Anda di halaman 1dari 15

POLYCYSTIC OVARY SYNDROME

(PCOS)

Disusun Oleh :
KELOMPOK 2
1. Ira Nurlita Primananda
2. Fitriyah Efi Susanti
3. Triana Dewi
4. Ira Yuliana
5. Nurul Kamilah Sadli
6. Wiwied Luwes Sejati
7. Diani Sri Agustien
8. Hafidz Arkan
9. Vania Reani Valmai
10. Yat Rosfia Harja
11. Widi Wulandari
12. Rizka Felina Afianti

(G1F013003)
(G1F013009)
(G1F013019)
(G1F013025)
(G1F013027)
(G1F013047)
(G1F013049)
(G1F013055)
(G1F013059)
(G1F013075)
(G1F013077)
(G1F013079)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016

Polycystic Ovary Syndrome


A. DEFINISI

Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dikenal juga dengan nama Stein- Leventhal
Syndrome, merupakan kelainan kompleks endokrin dan metabolik yang ditandai dengan
adanya anovulasi kronik dan atau hiperandrogenisme yang diakibatkan oleh kelainan dari
fungsi ovarium. PCOS adalah salah satu penyebab terbanyak kelainan endokrin yang
melibatkan 5%-10% wanita dalam masa reproduksi. PCOS dapat menyebabkan manifestasi
klinis, seperti pembesaran ovarium polikistik, amenorea sekunder atau oligomenorea dan
infertilitas. Selain itu, PCOS juga disertai oleh perubahan metabolik berupa gangguan
toleransi glukosa, hiperinsulinemia dan resistensi insulin. Kelainan hormonal yang ditemukan
pada PCOS adalah meningkatnya perbandingan kadar LH dan FSH, tingginya kadar
androgen, dan produksi estrogen yang meningkat. Risiko komplikasi jangka panjang untuk
penderita PCOS adalah penyakit kardiovaskular (Insler, 1993; Kasim, 2007).
B. PATOFISIOLOGI

Gambar 1.Patofisiologi PCOS (LH = hormon leteinizin, FSH = follice-stimulating hormon,


GnRH = gonadotropin releasing) (Johanna, 2011).

Sindrom ovarium polikistik merupakan suatu disfungsi atau regulasi oleh gonadotropin
dan faktor intraovarian, hipersulinemia serta hiperandrogenisma. Disfungsi gonadotropin
terjadi saat frekuensi LH meningkat dari kelenjar hipofisis sekunder untuk peningkatan
frekuensi denyut GnRH di hipotalamus. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi
androgen dari sel theca. Tingkat FSH relatif lebih rendah berkontribusi bagi perkembangan
folikel di ovarium sehingga menyebabkan terganggu umpan balik negatif. Peningkatan
androgen biovailable menyebabkan peningkatan insulin resistensi dijaringan perifer (terutama

diotot rangka). Hal ini menyebabkan hiperinsulinemia, yang dapat menfasilitasi peran
stimulasi LH sehingga menyebabkan peningkatan produksi androgen ovarium. Peningkatan
asam lemak bebas dari adiposit terlihat akibat resistensi insulun dan hiperandrogenisme.
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia dapat menyebabkan obesitas sehingga meningkatkan
resiko CVD (Johanna, 2011).
C. TANDA DAN GEJALA
Gejala klinis PCOS adalah infertilitas, kelainan menstruasi, hiperinsulin, ukuran
ovarium membesar, hirsutism dan obesitas. Gejala yang timbul dapat bervariasi tergantung
dari perubahan structural ovarium yang terjadi. Pemeriksaan USG dapat membantu diagnosis
dengan ditemukannya gambaran folikel kistik berjejer seperti kalung di perifer dan stroma
ovarium. Dapat pula terjadi wanita dengan klinis PCOS tapi memiliki gambaran USG yang
normal (Insler, 1993). Kelainan menstruasi pada PCOS dapat berupa oligomenore, amenore,
atau polimenore.Oligomenore merupakan siklus menstruasi yang memanjang lebih dari 35 hari,
sedangkan jumlah perdarahan tetap sama. Penyebab oligomenore karena adanya perpanjangan
stadium folikuller, perpanjangan stadium luteal, kedua stadium yang memanjang, pengaruh penyakit
seperti TBC. Sedangkan amenore merupakan keadaan tidak datangnya menstruasi selama 3 bulan
berturut-turut. Amenore diklasifikasikan menjadi 2 yaitu amenore primer terjadi apabila belum pernah
datang menstruasi sampai umur 18 tahun. Dan amonore sekunder terjadi apabila pernah menstruasi
namun berhenti mestruasi selama 3 bulan (Guzick, 1998).

Gejala lain yang juga didapatkan adalah acne dan akantosis nigrikans. Akantosis
nigrikans adalah tanda yang timbul akibat hiperinsulin dan resistensi insulin berupa
hiperpigmentosis pada kulit, paling banyak di dapatkan di aksila atau lipatan leher, tapi dapat
pula di dapatkan di bagian tubuh lain (Gambar 1) (Jacobs, 1999).

Gambar 2.
Gambar 1. Menunjukan ovarium yang normal dan ovarium yang mengalami PCOS

Gambar 3. Akantosisnigrikans di papilla mammae.

Kriteria diagnosis PCOS berupa oligo/anovulasi disertai tanda klinis dan kelainan
akibat hiperandrogen. PCOS menjadi 4 subtipe, yaitu:
1. Gangguan menstruasi + polikistik ovarium + hiperandrogen
2. Gangguan menstruasi + polikistik ovarium
3. Gangguan menstruasi + hiperandrogen
4. Hiperandrogen dan polikistik ovarium (Fauser, 2004).
Adapun tanda dan gejala PCOS adalah 2 dari 3 gejala berikut:
1. Hiperandrogen, ditandai dengan meningkatnya kadar androgen bebas atau tanda
klinis hirsutism
2. Gangguan siklus menstruasi
3. Polikistik ovarium, diketahui dari pemeriksaan USG. Disebut polikistik jika
ditemukan 12/lebih folikel di tiap ovarium dengan diameter 2-9 mm dan/atau disertai
penambahan volume ovarium menjadi>10 ml. Sebelum menentukan diagnosa PCOS,
terlebih dahulu harus menyingkirkan adanya hiperplasia adrenal congenital klasik dan
non klasik (defisiensienzim 121-hidroksilase), sindrom Cushing, disfungsi tiroid dan
tumor yang memproduksi testosterone (Fauser,2004).
Melalui pemeriksaan histopatologi, PCOS memiliki gambaran mikroskopik sebagai
berikut :
1. Penebalan tunikaalbuginea
2. Hipertekosis (selteka bertambah banyak)
3. Lutenisasiteka interna
4. Penebalan membran basal

5. Berkurangnya sel granulose (Insler, 1993)


D. TATA LAKSANA DAN TERAPI

Gambar 4.Algoritma terapi Polycistic Ovary Syndrome (CRE PCOS, 2011).

Terapi Farmakologi :

1. Klomifen sitrat
Klomifen sitrat merupakan first line terapi untuk meningkatkan kesuburan pada wanita
dengan sindrom ovarium polikistik, infertilitas anovulasi, dengan tidak ada faktor infertilitas
lainnya. Klomifen sitrat merupakan modulator reseptor estrogen selektif baik estrogen
maupun antioestrogenik. Klomifen sitrat bekerja dengan menghambat reseptor estradiol
berikatan di hipotalamus dan hipofisis, menghalangi umpan balik negatif. Hipotalamus ini
akan meningkatkan GRH yang pada gilirannya meningkatkan FSH daan merangsang
pertumbuhan folikel dan ovulasi (Teede et al., 2011).

Dosis maksimal klomifen sitrat adalah 150 mg/hari jika ovulasi tidak tercapai, dimana
terjadi resistensi klomifen sitrat (CCR). Jika ovulasi tidak tercapai setelah enam siklus
ovulasi dengan klomifen sitrat maka keadaan ini disebut kegagalan klomifen sitrat. Penelitian
dengan klomifen sitrat menunjukkan bahwa tingkat ovulasi sebesar 60% -85% dan tingkat
kehamilan 30% -50% setelah enam siklus ovulasi. Perbedaan antara tingkat ovulasi dan
tingkat kehamilan telah dikaitkan dengan efek anti-estrogenik klomifen sitrat. Tingkat
kehamilan kembar dan kehamilan triplet dengan klomifen sitrat adalah 5% -7% dan 0,3%
(Teede et al., 2011).
Clomiphen citrate adalah modulator selektif reseptor estrogen. Pertama disetujui
untuk penggunaan pada anovulasi pada tahun 1967. Sejak saat itu selalu menjadi pilihan
petama untuk induksi ovulasi selama 40 tahun. Obat ini menhamba tikattan reseptor ostradiol
di hyphotalamus dan pituitary. Kenaikan penghambatan pelepasan hormone gonadotropin
yang selanjutnya akan meningkatkan FSH dan merangsang pertumbuhan folikel dan ovulasi
meningkatkan FSH dan merangsang pertumbuhan folikel dan ovulasi (Teede et al., 2011).
Dosis Clomiphene citrate yang biasa digunakan hingga 150mg/day apabila dibawah
dosis tersebut masih belum memberikan efek. Dosis tersebut sudah mencapai Clomiphene
citrate resistence (CCR). Penelitian menunjukan dengan penggunaan Clomiphene citrate
tingkat ovulasi mencapai 60-85 % dan tingkat tkehamilan mencapai 30-50 %. Perbedaan
tingkatt ovulasi dan kehamilan yang terjadi karena kontribusi efek antiestrogen Clomiphene
citrate (Teede et al., 2011).
Penggunaan terapi mengggunakan Clomiphene citrate harus di resepkan oleh dokter
spesialis. Dimana perkembangan dan pemantauan dapat dilakukan seintensif mungkin
.Walaupun biaya sedikit meningkat namun akan mengurangi beberapa kemungkinan yang
terjadi saat proses kehamilan (Teede et al., 2011).
2. Metformin
Fungsi utama dari metformin adalah untuk nesis hepatik dan menurunkan produksi
glukosa di hati yang menyebabkan penurunan tingkat sirkulasi glukosa dan insulin, selain itu
meningkatkan sensitivitasi nsulin dan meningkatkan penyerapan glukosa serta pemanfaatan
jaringan perifer seperti otot rangka dan adipocytes. Sehingga metformin ini akan
menghambat reistensi insulin dan meningkatkan kesuburan wanita. Namun, kelemahna

metformin yaitu metformin akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan klomifen sitrat
dibandingkan dengan monoterapi metformin (Shao, 2014).
Sebuah studi yang melibatkan 48 pasien anovulasi PCOS (rata-rata usia 29,9 tahun dan
BMI 28,7 kg/m2) selama 15 bulan. Dosis awal pemberian metformin yaitu 500 mg setiap dua
kali sehari dan meningkat menjadi tiga kali sehari jika ovulasi tidak terjadi selama 6 minggu
dan klomifen sitrat ditambahkan 6 minggu kemudian sesuai kebutuhan. Normalisasi siklus
menstruasi dan ovulasi terjadi pada 19/48 subyek (40%) dari metformin saja, dan 15 dari
mereka (79%) menjadi hamil. Hampir 75% dari kehamilan ini terjadi pada pemberian
metformin saja dalam waktu 3 bulan pengobatan. Penambahan klomifen sitrat dosis rendah
(50 mg) menyebabkan penambahan lima kehamilan. Tingkat ovulasi yang sama (40%)
terlihat pada pemberian metformin tunggal pada subjek yang mengalami obesitas (BMI ~ 32
kg /m2), sedangkan penambahan klomifen meningkatkan tingkat ovulasi sebesar 89%.
Namun penggunaan klomifen saja hanya meningkatkan tingkat ovulasi sebesar 11,5%
(Sheehan, 2004).
Insulin Resistance (IR) meyebabkan hiperinslun yang akan meningkatkan biosintesis
androgen ovary dan menyebabkan penurunan sintesis SHBG, lebih meningkattkan androgen
bebas. Kelebihan androgen dan insulin menyebabkan atresia folikel prematur dan anovulasi.
Sehingga mulai digunakan obat sensitif insulin untuk PCOS. Metormin telah lama digunakan
untuk DM tipe 2, sehingga sering dipelajari untuk penggunaan pada PCOS. Metformin
memiliki ttingkat keamanan yang paling meyakinkan.
Metformin harus ditambahkan dengan Comiphene citrate pada wanita dengan PCOS
CCR. Apabila hanya metformin dapa digunakan pada wanita PCOS dengan BMI 30kg/m 2,
dan harus ditambahkan Clomiphene citrate pada wanitta dengan PCOS dan BMI 30kg/m 2.
Metformin sering dikaitkan dengan efeksamping gastrointestinal dan pasien harus
diberitahukan hal ini. Metformin bila dikombinasikan dengan klomifen sitrat dapat
meningkatkan tingkat kesuburan dibandingkan dengan klomifen sitrat saja pada wanita
dengan sindrom ovarium polikistik yang mengalami resisten klomifen sitrat (CCR), anovulasi
dan infertil tanpa faktor infertilitas lainnya. Selain itu metformin juga dapat digunakan secara
tunggal untuk meningkatkan kecepatan ovulasi dan tingkat kehamilan pada wanita dengan
sindrom ovarium polikistik yang mengalami anovulasi dengan indeks massa tubuh 30 kg/m 2
dan infertil tanpa faktor infertilitas lainnya (Teede et al., 2011).
Pada kasus PCOS ini sering terjadi karena keadaan resisten insulin sehingga
menyebabkan masalah infertilitas atau menurunkan kesuburan wanita. Berikut ini adalah
hubungan hiperinsulinemia dengan PCOS :

(Homburg, 2008)
3. Latrozole (Aromatase Inhibittor)
Aromatase inhibitor bekerja dengan memblokir konversi androgen menjadi estrogen di
ovarium sehingga penurunan kadar estrogen ini memberikan umpan balik negatif di
hipotalamus yang akan merangsang kelenjar hipofisis untuk mensekresikan FSH. FDA belum
menyetujui aromatase inhibitor untuk induksi ovulasi. Namun, dokter dibagian endokrinologi
reproduksi telah meresepkan aromatase inhibitor off-label untuk lebih dari satu dekade dan
studi yang mendukung mengenai efektivitas obat ini (Bergh et al, 2016). Sebuah studi
melaporkan bahwa letrozole lebih efektif sebagai pengobatan kesuburan dibandingkan
klomifen pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik. Ovulasi, pembuahan, kehamilan,
dan kelahiran hidup secara bermakna lebih mungkin setelah pengobatan dengan letrozole
(Legro, et al., 2014).
Studi lain juga menyebutkan penggunaan aromatase inhibitor berguna untuk merangsang
ovulasi dan superovulasi. Pada penggunaan 2,5 mg letrozole pada hari 3-7 menstruasi pada
12 pasien dengan PCOS. Ovulasi terjadi pada sembilan pasien (75%), dan kehamilan dicapai
pada tiga pasien(25%). Dosis yang tepat dari letrozole untuk induksi ovulasi belum
ditentukan, tetapi dosis yang paling umum digunakan dalam studi sebelumnya antara 2,5 dan
7,5 mg. Oleh karena itu, penelitian kami menggunakan dosis 5 mg setiap hari untuk letrozole.
Dibandingkan dengan letrozole, penggunaan klomifen sitrat menyebabkan peningkatan yang
signifikan secara statistik dalam jumlah perkembangkan dan pematangan (14 mm dan 18 mm

folikel). Meskipun tingkat kehamilan sedikit lebih besar pada kelompok klomifen sitrat,
perbedaan itu tidak signifikan secara statistik (Badawy, et al., 2009) .
Tingkat keguguran yang berarti durasi kehamilan dan berat lahir serta tingkat komplikasi
neonatal (termasuk anomali) tidak berbeda secara signifikan antara letrozole dengan
klomifen. Tidak dilaporkan dalam suatu studi terkait efek berbahaya atau teratogenik pada
janin. Sebuah studi hewan menemukan bahwa letrozole memiliki efek toksik pada
perkembangan janin pada tikus. Namun sejauh ini, tidak ada malformasi embrio atau janin
telah dilaporkan pada manusia. Studi lain juga membandingkan bayi yang lahir dari ibu yang
telah mengandung menggunakan klomifen sitrat. Tidak ada peningkatan tingkat malformasi
mayor dan minor pada kelompok letrozole dibandingkan dengan kelompok klomifen sitart.
Selain itu, jumlah anomali jantung pada kelompok letrozole sedikit lebih rendah dari pada
kelompok klomifen sitrat. Sehingga letrozole dapat dipilih sebagai agen yang aman untuk
induksi ovulasi seperti pada penggunaan sitrat (Donghong dan Jiang, 2011).
4. Gonadotrophine
Gonadotropin sering digunakan sebagai terapi lini kedua pada wanita anovulasi PCOS
dengan CCR. Namun, ada peningkatan risiko kehamilan ganda dan sindrom hiperstimulasi
ovarium. Dosis rendah "stepup" protokol digunakan untuk mengurangi risiko ini. Sebuah
"stepdown" protokol juga dapat digunakan dengan keberhasilan yang sama, namun tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin. Meskipun tubuh besar bukti pengamatan dapat
mendukung penggunaan terapi gonadotropin pada wanita anovulasi dengan PCOS, efektivitas
komparatif perlu dievaluasi menggunakan bukti terbaik yang tersedia. Gonadotropin adalah
hormon-hormon glikoprotein yang dihasilkan dan disekresi oleh anterior pituitari, chorion,
dan plasenta. Yang termasuk dalam kelompok gonadotropin antara lain FSH dan LH yang
disekresi oleh anterior pituitari, serta human chorionic gonadotropin (hCG) yang disekresi
oleh chorion dan plasenta. FSH dan LH ditemukan dalam urin dalam jumlah banyak,
terutama pada urin wanita pasca menopause. Hal ini karena pasca menopause estrogen sudah
tidak diproduksi lagi sehingga tidak dapat menghambat sekresi kedua hormone tersebut
(Rang dkk, 2007).
Sediaan yang mengandung gonadotropin antara lain: human menopausal gonadotropin
(hMg ataumenotropin), FSH rekombinan (follitropin), LH rekombinan (lutropin), dan Hcg
rekombinan (choriogonadotropin). Human menopausal gonadotropin (hMg) adalah ekstrak
murni dari urin manusia pasca menopause; mengandung FSH dan LH. Selain dibuat dari
teknologi rekombinasi DNA, FSH dan hCG juga tersedia dalam bentuk ekstrak murni dari

urin wanita pasca menopause. hMg bekerja secara langsung pada ovarium untuk
mengembangkan dan mematangkan folikel serta merangsang ovulasi. Cara kerja FSH dan LH
sama dengan hMg, yaitu mematangkan folikel sehingga. Sedangkan hCG bekerja memicu
terjadinya ovulasi dengan meningkatkan sekresi LH secara cepat dalam jumlah besar pada
pertengahan siklus menstruasi. Oleh karena itu, hCG baru digunakan pada saat folikel sudah
matang. Dengan demikian, hCG diberikan setelah pemberian obat-obat yang mematangkan 9
folikel seperti hMg, FSH, atau klomifen (Lehne, 2007).

Non-Pharmaceutical Therapy
Terapi gaya hidup (lifestyle) dianggap lini pertama untuk wanita dengan PCOS,

menargetkan pencegahan kenaikan berat badan dan untuk mempromosikan penurunan berat
badan, dengan manfaat kesehatan yang signifikan. Tingkat kesuburan lebih rendah di antara
perempuan dengan BMI 30-32 kg/m2, dan gaya hidup meluas dengan manfaat intervensi
kesuburan dan mencakup pencegahan DM tipe 2. Ada sedikit data pembanding tentang
manfaat dari gaya hidup dibandingkan terapi farmakologi pada wanita dengan PCOS yang
kelebihan berat badan atau obesitas. Terapi non-farmakologis dilakukan setelah pasien
didiagnosa PCOS (CRE PCOS, 2011).

E. MONITORING DAN EVALUASI

1. Monitoring PCOS
Monitoring

Target Keberhasilan
1. tidak adanya kista pada ovarium
2. terdapat folikel yang berkembang di masingmasing indung telur dan diameter folikel

USG

mencapai sekurangnya 17 mm sehingga


terjadi ovulasi.
3. tidak terjadinya

kehamilan

ganda

yang

disebabkan banyaknya jumlah folikel yang


matang

Biopsi endometrial

Negatif hiperplasi/keganasan (tidak ada keganasan


pada ovarium)
(Homburg, R., et al, 1998)

Jenis pemeriksaan untuk penderita sindrom ovarium polikistik


Test

Nilai Normal

-Hcg

<5 mIU per ml (<5 IU per L)

TSH

0,5 4,5 U per ml (0,5 -4,5 mU per L)

Prolaktin

<20 ng per ml (<20 g per L)

Testosteron (total)

<20 ng per dL (<0,7 nmol per L)

Testosteron (bebas)

40-59 tahun : 0,4-2,03 pg per ml (1,4-7,0 pmol per L)

DHEAS

600-3400 ng per ml (1,6-9,2 mol per L)

Androstenedion

0,4-2,7 ng per ml (1,4-9,4 nmol per L)

17-hidroksiprogesteron

Fase folikuler <2 g per L (6,1 nmol per L)

Insulin puasa

<20 U per ml (<144 pmol per L)

Glukosa puasa

65-119 mg per dL (3,6-6,6 mmol per L)

Glukosa puasa : rasio insulin

4,5

Kolesterol (total)

150-200 mg per dL (1,5-2 g per L)

HDL kolesterol

35-85 mg per dL (0,9-2,2 mmol per L)

LDL kolesterol

80-130 mg per dL (2,1-3,4 mmol per L)


(Richardson, M., 2003).

Pemeriksaan baik dilakukan maksimal empat bulan setelah pasien didiagnosa PCOS.
Berikut ini beberapa tujuan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada pasien PCOS :
1. Pemeriksaan B-hcg bertujuan untuk memantau Hormon hCG (human chorionic
gonadotropin) yaitu hormon yang di produksi selama masa hamil sehingga dengan
pemeriksaan B-Hcg dapat mengetahui kehamilan pasien pcos
2. Pemeriksaan TSH bertujuan untuk memantau tiroid.
3. Test prolaktin untuk mencegah kelebihan prolaktin.

4. Pemeriksaan testosteron bertujuan untuk memantau neoplasma yang mensekresi


androgen serta menetapkan diagnosis atau pemantauan terapi.
5. Test DHEA-S untuk mengetahui kadar dehydroepiandrosterone sulfate (termasuk
hormon androgen) yang biasanya ditemui pada pasien PCOS.
6. Test androgen bertujuan untuk menegakkan diagnosis PCOS karena hormon androgen
mempengaruhi perkembangan dan pelepasan sel telur selama ovulasi.
7. Pemeriksaan kadar insulin, kadar glukosa, dan kolesterol bertujuan untuk mengetahui
gaya hidup pasien yang akan mempengaruhi PCOS, salah satu faktor tingginya kadar
androgen adalah kelebihan insulin pada tubuh (RCOG, 2009).

2. Monitoring Keberhasilan Terapi


Nama Obat
Klomifen sitrat

Metformin

Letrozole

ESO
Perut
kembung,
mual,
muntah
(Alldredge, B., et al,
2012)
Asthenia,
diare,
lemas, hipoglikemi,
konstipasi, dispepsia
(Medscape, 2014)
Gangguan
pencernaan, asthenia,
muka memerah, sakit
kepala, dan sakit
punggung
(PCOS
Australian Alliance

Target keberhasilan
FSH meningkat, memacu hormon estrogen dan
menghambat reseptor estradiol yang akan
meningkatkan kesuburan wanita
Meningkatnya kecepatan ovulasi

Androgen diubah menjadi estrogen sehingga


meningkatkan FSH dan folikel ovarium
terstimulasi

Gonadotropin

dan POSAA, 2011)


-

Produksi progesteron meningkat

F. KESIMPULAN
PCOS adalah kumpulan tanda dan gejala yang terdiri dari oligo/anovulasi, hiperandrogen
dan polistik ovarium. Gejala klinis PCOS adalah infertilitas, kelainan menstruasi,
hiperinsulin, ukuran ovarium membesar, hirsutism dan obesitas. Gejala yang timbul dapat
bervariasi tergantung dari perubahan structural ovarium yang terjadi. Untuk tatalaksana dan
terapi PCOS dapat dengan terapi farmakologis yaitu dengan menggunakan Klomifen sitrat,
Metformin, Latrozole (Aromatase Inhibittor), Gonadotrophine dan dengan terapi non
farmakologis yaitu terapi gaya hidup dengan menargetkan pencegahan kenaikan berat badan
dan untuk mempromosikan penurunan berat badan.

G. DAFTAR PUSTAKA
Alldredge, B.K., Corelli, R.L., dan Ernst, M.E., 2012. Koda-Kimble and YoungsApplied
Therapeutics: The Clinical Use of Drugs. Lippincott Williams &Wilkins.
CRE PCOS, 2011, Evidence-based guideline for the assessment and management of
polycystic ovary syndrome, National Health and Medical Research Council (NHMRC),
14A.
Fauser, B. 2004. Revised 2003 Consensus on Diagnostic Criteria and Long-term Health Risks
Related to Polycystic Ovary Sydrome (PCOS). Human Reproduction 19 (1): 41-7.
Guzick D., 1998. Polycystic Ovary Syndrome: Symptomatology, Pathophysiology, And
Epidemiology. Department Of Obstetrics and Gynecology, University Of Rochester.

Homburg, R., et al. 1998. Influence of serum luteinizing hormone concentrations on


ovulation, conception, and early pregnancy loss in polycystic ovary syndrome. Br. Med. J.
297:1024-1026.
Homburg R. 2008. Polycystic ovary syndrome. Best Pract Res ClinObstetGynaecol.
Insler, V., Lunenfeld, B. 1993.Polycystic Ovarian Disease in: Infertility: Male and Female
Second Edition. Newyork: Churchill Livingstone; 661-75.
Jacobs, HS. 1999. Polycystic Ovary Syndrome in: Atlas of Clinical Gynecology Volume III
Reproductive Endocrinology. Philadelphia: Appleton Lange Current Medicine, Inc;
5.2-5.15.
Johanna S., 2011, Polycystic ovary syndrome : Ovarian pathophysiology and consequences
after the menopause, University of Gothenburg, Sweden.
Kasim-Karakas, SE., Cunningham, WM., Tsodikov, A. 2007. Relation ot Nutrients and
Hormones in Polycystic Ovary Syndrome. Am J Clin Nutr 85: 688- 94.
Lehne RA. 2007. Pharmacology for nursing care. 6th ed. St. Louis: Saunders, an imprint of
Elsevier Inc.
Medscape, 2014, Metformin, http://www.medscape.com diakses tanggal 15 Maret 2016.
PCOS Australian Alliance dan POSAA, 2011, Assessment and management of polycystic
ovary syndrome: summary of an evidence-based guideline, MJA 195 (6).
Rang HP, Dale MM, Ritter JM, Flower RJ. 2007. Rang and Dales pharmacology. 6th ed.
Edinburgh: Curchill Livingstone.
RCOG. 2009. Polycystic ovary syndrome: what it means for your long-term health. Royal
College of Obstetricians and Gynaecologists.
Richardson, M., 2003. Current Perspectives in Polycystic Ovary Syndrome. American
Academy of Family Physicians. 68:697-704.
Salmi, DJ., Zisser, HC., Jovanovic, L. 2004. Mini Review:Screening for and Treatment of
Pilycistic Ovary Syndrome in Teenagers. Society for Experimental Biology and
Medicine: 359-75.
Shao, X. Li, Y. Feng, J.F. Lin, H. 2014. Direct effects of metformin in the endometrium: a
hypothetical mechanism for the treatment of women with PCOS and endometrial
carcinoma, J. Exp. Clin. Cancer Res.
Sheehan, M, T., 2004, Polycystic Ovarian Syndrome: Diagnosis and Management, Clinical
Medicine & Research, Vol 2 (1): 13-27.

Teede H,J., Misso, M.L., Deeks, A, A., Moran, L, J., Stuckey, B, G, A,. Wong, J, L, A., et al.,
2011, Assessment and management of polycystc ovary syndrome: summary of an
evidence-based guideline, The Medical Journal of Australian, Vol 195 (6): 65-112.

Anda mungkin juga menyukai