Oleh:
Abrianto Pappuangan
NIM 011418066308
Pembimbing:
Prof. Dr. Nancy Margarita Rehatta, dr. SpAn KNA KMN
Dedi Susila, dr. SpAn KMN
i
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Karya Akhir
Oleh:
NIM : 011418066308
Karya Akhir
Oleh :
NIM : 011418066308
NIM : 011418066308
Universitas Airlangga
Dengan ini menyatakan bahwa karya akhir dengan judul Pengaruh Penggunaan
Kombinasi Pecs Block dan General Anestesi Terhadap Nyeri Postoperatif
Prosedur Modified Radical Mastectomy Pasien Ca Mammae di GBPT RSUD
Dr. Soetomo Surabaya belum pernah dipublikasikan pada jurnal ilmiah di
tingkat Nasional / Internasional sebelumnya serta tidak mengandung unsur plagiat
di dalamnya.
Demikian pernyataan ini dibuat dalam keadaan sadar dan tanpa unsur paksaan dari
siapapun.
Surabaya, 7 November 2019
Peneliti,
ABSTRAK
Latar Belakang : Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang
sering terjadi pada perempuan di Indonesia. Kanker payudara memiliki kontribusi
sebesar 30% dan merupakan jenis kanker yang paling mendominasi di Indonesia.
Prosedur modified radical mastectomy (MRM) untuk penanganan kanker
payudara adalah salah satu prosedur operasi di bidang bedah onkologi yang paling
sering dilakukan serta memiliki tingkat nyeri perioperatif yang tinggi. Teknik
anestesi regional telah terbukti memberikan kualitas kontrol nyeri akut
perioperatif yang lebih baik dari pada anestesi general, sehingga kejadian nyeri
kronis juga lebih sedikit. Penelitian ini mencoba untuk membandingkan
kombinasi GA dan Pecs block dan GA saja terhadap nyeri postoperatif pada
prosedur MRM pasien kanker payudara.
Metode : Penelitian prospektif eksperimental dengan desain double blind
randomized dilakukan pada 50 pasien yang menjalani operasi MRM elektif di
RSUD Dr Soetomo Surabaya. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
menjalani operasi MRM. Kelompok A akan mendapatkan kombinasi GA dan
Pecs block dan kelompok B hanya dilakukan GA. Kemudian dilakukan
pengukuran skala nyeri post operasi menggunakan WBFS pada jam ke 3, 6, 9 dan
24 serta melihat perlu tidaknya diberikan rescue analgesia tambahan post operasi.
Hasil : Tidak ada perbedaan bermakna karakteristik subyek penelitian pada kedua
kelompok (p>0.05). Skor nyeri WBFS pada jam ke 3, 6, 9 dan 24 post operasi
secara signifikan lebih rendah pada kelompok A (p<0.001). Penggunaan rescue
analgesia berupa fentanyl intravena secara signifikan lebih banyak pada grup B
(p<0.001) dan waktu yang diperlukan untuk penggunaan rescue analgesia juga
secara signifikan lebih cepat pada kelompok B (p<0.001).
Kesimpulan : Kombinasi GA dan Pecs block akan menurunkan skor nyeri post
operasi MRM hari pertama dan mengurangi penggunaan rescue analgesia post
operasi.
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan
rahmatNya sehingga sampai detik ini kita diberikan nafas untuk tetap berkarya
dan bermanfaat bagi sesama. Atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya
bantuan selama proses penyusunan penelitian ini, yaitu kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. dr. Nancy Margarita Rehatta, Sp.An, KNA, KMN selaku dosen
2. dr. Dedi Susila, Sp.An, KMN selaku dosen pembimbing kedua atas saran dan
3. Dr. dr. Arie Utariani, Sp.An, KAP dan Dr. dr. Hamzah, Sp.An, KNA masing-
masing selaku ketua program studi PPDS-1 Anestesiologi dan Terapi Intensif
vii
Soetomo Surabaya.
5. Guru besar dan staf senior di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK
Unair / RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang dengan segala kesabaran dan cinta
7. Kedua orang tua saya, ayahanda Dr. Demmarrapa, M.Si, dan ibunda Ir.
dengan doa dan kasih sayang telah memberikan dorongan moril dan materil
kasih terkhusus teman-teman seangkatan saya : MDR, YOS, HUD, LUN, JPS,
Akhir kata, mohon maaf kepada semua pihak atas segala kesalahan. Semoga
hasil penelitian ini dapat berguna bagi pengembangan ilmu. Semoga Tuhan Yang
Maha Kuasa selalu melimpahkan berkat dan rahmatNya kepada kita semua.
Amin.
Penulis
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK …………………………………………………………………. v
LAMPIRAN ………………………………………………………………. 50
xi
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN
PENDAHULUAN
Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang sering terjadi pada
kanker leher rahim atau kanker serviks yang berkontribusi sebesar 24%. Penderita
peningkatan beban ekonomi karena biaya yang harus ditanggung cukup besar.1
paling banyak diderita oleh penduduk usia produktif di Jawa Timur dengan
pertama pada sepuluh besar penyakit kanker yang ditemukan dan diobati di
permasalahan mengenai kanker payudara tersebut juga terlihat dari jumlah kasus
yang masih tinggi pada setiap tahunnya. Jumlah kasus kanker payudara di rumah
sakit pusat rujukan untuk wilayah Indonesia bagian timur tersebut mengalami
peningkatan pada dua tahun terakhir, yaitu sebanyak 491 kasus pada tahun 2012
penanganan kanker payudara adalah salah satu prosedur operasi di bidang bedah
1
2
onkologi yang paling sering dilakukan, dimana selama tahun 2017 rata-rata
terdapat 10-20 prosedur MRM dikerjakan setiap bulan di Gedung Bedah Pusat
mengurangi nyeri dan komplikasi post operasi dengan tingkat keamanan yang
Prosedur MRM adalah salah satu prosedur operasi dengan tingkat nyeri
perioperatif yang tinggi.5 Nyeri ini berasal dari kerusakan otot dan saraf selama
pembedahan.6 Bila tidak ditangani dengan baik, 40% wanita yang menjalani
operasi kanker payudara akan mengalami nyeri akut post operasi yang berat,
kualitas hidup yang terganggu.5 Oleh karena itu manajemen nyeri perioperatif
yang baik diperlukan untuk mencegah terjadinya nyeri kronis pada pasien. Teknik
perioperatif yang lebih baik dari pada anestesi general, sehingga kejadian nyeri
kronis juga lebih sedikit. Hal ini dicapai oleh teknik anestesi regional melalui
akibat opioid.6
thorakal (TPVB), blok saraf intercostal, blok interpleura, blok interscalene dan
infiltrasi lokal telah digunakan untuk anestesi dan/atau analgesia untuk operasi
kanker payudara.6 TPVB telah terbukti mampu memberikan analgesia yang lebih
baik dari pada teknik anestesi regional yang lain dan terdapat bukti bahwa TPVB
maupun merasa nyaman untuk melakukannya. Pectoral nerve block (Pecs block)
adalah teknik blok yang kurang invasif yang pertama kali dijelaskan oleh Blanco
et al. Pecs block merupakan blok interfascial plane yang terdiri dari blok Pecs I
dimana obat anestesi diberikan pada daerah di antara otot pectoralis mayor (PMm)
dan pectoralis minor (Pmm) dan blok Pecs II dimana obat anestesi diberikan
diatas otot seratus anterior pada tulang iga ketiga. Teknik ini akan memblok saraf
Berdasarkan penelitian dari Kulhari et al., Pecs block memberikan analgesia post
operasi yang lebih baik dari pada TPVB, sehingga Pecs block merupakan pilihan
penanganan nyeri post operatif pada operasi MRM. Pada penelitian tersebut
memperlihatkan nilai VAS yang lebih rendah dan penggunaan analgetik post op
yang lebih sedikit secara signifikan pada kelompok kombinasi anestesi umum dan
Pecs block dibandingkan dengan kelompok sampel yang hanya dilakukan anestesi
bilateral Pecs block pada manajemen nyeri post operatif pasien post pembedahan
jantung. Pada penelitian ini didapatkan nilai VAS post operatif yang lebih rendah
secara signifikan pada kelompok pasien yang dilakukan Pecs block.13 Bashandy
dan Abbas (2015) melakukan suatu randomized clinical trial pada dua kelompok
kelompok dengan anestesi umum dan kelompok anestesi umum kombinasi Pecs
block, dan hasilnya kelompok dengan kombinasi Pecs block memperlihatkan nilai
4
VAS post operatif yang lebih rendah, penggunaan fentanyl durante dan morfin
selama tahun 2017 teknik ini hanya pernah dilakukan satu kali.4 Oleh karena itu
penelitian ini diadakan, selain untuk memperkenalkan prosedur Pecs block juga
dengan anestesi umum dan anestesi umum saja pada operasi MRM. Outcome
primer dari penelitian ini adalah nilai skor nyeri yang diukur menggunakan Wong
Baker Faces Scale (WBFS) hari pertama post operasi pada pasien yang mendapat
kombinasi anestesi umum dan Pecs block preoperasi dengan pasien yang hanya
mendapat anestesi umum saja. Pengukuran sekunder pada penelitian ini adalah
terhadap nyeri post operasi MRM pada pasien Ca Mammae di RSUD dr Soetomo
Surabaya?
nyeri post operatif pada pasien Ca Mammae post MRM di RSUD dr Soetomo
Surabaya.
5
manajemen anestesi.
TINJAUAN PUSTAKA
Nyeri telah didefinisikan oleh banyak peneliti dan bervariasi sejak 100 tahun
yang lalu. Definisi yang paling banyak dianut adalah pernyataan asosiasi
for the Study of Pain) . IASP mendefinisikan nyeri sebagai perasaan indrawi yang
tidak nyaman dan pengalaman emosional yang terkait dengan kerusakan jaringan
perifer, kemudian tahap transmisi dan diakhiri tahap integrasi. Nociceptor secara
fisiologis dibagi dalam 2 kelompok (Gambar 2.1), serabut afferent A-δ yang
konduksi. Kecepatan hantaran impuls melalui serabut saraf A-δ sekitar 5-30
kecil dan tidak dibungkus myelin, sehingga kecepatan konduksinya lebih lambat,
akibat kerusakan sel dan pembuluh darah kapiler. Selanjutnya mediator biokimia
7
8
nociceptor pada serabut afferent A-δ dan C.14,15 Kemudian rangsang nyeri
nyeri, respon perilaku dan afektif, memori dan pembelajaran terhadap rangsang
nyeri. Respon perilaku, afeksi dan memori terhadap rangsang nyeri diatur oleh
sistim limbic yang terdiri dari bagian-bagian dari thalamus, hypothalamus, gyrus
Gambar 2.2. CNS pathways dari sensasi nyeri. Warna merah jalur
ascending, warna biru jalur descending.16
Dalam hal ini tidak ada keterlibatan atau keharusan bahwa seseorang dalam
1. Transduction (transduksi)
Perubahan satu bentuk energi ke bentuk energi yang lain (Gambar 2.3). Hal ini
2. Transmission (transmisi)
informasi dari satu permukaan sel ke sel yang lain. Skema beberapa jalur
3. Modulation (modulasi)
Penentuan (respon akhir) dari berbagai kejadian di atas melalui up atau down
4. Persepsi
Setelah melalui jalur nyeri yang cukup rumit, maka otak dan spinal cord
yang diperoleh sebelum terjadi stimulus nyeri sangat berpengaruh, oleh karena
sebuah rangsangan.
fungsi paru, yaitu penurunan kapasitas vital (VC), volume tidal (VT), volume
residual (RV), kapasitas residual fungsional (FRC) dan volume ekspirasi dalam
satu detik (FEV). Terjadi juga peningkatan tonus otot abdomen dan penurunan
splinting otot pernafasan, kesulitan bernafas dalam atau batuk-batuk kuat, dan
sehingga terjadi peningkatan resiko iskemi otot jantung. Resiko trombosis vena
tumor necrosis factor alpha (TNF-a) dan lain-lain menunjukkan hubungan positif
dengan persepsi rasa sakit di antara sampel RA, osteoarthritis, pasien nyeri
sangat cepat terbentuk dan proses peradangan dapat terjadi dalam jangka
panjang.21,22
mekanisme yang paling banyak diteliti . Pada kondisi stres, aksis HPA meningkat
Anestesia umum membuat pasien tidak sadar dan tidak merasakan nyeri
selama prosedur pembedahan. Penilaian nyeri pada pasien yang sudah dilakukan
anestesi umum itu tidak mudah. Walaupun ada banyak metode yang dapat
digunakan untuk menilai dan mengatasi nyeri seperti Critical care Pain
Observation Tool (CPOT) dan Post Anesthesia Care Unit (PACU) behavioural
pain ratong scale, namun masih merupakan tantangan bagi sebagian besar ahli.
Mark dan Sacher menuliskan 73% pasien dengan nyeri yang tidak tertangani
14
dengan baik. Apfelbaum (2003) melaporkan ada 80% pasien yang menjalani
kardiovaskuler terhadap stres nyeri akan menyebabkan banyak efek yang tidak
diinginkan selama periode intra dan post operatif. Secara psikologis, nyeri yang
tidak tertangani secara adekuat akan menyebabkan pasien akan berperilaku negatif
dan akhirnya menjadi ragu untuk berobat bila mengalami masalah kesehatan di
pertama harus dilakukan untuk mengatasi nyeri saat pembedahan adalah dengan
memastikan bahwa nyeri yang dialami pasien dapat dinilai dengan baik.23
Respon nyeri fisiologis dan behavioural merupakan salah satu dari indikator
nyeri nonverbal yang digunakan untuk menilai nyeri pada pasien yang mengalami
menggunakan indikator nyeri behavioural untuk menilai nyeri pada pasien critical
ill yang tidak sadar di ruang perawatan intensif. Tiap indikator behavioural diberi
skor 0-2 tergantung pada respon pasien. Total skor minimal 0 mengindikasikan
tidak ada nyeri dan total skor maksimum 8 mengindikasikan nyeri yang sangat
berat. Akan tetapi, penggunaan sedasi dalam dan relaksan otot pada saat
intraoperatif.23
15
denyut nadi, laju nafas) dan behavioural (ekspresi wajah, tekanan otot, dan
pergerakan tubuh). Tiap item diberikan angka 1-3. Total skor minimal 6
menandakan tidak ada nyeri dan skor 18 menandakan nyeri yang berat. Intinya,
behavioural, dan intensitas nyeri diberi skor 6 (tidak nyeri), 7-8 (nyeri sedang), 9-
merupakan salah satu indikator dari nyeri pada pasien dengan anestesi umum.
Secara tidak langsung, kondisi kulit yang lembab dan lengket juga merupakan
indikator nyeri yang relevant. Faktor lain yang berkontribusi untuk sensitisasi
tubuh merupakan indikator nyeri lainnya. Respon yang berhubungan dengan mata
seperti reaksi pupil dan keluarnya air mata dikatakan juga sebagai indikator yang
Perbedaan antara nyeri dan respon kedalaman anestesi yang tidak adekuat
modern seperti CSM, yang dapat melihat tingkat hipnosis otak melalui akuisisi
intensitas nyeri akan dinilai. Interpretase CSM yaitu 90-100 (kondisi sadar), 80-90
aktivasi sistem simpato adrenal yang menyebabkan peningkatan laju jantung dan
hipertensi pasca bedah (berkisar 5% setelah operasi minor dan 50% setelah bedah
redistribusi aliran darah ke otak dan jantung, dan 4) Hipoperfusi renal akibat
Ketidakmampuan untuk menilai suatu nyeri terutama nyeri akut pasca bedah
Amerika, alasan utama nyeri tidak tertangani dengan baik adalah kegagalan
seorang klinisi untuk menilai nyeri dan mengatasinya. Nyeri selalu bersifat
subjektif, sehingga apa yang disampaikan oleh pasien harus dinilai sebagai
indikator nyeri yang paling akurat. Tanda-tanda objektif berupa tanda fisis dan
behavioural tetap tidak dapat menggantikan tanda berupa keluhan pasien sendiri
yang dianggap paling efisien yang telah digunakan dalam penelitian dan
penelitian yang dilakukan untuk menilai intensitas nyeri pasca operasi, skala yang
digunakan adalah rekombinasi antara VAS dan NRS. VAS juga sering digunakan
untuk menilai nyeri pada pasien untuk dapat memperoleh sensitivitas obat pada uji
coba obat analgetik. Dalam penggunaan VAS terdapat beberapa keuntungan dan
kerugian yang dapat diperoleh. Keuntungan penggunaan VAS antara lain VAS
adalah metode pengukuran intensitas nyeri paling sensitif, murah dan mudah
dibuat. VAS mempunyai korelasi yang baik dengan skala-skala pengukuran yang
lain dan dapat diaplikasikan pada semua pasien serta VAS dapat digunakan untuk
mengukur semua jenis nyeri. Namun kekurangan dari skala ini adalah VAS
memerlukan pengukuran yang lebih teliti dan sangat bergantung pada pemahaman
pectoralis lateral dan nervus pectoralis medial dimana nervus pectoralis lateral
berjalan dari korda lateral pleksus brachialis dan melalui nervus cervical 5,6,7.
Nervus pectoral medial berjalan dari korda medial pleksus brachialis. Nervus ini
berasal dari akar C8 dan T1, melewati dorsal dari bagian pertama arteri axillaris,
berjalan di antara arteri dan vena axillaris kemudian membentuk ansa pectoralis,
terdistrubusi ke bagian dalam dari otot pectoralis mayor dan menginervasi sisi
clavicular. Nervus pectoralis lateral memiliki serabut saraf yang sensitif dan
dan kapsul articular anterior dari sendi bahu dan ligamentum costoclavicular.28
pectoralis minor, yang kemudian terbagi menjadi beberapa cabang. Dua atau tiga
cabang menembus otot dan berakhir di otot pectoralis mayor dan mempersarafi
inferolateral otot pectoralis mayor, aspek ventral lengan dan dinding dada sisi
A B
Gambar 2.6 A. Posisi probe dan arah jarum saat Pec I block. B. Gambaran
ultrasound Pecs I block.28
A B
Gambar 2.7 A. Posisi probe dan arah jarum saat Pec II block. B. Gambaran
ultrasoundPecs II block.28
20
Pecs block merupakan suatu teknik blok fasia sederhana yang dilakukan di
lapisan otot pektoralis. Pecs I block adalah blok di antara dua otot pektoralis dekat
memblok nervus pektoralis lateral dan mayoritas cabang dari nervus pektoralis
prosesus korakoid dengan fokus pandang transversal otot pektoralis minor. Jarum
block adalah pemberian anestesi lokal ke daerah lebih dalam dan lateral dari otot
dari kosta ke-2 hingga ke-5 dan memberikan blok cabang lateral nervus
Keterangan:
21
22
timbulnya nyeri akut perioperatif. Nyeri yang bersumber dari proses pembedahan
terdiri dari 4 aspek sistem, yaitu (1) Immune System; (2) Neurologic System; (3)
Sistem kognitif, behaviour dan motorik; (4) Endokrine system. Mekanisme aspek
pertama dan kedua berawal dari nociceptor sebagai sensor penangkap nyeri yang
related peptide (CGRP), neurokinin A (NKA), dan peptida lain serta Nitric Oxide
(NO) yang semua itu akan berkontribusi pada proses inflamasi. Melalui jalur
peningkatan dari kadar protein C-reaktif, TNF-α, IL-1,IL-2, IL-6, IL-8, IL-10, dan
kimia lain yang mendukung proses keradangan sehingga dapat timbul gejala
Aspek berikutnya berupa respon dari sistem kognitif, behaviour dan motorik
pada nyeri. Baku emas dari penilaian aspek ini adalah dengan sistem “self
reporting” dimana pasien melaporkan skala nyeri yang dirasakan kepada dokter
setelah operasi.
Aspek endokrine system bermula dari stimulasi nyeri pada nociceptor yang
dan korteks serebri, proses inflamasi di jaringan akan mengaktifkan aksis HPA
circuit, serta juga memicu pelepasan sitokin proinflamasi dari berbagai sel-sel
kekebalan tubuh dan medula adrenal. Semua ini mengaktifkan PVN , yang
biasanya merespon irama diurnal dan terkait dengan kadar sirkulasi pada kortisol .
sirkulasi portal. Hal ini merangsang hipofisis anterior dan menyebabkan pelepasan
pada korteks adrenal. Kortisol memiliki efek luas pada berbagai macam organ
sasaran. Oleh karena itu kortisol mempunyai sistem umpan balik negatif (negative
feedback), kortisol memberikan umpan balik untuk PVN dan hipofisis anterior,
3.2 Hipotesis
METODE PENELITIAN
X0 P O0 O2 O4 O6
S R
X1 P O1 O3 O5 O7
Keterangan :
S : Sampel penelitian
R : Randomisasi
24
25
Soetomo, Surabaya pada periode Mei-Juli 2019 sampai dengan jumlah sampel
terpenuhi.
Kriteria inklusi:
1. Pasien wanita usia 18-65 tahun dengan operasi MRM unilateral elektif
Kriteria eksklusi:
5. Gangguan psikiatri
durante operasi
(µ1- µ2)2
β : 0,20 Zβ = 0,84
sebelumnya (5,2)
(1,7)
27
karena itu peneliti bulatkan menjadi 50 orang sehingga untuk setiap kelompok
bentuknya sama, ditutup dan diberi kode. Kode untuk saline dan ropivacaine tidak
diberitahukan kepada pasien dan pengambil data. Kode disimpan oleh peneliti
saja.
Variabel bebas ada dua yaitu kombinasi Pecs block dan GA serta GA sendiri.
mendapat GA saja. Malam hari sebelum operasi, semua pasien akan mendapat
consent. Pasien juga mendapat Lorazepam 0,5 mg per oral sebelum tidur pada
konsultan anestesi regional dengan guiding USG. USG yang digunakan adalah
merk Sonosite dengan probe linear (5-12 MHz), dengan kedalaman gambar 4-6
cm. Sebelum blok, dilakukan disinfeksi daerah infraklavikular dan axillar dengan
Povidone Iodine 10% dan Alkohol 70%. Probe USG diletakkan dibawah
klavikula sepertiga lateral. Setelah struktur anatomi yang diperlukan untuk blok
dilakukan dengan jarum Stimuplex no. 100. Jarum dimasukkan hingga bidang
diantara PMm dan Pmm disekitar cabang pektoralis dari arteri acromiothoracic,
diinjeksikan pada sela iga ketiga diatas otot seratus anterior dengan tujuan
penyebaran obat ke aksila. Setelah prosedur Pecs block selesai dilakukan, pasien
pasien dibawa ke ruang operasi untuk dilakukan prosedur bius umum. Pada
30
dengan standar ASA. Prosedur bius umum pada penelitian ini menggunakan GA
mcg/kgBB IV, propofol 1-2 mg/kgBB IV dan rocuronium 0,6-1 mg/kgBB IV.
basal. 30 menit sebelum operasi selesai, saat operator sedang menjahit kulit,
dan Sulfas Atropine 0,02 mg/kgBB IV. Pasien diekstubasi setelah dapat merespon
Post-operatif
Setelah pasien turun di ruang pulih sadar, monitor sesuai standar ASA
WBFS pada jam ke 3, 6, 9 dan 24 jam. Data yang dikumpukan dalam penelitian
- Informed consent
- Lorazepam 0,5 mg po malam hari preop
- Midazolam 2 mg di ruang premedikasi
GA intubasi:
- Induksi:
- Fentanyl 1-2 mcg/kgBB
- Propofol 1-2 mg/kgBB
- Rocuronium 0,6-1mg/kgBB
- Maintenance:
- O2+isoflurane 1,5 Vol%
- Fentanyl 1 mcg/kgBB k/p
Untuk menguji hipotesis penelitian ini digunakan uji komparasi. Data diolah
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dalam waktu 7 bulan pada periode Maret 2019
usia 18-65 tahun yang menjalani operasi MRM di GBPT RSUD Dr. Soetomo
kelompok yang mendapatkan GA dan pectoralis block dan kelompok yang hanya
profil demografi fisik pasien, yang meliputi umur, body mass index (BMI),
data dilakukan uji normalitas dengan uji Shapiro Wilk sebelum dilakukan analisis
statistik dengan independent t test. Dari semua data yang dilakukan uji normalitas
didapatkan bahwa hanya umur dan BMI yang berdistribusi normal dan analisis
Whitney U test.
Pada Tabel 5.1 tentang distribusi demografi menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan bermakna pada variabel usia, jenis kelamin, BMI, stadium Ca Mammae
33
34
menunjukkan bahwa variabel usia, BMI, stadium Ca dan PS pada data penelitian
Rerata usia pasien dalam kelompok GA+Pecs block adalah 48.08 + 10.44
tahun dengan usia paling muda 28 tahun dan usia paling tua 65 tahun. Pasien
dalam kelompok GA memiliki usia rerata 52.72 + 9.90 tahun dengan usia paling
Rerata BMI pasien dalam kelompok GA+Pecs block adalah 25.82 +4.63
dengan BMI paling rendah 19 dan paling tinggi 38.5. Pasien dalam kelompok GA
memiliki rerata BMI 23.93 + 3.15 dengan BMI paling rendah 19.3 dan paling
tinggi 32.
35
Rerata skor PS pasien dalam kelompok GA+Pecs block adalah 25.82 +4.63
dengan BMI paling rendah 19 dan paling tinggi 38.5. Pasien dalam kelompok GA
memiliki rerata BMI 23.93 + 3.15 dengan BMI paling rendah 19.3 dan paling
tinggi 32.
(4%).
Hasil perbandingan skor nyeri post operasi yang dinilai dengan WBFS pada
kedua kelompok yang diamati pada penelitian ini, sesuai dengan Tabel 5.2,
(p<0.001).
Pada jam ke 3 post operasi, rata-rata skor nyeri pada kelompok GA+Pecs
block adalah 0 + 0 pada kondisi statis dan 1 + 0 pada kondisi dinamis, sedangkan
pada kelompok GA, rerata skor nyeri adalah 0.56 + 0.507 pada kondisi statis dan
2.12 + 1.013 pada kondisi dinamis. Secara statistik, terdapat perbedaan bermakna
36
(p<0.001) antara skor nyeri pada kelompok GA+Pecs block dibandingkan dengan
Pada jam ke 6 post operasi, rata-rata skor nyeri pada kelompok GA+Pecs
block adalah 0 + 0 pada kondisi statis dan 1 + 0 pada kondisi dinamis, sedangkan
pada kelompok GA, rerata skor nyeri adalah 1.96 + 1.020 pada kondisi statis dan
4.12 + 1.301 pada kondisi dinamis. Secara statistik, terdapat perbedaan bermakna
(p<0.001) antara skor nyeri pada kelompok GA+Pecs block dibandingkan dengan
Pada jam ke 9 post operasi, rata-rata skor nyeri pada kelompok GA+Pecs
block adalah 0.24 + 0.436 pada kondisi statis dan 1.48 +0.872 pada kondisi
dinamis, sedangkan pada kelompok GA, rerata skor nyeri adalah 2.92 + 0.400
pada kondisi statis dan 5.40 + 1.000 pada kondisi dinamis. Secara statistik,
GA+Pecs block dibandingkan dengan kelompok GA, baik itu skor nyeri statis
maupun dinamis.
Pada jam ke 24 post operasi, rata-rata skor nyeri pada kelompok GA+Pecs
block adalah 0.88 + 0.332 pada kondisi statis dan 2.76 + 0.663 pada kondisi
dinamis, sedangkan pada kelompok GA, rerata skor nyeri adalah 2.56 + 0.821
pada kondisi statis dan 4.48 + 0.872 pada kondisi dinamis. Secara statistik,
GA+Pecs block dibandingkan dengan kelompok GA, baik itu skor nyeri statis
maupun dinamis.
37
0
Jam ke 3 Jam ke 6 Jam ke 9 Jam ke 24
GA+Pecs Block GA
GA+Pecs Block GA
yang diamati pada penelitian ini, sesuai dengan tabel 5.3, menunjukkan perbedaan
pada kelompok GA, 22 (88%) subjek membutuhkan rescue analgesia dan hanya 3
(12%) subjek yang tidak membutuhkan. Hasil ini memperlihatkan perbedaan yang
25
20
15
10
0
GA+Pecs Block GA
pada kedua kelompok yang diamati pada penelitian ini, sesuai dengan tabel 5.4,
Pada kelompok GA+Pecs block, waktu yang dibutuhkan oleh subjek untuk
diberikan opiod sebagai rescue analgesia yaitu 21 jam post operasi. Nilai ini
hanya membutuhkan rata-rata 10 jam post operasi untuk pemberian opiod sebagai
rescue analgesia.
40
PEMBAHASAN
yang meliputi umur, body mass index (BMI), stadium Ca Mammae, dan skor
physical status (PS) yang diambil pada kedua kelompok adalah homogen dan
perbedaan bermakna pada variabel umur, body mass index (BMI), stadium Ca
Mammae, dan skor physical status (PS) pada kedua kelompok (bermakna bila p <
0,05, dengan CI 95%), hal ini menunjukkan tidak akan ada bias hasil penelitian
GA dan Pectoralis Block dan kelompok yang hanya mendapatkan GA. Masing -
masing kelompok terdiri dari 25 pasien. Seluruh subjek memenuhi kriteria inklusi
pada kelompok GA+Pecs block 48.08 + 10.44 dan rerata pada kelompok GA
52.72 + 9.90 dengan distribusi data umur yang normal (p=0,113). Hal ini sesuai
41
42
mendapatkan rerata umur 56,0 + 12,7 dan 60,6 + 10,9 dengan distribusi data yang
juga normal.
Pada penelitian ini didapati rerata BMI kelompok GA + Pecs block 25,82 +
4,63 dan pada kelompok GA 23,93 + 3,15 dengan distribusi data yang normal.
Hal ini sesuai dengan penelitian Morioka et all (2015) yang mendapatkan rerata
BMI kelompok GA + Pecs block 22,5 + 2,8 dan pada kelompok GA 23,8 + 2,8
dengan distribusi data yang juga normal. Distribusi data BMI pada kedua
didapati distribusi data normal dangan nilai p=0,375. Distribusi data yang normal
juga di di dapatkan pada penelitian oleh Senaphati et all (2018) dengan rerata skor
GA + Pecs block dan GA didapati distribusi data normal dangan nilai p=0,544.
Berbeda dengan penelitian ini yang mana subjek didominasi oleh PS 1 (60%),
pada penelitian Senaphati et all (2018) subjek penelitian lebih banyak PS 2 (72%).
43
Pada penelitian ini rerata skor nyeri statis pada kelompok GA + Pecs block
sampai dengan 6 jam pertama didapati 0. Nyeri baru didapati setelah 9 jam post
operasi dengan rerata 0,24 + 0,432 dan hanya meningkat sedikit pada 24 jam post
operasi dengan nilai 0,88 + 0,332. Sedangkan pada kelompok GA didapati rerata
skor nyeri statis 0,56 + 0,507 sejak 3 jam pertama post operasi dan meningkat 3,5
Pecs block. Dengan nilai statis kelompok GA berturut - turut, 6 jam post operasi
1,96 + 1,020, 9 jam post operasi 2,91 + 0.4 dan 24 jam post operasi 2,56 + 0,821.
masing 25 subjek pada setiap kelompoknya, juga mengambil data nyeri pada jam
pada 3 jam pertama post operasi, 2,7x lebih besar pada 6 jam post operasi, 1,26x
lebih besar pada 9 jam post operasi, 1,46x lebih besar pada 24 jam post operasi.
Walaupun kejadian nyeri tetap tinggi sampai dengan 24 jam post operasi, akan
Berbeda dengan penelitian ini, pola nyeri relatif tetap tinggi mulai dari 3 jam
Demikian juga pada rerata skor nyeri dinamis, pada kelompok GA + Pecs
setelah 9 jam post operasi dengan rerata 1,48 + 0,872 dan pada 24 jam post
operasi 2,76 + 0,663. Pada kelompok GA didapati rerata skor nyeri dinamis lebih
tinggi sejak awal yaitu 2,12 + 4,12 dalam 3 jam pertama post operasi dan
44
meningkat pada 6 jam post operasi 4,12 + 1,301 dan 9 jam post operasi 5,40 +
1,000 tetapi menurun pada 24 jam post operasi 4,48 + 0,872. Hal ini menunjukan
kelompok GA + Pecs block secara keseluruhan menghasilkan nilai nyeri statis dan
Seluruh nilai p perbandingan skor nyeri statis dan dinamis antara kelompok
GA + Pecs block dan GA di dapati <0.05, hal ini menunjukkan uji analisa statistik
Dari total 25 subjek pada masing - masing kelompok pada penelitian ini,
hanya 1 (4%) pasien dari kelompok GA + Pecs block yang membutuhkan rescue
menemukan konsumsi opioid (morfin) yang lebih rendah secara signifikan pada
saja.
digunakan dalam penelitian ini hanya dilakukan pada jenis operasi modified
7.1 Kesimpulan
mengurangi kejadian nyeri post operasi di bandingkan dengan GA, sehingga dapat
7.2 Saran
jenis operasi lain sehingga efektifitas pecs block dalam manajemen nyeri post
46
DAFTAR PUSTAKA
http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=1937
2018, http://www.bappeda.jatimprov.go.id/2011/04/03
8. Exadaktylos AK, Buggy DJ, Moriarty DC, Mascha E, Sessler DI. Can
47
48
10. Blanco R. The “pecs block”, a novel technique for providing analgesia after
13. Kumar KN, Kalyane RN, Sing NG. Efficacy of bilateral pectoralis nerve
14. Bashandy GM, Abbas DN. Pectoral nerves I and II blocks in multimodal
analgesia for breast cancer surgery; a randomized clinical trial. Reg Anesth
of Chronic Pain Syndromes and Definitions of Pain Terms. 2nd ed. Seattle,
16. Terman GW, Bonica JJ. Spinal mechanisms and their modulation. In:
Loeser JD, Butler SH, Chapman CR, Turk DC, eds. Bonica’s Management
of Pain. 3rd ed. Baltimore, MD: Lippincott Williams & Wilkins; 2001:73-
152.
49
17. Byers M, Bonica JJ. Peripheral pain mechanisms and nociceptor plasticity.
In: Loeser JD, Butler SH, Chapman CR, et al, eds. Bonica’s Management of
Pain. 3rd ed. Baltimore, MD: Lippincott Williams & Wilkins; 2001:26-72.
18. Meyer RA, Campbell JN, Raja SN. 1994. Peripheral neural mechanisms of
nociception. In: Wall PD, Melzack R, eds. Textbook of Pain. 3rd ed.
19. Hall RW, Anand KJS. 2005. Physiology of pain and stress in the newborn,
http://neoreviews.aappublications.org/content/6/2/e61
McCaffery M, Pasero C, eds. Pain Clinical Manual. 2nd ed. St. Louis, MO:
Clinical Manual. 2nd ed. St. Louis, MO: Mosby Inc; 1999:129-160.
Inc.
23. McCaffery M, Pasero C, eds. 1999. Pain Clinical Manual. 2nd ed. St. Louis,
24. Jacox AK, Carr DB, Chapman CR, et al. Acute Pain Management:
Agency for Health Care Policy and Research; 1992. AHCPR publication 92-
0032.
25. Pasero C, Paice JA, McCaffery M. Basic mechanisms underlying the causes
and effects of pain. In: McCaffery M, Pasero C, eds. Pain Clinical Manual.
2013;1(2):15-20.
27. Brennan TJ, Zahn EP. Patophysiology of postoperative pain. Pain 2011;152,
533.
Pembiayaan Penelitian
Pemasukan
Dana Pribadi Rp.,4.500.000-
Pengeluaran
Kertas 5 rim Rp. 200.000,-
Printer Rp. 1.000.000,-
Tinta Rp. 500.000,-
Fotokopi Rp. 500.000,-
Analisa Statistik Rp. 2.000.000,-
Jilid Rp. 50.000,-
CD + Hard cover Rp. 250.000,-
Total Rp 4.500.000,-
51
52
Lampiran 2
Penjelasan untuk disetujui penelitian (Information for consent)
Surabaya,
Saksi I Saksi II
(………………………..….) (………………………..….)
(Pihak dari Subyek Penelitian) (Pihak Peneliti)
Saksi III
(………………………..….)
(Pihak Operator)
56
Lampiran 3
FORM INFORMED CONSENT
PERSETUJUAN
Surabaya, …………………………
Yang Membuat Pernyataan
(……………………………)
Saksi 1 Saksi 2
(……………………………) (……...……………………)
57
Lampiran 4
FORM PENGUNDURAN DIRI SEBAGAI SUBJEK
PENELITIAN
Surabaya, …………………………
Yang Membuat Pernyataan
(……………………………)
Saksi 1 Saksi 2
(……………………………) (..……..……………………)
58
Lampiran 5
LEMBAR KONSULTASI TESIS