Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

PENCEGAHAN PENULARAN INFEKSI HIV DARI IBU KE ANAK


(PPIA)

Oleh:

Rahmat Yusuf Arifin

G4A018102

Pembimbing:
dr. Muhammad Mukhson, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2020
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

PENCEGAHAN PENULARAN INFEKSI HIV DARI IBU KE ANAK


(PPIA)

Oleh:

Rahmat Yusuf Arifin

G4A018102

Disusun dan diajukan dalam rangka memenuhi persyaratan


untuk mengikuti ujian di Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Jurusan Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Telah diterima dan disahkan di


Purwokerto, Februari 2020

Pembimbing

dr. Muhammad Mukhson, Sp. A


BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan


penyakit yang disebabkan oleh virus yang menyerang sel darah putih
sehingga menyebabkan turunnya sistem kekebalan tubuh, sedangkan
AIDS (Acquired Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan tanda atau
gejala yang akan timbul karena turunnya sistem kekebalan tubuh karena
infeksi oleh virus. HIV/AIDS masih terus menjadi masalah kesehatan
yang utama bagi masyarakat global dan memerlukan perhatian yang serius
karena setiap tahun jumlahnya bertambah (Nurjanah, 2019).

Menurut UNAIDS (Joint United Nation Programme On HIV and


AIDS) mengatakan di Dunia pada akhir 2018 terdapat lebih dari 37,9 juta
orang hidup dengan HIV (36,2 juta orang dewasa dan 1,7 juta anak-anak),
1,7 juta kasus baru HIV, dan 770.000 orang didunia meninggal karena
HIV/AIDS. Di Asia Pasifik 5.9 juta orang hidup dengan HIV/AIDS.
310.000 kasus baru HIV, dan 200.000 orang di Asia-Pasifik meninggal
karena HIV/AIDS. China, India, Indonesia merupakan 3 wilayah terbesar
jumlah penyebaran kasus HIV/AIDS di Asia Pasifik. Kasus HIV di
Indonesia tahun 2017 terdapat 630.00 orang hidup dengan HIV dengan
jumlah kasus baru sebesar 49.000 orang dan jumlah orang yang meninggal
karena AIDS sebanyak 39.000 orang. (UNAIDS, 2019).

Kasus HIV dan AIDS di Indonesia pada tahun 2013, telah tersebar
di 368 dari 497 kabupaten/kota (72 %) di seluruh propinsi. Jumlah kasus
HIV baru mencapai 20.000 kasus setiap tahunnya. Pada tahun 2013
tercatat 29.037 kasus baru, dengan 26.527 (90,9%) berada pada usia
reproduksi (15-49 tahun) dan 12.279 orang di antaranya adalah
perempuan. Kasus AIDS baru pada kelompok ibu rumah tangga sebesar
429 (15%), yang apabila hamil berpotensi menularkan infeksi HIV ke
bayinya. Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV positif.
Penularan tersebut dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan dan
selama menyusui. Jumlah ibu hamil yang terinfeksi HIV mengalami
peningkatan. Pada tahun 2011, jumlah ibu hamil dengan HIV sebanyak
534 orang yang kemudian meningkat menjadi 1.182 orang pada bulan
Januari-Juni 2014. Sementara itu jumlah bayi dengan HIV juga
meningkat, yaitu sebanyak 71 bayi pada tahun 2011 menjadi 86 bayi pada
bulan Januari-Juni 2014 (KKRI, 2015).
Jumlah kasus HIV/AIDS pada bayi akan terus meningkat, seiring
dengan meningkatnya prevalensi wanita usia 15-49 tahun yang menderita
HIV maka beresiko dapat meningkatkan jumlah anak dengan HIV/AIDS.
Oleh karena itu pemerintah melaksanakan program pencegahan penularan
HIV dari ibu ke anak (PPIA) atau Prevention of Mother-to-Child HIV
Transmission (PMTCT) yang mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun
2004 sebagai salah satu solusi menurunkan penularan virus HIV dari ibu
ke bayinya. Jika pelaksanaan program PPIA berjalan optimal, risiko
penularan HIV dari ibu ke anak dapat berkurang hingga <2% (KKRI,
2015).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. HIV
1. Pengertian
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus
golongan RNA yang spesifik menyerang sistem imun atau kekebalan
tubuh manusia. Penurunan sistem kekebalan tubuh pada orang yang
terinfeksi HIV memudahkan berbagai infeksi, sehingga dapat
menyebabkan timbulnya AIDS.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah
sekumpulan gejala atau tanda klinis pada pengidap HIV akibat infeksi
tumpangan (oportunistik) karena penurunan sistem imun (Abbas, et al.
2015). Penderita HIV mudah terinfeksi berbagai penyakit karena
imunitas tubuh yang sangat lemah, sehingga tubuh gagal melawan
kuman yang biasanya tidak menimbulkan penyakit. Infeksi
oportunistik ini dapat disebabkan oleh berbagai virus, jamur, bakteri
dan parasit serta dapat menyerang berbagai organ, antara lain kulit,
saluran cerna/usus, paru-paru dan otak. Berbagai jenis keganasan juga
mungkin timbul. Pada tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS,
yaitu dengan memasukkan semua orang HIV positif dengan jumlah
CD4+ di bawah 200 per μL darah atau 14% dari seluruh limfosit
(Yuliyanasari, 2017).
2. Epidemiologi
HIV dan AIDS telah menjadi masalah darurat global. diseluruh
dunia, 37.9 juta orang hidup dengan hiv dan 770.000 orang didunia
meninggal karena HIV-AIDS. Kawasan Asia Pasifik terdapat 5.9 juta
orang hidup dengan HIV/AIDS. China, India, Indonesia merupakan 3
wilayah terbesar jumlah penyebaran kasus HIV/AIDS di Asia Pasifik.
Kasus HIV/AIDS juga menjadi masalah di Indonesia yang
merupakan salah satu dari 3 negara paling berisiko HIV/AIDS di Asia.
Laporan kasus baru HIV meningkat setiap tahunnya sejak pertama kali
dilaporkan pada tahun 1987. Lonjakan peningkatan paling banyak
adalah pada tahun 2016 dibandingkan dengan tahun 2015, yaitu
sebesar 10.315 kasus. berikut ini adalah jumlah kasus HIV/AIDS yang
bersumber dari Ditjen Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
(P2P), data laporan tahun 2017 yang bersumber dari Sistem Informasi
HIV-AIDS dan IMS (SIHA) (KKRI, 2018).

10000
9000
8000
7000
6000
5000
4000
Jumlah Infeksi HIV-AIDS di
3000 Indonesia Tahun 2017
2000
1000
0
ur ta h at a li
im kar nga Bar apu Ba
T a e P
wa IJ aT aw
a
Ja DK Ja
w J

Gambar 2.1 Jumlah Infeksi HIV-AIDS di Indonesia 2017 (KKRI,


2018)
Berdasarkan gambar, lima provinsi dengan jumlah infeksi hiv
terbesar adalah jawa timur, DKI Jakarta , Jawa Barat, Jawa Tengah,
dan Papua. Propinsi dengan kasus AIDS terbanyak adalah Jawa
Tengah, Jawa Barat, Papua, Jawa Timur, dan Bali. dari jumlah infeksi
HIV dan jumlah kasus AIDS yang dilaporkan, paling banyak adalah di
pulau jawa. Data laporan pada tahun 2017 di Indonesia adalah sebesar
57.580 kasus baru ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).
3. Faktor Risiko
Banyak faktor yang berperan dalam transmisi virus dari
ibu ke anak. Ibu dengan keadaan klinis dan indikator imunologis
lanjut dan viral load meningkat memiliki risiko transmisi vertikal
lebih tinggi. Transmisi vertikal terhadap neonatus sangat
dipengaruhi oleh viral load. Ada tiga faktor risiko penularan HIV
dari ibu ke anak, yaitu sebagai berikut (KKRI, 2015):
a. Faktor ibu.
Kadar HIV dalam darah ibu (viral load) merupakan
faktor yang paling utama terjadinya penularan HIV dari ibu ke
anak, semakin tinggi kadarnya, semakin besar kemungkinan
penularannya, khususnya pada saat atau menjelang persalinan
dan masa menyusui bayi. Selain kadar virus dalam darah, kadar
CD4 juga berpengaruh, ibu dengan kadar CD4 yang rendah,
khususnya bila jumlah sel CD4 di bawah 350 sel/mm3,
menunjukkan daya tahan tubuh yang rendah karena banyak sel
limfosit yang pecah/rusak. Kadar CD4 tidak selalu berbanding
terbalik dengan viral load. Pada fase awal keduanya bisa tinggi,
sedangkan pada fase lanjut keduanya bisa rendah kalau
penderitanya mendapat terapi anti-retrovirus (ARV).

Status gizi selama kehamilan merupakan salah satu


faktor yang berpengaruh terhadap infeksi HIV. Berat badan
yang rendah serta kekurangan zat gizi terutama protein, vitamin
dan mineral selama kehamilan meningkatkan risiko ibu untuk
mengalami penyakit infeksi yang dapat meningkatkan kadar
HIV dalam darah ibu, sehingga menambah risiko penularan ke
bayi. Penyakit infeksi selama kehamilan atau Infeksi Menular
Seksual (IMS) seperti sifilis, infeksi organ reproduksi, malaria
dan tuberkulosis juga berisiko meningkatkan kadar HIV pada
darah ibu, sehingga risiko penularan HIV kepada bayi semakin
besar. Faktor risiko terakhir pada ibu adalah masalah pada
payudara. Gangguan pada payudara ibu misalnya; puting lecet,
mastitis dan abses pada payudara. Hal ini akan meningkatkan
risiko penularan HIV melalui pemberian ASI.
b. Faktor bayi.
Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir, baik
bayi prematur atau bayi dengan berat lahir rendah lebih rentan
tertular HIV karena sistem organ dan kekebalan tubuh belum
berkembang baik. Periode pemberian ASI setelah melahirkan
meningkatkan risiko penularan melalui pemberian ASI bila ibu
tidak mendapatkan terapi antiretroviral, besar risikonya berkisar
antara 5-20%. Adanya luka di mulut bayi juga memiliki risiko
penularan lebih besar ketika bayi diberi ASI.

c. Faktor tindakan obstetrik.

Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi


pada saat persalinan, karena tekanan pada plasenta meningkat
sehingga bisa menyebabkan terjadinya hubungan antara darah
ibu dan darah bayi. Selain itu, bayi terpapar darah dan lendir
ibu di jalan lahir. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan
risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan
adalah sebagai berikut :
1) Jenis persalinan
Risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih besar
daripada persalinan seksio sesaria; namun, seksio sesaria
memberikan banyak risiko lainnya untuk ibu. Jenis persalinan
yang disarankan pada wanita hamil dengan infeksi HIV
dipengaruhi adanya kontraindikasi obstetrik dan viral load
pada usia gestasi 36 minggu. Bagi wanita dengan viral load <
50 kopi/mL tanpa kontraindikasi obstetrik, disarankan
persalinan per vaginam. Bagi wanita dengan viral load > 400
kopi/mL, disarankan persalinan dengan seksio sesarea. Untuk
wanita dengan viral load 50 – 399 kopi/mL pada usia gestasi
36 minggu seksio sesarea dapat dipertimbangkan sesuai
perkiraan viral load, lama terapi, faktor obstetrik, dan
pertimbangan pasien. Bagi wanita dengan riwayat seksio
sesarea dan viral load kurang dari 50 kopi/mL, dapat dicoba
persalinan per vaginam. Saat seksio sesarea yang disarankan
adalah pada usia gestasi 38 hingga 39 minggu (Hartanto,
2019).
2) Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan, risiko penularan HIV dari ibu
ke anak juga semakin tinggi, karena kontak antara bayi dengan
darah/ lendir ibu semakin lama.
3) Ketuban pecah
Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan
meningkatkan risiko penularan hingga dua kali dibandingkan
jika ketuban pecah kurang dari empat jam.
4) Tindakan episiotomi
Proses kelahiran menggunakan teknik ekstraksi vakum dan
forsep meningkatkan risiko penularan HIV.

Persalinan ibu hamil HIV harus dilakukan di fasilitas


kesehatan. Persalinan dirumah, terutama pada daerah pedesaan
meningkatkan risiko transmisi HIV dari ibu ke anak sebanyak
2.82 kali lipat dibandingkan dengan persalinan di faskes (Koye,
2013). Persalinan baik pervaginam atau melalui bedah sesarea
dilakukan berdasarkan indikasi medis ibu/bayinya dan
menerapkan kewaspadaan standar untuk pencegahan infeksi. Ibu
hamil HIV dapat bersalin secara pervaginam bila ibu telah minum
ARV teratur > 6 bulan atau diketahui kadar viral load < 1000
kopi/mm3 pada minggu ke-6 (KKRI, 2016).

Anak yang disusui oleh ibu HIV positif (dan belum


mendapatkan terapi ARV) berisiko 12 kali lipat terinfeksi HIV
dibandingkan dengan yang tidak disusui. Ibu HIV positif yang
menyusui secara eksklusif (meskipun diberikan ARV jangka
pendek) berisiko menularkan HIV pada bayinya sebesar 15-25%,
sedangkan pada ibu yang tidak menyusui yaitu sebesar 5- 15%.
ASI diketahui mengandung HIV dalam kadar tertentu. Kadar HIV
tertinggi pada ASI terjadi pada 1 minggu sampai 3 bulan
pospartum, sehingga risiko transmisi HIV melalui ASI tertinggi
pada 6 bulan pertama kehidupan, kemudian menurun bertahap
pada bulan berikutnya. Kadar HIV dalam ASI dipengaruhi oleh
kadar HIV serum darah ibu, CD4 ibu dan defisiensi vitamin A.
Risiko transmisi semakin meningkat jika terdapat faktor lain
seperti mastitis, abses mammae, lesi mukosa oral bayi,
prematuritas dan respon imun bayi.

Pemberian mixed feeding (ASI + susu fomula) pada bayi 4


kali lipat berisiko terjadi transmisi HIV dari ibu ke anak selama
periode menyusui (Koye, 2013). Salah satu penelitian
mendapatkan bahwa anak yang hanya menerima ASI eksklusif 3
bulan saja dan anak yang hanya menerima susu formula saja
memiliki risiko transmisi HIV yang lebih kecil (14,6%)
dibandingkan dengan anak yang menerima mixed feeding (24,1%).
Kemungkinan, hal ini terjadi karena anak yang mendapatkan
mixed feeding terpapar air dan makanan terkontaminasi sehingga
merusak saluran cerna bayi dan mempermudah akses masuk HIV
pada ASI kedalam tubuh bayi (Alam, 2016). Oleh karena itu,
WHO dan Kementerian Kesehatan merekomendasikan untuk
menghindari pemberian ASI oleh ibu positif HIV. Jika kondisi
tidak memungkinkan, orang tua disarankan untuk memilih salah
satu saja antara ASI eksklusif atau susu formula, bukan
mencampurnya. Pemberian ARV jangka panjang pada ibu HIV
menyusui dan pemendekan periode menyusui juga dapat
menurunkan risiko transmisi sebesar 1-5%, sehingga risiko
transmisi pada ibu yang menyusui ekslusif dapat sama dengan ibu
yang tidak menyusui (Alam, 2016).

4. Perjalanan Klinis HIV

Terdapat tiga fase perjalanan alamiah infeksi HIV.


Perjalanan alamiah dari infeksi HIV yang pertama disebut sebagai
masa jendela (window period), yaitu tubuh sudah terinfeksi HIV,
namun pada pemeriksaan darahnya masih belum ditemukan
antibodi anti-HIV. Pada masa jendela yang biasanya berlangsung
sekitar dua minggu sampai tiga bulan sejak infeksi awal ini,
penderita sangat mudah menularkan HIV kepada orang lain.
Sekitar 30-50% orang mengalami gejala infeksi akut berupa
demam, nyeri tenggorokan, pembesaran kelenjar getah bening,
ruam kulit, nyeri sendi, sakit kepala, bisa disertai batuk seperti
gejala flu pada umumnya yang akan mereda dan sembuh dengan
atau tanpa pengobatan. Fase “flu-like syndrome” ini terjadi akibat
serokonversi dalam darah, saat replikasi virus terjadi sangat hebat
pada infeksi primer HIV (KKRI, 2016).

Fase yang kedua yaitu masa laten yang bisa tanpa


gejala/tanda (asimtomatik) hingga gejala ringan. Tes darah
terhadap HIV menunjukkan hasil yang positif, walaupun gejala
penyakit belum timbul. Penderita pada fase ini penderita tetap
dapat menularkan HIV kepada orang lain. Masa tanpa gejala rata-
rata berlangsung selama 2-3 tahun; sedangkan masa dengan gejala
ringan dapat berlangsung selama 5-8 tahun, ditandai oleh berbagai
radang kulit seperti ketombe, folikulitis yang hilang timbul
walaupun diobati.

Fase terkahir disebut masa AIDS, yang merupakan fase


terminal infeksi HIV dengan kekebalan tubuh yang telah menurun
drastis sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi
oportunistik, berupa peradangan berbagai mukosa, misalnya
infeksi jamur di mulut, kerongkongan dan paru-paru. Infeksi TB
banyak ditemukan di paru-paru dan organ lain di luar paru-paru.
Sering ditemukan diare kronis dan penurunan berat badan sampai
lebih dari 10% dari berat awal.

World Health Organization (WHO) menyatakan stadium


klinis infeksi HIV yang dapat digunakan untuk memandu
tatalaksana penderita HIV secara komprehensif berkesinambungan
jika tes cepat HIV (rapid test HIV) dengan metoda tiga reagen
secara serial (strategi tiga serial) menunjukkan hasil reaktif.
Stadium klinis ini berguna untuk memandu tatalaksana penderita
HIV secara komprehensif dan berkesinambungan.

Tabel 2.1 Stadium Klinis Infeksi HIV (WHO, 2011)

5. Penegakkan Diagnosis
a. Diagnosis HIV pada Ibu
Layanan konseling dan tes HIV sukarela atau Voluntary
Counseling and Testing (VCT) merupakan salah satu komponen
penting dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi.
Cara untuk mengetahui status HIV seseorang adalah melalui tes
darah. Prosedur pelaksanaan tes darah didahului dengan konseling
sebelum dan sesudah tes, menjaga kerahasiaan serta adanya
persetujuan tertulis (informed consent).
Jika status HIV sudah diketahui, untuk ibu dengan status
HIV positif dilakukan intervensi agar ibu tidak menularkan HIV
kepada bayi yang dikandungnya. Untuk yang HIV negatif sekalipun
masih dapat berkontribusi dalam upaya mencegah penularan HIV
dari ibu ke bayi, karena dengan adanya konseling perempuan
tersebut akan semakin paham tentang bagaimana menjaga
perilakunya agar tetap berstatus HIV negatif. Layanan konseling
dan tes HIV tersebut dijalankan di layanan kesehatan ibu dan anak
dan layanan keluarga berencana di tiap jenjang pelayanan
kesehatan.
Pengambilan darah untuk tes HIV dilakukan sekaligus
untuk tes lainnya dilakukan oleh tenaga medis dan/atau teknisi
laboratorium yang terlatih. Bila tidak ada tenaga medis dan/ atau
teknisi laboratorium maka tenaga kesehatan lain (bidan atau perawat
terlatih) dapat melakukannya. Cara pengambilan darah seperti biasa,
mengikuti prosedur standar. Tes diagnostik HIV dapat dilakukan
secara serologis dan virologis. Pemeriksaan serologis dilakukan
dengan metode rapid diagnostic test (RDT) atau Enzyme Immuno
Assay (EIA) yang menggunakan antibodi atau fraksi protein.
Pemeriksaan virus menggunakan metode PCR (Polymerase Chain
Reaction).
Gambar 2.2 Alur Tes HIV-Sifilis atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan
Konseling (KKRI, 2015)

b. Diagnosis HIV pada Bayi


Mulai kehamilan trimester ketiga, antibodi dari ibu
termasuk antibodi terhadap HIV ditransfer secara pasif kepada
janin, dan dapat terdeteksi sampai anak berumur 18 bulan. Oleh
karena itu, pemeriksaan serologis HIV pada anak kurang dari 18
bulan dapat menunjukkan hasil reaktif, walaupun anak tersebut
tidak terinfeksi HIV. Diagnosis HIV pada bayi dan anak dapat
menggunakan uji virologi dan serologi. Uji Virologi Uji virologi
digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik, yang biasanya
dilakukan setelah bayi berumur enam minggu dan dianjurkan untuk
mendiagnosis bayi berumur kurang dari 18 bulan. Berikut ini adalah
cara pemeriksaan tesHIV pada bayi (KKRI, 2015):
1) Uji virologi yang dianjurkan: PCR DNA pada sampel darah
lengkap (whole blood) atau dried blood spot (DBS), PCR HIV RNA
(viral load) pada plasma.
2) Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk
diperiksa dengan uji virologi pada umur 4-6 minggu atau sesegera
mungkin.
3) Pada bayi dengan pemeriksaan virologi pertama yang hasilnya
positif, maka terapi ARV harus segera dimulai. Pada saat yang
sama dilakukan pengambilan sampel darah kedua untuk
pemeriksaan uji virologi kedua. Hasil pemeriksaan virologi kedua
harus segera diberikan kepada tempat pelayanan, maksimal dalam
empat minggu kemudian. Hasil positif harus segera diikuti dengan
di mulainya terapi ARV
c. Uji serologi
Uji serologi pada anak umur kurang dari 18 bulan
digunakan sebagai uji untuk menentukan adanya paparan/pajanan
HIV selama kehamilan dan persalinan, sedangkan pada anak umur
lebih dari 18 bulan digunakan sebagai uji diagnostik. Berikut ini
kriteria penegakkan diagnosis HIV pada anak :
1) Anak umur kurang dari 18 bulan terpajan HIV yang tampak
sehat dan belum diuji virologi, dianjurkan untuk diuji serologi
pada umur sembilan bulan. Bila hasilnya positif, maka harus
segera diikuti uji virologi untuk identifikasi kasus yang
memerlukan terapi ARV. Jika uji serologi positif dan uji
virologi belum tersedia, perlu dilakukan pemantauan klinis ketat
dan uji serologi ulang pada usia 18 bulan.
2) Anak umur kurang dari 18 bulan dengan gejala infeksi HIV, uji
serologi harus dilakukan dan jika positif diikuti uji virologi.
3) Anak umur kurang dari 18 bulan yang sakit dan diduga
disebabkan oleh infeksi HIV, namun uji virologi tidak dapat
dilakukan, maka diagnosis ditegakkan dengan menggunakan
algoritme diagnosis presumtif.
4) Pada anak umur kurang dari 18 bulan yang masih mendapat
ASI, prosedur diagnostik awal dilakukan tanpa perlu
menghentikan pemberian ASI.
5) Anak umur 18 bulan ke atas memakai cara yang sama dengan
tes HIV pada orang dewasa. Perhatian khusus diberikan untuk
anak yang masih mendapat ASI pada usia ini, karena tes HIV
baru dapat ditafsirkan dengan baik bila ASI sudah dihentikan
selama lebih dari enam minggu. Pada usia lebih dari 18 bulan,
ASI bukan lagi sumber nutrisi utama, oleh karena itu cukup
aman bila ibu diminta untuk menghentikan ASI sebelum
dilakukan tindakan untuk diagnosis HIV.
6. Tatalaksana
a. Pemberian ARV pada Ibu Hamil dengan Infeksi HIV
Merujuk pada pedoman muktahir, semua ibu hamil dengan
HIV diberi terapi ARV, tanpa harus memeriksakan jumlah CD4
dan viral load terlebih dahulu, karena kehamilan itu sendiri
merupakan indikasi pemberian ARV yang dilanjutkan seumur
hidup. Pemeriksaan CD4 dilakukan untuk memantau pengobatan
bukan sebagai acuan untuk memulai terapi. Untuk memulai terapi
ARV perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
1) Persiapan klien secara fisik/mental untuk menjalani terapi
melalui edukasi prapemberian ARV;
2) Infeksi oportunistik, jika ada infeksi maka infeksi tersebut perlu
diobati terlebih dahulu. Terapi ARV baru bisa diberikan setelah
infeksi oportunistik diobati dan stabil (kira-kira setelah dua minggu
sampai dua bulan pengobatan).
3) Profilaksis kotrimoksazol diberikan pada stadium klinis 2, 3, 4
dan atau CD4 < 200. Untuk mencegah PCP, Toksoplasma, infeksi
bacterial (pneumonia, diare) dan berguna juga untuk mencegah
malaria pada daerah endemis.
4) Ibu hamil dengan tuberkulosis: OAT selalu diberikan
mendahului ARV sampai kondisi klinis pasien memungkinkan
(kira-kira dua minggu sampai dua bulan) dengan fungsi hati baik
untuk memulai terapi ARV.
Syarat pemberian ARV pada ibu hamil dikenal dengan
singkatan SADAR, yaitu sebagai berikut.
1) Siap: menerima ARV, mengetahui dengan benar efek ARV
terhadap infeksi HIV.
2) Adherence: kepatuhan minum obat.
3) Disiplin: minum obat dan kontrol ke dokter.
4) Aktif: menanyakan dan berdiskusi dengan dokter mengenai
terapi.
5) Rajin: memeriksakan diri jika timbul keluhan.
Secara umum, yang direkomendasikan untuk ibu hamil
HIV positif adalah terapi menggunakan kombinasi tiga obat (2
NRTI + 1 NNRTI). Perlu dihindari penggunaan “triple nuke” (3
NRTI). Paduan obat ARV Kombinasi Dosis Tetap / Fixed Dose
Combination (FDC): TDF (300mg) + 3TC (300mg) + EFV
(600mg). Untuk ibu yang status HIV-nya diketahui sebelum
kehamilan dan sudah mendapatkan ARV, maka ARV tetap
diteruskan dengan paduan obat yang sama seperti saat sebelum
hamil. Untuk ibu hamil yang status HIV diketahui saat kehamilan,
segera diberikan ARV tanpa melihat umur kehamilan, berapapun
nilai CD4 dan stadium klinisnya. Untuk ibu hamil yang status
HIV-nya diketahui dalam persalinan, segera diberikan ARV.
Pilihan Paduan obat ARV sama dengan ibu hamil dengan HIV
lainnya.
Tabel 2.1 Pemberian Obat ARV pada Ibu Hamil

No Kondisi Rekomendasi Pengobatan

1.  ODHA hamil, segera TDF(300mg) + 3TC (300mg) +


terapi ARV EFV (600mg)
 ODHA datang pada Alternatif:
masa persalinan dan •AZT (2x300mg) + 3TC
belum mendapat terapi (2x150mg) + NVP (1x200mg,
ARV, lakukan tes, bila setelah 2 minggu 2x200mg)
hasil reaktif berikan •TDF (1x300mg) + 3TC (atau
ARV FTC) (2x150mg) + NVP
(2x200mg)
•AZT (2x300mg) + 3TC
(2x150mg) + EFV (1x600mg)

2. ODHA sedang Lanjutkan dengan ARV yang


menggunakan ARV dan sama selama dan sesudah
kemudian hamil persalinan

3. ODHA hamil dengan •TDF (1x300mg) + 3TC (atau


hepatitis B yang FTC) (1x300mg) + EFV
memerlukan terapi (1x600mg) atau
•TDF (1x300mg) + 3TC (atau
FTC) (2x150mg) + NVP
(2x200mg)

4. ODHA hamil dengan •Bila OAT sudah diberikan, maka


tuberkulosis aktif dilanjutkan. Bila belum diberikan,
maka OAT diberikan terlebih
dahulu sebelum pemberian ARV.
•Rejimen untuk ibu bila OAT
sudah diberikan dan tuberkulosis
telah stabil: TDF + 3TC + EFV
Keterangan: AZT/ZDV: zidovudin; 3TC: lamivudin; FTC: emtricitabin;
NVP: nevirapin; EFV: efavirens; TDF: tenovofir
b. Pemberian ARV dan Kotrimoksasol Profilaksis pada Bayi
Pemberian ARV dan Kotrimoksasol Profilaksis pada Bayi
Pemberian ARV pada bayi mengikuti Pedoman HIV pada Anak
(2013). Sejak ARV dimulai, diperlukan kepatuhan terhadap aturan
pemberian obat setiap hari, karena ketidakpatuhan merupakan
penyebab utama kegagalan pengobatan. Persiapan amat penting
dilakukan sebelum memulai pemberian ARV, yaitu persiapan
pengasuh bayi dan faktor yang mempengaruhi kepatuhan
pengobatan. Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik yang
diberi ASI eksklusif maupun susu formula, harus diberi zidovudin
sejak hari pertama (umur 12 jam), selama enam minggu. Berikut
ini adalah dosis zidovudin/AZT:
1) Bayi cukup bulan: 4 mg/kg BB/12 jam selama enam minggu.
2) Bayi prematur < 30 minggu: 2 mg/kg BB tiap 12 jam selama
empat minggu, kemudian 2 mg/kg BB tiap delapan jam selama
dua minggu.
3) Bayi prematur 30-35 minggu: 2 mg/kg BB tiap 12 jam selama
dua minggu pertama, kemudian 2 mg/kg BB tiap delapan jam
selama dua minggu diikuti 4 mg/kg BB/12 jam selama dua
minggu.

Bila pada minggu keenam, bila diagnosis HIV belum dapat


disingkirkan, maka diperlukan pemberian kotrimoksasol
profilaksis sampai usia 12 bulan atau sampai dinyatakan HIV
negative/ non-reaktif. Keluarga pasien harus diberitahu bahwa
kotrimoksazol tidak mengobati dan menyembuhkan infeksi HIV
tetapi mencegah infeksi yang umum terjadi pada bayi yang
terpajan HIV. Profilaksis kotrimoksazol dapat dihentikan pada bayi
yang terpajan HIV sesudah dipastikan tidak tertular HIV (setelah
ada hasil laboratorium baik PCR maupun antibodi pada usia
sesuai). Pada anak umur 1 sampai 5 tahun yang terinfeksi HIV,
cotrimoksazol profilaksis dihentikan jika CD4 >25% (KKRI,
2015).
Prinsip umum untuk pemberian vaksinasi pada bayi yang
terkena infeksi HIV adalah tetap diberikan seperti pada bayi
lainnya, termasuk memberikan vaksin hidup (BCG, polio oral,
campak), kecuali bila terdapat gejala klinis infeksi HIV. Jadwal
pemberian imunisasi mengikuti buku KIA terbaru. Tidak boleh ada
pelabelan HIV, namun kewaspadaan standar tetap dilakukan.

d. Pencegahan Penularan Infeksi HIV dari Ibu ke Anak


1. Prong 1 : Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia
reproduksi

a. KIE tentang HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi

b. Dukungan psikologis kepada perempuan usia reproduksi yang


mempunyai perilaku atau pekerjaan berisiko dan rentan untuk
tertular HIV agar bersedia melakukan tes HIV

c. Dukungan sosial dan perawatan bila hasil tes positif


2. Prong 2 : Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada
perempuan dengan HIV

a. Meningkatkan akses ODHA ke layanan KB yang menyediakan


informasi dan saran pelayanan kontrasepsi yang aman dan efektif

b. Memberikan konseling dan pelayanan KB berkualitas tentang


perencanaan kehamilan dan pemilihan metode kontrasepsi yang
sesuai, kehidupan seksual yang aman dan penanganan efek
samping KB.

c. Menyediakan alat dan obat kontrasepsi yang sesuai untuk


perempuan dengan HIV

d. Memberikan dukungan psikologis, sosial, medis dan keperawatan


3. Prong 3 : Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV
ke bayi yang dikandungnya

a. Layanan antenatal terpadu termasuk tes HIV


Kegiatan ini merupakan kegiatan penting yang
dilaksanakan dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat
tentang HIV dan AIDS demi mencegah meluasnya penularan
infeksi HIV. Untuk upaya PPIA, Program Kesehatan
Ibu/Reproduksi melakukan KIE dengan sasaran wanita usia
reproduksi, khususnya ibu hamil, calon pengantin, remaja dan
pasangan suami-isteri yang mengunjungi fasilitas pelayanan KIA,
KB dan pelayanan kesehatan peduli remaja. Di puskesmas,
pemberian KIE tentang pencegahan penularan HIV dan sifilis
diintegrasikan dengan layanan KIA, KB, kesehatan peduli remaja,
kelas ibu hamil, kegiatan kelompok pendamping ibu; dan layanan
IMS, tuberkulosis dan gizi (KKRI, 2015).

Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif


meliputi layanan pra persalinan, pasca persalinan serta kesehatan
anak. Pelayanan kesehatan ibu dan anak bisa menjadi awal atau
pintu masuk upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi
bagi seorang ibu hamil. Pemberian informasi pada ibu hamil dan
suaminya ketika datang ke klinik kesehatan ibu dan anak akan
meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan mereka tentang
kemungkinan adanya risiko penularan HIV diantara mereka,
termasuk juga risiko lanjutan berupa penularan HIV dari ibu ke
bayi. Harapannya, dengan kesadarannya sendiri mereka akan
sukarela melakukan konseling dan tes HIV.

Berbagai bentuk layanan yang diberikan klinik kesehatan


ibu dan anak, seperti : imunisasi untuk ibu, pemeriksaan IMS
terutama sifilis, pemberian suplemen zat besi, dapat meningkatkan
status kesehatan semua ibu hamil, termasuk ibu hamil HIV positif.
Hendaknya klinik kesehatan ibu dan anak juga menjangkau dan
melayani suami atau pasangannya sehingga terdapat keterlibatan
aktif para suami atau pasangannya dalam upaya pencegahan
penularan HIV dari ibu ke bayi.
Gambar 2.1

Alur layanan KIE tentang HIV pada wanita usia subur


(KKRI,2015)

b. Menegakkan diagnosis HIV.

c. Pemberian terapi antiretroviral (untuk HIV) bagi ibu

d. Konseling kehamilan dan persalinan

Tujuan persalinan aman bagi ibu dengan HIV adalah


menurunkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi, serta risiko
terhadap ibu, tim penolong (medis/non-medis) dan pasien lainnya.
Persalinan melalui bedah sesar berisiko lebih kecil untuk penularan
terhadap bayi, namun menambah risiko lainnya untuk ibu. Risiko
penularan pada persalinan per vaginam dapat diperkecil dan cukup
aman bila ibu mendapat pengobatan ARV selama setidaknya enam
bulan dan/atau viral load kurang dari 1000 kopi/mm3 pada minggu
ke 36.

e. Konseling menyusui dan pemberian makanan bagi bayi dan anak

Pemberian nutrisi yang dianjurkan bagi bayi yang belum


diketahui status HIV-nya sebagai berikut.
1) Konseling pemilihan makanan bayi yang terkait risiko
penularan HIV diberikan sejak sebelum persalinan.
2) Pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh ibu/keluarga
setelah mendapat informasi dan konseling secara lengkap.
Pilihan apapun yang diambil seorang ibu haruslah didukung.
3) Pilihan yang diambil haruslah antara ASI saja atau susu
formula saja (bukan mixed feeding).
4) Sangat tidak dianjurkan untuk mencampur ASI dengan susu
formula, karena memiliki risiko tertinggi untuk terjadinya
penularan virus HIV kepada bayi. Hal ini karena susu formula
adalah benda asing yang dapat menimbulkan perubahan
mukosa dinding usus dan mempermudah masuknya virus HIV
yang ada dalam ASI ke aliran darah bayi.
5) Ibu dengan HIV boleh memberikan susu formula bagi bayinya
yang HIV negatif atau tidak diketahui status HIV-nya, jika
seluruh syarat AFASS (Affordable/ terjangkau, Feasible/
mampu laksana, Acceptable/ dapat diterima, Sustainable/
berkesinambungan dan Safe/ aman) dapat dipenuhi.
Pemenuhan syarat AFASS ditandai dengan adanya rumah
tangga dan masyarakat yang memiliki jaminan atas akses air
bersih dan sanitasi yang baik, ibu atau keluarganya sepenuhnya
mampu menyediakan susu formula dalam jumlah cukup untuk
mendukung tumbuh kembang anak, ibu atau keluarganya
mampu menyiapkan susu formula dengan bersih dan dengan
frekuensi yang cukup, sehingga bayi aman dan terhindar dari
diare dan malnutrisi, ibu atau keluarganya dapat memenuhi
kebutuhan susu formula secara terus-menerus sampai bayi
berusia 6 bulan, keluarga mampu memberikan dukungan
dalam proses pemberian susu formula yang baik, dan ibu atau
keluarganya dapat mengakses pelayanan kesehatan yang
komprehensif bagi bayinya.
6) Bila syarat-syarat pada Butir 5 terpenuhi maka susu formula
dapat diberikan dengan cara penyiapan yang baik. Di negara
berkembang, syarat tersebut sulit dipenuhi, karena itu WHO
menganjurkan pemberian ASI, yang cukup aman selama ibu
mendapat terapi ARV secara teratur dan benar.
7) Untuk melakukan penghentian ASI, (setelah syarat pada Butir 5
terpenuhi) bayi dapat secara total diberi susu formula, sehingga
produksi ASI akan terhenti secara berangsur. Sementara
menunggu terhentinya produksi ASI, untuk menghindari
terjadinya mastitis pada payudara ibu, ASI diperah dengan
frekuensi yang dikurangi secara bertahap hingga produksi ASI
berhenti. ASI perah tersebut tidak diberikan kepada bayi.
8) Pada bayi yang diberi ASI, bila setelah enam bulan syarat-
syarat pada Butir 5 belum dapat terpenuhi maka ASI tetap dapat
diberikan dengan cara diperah dan dipanaskan (heat-treated)
dan diberikan dengan menggunakan gelas kaca atau gelas/ botol
plastik No. 5 (PP/ Polypropilen), sementara bayi mulai
mendapat makanan pendamping seperti biasa (lihat Lampiran
4). Pada usia 12 bulan ASI harus dihentikan dan makanan
keluarga diberikan sebagai sumber nutrisi utama.
Jika bayi telah diketahui HIV positif, ibu sangat dianjurkan
untuk memberikan ASI eksklusif sampai bayi berumur enam bulan,
mulai usia enam bulan, bayi diberikan makanan pendamping ASI
dan ASI tetap dilanjutkan sampai anak berumur dua tahun.

f. Konseling pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada


anak

g. Persalinan yang aman dan pelayanan KB pasca persalinan

Tabel 2.3 Keuntungan dan Kerugian Jenis Persalinan (KKRI, 2015)


Hal-hal berikut perlu diperhatikan dalam memberikan
pertolongan persalinan yang optimal pada ibu dengan HIV (KKRI,
2015):

1) Pelaksanaan persalinan, baik melalui seksio sesarea maupun per


vaginam, perlu memperhatikan kondisi fisik ibu dan indikasi
obstetrik.

2) Ibu hamil dengan HIV harus mendapatkan informasi


sehubungan dengan keputusannya untuk menjalani persalinan per
vaginam ataupun melalui seksio sesarea.

3) Tindakan menolong persalinan ibu dengan HIV, baik per


vaginam maupun seksio sesarea harus memperhatikan
kewaspadaan umum yang berlaku untuk semua persalinan

Perawatan nifas bagi ibu dengan HIV pada dasarnya sama


dengan perawatan nifas pada ibu nifas normal. Terdapat beberapa
hal berikut yang perlu diperhatikan yaitu, pertama bagi ibu yang
memilih tidak menyusui dapat dilakukan penghentian produksi
ASI. Kedua, pengobatan, perawatan dan dukungan secara
berkelanjutan diberikan, di samping tata laksana infeksi
oportunistik terhadap pengidap HIV/AIDS dan dukungan edukasi
nutrisi. Ketiga, pelayanan kontrasepsi pasca persalinan diutamakan
agar tidak terjadi kehamilan yang tidak terencana dan
membahayakan ibu dan janin yang dikandungnya.

h. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada bayi

i. Memberikan dukungan psikologis, sosial, dan keperawatan bagi ibu


selama hamil, bersalin dan bayinya.

Semua kegiatan di atas akan efektif jika dijalankan secara


berkesinambungan. Kombinasi kegiatan tersebut merupakan strategi
yang paling efektif untuk mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi
HIV dan sifilis serta mengurangi risiko penularan dari ibu ke anak pada
masa kehamilan, persalinan dan pasca kelahiran.
4. Prong 4 : Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan
kepada ibu dengan HIV beserta anak dan keluarganya

a. Dukungan psikososial

1) Dukungan emosional : empati dan kasih sayang

2) Dukungan penghargaan : sikap dan dukungan positif

3) Dukungan instrumental : dukungan untuk ekonomi keluarga

4) Dukungan informasi : semua informasi terkait HIV/AIDS dan


seluruh layanan pendukung, termasuk informasi kontak
petugas kesehatan/LSM/kelompok dukungan sebaya
b. Dukungan medis dan perawatan
1) Bagi ibu

1. Pemeriksaan dan pemantauan kondisi kesehatan

2. Pengobatan dan pemantauan terapi ARV

3. Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik

4. Konseling dan dukungan kontrasepsi dan pengaturan


kehamilan

5. Konseling dan dukungan asupan gizi

6. Layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat

7. Kunjungan rumah
2) Bagi bayi/anak
a) Diagnosis HIV pada bayi dan anak

b) Pemberian kotrimoksazol profilaksis

c) Pemberian ARV pada bayi dengan HIV

d) Informasi dan edukasi pemberian makanan bayi/anak


e) Pemeliharaam kesehatan dan pemantauan tumbuh
kembang anak

f) Pemberian imunisasi

c. Penyuluhan untuk keluarga

1) Cara penularan HIV dan pencegahannya (anjuran tes HIV dan


sifilis bagi pasangan ibu hamil HIV dan sifilis)

2) Penggerakan dukungan masyarakat bagi keluarga

Gambar 2.3 Alur kegiatan PPIA komprehensif dan berkesinambungan dengan


pendekatan prong 1-4 (KKRI, 2015).
BAB III
KESIMPULAN

A. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) atau


Prevention of Mother- to-Child HIV Transmission (PMTCT)
merupakan upaya intervensi untuk mencegah penularan HIV dari
ibu ke anak.
B. Lebih dari 90% anak dengan HIV terinfeksi dari ibunya, setengah
dari jumlah tersebut meninggal sebelum usia 2 tahun. Angka
estimasi kematian anak akibat HIV diperkirakan akan terus
meningkat.
C. Penularan HIV dari ibu ke anak dapat terjadi selama periode
kehamilan, persalinan dan menyusui.
D. Pendekatan program PPIA terdiri dari 4 prong, yaitu 1)
pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi, 2)
pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan
dengan HIV, 3) pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan
HIV ke bayi yang dikandungnya, dan 4) pemberian dukungan
psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta
anak dan keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi
Robbins. Edisi 9. Singapura: Elsevier Saunders

Alam, A., Riyadi, R., Suryaningrat, F.R., Siauta, Y., Yelliantty, Y.


2016. Breastfeeding in Mother to Child Transmission in HIV
Patient in West Java. American Journal of Pediatrics. Vol
2(4):15-18.

Hartanto, M. 2019. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)


dalam Kehamilan.Fakultas Kedokteran Unversitas Katolik
Atma Jaya. CDK-276/ vol. 46 no. 5 : 346-351.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Pedoman


Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis
dari Ibu ke Anak. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Petunjuk Teknis


Program Pengendalian HIV-AIDS dan PIMS Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama. Jakarta : Kementerian Kesehatan
RI.

Kementerian Kesehatan RI. 2018. INFODATIN Pusat Data dan


Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi Umum HIV-
AIDS dan Tes HIV. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.

Koye, D.N., Zeleke, B.M. 2013. Mother-to-Child Transmission of HIV


and Its Predictors Among HIV-exposed Infants at a PMTCT
Clinic in Northwest Ethiopia. BMC Public Health. Vol
13(398):1-6.

Nurjanah, N. A. L., & Wahyono, T. Y. M. 2019. Tantangan


Pelaksanaan Program Prevention Of Mother To Child
Transmission (PMTCT): Systematic Review. Jurnal
Kesehatan Vokasional, 4(1), 55-64.

UNAIDS (2019). Global HIV & AIDS statistics - 2019 fact sheet.
Tersedia pada: hp://www.unaids.org/en/resources/fact -sheet.
Diakses pada 2 Februari 2020.

WHO Regional Office for South-east Asia. 2011. Management of


sexually transmitted infections. Regional guidelines. New
Delhi: WHO SEARO.
Yuliyanasari, N. (2017). Global Burden Disease–Human
Immunodeficiency Virus–Acquired Immune Deficiency
Syndrome (HIV-AIDS). Qanun Medika-Medical Journal
Faculty of Medicine Muhammadiyah Surabaya, 1(01).

Anda mungkin juga menyukai