Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

PERBANDINGAN ANTARA PEMBERIAN


LARUTAN SALINE 0.9%-DEXTROSE 5%
DENGAN PEMBERIAN LARUTAN SALINE
0.9% PADA REHIDRASI HIPEREMESIS
GRAVIDARUM
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh:
Zulqaidandy Rahman
2012 031 0133

Diajukan kepada:
dr. Erick Yuane, Sp.OG.

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan


Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Departemen Ilmu Obstetri dan Ginekologi
Rumah Sakit Panembahan Senopati

1
HALAMAN PENGESAHAN
PERBANDINGAN ANTARA PEMBERIAN LARUTAN SALINE 0.9%-
DEXTROSE 5% DENGAN PEMBERIAN LARUTAN SALINE 0.9% PADA
REHIDRASI HIPEREMESIS GRAVIDARUM

Disusun oleh:
Zulqaidandy Rahman
2012 031 0133

Disetujui dan disyahkan pada tanggal:

Mengetahui,
Dosen Pembimbing

dr. Erick Yuane, Sp.OG.

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehamilan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan baik anatomis maupun


fisiologis pada ibu. Perubahan-perubahan ini mengakibatkan perubahan dalam nilai-nilai
normal berbagai hasil pemeriksaan laboratorium. Perubahan ini terjadi karena adanya
perubahan fungsi endokrin maternal, tumbuhnya plasenta yang juga berfungsi sebagai alat
endokrin, dan kebutuhan metabolism yang meningkat akibat pertumbuhan janin
(Siswosudarmo & Emilia, 2008).

Salah satu perubahan yang biasanya sangat disadari juga dikeluhkan pada saat
kehamilan adalah timbulnya keluhan pada organ gastrointestinal. Keluhan mual dan
muntah merupakan keluhan yang umum selama paruh pertama kehamilan. Mual dan
muntah dengan keparahan bervariasi biasanya muncul antara satu sampai dua periode
terlambat haid dan berlanjut 14-16 minggu. (Cunningham, et al., 2014). Keluhan ini
kadang memberat pada pagi hari sehingga sering disebut morning sickness, mual dan
muntah sering berlanjut sepanjang hari. Mual dan muntah dirasakanoleh tiga perempat
wanita hamil dan berlangsung rata-rata selama 35 hari. Sebagian besar mereda pada 14
minggu, dan 90 persen mereda pada 22 minggu (Cunningham, et al., 2014).

Mual dan muntah pada kehamilan biasanya dimulai pada kehamilan minggu ke-9
sampai ke-10, memberat pada minggu ke-11 sampai ke-13 dan berakhir pada minggu ke-
12 sampai ke-14. Hanya pada 1-10% kehamilan gejala berlanjut melewati minggu ke-20
sampai ke-22. Pada 0,3-2% kehamilan terjadi hiperemesis gravidarum yang menyebabkan
ibu harus ditata laksana dengan rawat inap (Gunawan, Kris, & Ocviyanti, 2011).

Pada sebagian wanita, muntah dapat menjadi sedemikian parah sehingga timbul
masalah dehidrasi, gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit,dan ketosis
kelaparan. Hal ini disebut sebagai hyperemesis gravidarum (Cunningham, et al., 2014).
Mual dan muntah ringan sampai sedang sangat sering dijumpai sampai sekitar 16 minggu.
Namun, pada sebagian wanita keluhan ini parah dan tidak berespon terhadap modifikasi
diet sederhana dan antiemetic (Cunningham, et al., 2014). Angka rawat-inap untuk
hiperemesis gravidarum adalah 0.5-0.8 persen. Pada wanita yang pernah dirawat-inap
karena hiperemesis pada kehamilan sebelumnya, hampir 20% memerlukan rawat-inap
pada kehamilan berikutnya (Cunningham, et al., 2014).

Hiperemesis gravidarum jarang menyebabkan kematian,tetapi angka kejadiannya


masih cukup tinggi. Hampir 25% pasien hiperemesis gravidarum dirawat inap lebih dari
sekali. Terkadang, kondisi hiperemesis yang terjadi terus-menerus dan sulit sembuh
membuat pasien depresi. Pada kasus-kasus ekstrim, ibu hamil bahkan dapat merasa ingin
melakukan terminasi kehamilan (Gunawan, Kris, & Ocviyanti, 2011).

17
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hiperemesis Gravidarum

1. Definisi
Hiperemesis gravidarum didefinisikan secara beragam sebagai muntah
yang cukup parah untuk menyebabkan penurunan berat, dehidrasi, alkalosis
akibat keluarnya asam hidroklorida, dan hipokalemia (Cunningham, et al.,
2014). Hiperemesis gravidarum adalah kondisi mual dan muntah yang berat
dalam kehamilan dan sukar dikendalikan (Gunawan, Kris, & Ocviyanti, 2011).
2. Etiologi dan patogenesis
Emesis dan hipermesis gravidarum berkaitan erat dengan etiologi dan
patognesis mual dan muntah pada kehamilan. Penyebab pasti mual dan
muntah yang dirasakan ibu hamil belum diketahui, tetapi terdapat beberapa
teori yang mengajukan keterlibatan faktor faktor biologis, sosial dan
psikologis. Faktor biologis yang paling berperan adalah perubahan kadar
hormon selama kehamilan. Menurut teori terbaru, peningkatan kadar human
chorionic gonadotropin (hCG) akan menginduksi ovarium untuk memproduksi
estrogen, yang dapat merangsang mual dan muntah (JR, 2010). Perempuan
dengan kehamilan ganda atau mola hidatidosa yang diketahui memiliki kadar
hCG lebih tinggi daripada perempuan hamil lain mengalami keluhan mual dan
muntah yang lebih berat (JR, 2010). Progesteron juga diduga menyebabkan
mual dan muntah dengan cara menghambat motilitas lambung dan irama
kontraksi otot-otot polos lambung. Penurunan kadar thyrotropin-stimulating
hormone (TSH) pada awal kehamilan juga berhubungan dengan hiperemesis
gravidarum meskipun mekanismenya belum jelas. Hiperemesis gravidarum
merefleksikan perubahan hormonal yang lebih drastis dibandingkan kehamilan
biasa (Gunawan, Kris, & Ocviyanti, 2011).
3. Penegakan diagnosis
Keluhan muntah yang berat dan persisten tidak selalu menandakan
hiperemesis gravidarum. Penyebab-penyebab lain seperti penyakit
gastrointestinal, pielonefritis dan penyakit metabolik perlu dieksklusi (JK
Jueckstock, 2010). Satu indikator sederhana yang berguna adalah timbulnya

18
mual dan muntah pada hiperemesis gravidarum biasanya dimulai dalam
delapan minggu setelah hari pertama haid terakhir. Karena itu, kemunculan
gejala mual dan muntah pada trimester kedua atau ketiga menurunkan
kemungkinan hiperemesis gravidarum. Demam, nyeri perut atau sakit kepala
juga bukan merupakan gejala khas hiperemesis gravidarum. Pemeriksaan
ultrasonografi perlu dilakukan untuk mendeteksi kehamilan ganda atau mola
hidatidosa (Gunawan, Kris, & Ocviyanti, 2011).

(Gunawan, Kris, & Ocviyanti, 2011).


4. Deteksi Komplikasi Hiperemesis Gravidarum
Muntah yang terus-menerus disertai dengan kurang minum yang
berkepanjangan dapat menyebabkan dehidrasi. Jika terus berlanjut, pasien
dapat mengalami syok. Dehidrasi yang berkepanjangan juga menghambat
tumbuh kembang janin (Prawirohardjo, 2014). Oleh karena itu, pada
pemeriksaan fisik harus dicari apakah terdapat abnormalitas tanda-tanda vital,
seperti peningkatan frekuensi nadi (>100 kali per menit), penurunan tekanan
darah, kondisi subfebris, dan penurunan kesadaran. Selanjutnya dalam
pemeriksaan fisis lengkap dapat dicari tanda-tanda dehidrasi, kulit tampak
pucat dan sianosis, serta penurunan berat badan. Selain dehidrasi, akibat lain
muntah yang persisten adalah gangguan keseimbangan elektrolit seperti
penurunan kadar natrium, klor dan kalium, sehingga terjadi keadaan alkalosis
metabolik hipokloremik disertai hiponatremia dan hipokalemia. Hiperemesis
gravidarum yang berat juga dapat membuat pasien tidak dapat makan atau
minum sama sekali, sehingga cadangan karbohidrat dalam tubuh ibu akan

19
habis terpakai untuk pemenuhan kebutuhan energi jaringan. Akibatnya, lemak
akan dioksidasi. Namun, lemak tidak dapat dioksidasi dengan sempurna dan
terjadi penumpukan asam aseton-asetik, asam hidroksibutirik, dan aseton,
sehingga menyebabkan ketosis. Salah satu gejalanya adalah bau aseton (buah-
buahan) pada napas (Gunawan, Kris, & Ocviyanti, 2011). Pada pemeriksaan
laboratorium pasien dengan hiperemesis gravidarum dapat diperoleh
peningkatan relatif hemoglobin dan hematokrit, hiponatremia dan hipokalemia,
badan keton dalam darah dan proteinuria (Gunawan, Kris, & Ocviyanti, 2011).
Robekan pada selaput jaringan esofagus dan lambung dapat terjadi bila muntah
terlalu sering. Pada umumnya robekan yang terjadi kecil dan ringan, dan
perdarahan yang muncul dapat berhenti sendiri. Tindakan operatif atau
transfusi darah biasanya tidak diperlukan (JR, 2010). Perempuan hamil dengan
hiperemesis gravidarum dan kenaikan berat badan dalam kehamilan yang
kurang (<7 kg) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk melahirkan bayi dengan
berat badan lahir rendah, kecil untuk masa kehamilan, prematur, dan nilai
APGAR lima menit kurang dari tujuh (Gunawan, Kris, & Ocviyanti, 2011).
5. Tata Laksana Hiperemesis Gravidarum
Penatalaksanaan utama hiperemesis gravidarum adalah rehidrasi dan
penghentian makanan peroral. Pemberian antiemetik dan vitamin secara
intravena dapat dipertimbangkan sebagai terapi tambahan (Gunawan, Kris, &
Ocviyanti, 2011). Pasien hiperemesis gravidarum harus dirawat inap di rumah
sakit dan dilakukan rehidrasi dengan cairan natrium klorida atau ringer laktat,
penghentian pemberian makanan per oral selama 24-48 jam, serta pemberian
antiemetik jika dibutuhkan. Penambahan glukosa, multivitamin, magnesium,
pyridoxine, atau tiamin perlu dipertimbangkan (JK Jueckstock, 2010). Cairan
dekstrosa dapat menghentikan pemecahan lemak (Ogunyemi, 2010). Untuk
pasien dengan defisiensi vitamin, tiamin 100 mg diberikan sebelum pemberian
cairan dekstrosa. Penatalaksanaan dilanjutkan sampai pasien dapat
mentoleransi cairan per oral dan didapatkan perbaikan hasil laboratorium (JR,
2010). Pada emesis gravidarum, obat-obatan diberikan apabila
perubahan pola makan tidak mengurangi gejala, sedangkan pada hiperemesis
gravidarum, obat-obatan diberikan setelah rehidrasi dan kondisi hemodinamik
stabil (JR, 2010). Pemberian obat secara intravena dipertimbangkan jika

20
toleransi oral pasien buruk (Ogunyemi, 2010).Obat-obatan yang digunakan
antara lain adalah vitamin B6 (piridoksin), antihistamin dan agen-agen
prokinetik. American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG)
merekomendasikan 10 mg piridoksin ditambah 12,5 mg doxylamine per oral
setiap 8 jam sebagai farmakoterapi lini pertama yang aman dan efektif
(American College Of Obstetricians and Gynecologist, 2004). Dalam sebuah
randomized trial, kombinasi piridoksin dan doxylamine terbukti menurunkan
70% mual dan muntah dalam kehamilan. Suplementasi dengan tiamin dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi berat hiperemesis, yaitu
Wernickes encephalopathy. Komplikasi ini jarang terjadi, tetapi perlu
diwaspadai jika terdapat muntah berat yang disertai dengan gejala okular,
seperti perdarahan retina atau hambatan gerakan ekstraokular (Gunawan, Kris,
& Ocviyanti, 2011). Antiemetik konvensional, seperti fenotiazin dan benzamin,
telah terbukti efektif dan aman bagi ibu. Antiemetik seperti proklorperazin,
prometazin, klorpromazin menyembuhkan mual dan muntah dengan cara
menghambat postsynaptic mesolimbic dopamine receptors melalui efek
antikolinergik dan penekanan reticular activating system. Obatobatan tersebut
dikontraindikasikan terhadap pasien dengan hipersensitivitas terhadap
golongan fenotiazin, penyakit kardiovaskuler berat, penurunan kesadaran berat,
depresi sistem saraf pusat, kejang yang tidak terkendali, dan glaukoma sudut
tertutup. Namun, hanya didapatkan sedikit informasi mengenai efek terapi
antiemetik terhadap janin (American College Of Obstetricians and
Gynecologist, 2004). Fenotiazin atau metoklopramid diberikan jika pengobatan
dengan antihistamin gagal. Prochlorperazine juga tersedia dalam sediaan tablet
bukal dengan efek samping sedasi yang lebih kecil. Dalam sebuah randomized
trial, metoklopramid dan prometazin intravena memiliki efektivitas yang sama
untuk mengatasi hiperemesis, tetapi metoklopramid memiliki efek samping
mengantuk dan pusing yang lebih ringan (Gunawan, Kris, & Ocviyanti, 2011).
Studi kohort telah menunjukkan bahwa penggunaan metoklopramid tidak
berhubungan dengan malformasi kongenital, berat badan lahir rendah,
persalinan preterm, atau kematian perinatal (Gunawan, Kris, & Ocviyanti,
2011). Namun, metoklopramid memiliki efek samping tardive dyskinesia
(gerakan yang tidak terkendali pada lidah, bibir, dan wajah sebagai efek

21
samping dari suatu obat), tergantung durasi pengobatan dan total dosis
kumulatifnya. Oleh karena itu, penggunaan selama lebih dari 12 minggu harus
dihindari. Antagonis reseptor 5-hydroxytryptamine3 (5HT3) seperti
ondansetron mulai sering digunakan, tetapi informasi mengenai
penggunaannya dalam kehamilan masih terbatas. Seperti metoklopramid,
ondansetron memiliki efektivitas yang sama dengan prometazin, tetapi efek
samping sedasi ondansetron lebih kecil (Gunawan, Kris, & Ocviyanti, 2011).
Ondansetron tidak meningkatkan risiko malformasi mayor pada
penggunaannya dalam trimester pertama kehamilan (JK Jueckstock, 2010).
B. Larutan Normal Saline

NaCl 0,9% (normal saline) dapat dipakai sebagai cairan resusitasi


(replacement therapy), terutama pada kasus seperti kadar Na+ yang rendah,
dimana RL tidak cocok untuk digunakan (seperti pada alkalosis, retensi
kalium). NaCl 0,9% merupakan cairan pilihan untuk kasus trauma
kepala,sebagai pengencer sel darah merah sebelum transfusi. Cairan ini
memiliki beberapa kekurangan, yaitu tidak mengandung HCO3-, tidak
mengandung K+, dapat menimbulkan asidosis hiperkloremik karena
mempunyai komposisi klorida sama dengan natrium, serta menyebabkan
asidosis dilusional, sebagai contoh, 1 liter larutan dengan komposisi Na+ 70
mEq/l dan Cl- 55 mEq/l (SID=15) ditambahkan 1 liter larutan NaCl 0,9 %
yang terdiri dari Na+ 154 mEq/l dan Cl- 154 mEq/l (SID=0), maka hasilnya
adalah kadar natrium akan meningkat namun tidak sebesar peningkatan kadar
klorida, akibatnya SID turun, larutan saat ini mengandung Na+ 112 mEq/l dan
Cl- 105 mEq/l sehingga SID turun dari 15 menjadi 7 (112-105). Penurunan
SID menyebabkan peningkatan H+ atau penurunan OH- yang berakibat
terjadinya asidosis. Kemasan larutan kristaloid NaCl 0,9% yang beredar di
pasaran memiliki komposisi elektrolit Na+ (154 mEq/L) dan Cl- (154 mEq/L),
dengan osmolaritas sebesar 300 mOsm/L. Sediaannya adalah 500 ml dan
1.000 ml (Novara, 2009).

C. Larutan dextrose

Dextrose 5% in water (D 5 W) digunakan untuk menggantikan air


(cairan hipotonik) yang hilang, memberikan suplai kalori, juga dapat dibarengi

22
dengan pemberian obat-obatan atau berfungsi untuk mempertahankan vena
dalam keadaan terbuka dengan infus tersebut. Dextrose
adalah monosakarida dijadikan sebagai sumber energi bagi tubuh. Dextrose
juga berperanan pada berbagai tempat metabolismeprotein dan lemak. Dextrose
disimpan di dalam tubuh sebagai lemak dan di otot dan hati sebagai glikogen.
Jika diperlukan untuk meningkatkan kadar glukosa secara cepat, maka glikogen
segera akan melepaskan glukosa. Jika suplai glukosa tidak mencukupi maka
tubuh akan memobilisasi cadangan lemak untuk melepaskan atau menghasilkan
energi. Dextrose juga mempunyai fungsi berpasangan dengan protein (protein
sparing). Pada keadaan kekurangan glukosa, energi dapat dihasilkan dari
oksidasi fraksi-fraksi asam amino yang terdeaminasi. Dextrose juga dapat
menjadi sumber asam glukoronat, hyaluronat dan kondroitin sulfat dan dapat
dikonversi menjadi pentose yang digunakan dalam pembentukan asam inti
(asam nukleat). Dextrose dimetabolisme menjadi karbondioksida dan air yang
bermanfaat untuk hidrasi tubuh (Novara, 2009).

(Grow Up Clinic, 2015)

23
BAB III
PEMBAHASAN & KESIMPULAN
Pada jurnal ini membandingkan keefektifan penggunaan larutan normal saline
0.9% dengan penggunaan larutan normal saline 0.9%-dextrose 5% sebagai terapi rehidrasi
pada hiperemesis gravidarum. Kesimpulan yang didapatkan pada penelitian ini adalah
rehidrasi dengan larutan normal saline 0.9% atau dengan larutan normal saline 0.9%-
dextrose 5% pada hiperemesis gravidarum memberikan hasil yang sama. Dengan hasil
yang didapatkan bahwa ketonuria menetap selama 24 jam observasi, terjadi pada 10 dari
101 berbanding 11 dari 101 orang. Pada kejadian mual yang dinilai setiap 8 jam selama 24
jam, menunjukkan perbedaan signifikan pada penggunaan normal saline 0.9%-dextrose
5% dibanding dengan normal saline 0.9%. tetapi setelah melewati 24 jam, keefektifan
dalam mengurangi keluhan mual berkurang sehingga antara kedua kelompok tidak ada
perbedaan yang signifikan. Sementara, efek yang timbul dari muntah yaitu hiponatremia,
hipokloremia dan hipokloremia, serta lamanya menjalani rawat inap di rumah sakit,
lamanya pemberian anti emetik secara intravena dan efek rehidrasinya juga tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Hasil tersebut didapatkan berdasarkan penelitian dengan randomised double blind
clinical trial yaitu adalah jenis eksperimen ilmiah yang bertujuan untuk mengurangi bias
ketika menguji pengobatan baru. Orang-orang yang berpartisipasi dalam uji coba secara
acak dialokasikan ke salah satu kelompok yang menerima pengobatan, yang akan
diselidiki atau kelompok yang menerima pengobatan standar atau plasebo sebagai kontrol.
Sebanyak 222 perempuan yang terdaftar dalam studi, 111 pada kelompok saline
0.9%-dextrose 5% dan 111 pada kelompok saline 0.9%. Semua perempuan yang
memenuhi syarat dimasukkan dan menerima obat acak; tidak ada yang tidak di follow-up
dan sebanyak 2 orang yang menghentikan intervensi ditengah penelitian pada kelompok
saline 0.9%-dextrose 5% dan 1 orang di kelompok saline 0.9%. sebanyak 7 orang dari
kelompok saline-dextrose tidak memenuhi kriteria dikarenakan adanya infeksi di traktus
urinarius, glukosa darah tinggi, usia kehamilan >16 minggu, rawat inap lebih dari satu
kali, sedangkan kelompok normal saline sebanyak 9 orang tidak memenuhi kriteria.
Sehingga terdapat 102 orang probandus yang akan diberikan perlakuan infus saline-
dextrose dan 101 orang diberikan perlakuan infus normal saline.
Keunggulan dari penelitian ini adalah dilakukannya penelitian secara double blind
trial. Randomisasi juga dilakukan oleh pihak yang tidak berperan/ikut serta pada jalannya

24
penelitian ini. Penelitian ini menggunakan flabot 500ml dengan kecepatan aliran
125ml/jam, sehingga setiap 4 jam 1 flabot infus akan habis, dan setiap probandus akan
mendapat 6x500ml dextrose5%-saline0.9% dan 6x500ml saline 0.9% yang diberikan IV
selama 24 jam. Baik petugas medis maupun pasien tidak mengetahui infus apa yang
digunakan pada masing-masing pasien.
Selama 24 jam urine dicek dengan dipstick setiap 8 jam sekali untuk mengecek

glikosuria dan ketonuria. Jika didapat glikosuria +2, pasien akan dicek GDSnya dan jika

8 mmol/L, infus diganti dengan saline 0.9%. probandus juga diminta menilai keparahan

mual yang dirasakan dengan skala numerik 10 poin saat sebelum dimulainya perlakuan, 8
jam setelah perlakuan, 16, dan 24 jam setelah perlakuan. Setelah 24 jam pasien diminta
memberi tanggapan terhadap kondisi keadaanya dengan menggunakan 10 poin skala
numerik. Setelah 24 jam, label penutup pada flabot infus dibuka, dan bila masih
dibutuhkan, pemberian infus tetap dilanjutkan.
Hasil yang dinilai adalah ketonuria dan perbaikan keadaan yang dirasakan oleh
pasien dengan skala numerik 10 poin setelah 24 jam. Hasil lainnya yang dinilai adalah
frekuensi muntah selama 24 jam, skala numerik visual mual pada 8, 16 dan 24 jam,
hiponatremia (135mmol/L), hipokalemia (3.5 mmol/L), hipokloremia (99mmol),
hiperglikemia (8 mmol/L) pada akhir studi pemantauan selama 24 jam tadi, durasi dari
antiemetik intravena dan rehidrasi intravena selama dirawat inap.

25
Karakteristik probandus pada perlakuan ini ditampilkan pada tabel 1. Kedua
kelompok memiliki karakteristik yang sama kecuali rerata serum potasium dimana
perbedaan rata-rata sebesar 0.1 mmol/L.

Tabel 2 menunjukkan luaran hasil yang dinilai yaitu ketonuria, dan perbaikan skor
pada skala numerik visual muntah setelah dilakukan terapi. Ketonuria masih ditemukan
setelah 24 jam pada 10 pasien dari 101 (9.9%) pada kelompok dextrose-saline, dan 11
pasien dari 101 (10.9%) (P<0.99) (relative risk 0.9, 95% confidence interval [CI 0.42.2)
dan median (interquartile range) skor perbaikan 9 (810) dibanding dengan 9 (89.5)
(P=0.73) untuk 5% dextrose0.9% saline dan 0.9% saline,
dipertahankan selama 24 jam observasi penelitian.

26
Untuk luaran sekunder (Table 3), skor dari skala numerik visual mual pada 8 dan
16 jam menunjukkan penurunan yang signifikan (P<0.01 and P=0.03) pada kelompok 5%
dextrose0.9% saline tetapi perbedaan tersebut segera menghilang setelah 24 jam. Anlisis
ulang dari variasi skor skala numerik visual mual pada pasien menunjukkan hasil yang
signifikan (P=0.046), tetapi interaksi antara terapi dan waktu juga signifikan (P= 0.004).
lamanya menginap di RS (dimulai dari pasien mulai dilakukan pengacakan perlakuan
sampai diberikan ijin untuk pulang oleh petugas medis) adalah 4321 compared with
4821 (P=0.14) untuk 5% dextrose0.9% saline dan 0.9% saline.

27
Perbandingan Rehidrasi NaCl-D5 dengan NaCl pada hiperemesis gravidarum
NaCl-D5 NaCl
Keunggulan - Memperbaiki - Memperbaiki
keseimbangan asam- keseimbangan asam-
basa dalam tubuh basa dalam tubuh
- Memberikan asupan - Terapi rehidrasi
energy via intravena standar untuk
- Mengurangi keluhan hyperemesis
mual pada 8-16 jam gravidarum
setelah pemberian
awal
Kelemahan - Dapat menimbulkan - Kurang dapat
Wernicke mengatasi keluhan
ensefalopati mual pada awal
pemberian
- Tidak dapat
sekaligus
memberikan asupan
energi
NaCl-D5 NaCl
Keunggulan - Memperbaiki - Memperbaiki
keseimbangan asam- keseimbangan asam-
basa dalam tubuh basa dalam tubuh

28
- Memberikan asupan - Terapi rehidrasi
energy via intravena standar untuk
- Mengurangi keluhan hyperemesis
mual pada 8-16 jam gravidarum
setelah pemberian
awal
Kelemahan - Dapat menimbulkan - Kurang dapat
Wernicke mengatasi keluhan
ensefalopati mual pada awal
pemberian
- Tidak dapat
sekaligus
memberikan asupan
energi

Sebagai yang biasanya diketahui, bahwa salah satu tata laksana pada kasus
hiperemesis gravidarum adalah rehidrasi per intravena, dimana hal ini belum banyak
dipelajari sebelumnya. Penemuan terbaru melarang penggunaan dextrose sebagai cairan
rehidrasi karena dikhawatirkan akan menimbulkan Wernicke Ensefalopati yang diperparah
dengan defisiensi thiamin. Berdasarkan penelitian ini, cairan dextrose-saline tidak lebih
unggul dibandingkan dengan cairan saline pada pemberian intravena sebagai terapi
rehidrasi pada wanita yang dirawat inap karena hipermesis gravidarum. Tetapi, karena
berdasarkan teori adanya Wernicke Ensefalopati yang dikaitkan dengan pemberian
dextrosa secara intravena yang disertai adanya defisiensi thiamin, maka normal saline
adalah pilihan yang lebih baik.

29
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
American College Of Obstetricians and Gynecologist. (2004). Nausea and Vomiting of
Pregnancy. ACOG Practice Bulletin:, 803.
Cunningham, F. G., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Spong, C. Y., Dashe, J. S., Hoffman, B.
L., et al. (2014). William Obstetric 24th Edition. New York: Mc Graw-Hill
Education.
Grow Up Clinic. (2015, februari 6). Grow Up Clinic. Retrieved november 8, 2016, from
Edukasi dan Konsultasi Online Dokter Spesialis Anak: https://growup-
clinic.com/2015/02/06/terapi-cairan-dan-kebutuhan-cairan-pada-anak/
Gunawan, K., Kris, P. S., & Ocviyanti, D. (2011). Diagnosis dan Tata Laksana
Hiperemesis Gravidarum. Journal Indonesia Medical Association, 458-464.
JK Jueckstock, R. K. (2010). Managing hyperemesis gravidarum: A multimodal
challenge. BMC Medicine, 46.
JR, N. (2010). Nausea and Vomiting In Pregnancy. National England Journal Of
Medicine, 1544.
Novara, T. (2009). PERBANDINGAN ANTARA LAKTAT HIPERTONIK DAN NaCl 0,9%
SEBAGAI CAIRAN PENGGANTI PERDARAHAN PADA BEDAH
CAESAR:KAJIAN TERHADAP HEMODINAMIK, DAN STRONG IONS
DIFFERENCE. Semarang: Universitas Diponegoro.
Ogunyemi DA, Fong A. Hyperemesis Gravidarum [monograph on the Internet].
Medscape; 2010 [cited 2010 November 7]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/254751- overview.
Prawirohardjo, S. (2014). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Sagung Seto.
Siswosudarmo, R., & Emilia, O. (2008). Obstetri Fisiologi. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia.

30

Anda mungkin juga menyukai