaca, adanya
riwayat keluarga menderita asma ataupun penyaakit atopi. Pemeriksaan fisik
dijumpai mengi pada auskultasi, dan konfirmasi diagnosa dengan spirometri
yaitu peningkatan VEP1 ssebanyak >12% atau (>200ml) setelah pemberian
bronkodilator hirup. Pasien asma adalah pasien yang didiagnosa asma oleh
dokter spesialis penyakit dalam RSUP HAM.
7.2 Tingkat kontrol asma adalah kontrol manifestasi penyakit asma bronkial
menurut GINA tahun 2012. GINA membagi tingkat kontrol asma menjadi

59

Universitas Sumatera Utara


tiga tingkatan yaitu terkontrol sempurna, terkontrol sebagian dan tidak
terkontrol.
7.3 Asthma Control Test adalah suatu uji skrining berupa kuesioner tentang
penilaian klinis seorang penderita asma yang dikeluarkan oleh American Lung
Association, terdiri dari 5 pertujuan, bertujuan memberi kemudahan kepada
dokter dan pasien untuk mengevaluasi penderita asma yang berusia diatas 12
tahun dan menetapkan terapi pemeliharaannya.
Quesioner Asthma control test
1. Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering penyakit asma mengganggu anda
dalam melakukan pekerjaan sehari-hari di kantor, disekolah atau dirumah ?
Nilai 1= selalu, 2= sering, 3= kadang-kadang, 4= jarang, 5= tidak pernah
Interpretasi selalu= setiap waktu (all of the time), sering= hampir setiap waktu
( most of the time), kadang-kadang ( some of the time), jarang ( a little of the
time), tidak pernah= tidak pernah
2. Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering anda mengalami sesak nafas ?
Nilai 1= Lebih dari 1 kali sehari, 2= 1 kali sehari, 3= 3-6 kali seminggu
4= 1-2 kali seminggu, 5= tidak pernah
3. Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering gejala asma (bengek, batuk- batuk,
sesak nafas, nyeri dada atau rasa tertekan di dada) menyebabkan anda terbangun di
malam.
Nilai 1= 4 kali atau lebih seminggu, 2= 1-2 kali seminggu, 3= 1 kali seminggu, 4= 1-2
kali sehari, 5= Tidak pernah
4. Dalam 4 minggu terakhir, seberapa sering anda menggunakan obat semprot
darurat atau obat oral untuk melegakan pernafasan ?
Nilai 1= > 3 kali sehari, 2= 1-2 kali sehari, 3= 2-3 kali seminggu, 4= < 1 kali seminggu
5= Tidak pernah
5. Bagaimana penilaian anda terhadap tingkat control asma anda dalam 4 minggu
terakhir?
Nilai 1= Tidak terkontrol sama sekali, 2= Kurang terkontrol, 3= Cukup terkontrol,
4= Terkontrol dengan baik, 5= Terkontrol penuh

60

Universitas Sumatera Utara


Interpretasi nilai: asma terkontrol baik≥ 20, terkontrol sebagian 16 -19, tidak
terkontrol ≤ 15.
7.4 Spirometri merupakan alat diagnostik non invasive yang digunakan untuk
pemeriksaan faal paru.16 Spirometri merekam secara grafis atau digital
volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital paksa. Spirometri yang digunakan
adalah merk Schiller, type SP-1, S/N: 54011208 dan telah dikaliberasi oleh
BPFK Medan Kemenkes RI tertanggal 20 februari 2015.
7.5. Asma eksaserbasi akut episode akut atau subakut dengan sesak yang
memburuk secara progresif disertai batuk, mengi, dan dada sakit, atau
beberapa kombinasi gejala-gejala tersebut. Eksaserbasi ditandai dengan
menurunnya arus nafas yang dapat diukur secara obyektif (spirometri atau
PFM) dan merupakan indicator yang lebih dapat dipercaya dibandingkan
gejala.

7.6. COPD adalah penyakit paru kronis dengan karakteristik keterbatasan


aliran udara persisten yang memiliki gejala klinis dyspnu, batuk kronik,
produksi sputum, dan riwayat terpapar dengan faktro resikonya. Post
bronkodilator spirometri menunjukkan FEV1/FVC <0,7
7.7. CHF adalah congestive heart failure (penyakit jantung kongestif) yang
secara klinis memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kritria mayor dengan 2 kriteria
minor.
Kriteria mayor terdiri dari: paroxysmal nocturnal dyspnea, distensi vena leher,
ronki basah, kardiomegali yang dibuktikan dengan foto thoraks, edema paru
akut, S3 gallop, peningkatan tekanan vena sentral (>16cmH20), refluks
hepatojugular
Kriteria minor terdiri dari: edema pretibial bilateral, batuk malam, sesak nafas
saat beraktifitas biasa, hepatomegali, efusi pleura, takikardia (frekuensi
jantung >120x/menit)

61

Universitas Sumatera Utara


Kriteria minor diperhitungkan bila tidak berhubungan dengan kondisi medis
lainnnya (seperti hipertensi pulmonal, penyakit paru kronis, sirosis, asites,
atau sindroma nefrotik)

3.8 Rencana Pengolahan dan Analisis Data


a. Editing data
Dilakukan untuk:
1. memeriksa apakah semua pertanyaan sudah terisi jawabannya
2. memeriksa jawaban dan data responden apakah jelas dan dapat dibaca.
Bila terdapat kekurangan, pewawancara akan mewawancarai ulang
responden tersebut.
b. Coding
Diletakkan pada sisi kanan kuesioner untuk setiap variabel dan
pertanyaan dalam kuesioner satu demi satu.
c. Data Entry
Yaitu memindahkan data dari tempat pengumpulan data ke dalam
komputer. Program yang digunakan adalah SPSS versi 16. Entry data
dilakukan pada lembar Data View, di mana setiap baris mewakili satu
responden dan setiap kolom mewakili tiap variabel.
d. Data Cleaning
Data cleaning merupakan pengecekan kembali data entry dengan cara:
1. Mengetahui data missing
apakah ada data yang masih belum terisi
2. Mengetahui variasi data
mengeluarkan distribusi frekuensi, nilai minimum dan maksimum
masing-masing variabel. Uji normalitas data menggunakan
kolmogorov smirnov untuk sampel > 50 subjek dan uji Shapiro –
wilk untuk sampel < 50 subjek untuk mengetahui normalitas
distribusi data.

62

Universitas Sumatera Utara


e. Revisi Data
Kalau ada kesalahan, lihat lagi data asli dalam kuesioner, kemudian
dilakukan revisi. Setelah melakukan tahap Data Cleaning dan revisi,
berarti data sudah siap untuk dianalisis.
f. Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisa bivariat merupakan
analisis variabel-variabel yang diteliti (independen) yang diduga
mempunyai hubungan dengan variabel terikat (dependen). Adapun dalam
analisis ini menggunakan uji t-test bila distribusi data normal atau dengan
uji Mann Whitney bila distribusi data tidak normal untuk 2 kategori.
Sedangkan untuk lebih dari 2 kategori digunakan one way annova bila
distribusi data normal atau kruskal-wallis bila distribusi data tidak normal.
Besarnya penyimpangan yang diinginkan (α) adalah 0,05. Analisa korelasi
antara variable menggunakan analisa pearson bila distribusi data normal
atau analisa spearman bila distribusi data tidak normal. Besarnya
penyimpangan yang diinginkan (α) adalah 0,05.
Pada penelitian ini dilakukan uji diagnostik dengan mencari nilai
sensitifitas, spesifisitas, Positive Predictive Value (PPV ), Negative
Predictive Value ( NPV ) dan Likelihood Ratio ( positif ) dan Likelihood
Ratio ( negatif ). Untuk menentukan cut off nilai Simpler Skor dilakukan
Analisis Receiver Operating Characteristic (ROC).

63

Universitas Sumatera Utara


3.9 Kerangka Operasional
Anamnesa
Pasien rawat
jalan Pemeriksaan Fisik

Darah lengkap

Foto thoraks

Spirometri

Sesuai kriteria inklusi Pasien tetap


dan ekslusi Asma bronkial menggunakan obat
yang biasa digunakan

Tingkat Kontrol Asma

Spirometri Asthma Control Test (ACT)

64

Universitas Sumatera Utara


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Karakteristik Responden
Penelitian ini dilakukan dengan metode potong lintang di RS HAM dan RS
Pirngadi medan selama bulan agustus 2015 sampai bulan November 2015. Data
penelitian yang diperoleh meliputi : jenis kelamin, umur, suku, pekerjaan, skor BMI,
nilai FEV1, nilai FEV1/FVC, nilai FVC, nilai FEF 25-75% , nilai PEF dan nilai ACT.
Selama periode penelitian diperoleh 61 subjek penelitian yang telah memenuhi
kriteria inklusi. Sebanyak 39 orang pasien (63,9%) adalah perempuan dan 22 orang
pasien (36,1%) adalah laki-laki. dengan rerata umur 54,44 tahun.
Mayoritas responden bersuku Batak yaitu Sebanyak 27 subyek (44,3%),
mandailing sebanyak 7 subyek (11,5%), minang sebanyak 7 subyek (11,5%), melayu
sebanyak 4 subyek (6,6%) dan jawa sebanyak 3 subyek (4,9 %). Rerata BMI dari
keseluruhan subyek adalah 26,82 kg/m2 dengan status preobes merupakan proporsi
terbanyak sebanyak 41%. Sebanyak 25 subyek (41%) merupakan ibu rumah tangga.
Berdasarkan karakteristik demografi subjek penelitian diperoleh tidak ada
perbedaan yang signifikan nilai ACT terhadap karakteristik subjek penelitian baik
jenis kelamin, umur, suku, pekerjaan dan nilai BMI dimana pvalue >0.05

Tabel 4.1 Karakteristik Demografi Subyek Penelitian terhadap nilai ACT


Variabel Jumlah (%) sampel Rerata (±SD) skor ACT p*

Jenis Kelamin 0,782

Laki-laki 22 (36%) 16,27 (±4,997)

Perempuan 39 (64%) 15,79 (±5,027)

Umur, rerata (SB) tahun 54.44 (14.4) 0,91

< 30 tahun 5 (8,2%) 18,40 (±5,550)

30 – 60 tahun 35 (57,4%) 15,54 (±4,895)

65

Universitas Sumatera Utara


> 60 tahun 21 (34,4%) 16,10 (±5,069)

Suku 0,295

Mandailing 7 (11,5%) 14,86 (±3,716)

Batak 25 (41%) 16,12 (±4,952)

Melayu 16 (26,2%) 17,75 (±4,568)

Minang 6 (9,8%) 15,33 (±6,088)

Jawa 3 (4,9%) 10,67 (±2,082)

Lain-lain 4 (6,6%) 14,75 (±7,228)

BMI, rerata (SB) kg/m2 26.82 (5.02) 0,289

Underweight 2 (3,3%) 14,50 (±6,364)

Normal 11 (18%) 13,82 (±5,173)

Overweight 7 (11,5%) 17,00 (±4,967)

Preobesitas 26 (42,6%) 15,58 (±5,037)

Obesitas 15 (24,6%) 17,93 (±4,415)

Pekerjaan 0,109

PNS 12 (19,7%) 12,75 (±3,441)

Pensiunan PNS 5 (8,2%) 16,60 (±4,980)

Wiraswasta 8 (13,1%) 15,00 (±4,811)

Ibu Rumah Tangga 25 (41%) 16,68 (±4,706)

Petani 4 (6,6%) 16,75 (±7,136

Lain-lain 7 (11,5%) 19,14 (±5,669)

• Untuk 2 kategori digunakan uji T test tidak berpasangan dan untuk lebih dari 2
kategori digunakan ANOVA

66

Universitas Sumatera Utara


4.1.2 Hasil Pemeriksaan Fungsi Paru
4.1.2.1 Spirometri
Hasil pemeriksaan fungsi paru terhadap seluruh subyek terdapat pada tabel
4.2. Rerata FEV1 yang tercatat adalah 60,03 %. Berdasarkan pengelompokan FEV1
diketahui hanya sebanyak 8 subyek (13.1 %) dengan asma terkontrol baik. Hal serupa
diperoleh berdasarkan pengelompokan PEF (%) diketahui hanya 8 subjek (13.1%)
dengan asma terkontrol baik. Berdasarkan pengelompokan FEF 25-75 % mayoritas
subjek diperoleh obstruksi moderate sebanyak 26 subjek (42.6%). Menurut hasil
FEV1/FVC diketahui dengan rerata 78.75 %. Rerata FVC (%) adalah 63,69%. .
Berdasarkan hubungannya dengan nilai ACT diperoleh perbedaan yang
signifikan FEV1% terhadap nilai ACT (p 0.002), FEF 25-75 % terhadap nilai ACT
(p0.047), PEF (%) terhadap nilai ACT (p 0.008) dan FEV1/FVC terhadap nilai ACT
tidak berbeda signifikan (p 0.215).

Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Fungsi Paru dengan Spirometri terhadap nilai
ACT
Parameter Jumlah (%) sampel Rerata (±SD) skor P value
ACT

FEV1 % prediksi, rerata (SB) 60.03 (±19.33)

< 60 32 (52,5%) 14,31 (±4,775) 0.002

60-79 21 (34,4%) 16,43 (±4,249)

80-100 7 (11,5%) 20,86 (±3,625)

>100 1 (1,6%) 25,00

FEF 25-75 %, rerata (SB) 44.21 (±21.35)

>60 14 (22,96%) 19.07 (±3.912) 0.047

40-60 15 (24,6%) 14.47 (±5.705

20-40 26 (42,6%) 15.58 (±4.743)

< 20 6 (9,84%) 14.17 (±3.971)

67

Universitas Sumatera Utara


FEV1/FVC, rerata (SB) 78.75 (±14.45)

>80 29 (47.5%) 15.31 (± 5.29) 0.215

60-80 29 (47.5%) 17.07 (± 4.869)

40-60 2 (3.3%) 10.50 (±2.121)

<40 1(1.7%) 14.00

PEF (%), rerata (SB) 55.13 (±23.018)

>80 8 (13.1 %) 20.75 (±3.284) 0.008

60-80 16 (26.2%) 16.19 (±5.456)

<60 37(60.7%) 14.84 (±4.519)

FEV1, rerata (SB) L 1.42 (±0.7)

FVC, rerata (SB) L 1,89 (±0,96)

FVC, rerata (SB) % 63,69 (±24,19)

• Untuk 2 kategori digunakan uji T test tidak berpasangan dan untuk lebih dari 2
kategori digunakan ANOVA

Terkontrol baik
13,1 %

Tidak terkontrol
52,5 % Terkontrol Terkontrol baik
sebagian 34.4 %
Terkontrol sebagian
Tidak terkontrol

Gambar 4.1 Persentase kontrol asma berdasarkan FEV1 % prediksi

68

Universitas Sumatera Utara


4.1.2.2 Asthma Control Test (ACT)
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap penderita asma yang menjadi subyek
dalam penelitian ini diperoleh bahwa rerata ACT adalah 15,97. Menurut kategorisasi
ACT diketahui bahwa subyek dengan asma yang terkontrol baik sebanyak 19 orang
(31,1%)

Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan ACT


Hasil Pemeriksaan ACT n = 61 Persentase
Rerata (SB) 15,97
Kategori ACT, n (%)
Terkontrol Baik 19 31,1 %
Terkontrol Sebagian 13 21,3 %
Tidak Terkontrol 29 47,5 %

31%
48%
Terkontrol baik
Terkontrol sebagian

21% Tidak terkontrol

Gambar 4.2 Persentase kategori ACT

69

Universitas Sumatera Utara


60,00%
52,50%
50,00% 47,50%

40,00% 34.4%
31,10%
30,00%
21,30%
20,00%
13,10%
10,00%

0,00%
FEV1 % prediksi ACT

Terkontrol Terkontrol sebagian Tidak Terkontrol

Gambar 4.3 Grafik perbandingan kontrol asma berdasarkan FEV1 % prediksi


dan ACT

4.1.3 Nilai Diagnostik ACT untuk Memprediksi Tingkat Kontrol Asma


ACT dalam studi ini memiliki kemampuan untuk memprediksi tingkat kontrol
asma. Dari hasil analisis menggunakan kurva ROC diperoleh bahwa area di bawah
kurva (AUC) ROC adalah 88,8% (95% CI: 76,6% - 100%; p = 0,001).

Gambar 4.4 Kurva ROC ACT untuk Memprediksi Tingkat Kontrol Asma

70

Universitas Sumatera Utara


1
0,9
0,8
0,7
0,6
0,5 Sensitivitas
0,4
Spesivisitas
0,3
0,2
0,1
0
7,5
8,5
9,5
10,5
11,5
12,5
13,5
14,5
15,5
16,5
17,5
18,5
19,5
20,5
21,5
22,5
6

24
26
Gambar 4.5 Kurva sensitifitas dan spesifisitas ACT terhadap Tingkat Kontrol
Asma

Berdasarkan kurva sensitifitas dan spesifisitas maka diperoleh nilai Cut Off
untuk ACT adalah 21,5. Dengan menggunakan cut off point 21,5 maka didapatkan
nilai sensitivitas ACT adalah 71,4% dan spesifisitas 96,3%.
Tabel 4.4 Sensitivitas, spesifisitas, positive dan negative predictive value dari
ACT terhadap Tingkat Kontrol Asma
Kontrol Asma Sensitifi Spesifi
ACT NPP NPN RKP RKN
Ya Tidak tas sitas

≥ 21,5 5 2 71,4% 96,3% 71,4% 96,3% 19,3 0,3


< 21,5 2 52

Nilai Prediksi Positif (NPP) ACT adalah sebesar 71,4% dan Nilai Prediksi
Negatif (NPN) adalah 96,3%. Sedangkan untuk rasio kemungkinan positif adalah
19,3 dan rasio kemungkinan negatif adalah 0,3. Akurasi ACT terhadap pemeriksaan
spirometri untuk menentukan subyek dengan asma yang terkontrol atau tidak adalah
93,44%.

71

Universitas Sumatera Utara


4.1.4 Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi
Dengan menggunakan uji korelasi Pearson ditemukan korelasi yang signifikan
antara ACT dan FEV1 % prediksi (p<0,001). Nilai korelasi yang diperoleh adalah
0,503 yang menunjukkan bahwa ACT memiliki korelasi positif yang sedang dengan
FEV1, artinya bahwa semakin tinggi peningkatan nilai ACT maka akan diikuti oleh
peningkatan FEV1 % prediksi.
Tabel 4.5 Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi
FEV1
P r (korelasi)
ACT <0,001 0,503

Gambar 4.6 Grafik Scatterplot Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi

72

Universitas Sumatera Utara


4.1.5 Korelasi ACT dan FEV1 (L)
Dengan menggunakan uji korelasi Spearman ditemukan korelasi yang
signifikan antara ACT dan FEV1 (L) (p<0,05). Nilai korelasi yang diperoleh adalah
0,319 yang menunjukkan bahwa ACT memiliki korelasi positif yang lemah dengan
FEV1, artinya bahwa semakin tinggi peningkatan nilai ACT maka akan diikuti oleh
peningkatan FEV1 (L).
Tabel 4.6 Korelasi ACT dan FEV1 (L)
FEV1 (L)
P r (korelasi)
ACT 0.012 0,319

Gambar 4.7 Grafik Scatterplot Korelasi ACT dan FEV1 (L)

73

Universitas Sumatera Utara


4.1.6 Korelasi ACT dan FEF 25-75 %
Dengan menggunakan uji korelasi pearson diperoleh nilai korelasi ACT dan
FEF 25-75 % adalah 0,243 (p 0.059) yang menunjukkan bahwa ACT memiliki
korelasi positif yang lemah dengan FEF 25-75%, artinya bahwa semakin tinggi
peningkatan nilai ACT maka akan diikuti oleh peningkatan FEF 25-75%.
Tabel 4.7 Korelasi ACT dan FEF 25-75 %
FEF 25 – 75 %
P r (korelasi)
ACT 0.059 0,243

Gambar 4.8 Grafik Scatterplot Korelasi ACT dan FEF 25-75 %

74

Universitas Sumatera Utara


4.1.7 Korelasi ACT dan PEF (%)

Dengan menggunakan uji korelasi Spearman ditemukan korelasi yang


signifikan antara ACT dan PEF (p<0,05). Nilai korelasi yang diperoleh adalah 0,356
yang menunjukkan bahwa ACT memiliki korelasi positif yang lemah dengan PEF,
artinya bahwa semakin tinggi peningkatan nilai ACT maka akan diikuti oleh
peningkatan PEF.
Tabel 4.8 Korelasi ACT dan PEF (%)
PEF (%)
P r (korelasi)
ACT 0.005 0,356

Gambar 4.9 Grafik Scatterplot Korelasi ACT dan PEF (%)

75

Universitas Sumatera Utara


4.1.8 Korelasi ACT dan FEV1% prediksi berdasarkan jenis kelamin
4.1.8.1 jenis kelamin laki-laki
Dengan menggunakan uji korelasi pearson ditemukan korelasi yang signifikan
antara ACT dan FEV1 % prediksi (p<0,05). Nilai korelasi yang diperoleh adalah
0,653 yang menunjukkan bahwa ACT memiliki korelasi positif yang kuat dengan
FEV1, artinya bahwa semakin tinggi peningkatan nilai ACT maka akan diikuti oleh
peningkatan FEV1 % prediksi.

Tabel 4.9 Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi untuk jenis kelamin laki-laki
FEV1 % prediksi
P r (korelasi)
ACT 0.001 0,653

Gambar 4.10 Grafik Scatterplot Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi untuk
jenis kelamin laki-laki

76

Universitas Sumatera Utara


4.1.8.2 Untuk jenis kelamin perempuan
Dengan menggunakan uji korelasi Pearson ditemukan korelasi yang signifikan
antara ACT dan FEV1 % prediksi (p<0,05). Nilai korelasi yang diperoleh adalah
0,397 yang menunjukkan bahwa ACT memiliki korelasi positif yang lemah dengan
FEV1, artinya bahwa semakin tinggi peningkatan nilai ACT maka akan diikuti oleh
peningkatan FEV1 % prediksi.

Tabel 4.10 Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi untuk jenis kelamin
perempuan
FEV1 % prediksi
P r (korelasi)
ACT 0.012 0,397

Gambar 4.11 Grafik Scatterplot Korelasi ACT dan FEV1 % prediksi untuk
jenis kelamin perempuan

77

Universitas Sumatera Utara


Table 4.17 Korelasi antara nilai ACT dan spirometri

Nilai Korelasi Signifikan (p value)

FEV1 % prediksi 0,503 <0,001*

FEV1 L 0,319 0.012*

FEF 25-75% 0,243 0.059

PEF (%) 0.356 0.005*

Berdasarkan jenis kelamin

FEV1% prediksi laki-laki 0,653 0.001*

FEV % prediksi perempuan 0,397 0.012*

4.2 Pembahasan
Asma adalah penyakit saluran nafas kronik yang masih menjadi masalah
kesehatan serius di seluruh dunia. Asma merupakan sebuah penyakit kronik
saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang
berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu
episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa
tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau
dini hari.1

Asma merupakan inflamasi kronik saluran nafas. Berbagai sel inflamasi


berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus inflamasi saluran nafas pada penderita asma.1, 2, 6,7

Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi spasme otot


bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
saluran nafas dapat dinilai secara objektif dengan spirometri yaitu nilai FEV1
(Forced expiratory volume second 1) atau PEF (Peak Expiratory Flow ),

78

Universitas Sumatera Utara


sedangkan penurunan FVC (Forced Vital Capacity) menggambarkan derajat
1, 2, 6, 7
hiperinflasi paru.

Telah diketahui bahwa tidak ada kesembuhan untuk asma tetapi penyakit
ini dapat dikontrol pada beberapa pasien. Penilaian kontrol asma untuk tujuan
klinis sangat penting, meliputi gejala, perubahan fungsi paru, kualitas hidup dan
kemampuan fisiologis tubuh. Pengukuran fungsi paru dapat dilakukan dengan
spirometri, namun spirometri sebagai alat yang dapat menilai kontrol asma sering
tidak tersedia di tempat layanan primer.28
Beberapa alat untuk menilai asma terkontrol secara subjektif yang sudah
diakui seperti asthma control questioner (ACQ), asthma control test (ACT),
asthma therapy assessment questionnaire (ATAQ) dan asthma control scoring
system (ACSS). 7
Asthma control test adalah suatu uji skrining berupa kuesioner tentang
penilaian klinis seorang penderita asma untuk mengetahui asmanya terkontrol
atau tidak. Kuesioner ini terdiri dari 5 pertanyaan, dikeluarkan oleh American
Lung Association bertujuan memberikan kemudahan dokter dan pasien untuk
mengevaluasi asma penderita yang berusia diatas 12 tahun dan menetapkan terapi
pemeliharaannya. Berbeda dengan ACS, ACT tidak memakai kriteria faal paru
untuk menilai kontrol asma. Interpretasi hasil yaitu apabila jumlah nilai sama atau
lebih kecil 15 tidak terkontrol, jumlah nilai 16-19 terkontrol sebagian, jumlah
nilai sama atau lebih besar 20 terkontrol baik.5
Analisis penelitian ini bertujuan melihat korelasi ACT dengan spirometri.
Jumlah populasi pada penelitian ini sebanyak 61 orang dengan rerata umur 54,44
tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh bora dkk dimana
rerata umur 42,3 ± 11,4 tahun.38

Baseline karakteristik pada penelitian ini juga didasarkan atas jenis kelamin.
Berdasarkan penelitian ini mayoritas subjek penelitian berjenis kelamin
perempuan, yaitu sebanyak 39 subjek (63,9%). Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh ilyas dkk di rumah sakit persahabatan Jakarta pada tahun

79

Universitas Sumatera Utara


2009, dengan 100 subjek penelitian terdiri dari 70% perempuan.32 Penelitian de
sousa dkk juga mendapatkan hasil yang sama dengan mayoritas penderita asma
berjenis kelamin perempuan yaitu 68 % dan 32 % laki-laki.39

Dalam kaitannya bahwa validitas suatu alat tergantung pada karakteristik


demografi suatu populasi, berdasarkan penelitian ini diperoleh tidak ada
perbedaan yang signifikan nilai ACT terhadap jenis kelamin, umur, suku, nilai
BMI dan pekerjaan dimana p > 0.05. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan sigari dkk menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan nilai
ACT terhadap perbedaan karakteristik populasi seperti tingkat pendidikan, daerah
35
perkotaan dan pedesaan, jenis kelamin dan kelompok umur. Sehingga ACT
dapat digunakan pada berbagai populasi yang berbeda.

Rerata BMI dari keseluruhan subjek adalah 26,82 kg/m2 dengan status
preobesitas merupakan proporsi terbanyak sebanyak 41%. Sejumlah penelitian
melaporkan terdapatnya hubungan antara asma dan obesitas dan apakah hubungan
yang kuat didapatkan pada perempuan dibanding laki-laki masih kontroversial.
Beckett dkk mendapatkan hubungan yang bermakna antara insiden derajat asma
dengan BMI selama 10 tahun observasi, hubungan bermakna terbatas pada
perempuan dan hubungan tidak tergantung aktifitas fisik.40

Berdasarkan nilai ACT sebanyak 47,5% tidak terkontrol, 21,3% terkontrol


sebagian dan 31,1% mencapai terkontrol baik. Penelitian ini menggambarkan
mayoritas subjek penelitian memiliki tingkat kontrol asma yang buruk. Hal ini
sesuai penelitian yang dilakukan sigari dkk pada 150 subjek asma didapati 50,7 %
tidak terkontrol, 35,3 % terkontrol sebagian dan 14 % terkontrol baik.35 Hasil ini
berbeda dengan penelitian yang dilakukan johnbull dkk pada 65 pasien asma,
berdasarkan ACT mayoritas kontrol asma pasien terkontrol sebagian (43%)
terkontrol baik 37% dan terkontrol buruk 20%.30

Berdasarkan hasil FEV1 % prediksi mayoritas pasien berada pada tingkat


asma tidak terkontrol yaitu 32 subjek (52.5%), asma terkontrol sebagian sebanyak

80

Universitas Sumatera Utara


21 subjek ( 34.4%) dan asma terkontrol baik sebanyak 8 subjek (13.1 %). Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan sigari dkk berdasarkan
hasil FEV1 % prediksi diperoleh 50 % subjek penelitian, terkontrol sebagian 28
% dan terkontrol baik 22 %. 35

Tingginya populasi pasien yang tidak terkontrol (47.5%) dapat disebabkan


oleh berbagai faktor seperti penggunaan obat yang tidak efektif, penilaian dan
pengobatan yang tidak adekuat, rendahnya kepatuhan dalam terapi, kurang
disadarinya gejala kontrol asma yang buruk oleh pasien, kemungkinan terjadi
resistensi terhadap pengobatan atau dapat juga disebabkan karena terdapatnya
faktor resiko seperti preobesitas (41.% subjek penelitian) yang dapat
memperburuk gejala dan efektifitas pengobatan.

Sebagai tambahan, penelitian terbaru menemukan bahwa mayoritas terapi


pasien asma tidak adekuat karena overestimasi terhadap tingkat kontrol asma. Hal
ini sesuai penelitian yang dilakukan zhou dkk dimana sebagian besar pasien
overestimasi terhadap tingkat kontrol asmanya.

ACT dapat membantu pasien mencapai tingkat kontrol asma yang lebih baik
sehingga pasien dapat membuat personal asthma action plans dan memonitor
tingkat kontrol asmanya. Jika asma gagal mencapai terkontrol dengan regimen
terapi yang dipakai, naikkan pengobatan sampai tingkat kontrol asma tercapai.
Tingkat kontrol asma yang bertahan selama 3 bulan berturut-turut
mengindikasikan penurunan dosis pengobatan. Sebagai tambahan ACT
merupakan upaya memicu komunikasi antara pasien dan klinis, membantu pasien
membangun kepercayaan terhadap pengobatannya dan meningkatkan kinerja
dokter dan menilai hasil terapi. 41

Hubungan ACT dengan hasil spirometri

Analisis hubungan ACT dengan FEV1 % prediksi berdasarkan uji korelasi


pearson diperoleh hubungan yang sedang (r= 0,503) dan secara statistik bermakna

81

Universitas Sumatera Utara


(p<0,001). Hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan oleh
Nathan dkk yang meneliti 471 pasien asma juga mendapat korelasi sedang antara
ACT dengan % prediksi FEV1 (r= 0,37), p= 0.0001).5

Hasil penelitian ini menggambarkan korelasi yang signifikan antar ACT dan
spirometri. Berdasarkan penelitian sorkness dkk menemukan kombinasi nilai
ACT dan % prediksi FEV1 memberikan prediksi yang lebih akurat untuk asma
tidak terkontrol.42

Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan johnbull dkk pada 65 pasien
asma, didapati hubungan ACT dan % prediksi FEV1 diperoleh hubungan yang
lemah (r=0.0220, p <0,078).30 Namun penelitian yang dilakukan zhou dkk dengan
403 pasien asma umur rata-rata 44 ± 13,7 tahun didapati hubungan yang kuat
antara ACT dan % prediksi FEV1 (r=0.580) dimana terdapat semakin tinggi nilai
ACT semakin tinggi juga nilai % prediksi FEV1.41

Analisis hubungan ACT dengan FEV1 (L) berdasarkan uji korelasi spearman
diperoleh hubungan yang sedang (r= 0,319), secara statistik bermakna (p < 0.05).
Hasil ini tidak berbeda jauh dari penelitian yang dilakukan lutfi dkk yang meneliti
100 pasien asma diperoleh korelasi yang sedang antara ACT dan FEV1 (L) (r
0.354, p 0.000).33

Analisis hubungan ACT dengan FEF 25-75 % berdasarkan uji korelasi


pearson diperoleh hubungan yang lemah (r= 0,243). Hasil ini berbeda dari
penelitian yang dilakukan lutfi dkk, diperoleh korelasi yang sedang antara ACT
dan FEF 25-75% (r 0.401, p 0.000). 33

Analisis hubungan ACT dengan PEF (%) berdasarkan uji korelasi pearson
diperoleh hubungan yang sedang (r= 0,356), secara statistik bermakna (p < 0.05).
Hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan oleh shirai dkk
pada 105 sampel asma bronkial, didapati korelasi sedang antara ACT dan PEF
(%) (r 0.387, p 0.001).43 hasil ini berbeda pada penelitian yang dilakukan ilyas

82

Universitas Sumatera Utara


dkk pada 100 pasien asma didapati hubungan yang lemah antara ACT dan PEF
(%) (r 0.298, p 0.003).32 Nilai PEF prediksi merupakan indikator yang baik untuk
mengontrol asma, PEF baik untuk menilai serangan akut dan sebaiknya dinilai
variabilitasnya. Pada penelitian ini subjek adalah pasien asma yang berobat di
poliklinik rawat jalan dan dinilai PEF saat kunjungan, nilai PEF juga dipengaruhi
oleh variasi diurnal sehingga waktu pemeriksaan mungkin dapat mempengaruhi
hasil selain dari cara pasien melakukan maneuver. 32

Pada penelitian ini juga dianalisa hubungan ACT dengan hasil spirometri
berdasarkan jenis kelamin. Berdasarkan uji korelasi pearson diperoleh hubungan
ACT dan FEV1 % prediksi paling kuat pada jenis kelamin laki-laki dibanding
perempuan (r 0.653 vs 0.397 ).

Pada analisis kemampuan ACT dalam memprediksi terdapatnya obstruksi,


didapatkan nilai titik potong ( cut off point) ACT 21,5 dengan sensitifitas 71,4 %
dan spesifisitas 96,3% dengan area under the curve 88,8%. Hasil ini tidak
berbeda jauh dengan hasil penelitian oleh mendoza dkk diperoleh sensitifitas
ACT 92.3%, spesifisitas ACT 90,5% dengan area under curve 0.972 (97.2%).
Nilai prediksi positif 98% dan nilai prediksi negative 79 %. Dengan sensitifitas
dan nilai prediksi positif yang tinggi, ACT merupakan alat screening yang baik
untuk menilai kontrol asma.31

4.3 Keterbatasan
Penelitian ini memiliki keterbatasan, diantaranya, satu.populasi penelitian
yang kecil, hanya dilakukan pada 2 rumah sakit. Sehingga tidak menggambarkan
sejumlah besar populasi masyarakat.

83

Universitas Sumatera Utara


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara asthma control test dengan spirometri untuk mengukur
tingkat kontrol asma, dimana semakin tinggi nilai ACT maka akan diikuti oleh
peningkatan nilai FEV1. Sehingga ACT potensial digunakan dalam praktek klinik
sehari-hari untuk menilai kontrol asma pada tempat pelayanan primer yang tidak
tersedia fasilitas spirometri.

5.2 Saran
Perlunya penelitian lebih lanjut dengan populasi lebih besar, multicenter dan
penelitian yang menghubungkan dengan derajat asma berdasarkan kriteria GINA.

84

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma management and
prevention. 2010. Available at
http://www.ginasthma.org/local/uploads/files/GINA_Report_2010_1.pdf
Diakses tanggal 17 Juni 2015
2. U.S. Department of Health and Human Services. Guidelines for the diagnosis
and management of asthma. 2007
3. Badan Pelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2013. 2013
4. Fanta CH. Diagnosis of asthma in adolescent and adults. 2014. Available at:
http://www.uptodate.com/contents/diagnosis-of-asthma-in-adolescent-and-
adults?source=outline_link&view=text&achor=H1#H1 Diakses tanggal 18
Juni 2015
5. Nathan RA, Sorkness CA, KOsinski M, Schatz M, Li JT, Marcus P, et al.
Development of the asthma control test: a survey for assessing asthma control.
J Allergy Clin Immunol. 2004: h59-66
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma: Pedoman diagnosis dan
tatalaksana di Indonesia. Jakarta. Balai Penerbit Fk UI. 2004.
7. Sundaru H, Sukamto. Asma Bronkial. In: Sudoyo AW, Setitohadi B, Idrus,.
Simadibrata M, Setiati S. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.
Interna Publishing. 2014. p404-414
8. Rengganis I. Diagnosis and Management of bronchial asthma. Maj Kedok
Indon. 2008; 58(11); p445 – 451
9. Martinez FD, Vercelli D. Asthma. 2013. Available at. www.thelancet.com.
Doi: 10.1016/S0140-6736(13)61536-6
10. Barnes PJ. Asthma. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J editor. Harrison’s principles of internal
medicine. 17th edition. The McGraww Hills Companies. 2008
11. Moffat MF, Gut IG, Demenais F, et al. A large-sacle, consortium based
genomewide association study of asthma. N Engl J Med. 2010;363 :h1211-21

85

Universitas Sumatera Utara


12. Busse WW, Lemanske RF. Asthma. N Engl J Med. 2001;344(5) :h350-62
13. Chung KF, Wenzel SE, Brozzek JL, Bush A, Castro M, Sterk PJ, et al.
International ERS/ATS guideline on definition , evaluation and treatment of
severe asthma. Eur Respir J 2014; 43: p343-373
14. Laugheed MD, Lemiere C, Ducharme FM, Licskai C, Dell SD, Rowe BH, et
al. Canadian thoracic society 2012 guideline update: diagnosis and
management asthma in preschoolers, childfren and adults.
15. Fanta CH. Asthma. N Engl J Med. 2009; 360(10) :h1002-14
16. Marinho S, Simpson A, Custovic A. Allergen avoidance in the secondary and
tertiary prevention of allergic disease: does it work? Prim Care Respir J. 2006;
15:h152-58
17. Bergeron C, Tulic MK, Hamid Q. Airway remodelling in asthma: from
benchside to clinical practice. Can Respir J. 2010; 17(4) :he85-e93
18. Nguyen K, Zahran H, Iqbal S, Peng J, Boulay E. Factor associated with
asthma control among adults in five New England States.2006-2007. Journal
of asthma, Early Online. 2011: h1-8
19. Rees J. Asthma control in adults. Bmj. 2006; 332: h767-771
20. Zainudin BM, Lai CKW, Soriano JB, et al. asthma control in adults in asia-
pacific. Respirology. 2005; 10: h 579-586
21. Lai CKW, Kuo SH, Guia TD, et al. asthma control and its direct healthcare
costs: findings using a derived asthma control test score in eight asia-pacific
areas. European respiratory review. 2006; 15: h 24-29
22. McCoy K, Shade DM, Irvin JG, et al. Predicting episodes of poor asthma
control in treated patients with asthma. J allergy clin immunology. 2006; 118:
h 1226-1233
23. Schlegelmich RM, Kramme R. Pulmonary function testing. In: Kramme R,
Hoffmann K, Pozos RS editor. Springer Handbook of Medical Technology.
2011. h95-117

86

Universitas Sumatera Utara


24. Bellamy D. Spirometry in practice: a practical guide to using spirometry in
primary care 2nd edition. London. BTS COPD Consortium. 2005. h3-25
25. Madan D, Singal P, Kaur H. Spirometric evaluation of pulmonary function
tests in bronchial asthma patients. Journal of Exercise Science and
Physiotherapy. 2010; 6(2):h106-111
26. Miller MR, Hankinson J, Brusasco V, Burgos F, Casaburi R, Coates A.
Standardisation of spirometry. Eur Respir J. 2005; 26:h 319-338
27. Johns DP, Pierce R. Spirometry: the measurement and interpretation of
ventilator function in clinical practice. The Thoracic Society of Australia and
New Zealand. 2008. h1-24
28. Schatz M, Sorkness CA, Li JT, Marcus P, Murray JJ, Nathan RA. Asthma
control test: reability, validity, and responsiveness in patients not previously
by asthma specialists. 549-556. J. Allergy CLin Immunol. 2006: h549-556
29. Johnbull J, Olufemi AO, Efosa EG. Comparison of asthma control test (ACT)
and global initiative for asthma (GINA) in the assessment of asthma control
and usefulness of ACT in a resource poor setting. Greener Journal of Medical
Sciences. 2013; 3(2):h65-70
30. Johnbull J, Olufemi AO, Efosa EG. Assessment of asthma control using
asthma control test (ACT) and it relationship with lung function parameters.
Greener Journal of Medical Sciences. 2013; 3(8):h276-282
31. Mendoza M, Cruz BO, Guzman-Banzon AV, Ayuyao FG, De Guia TS.
Comparative assessment of asthma control test (ACT) and GINA
classification including FEV1 in predicting asthma severity
32. Ilyas M, Yunus F, Wiyono WH. Correlation between asthma control test
(ACT) and spirometry as tool of assessing of controlled asthma. J Respir Indo.
2010; 30(4):h190-196
33. Luthfi MF. reliability of asthma control test in assessing bronchial asthma; a
pilot study in Sudanese asthmatic patients. Nelain medical journal. 2011: h 6-
18

87

Universitas Sumatera Utara


34. Nguyen VN, Chavannes N, Le LT, Price D. The Asthma Control Test (ACT)
as an alternative tool to Global Initiative for Asthma (GINA) guideline criteria
for assessing asthma control in Vietnamese outpatients. Prim Care Respir J.
2012; 21(1): h85-89
35. Sigari N, Ghasari H, Rahimi E, Mohammadi S. Validation of Persian version
of asthma control test based on new global initiative for asthma guidelines.
National research institute of tuberculosis and lung disease. 2011; 10(4): h 49-
53
36. Gutierrez FJ, Gallardo JF, Navarro PP, et al. relationship of the asthma control
test (ACT) with lung function, levels of exhaled nitric oxide and control
according to the global initiative for asthma (GINA). Arch broncopneumol.
2010; 467(7): h 370-377
37. Thomas M, Kay S, Pike J, Williams A, rosenzweig JR. The Asthma Control
TestTM (ACT) as a predictor of GINA guideline-defined asthma control:
analysis of a multinational cross-sectional survey. Primary Care Respiratory
Journal. 2009; 18(1): h41-49
38. Bora M, Alpaydin AO, Yorgancioglu A, Akkas G, Isisag A. Does asthma
control as assessed by the asthma control test reflect airway inflammation?.
Multidisciplinary respiratory medicine. 2011;6(5): h 291-298
39. De souse JC, Pina A, Margarida A, Quelhas A, Lobo FA dkk, Asthma control,
quality of life, and the role of patient enablement: a cross-sectional
observational study. Prim Care Respir J 2013; 22(2): 181-187
40. Beckett WS, Jacobs DR, Yu X, Iribarren C, William OD. Asthma is
associated with weight gain in female but not males, independent of physical
activity. Am J respire Crit Care med. 2001; 164: 2045-50
41. Zhou X, Ding FM, Lin TJ, Yin SK. Validity of asthma control test for asthma
control assessment in Chinese primary care setting. Chest. 2009; 135: 904-910
42. Sorkness CA, Schatz M, Li JT, et al. assessing the relative contribution of the
asthma control test and spirometry in predicting asthma control. J allergy
Clin Immunol 2004; 113(suppl):s279s

88

Universitas Sumatera Utara


43. Shirai T, Furuhashi K, suda T, chida K. Relationship of the asthma control
test with pulmonary function and exhaled nitric oxide. Ann Allergy asthma
immunol. 2008; 101:608-613.

89

Universitas Sumatera Utara


Quesioner Asthma Control Test (ACT)

Nama :

No. MR :

Umur :

Jenis kelamin :

No. Pertanyaan 1 2 3 4 5

1. Dalam 4 minggu selalu sering Kadang- Jarang Tidak


terakhir, seberapa kadang pernah
sering penyakit asma
mengganggu anda
dalam melakukan
pekerjaan sehari-hari
di kantor, disekolah
atau dirumah ?

2. Dalam 4 minggu Lebih dari 1 kali 3-6 kali 1-2 kali Tidak
terakhir, seberapa 1 kali sehari seminggu seminggu pernah
sering anda sehari
mengalami sesak
nafas ?

3. Dalam 4 minggu 4 kali atau 1-2 kali 1 kali 1-2 kali Tidak
terakhir, seberapa lebih seminggu seminggu sehari pernah
sering gejala asma seminggu
(bengek, batuk-
batuk, sesak nafas,
nyeri dada atau rasa
tertekan di dada)
menyebabkan anda
terbangun di malam
hari atau lebih awal
dari biasanya ?

4. Dalam 4 minggu > 3 kali 1-2 kali 2-3 kali < 1 kali Tidak
terakhir, seberapa

90

Universitas Sumatera Utara


sering anda sehari sehari seminggu seminggu pernah
menggunakan obat
semprot darurat atau
obat oral untuk
melegakan
pernafasan ?

5. Bagaimana penilaian Tidak Kurang Cukup Terkontrol Terkontrol


anda terhadap tingkat terkontrol terkontrol terkontrol dengan penuh
control asma anda sama baik
dalam 4 minggu sekali
terakhir?

Jumlah Skor :

91

Universitas Sumatera Utara


OUTPUT ANALISIS

Frequency Table

jk

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid L 22 36,1 36,1 36,1

P 39 63,9 63,9 100,0

Total 61 100,0 100,0

suku

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid batak 4 6,6 6,6 6,6

Batak 22 36,1 36,1 42,6

batak karo 1 1,6 1,6 44,3

Bugis 1 1,6 1,6 45,9

Hindia 1 1,6 1,6 47,5


Jawa 3 4,9 4,9 52,5

Mandailing 7 11,5 11,5 63,9

melayu 4 6,6 6,6 70,5

Melayu 10 16,4 16,4 86,9

Minang 7 11,5 11,5 98,4

Sunda 1 1,6 1,6 100,0

Total 61 100,0 100,0

pekerjaan

92

Universitas Sumatera Utara


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid IRT 25 41,0 41,0 41,0

Mahasiswa 2 3,3 3,3 44,3

Pegawai swasta 1 1,6 1,6 45,9

Pelajar 1 1,6 1,6 47,5

Pensiunan PNS 5 8,2 8,2 55,7

perkebunan 1 1,6 1,6 57,4

Petani 4 6,6 6,6 63,9

PNS 12 19,7 19,7 83,6

Supir 1 1,6 1,6 85,2

TNI 1 1,6 1,6 86,9

wiraswasta 5 8,2 8,2 95,1

Wiraswasta 3 4,9 4,9 100,0

Total 61 100,0 100,0

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

umur 61 100,0% 0 0,0% 61 100,0%


bmi 61 100,0% 0 0,0% 61 100,0%
FEV1 61 100,0% 0 0,0% 61 100,0%
FVC 61 100,0% 0 0,0% 61 100,0%
FEV1_FVC 61 100,0% 0 0,0% 61 100,0%
FEF25_75 61 100,0% 0 0,0% 61 100,0%
ACT 61 100,0% 0 0,0% 61 100,0%
FEV1_L 61 100,0% 0 0,0% 61 100,0%
FVC_L 61 100,0% 0 0,0% 61 100,0%

Descriptives

Statistic Std. Error

umur Mean 54,44 1,849

93

Universitas Sumatera Utara


95% Confidence Interval for Lower Bound 50,74
Mean Upper Bound 58,14

5% Trimmed Mean 54,74

Median 56,00

Variance 208,451

Std. Deviation 14,438

Minimum 18

Maximum 88

Range 70

Interquartile Range 17
Skewness -,407 ,306

Kurtosis ,568 ,604


bmi Mean 26,815 ,6428
95% Confidence Interval for Lower Bound 25,529
Mean Upper Bound 28,101
5% Trimmed Mean 26,772
Median 26,800
Variance 25,209
Std. Deviation 5,0208
Minimum 14,0
Maximum 40,0
Range 26,0
Interquartile Range 6,5
Skewness ,126 ,306
Kurtosis ,238 ,604
FEV1 Mean 60,0328 2,47556
95% Confidence Interval for Lower Bound 55,0809
Mean Upper Bound 64,9846
5% Trimmed Mean 59,3324
Median 58,0000
Variance 373,832
Std. Deviation 19,33474
Minimum 22,00
Maximum 121,00
Range 99,00

94

Universitas Sumatera Utara


Interquartile Range 25,00
Skewness ,659 ,306
Kurtosis ,642 ,604
FVC Mean 63,69 3,097
95% Confidence Interval for Lower Bound 57,49
Mean Upper Bound 69,88
5% Trimmed Mean 61,56
Median 63,00
Variance 584,951
Std. Deviation 24,186
Minimum 19
Maximum 176
Range 157
Interquartile Range 28
Skewness 1,892 ,306
Kurtosis 7,187 ,604
FEV1_FVC Mean 78,749 1,8503
95% Confidence Interval for Lower Bound 75,048
Mean Upper Bound 82,450
5% Trimmed Mean 79,445
Median 79,000
Variance 208,830
Std. Deviation 14,4510
Minimum 22,8
Maximum 116,0
Range 93,2
Interquartile Range 15,4
Skewness -,861 ,306
Kurtosis 3,315 ,604
FEF25_75 Mean 44,21 2,733
95% Confidence Interval for Lower Bound 38,75
Mean Upper Bound 49,68
5% Trimmed Mean 43,47
Median 39,00
Variance 455,670
Std. Deviation 21,346

95

Universitas Sumatera Utara


Minimum 5
Maximum 102
Range 97
Interquartile Range 31
Skewness ,519 ,306
Kurtosis -,086 ,604
ACT Mean 15,97 ,638
95% Confidence Interval for Lower Bound 14,69
Mean Upper Bound 17,24
5% Trimmed Mean 15,93
Median 16,00
Variance 24,799
Std. Deviation 4,980
Minimum 7
Maximum 25
Range 18
Interquartile Range 9
Skewness ,032 ,306
Kurtosis -1,066 ,604
FEV1_L Mean 1,4169 ,08998
95% Confidence Interval for Lower Bound 1,2369
Mean Upper Bound 1,5969
5% Trimmed Mean 1,3407
Median 1,2800
Variance ,494
Std. Deviation ,70276
Minimum ,50
Maximum 4,30
Range 3,80
Interquartile Range ,68
Skewness 2,032 ,306
Kurtosis 5,900 ,604
FVC_L Mean 1,8879 ,12255

95% Confidence Interval for Lower Bound 1,6427


Mean Upper Bound 2,1330

5% Trimmed Mean 1,7884

96

Universitas Sumatera Utara


Median 1,7200

Variance ,916

Std. Deviation ,95715

Minimum ,52

Maximum 5,36

Range 4,84

Interquartile Range ,99

Skewness 1,772 ,306

Kurtosis 4,086 ,604

Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.


*
umur ,089 61 ,200 ,974 61 ,215
*
bmi ,053 61 ,200 ,996 61 ,999
*
FEV1 ,092 61 ,200 ,970 61 ,138
FVC ,120 61 ,030 ,865 61 ,000
FEV1_FVC ,113 61 ,050 ,943 61 ,007
FEF25_75 ,105 61 ,094 ,971 61 ,156
ACT ,106 61 ,087 ,957 61 ,031
FEV1_L ,153 61 ,001 ,831 61 ,000
FVC_L ,146 61 ,002 ,851 61 ,000

*. This is a lower bound of the true significance.


a. Lilliefors Significance Correction

97

Universitas Sumatera Utara


Frequency Table

KatBMI

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Underweight 2 3,3 3,3 3,3

Normal 11 18,0 18,0 21,3

Overweight 8 13,1 13,1 34,4

Pre Obese 25 41,0 41,0 75,4


Obese 15 24,6 24,6 100,0
Total 61 100,0 100,0

KatFEV25_75

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Normal 14 23,0 23,0 23,0

Mild Obstruksi 15 24,6 24,6 47,5

Moderate Obstruksi 26 42,6 42,6 90,2

Severe Obstruksi 6 9,8 9,8 100,0

Total 61 100,0 100,0

FEV1/FVC

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Persisten Ringan/Intermitten 29 47,5 47,5 47,5

Persisten Sedang 29 47,5 47,5 95,1

Persisten Berat 3 4,9 4,9 100,0

Total 61 100,0 100,0

98

Universitas Sumatera Utara


DerajatAsma

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Persisten Ringan/Intermitten 7 11,5 11,5 11,5

Persisten Sedang 22 36,1 36,1 47,5

Persisten Berat 32 52,5 52,5 100,0

Total 61 100,0 100,0

katFEV1

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Terkontrol baik 7 11,5 11,5 11,5

terkontrol sebagian 22 36,1 36,1 47,5

tidak terkontrol 32 52,5 52,5 100,0

Total 61 100,0 100,0

katACT

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Terkontrol baik 19 31,1 31,1 31,1

terkontrol sebagian 13 21,3 21,3 52,5


tidak terkontrol 29 47,5 47,5 100,0

Total 61 100,0 100,0

99

Universitas Sumatera Utara


ROC Curve

Notes

Output Created 13-MAR-2016 10:13:05


Comments
Input Data D:\PROJECT\STATISTIK\PENY
DALAM\Efzah\dATA DR eFZAH.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 61
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics are based on all cases with valid
data for all variables in the analysis.
Syntax ROC ACT BY ROC_FEV1 (1)
/PLOT=CURVE(REFERENCE)
/PRINT=SE COORDINATES
/CRITERIA=CUTOFF(INCLUDE)
TESTPOS(LARGE) DISTRIBUTION(FREE)
CI(95)
/MISSING=EXCLUDE.
Resources Processor Time 00:00:01,34

Elapsed Time 00:00:01,84

Case Processing Summary

FEV1 Valid N (listwise)


a
Positive 7
Negative 54

Larger values of the test result


variable(s) indicate stronger
evidence for a positive actual
state.

100

Universitas Sumatera Utara


a. The positive actual state is
Terkontrol.

Area Under the Curve


Test Result Variable(s): ACT

Asymptotic 95% Confidence Interval


a b
Area Std. Error Asymptotic Sig. Lower Bound Upper Bound

,888 ,062 ,001 ,766 1,000

The test result variable(s): ACT has at least one tie between the positive actual state group
and the negative actual state group. Statistics may be biased.
a. Under the nonparametric assumption
b. Null hypothesis: true area = 0.5

101

Universitas Sumatera Utara


Coordinates of the Curve
Test Result Variable(s): ACT
a
Positive if Greater Than or Equal To Sensitivity 1 - Specificity

6,00 1,000 1,000


7,50 1,000 ,981
8,50 1,000 ,944
9,50 1,000 ,870
10,50 1,000 ,796
11,50 1,000 ,722
12,50 1,000 ,667
13,50 1,000 ,593
14,50 1,000 ,519
15,50 1,000 ,463
16,50 1,000 ,407
17,50 ,857 ,389
18,50 ,857 ,315
19,50 ,714 ,259
20,50 ,714 ,130
21,50 ,714 ,037
22,50 ,429 ,037
24,00 ,429 ,019
26,00 ,000 ,000

The test result variable(s): ACT has at least one tie between the positive
actual state group and the negative actual state group.
a. The smallest cutoff value is the minimum observed test value minus 1,
and the largest cutoff value is the maximum observed test value plus 1.
All the other cutoff values are the averages of two consecutive ordered
observed test values.

102

Universitas Sumatera Utara


ACT * FEV1_2 Crosstabulation

FEV1_2

1,00 2,00 Total

ACT >=21,5 Count 5 2 7

% within ACT 71,4% 28,6% 100,0%

% within FEV1_2 71,4% 3,7% 11,5%

<21,5 Count 2 52 54

% within ACT 3,7% 96,3% 100,0%

% within FEV1_2 28,6% 96,3% 88,5%


Total Count 7 54 61

% within ACT 11,5% 88,5% 100,0%


% within FEV1_2 100,0% 100,0% 100,0%

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

FEV1 61 100,0% 0 0,0% 61 100,0%


ACT 61 100,0% 0 0,0% 61 100,0%

Descriptives

Statistic Std. Error


FEV1 Mean 60,03 2,476

95% Confidence Interval for Lower Bound 55,08


Mean Upper Bound 64,98

5% Trimmed Mean 59,33

Median 58,00

Variance 373,832

Std. Deviation 19,335

Minimum 22

Maximum 121

Range 99

103

Universitas Sumatera Utara


Interquartile Range 25

Skewness ,659 ,306

Kurtosis ,642 ,604


ACT Mean 15,97 ,638

95% Confidence Interval for Lower Bound 14,69


Mean Upper Bound 17,24

5% Trimmed Mean 15,93

Median 16,00

Variance 24,799

Std. Deviation 4,980

Minimum 7

Maximum 25

Range 18

Interquartile Range 9

Skewness ,032 ,306

Kurtosis -1,066 ,604

Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.


*
FEV1 ,092 61 ,200 ,970 61 ,138
ACT ,106 61 ,087 ,957 61 ,031

*. This is a lower bound of the true significance.


a. Lilliefors Significance Correction

104

Universitas Sumatera Utara


Nonparametric Correlations

Notes

Output Created 13-MAR-2016 11:23:40


Comments
Input Data D:\PROJECT\STATISTIK\PENY
DALAM\Efzah\dATA DR eFZAH.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data
61
File
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated
as missing.
Cases Used Statistics for each pair of variables are
based on all the cases with valid data
for that pair.
Syntax NONPAR CORR
/VARIABLES=FEV1 ACT
/PRINT=SPEARMAN TWOTAIL
NOSIG
/MISSING=PAIRWISE.
Resources Processor Time 00:00:00,00

Elapsed Time 00:00:00,00


a
Number of Cases Allowed 174762 cases

a. Based on availability of workspace memory

105

Universitas Sumatera Utara


Correlations

FEV1 ACT
**
Spearman's rho FEV1 Correlation Coefficient 1,000 ,447

Sig. (2-tailed) . ,000

N 61 61
**
ACT Correlation Coefficient ,447 1,000

Sig. (2-tailed) ,000 .

N 61 61

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

106

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai