Anda di halaman 1dari 22

PENATALAKSANAAN BILAS LAMBUNG PADA SISTEM PENCERNAAN

Oleh :

Almira Rebinaprista (201702006)

Fatima Harifatun A (201702013)

Hany Ryzca (201702015)

Ida Ayu Ratna P (201702017)

Siti Nur Hasanah (201702041)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
BANYUWANGI
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan pencernaan adalah gejala yang dijumpai namun memiliki arti berbeda bagi
orang yang berbeda, bisa berupa nyeri abdomen, sulit menelan, refluks asam, nyeri
retrostenal, dan refluks esofagus (Gleadle, 2007). Hal tersebut sering kali menunjukan
gejal-gejal yang cukup menganggu, sehingga jika tidak mendapatkan penangan dapat
menjadi gangguan krnis dan menyebabkan penyakit. Penyakit gangguan pencernaan
antara lain, gastritis, perdarahan saluran cerna, kanker lambung, radang usus buntu,
keracunan, dan stress ulcer.Di dunia penyakit terkait saluran pencernaan termasuk dalam
10 besar penyakit mematikan. Data WHO pada tahun 2012 menunjukan bahwa sekitar 1,5
juta orang meninggal disebabkan oleh penyakit terkait saluran pencernaan, antara lain
keracunan, dan perdarahan. Pada kegawatdaruratan keracunan dan perdarahan diperlukan
penanganan segera dengan melakukan beberapa tindakan salah satunya adalah bilas
lambung.
Bilas lambung (gastric lavage) adalah membersihkan lambung dengan cara memasukan
dan mengeluarkan air ke/dari lambung dengan menggunakan NGT (Naso Gastric Tube).
Menurut Smelltzer dan Bare (2001:2487), lavase lambung adalah aspirasi isi lambung dan
pencucian lambung dengan menggunakan selang lambung. Bilas lambung, atau disebut
juga pompa perut dan irigasi lambung merupakan suatu prosedur yang dilakukan untuk
membersihkan isi perut dengan cara mengurasnya.
Badan penelitian kesehatan WHO mengadakan tinjauan terhadap 8 negara dunia dan
mendapatkan beberapa hasil persentase dari angka kejadian gangguan sistem pencernan di
dunia, dimulai dari Negara yang angka kejadiannya paling tinggi yaitu Amerika dengan
persentase mencapai 47% kemudian diikuti oleh India dengan persentase 43%, lalu
beberapa Negara lainnya seperti Inggris 22%, China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35%,
Perancis 29,5%, dan khususnya Indonesia 40,8%. Angka kejadian gangguan sistem
pencernaan di Indonesia cukup tinggi. Hasil penelitian dan pengamatan yang dilakukan
oleh Departemen Kesehatan RI angka kejadian di beberapa kota di Indonesia ada yang
tinggi mencapai 91,6% yaitu di kota Medan, lalu di beberapa kota lainnya seperti
Surabaya 31,2%, Denpasar 46%, Jakarta 50%, Bandung 32,5 %, Palembang 35,35, Aceh
31,7%, dan Pontianak 31,2 % (Zakaria, 2013).

Pada pasien-pasien dengan gangguan sistem pencernaan seperti perdarahan


saluran cerna atas, obstruksi dan ileus paralitik, pemberian early enteral nutrition tidak
bisa dilakukan, tetapi menunggu perbaikan organ pencernaan terlebih dahulu. Sebelum
dilakukan enteral nutrition biasanya dilakukan pengecekan dan pengetesan fungsi
lambung dengan cara prosedur bilas lambung dan test feeding melalui NGT. Pada pasien-
pasien dengan gangguan sistem pencernaan, sebelum dilakukan enteral nutrition perlu
dilakukan pengecekan dan pengetesan fungsi lambung salah satunya dengan cara
melakukan prosedur bilas lambung. Bilas lambung dilakukan untuk membantu dalam
stratifikasi risiko terjadinya perdarahan aktif, serta mengurangi risiko terjadinya aspirasi.
Menurut Pateron et al, (2011) bilas lambung pada pasien dengan perdarahan lambung
dapat menggunakan 500 ml air suhu ruangan yang diulang setiap jam sampai jernih, dan
NGT tersambung terus dengan kantung drainase. Residu sebanyak 500ml masih dikatakan
normal karena tidak menimbulkan komplikasi gastrointestinal (Montejo et al., 2010). Jika
volume residu lambung 200 mL atau lebih, maka penggunaan penurunan feeding rate atau
agen motilitas direkomendasikan. Jika volume residu lambung persisten tinggi, atau jika
risiko aspirasi tinggi, makan via nasojejunal direkomendasikan. Metoclopramide
digunakan sebagai agen motilitas pilihan dalam penelitian Kim, et al (2017).
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana penanganan kegawatdaruratan pada gangguan sistem pencernaan ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Membersihkan dan Mengosongkan lambung dari zat beracun.

1.3.2 Membersihkan lambung bila mengalami muntah darah selama pemeriksaan


endoskopi saluran cerna atas.

1.3.3 Menyedot darah jika terjadi perdarahan lambung.

1.4 Manfaat
BAB 2
TELAAH JURNAL
2.1 Metode
1 Menurut penelitian (Putri & Adriani, 2017), desain penelitian ini adalah quasi
eksperimental design jenis pre and post test without control. Satu kelompok dilakukan
observasi status hemodinamik pretest dan posttest bilas lambung NaCl 0,9%. Analisa
data pada penelitian ini menggunakan uji statististik parametrik Paired Sample T-Test
pada taraf signifikan 95% dengan memperhatikan uji prasyarat yang meliputi uji
normalitas dengan Shapiro-Wilk karena responden <50 dan uji homogenitas dengan
One Way Anova.
2 Menurut penelitian (Thanacoody et al., 2015), dengan metode menelaah jurnal yang
didapatkan dari MEDLINE (via PubMed), International Pharmaceutical Abstracts (via
Ebsco), Science Citation Index (via Web of Science), Cochrane Database of Systematic
Reviews, dan Cochrane Central Register of Clinical Trials dicari tanpa batas
menggunakan istilah tunggal “whole bowel ”Atau“ WBI ”dari 2003 hingga 28,
Februari 2013. Pencarian tambahan di PubMed (2003–2013) dilakukan menggunakan
istilah: (1) Polyethylene glycols / penggunaan terapeutik [MeSH] (2) Polyethylene
glycols / efek samping [MeSH] (3) Irigasi terapeutik [MeSH].
3 Menurut penelitian (Faridah & Farida, 2017), Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental dengan rancangan static-group comparison design yang dilakukan di RS
Aisyiyah Bojonegoro pada bulan Maret-Juni 2015. Metode sampling yang digunakan
adalah consecutive sampling. Besar sampel dihitung berdasarkan rumus dengan tingkat
kepercayaan 95%; proporsi (p) sebesar 0,05; nilai d sebesar 0,05; dan besar populasi
(N) sebesar 38 sehingga diperoleh jumlah sampel minimal sebanyak 30. Uji statistik
bivariat menggunakan Wilxocon signed-ranks test dengan tingkat kemaknaan 0,05
untuk melihat pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.
4 Menurut penelitian (Virgilio et al., 2018), penelitian ini menggunakan metode analisis
sementara yang menunjukkan jenis pelepasan dikaitkan dengan beberapa fitur klinis-
patologis yang menunjukkan agresif perilaku dan menghasilkan faktor prognostik
independen yang memerlukan prognosis buruk.
5 Menurut penelitian (Rahim, 2020), Metode yang digunakan adalah review naratif.
Awalnya, tinjauan pustaka menyeluruh dilakukan untuk mengidentifikasi dan
mengekstrak bukti terkini untuk penggunaan lavage lambung dalam pengelolaan
demam untuk pasien COVID-19 di ICU dan umumnya. Mesin pencari yang digunakan
termasuk PubMed dan Google Scholar. Setelah ini, tinjauan komprehensif dilakukan
untuk mengidentifikasi dan mengekstrak bukti penggunaan lavage lambung dalam
mengobati pasien demam normal. Studi dievaluasi untuk efektivitas dan kerugian yang
terkait dengan lavage lambung.
6 Menurut penelitian (History, 2021), penelitian ini menggunakan metode studi deskriptif
prospektif pasien keracunan celphos (AlP) yang dilakukan di rumah sakit
superspesialisasi Oscar Sonipat Haryana dari Januari hingga Desember 2019.
2.2 Ringkasan Hasil Penelitian
Hasil penelitian (Putri & Adriani, 2017) dengan judul pengaruh bilas lambung nacl 0,9%
terhadap status hemodinamik pada pasien stres ulcer dengan post craniotomy atas indikasi
cidera kepala berat di ruang intensif rumah sakit umum daerah dr. Moewardi Surakarta.
Berdasarkan uji statistik, didapatkan hasil t hitung MAP 4,033 dengan nilai p 0,000 dan t
hitung nadi 4,359 dengan nilai p 0,000 dimana diketahui t tabel 2,045 dan kriteria p < 0,05.
Sehingga nilai th MAP > tt, th nadi > tt dan hasil MAP p 0,000 (< 0,05) dan nadi p 0,000 (<
0,05). Terdapat pengaruh yang bermakna terhadap status hemodinamik pada pasien stres
ulcer dengan post craniotomy atas indikasi cidera kepala berat yang dilakukan bilas
lambung nacl 0,9%. Jurnal ke dua dengan judul The use of gastric lavage in reducing
COVID-19 fever: A narrative review. Dengan hasil penelitian Secara keseluruhan ada tiga
penelitian yang menyarankan penggunaan lavage lambung pada pasien hipertermik.
Hasil penelitian dari (History, 2021), dengan judul gastric ventilation along with gastric
lavage in celphos poisoning : a prospective study didapatkan hasil dengan usia rata-rata
pasien adalah 22,2 tahun dengan rasio pria dan wanita 3: 2. Sebagian besar pasien
menunjukkan temuan yang tidak spesifik. Selama rawat inap hipotensi, aritmia dan gagal
napas sering terjadi. 60% pasien dalam penelitian ini membutuhkan ventilasi buatan
sementara dukungan ionotropik dibutuhkan pada 50% pasien. Demikian pula kematian
lebih banyak pada pasien dimana lavage lambung dan ventilasi lambung tertunda lebih dari
4 jam (p = 0,04) dan pada pasien ketika jumlah racun yang tertelan lebih dari 4 gram (p =
0,01). Dalam literatur, faktor prognostik yang buruk disebutkan adalah syok, perubahan
status mental, skor APACHE II tinggi, cedera ginjal akut, laju protrombin rendah,
hiperukositosis, kebutuhan ventilasi mekanis, kurang muntah setelah konsumsi,
hiperglikemia, selang waktu setelah paparan pH arteri, bikarbonat serum level dan kelainan
EKG kematian dalam penelitian ini adalah 65%. Angka kematian secara statistik tinggi
pada kasus yang mengalami hipotensi, kegagalan multiorgan, keterlambatan lavage
lambung dan di mana konsumsi racun lebih dari 4 gram.
Hasil jurnal berikutnya dengan judul penatalaksanaan perdarahan saluran cerna bagian
atas dengan nutrisi enteral dini terhadap kadar albumin Ditemukan adanya perbedaan
pemberian NED terhadap kadar albumin. Hasil penelitian menunjukkan kadar albumin
pasien perdarahan SCBA yang dipuasakan lebih rendah dibandingkan dengan yang tanpa
dipuasakan (p=0,046) (Faridah & Farida, 2017).
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Ringkasan Jurnal
Intubasi gastrointestinal adalah pemasangan selang plastik atau karet fleksibel yang
pendek atau panjang kedalam lambung atau usus melalui mulut atau hidung dengan tujuan
dekompresi lambung dan mengeluarkan gas dan cairan, mendiagnosa motilitas
gastrointestinal, memberikan obat-obatan dan makanan, mengobati obstruksi atau sisi
perdarahan dan mengambil kandungan lambung untuk di analisis. Sedangkan selang
nasogastrik (NGT) adalah selang pendek yang dimasukan melalui hidung atau mulut
kedalam lambung. Bilas lambung NaCl 0,9% yang dilakukan 2x24 jam sebanyak 200 ml
menyatakan bahwa bilas lambung NaCl 0,9% dapat berpengaruh terhadap status
hemodinamik sebagai indikator sindrom chusing dalam peningkatan tekanan intrakanial.
Bilas lambung menggunakan cairan isotonis dimana dapat memperbaiki permeabilitas
vaskular yang meningkat sebagai akibat adanya stres fisiologis (stres ulcer) karena
peningkatan tekanan intrakranial pada pasien post craniotomy.
Bilas lambung selain membantu membersihkan darah dari lambung dan membantu
mengidentifikasi sumber perdarahan juga membantu memperbaiki sirkulasi (status
hemodinamik) akibat peningkatan tekanan intrakranial. teori Hudak, Gallo (2012)
menyebutkan bilas lambung dengan cairan dingin (es) harus dihindari karena menyebabkan
rasa tidak nyaman pada pasien, tidak dapat mengendalikan perdarahan, menurunkan suhu
inti tubuh secara signifikan, dan dapat memicu disritmia jantung sedangkan terhadap status
hemodinamik dapat mempengaruhi secara nyata dikarenakan mengantisipasi terjadinya
sindrom chusing yang dapat berisiko tinggi syok pada pasien kasus trauma sehingga bilas
lambung yang dilakukan dengan menggunakan normal salin ± 250-500 ml dialirkan
melalui selang nasogastrik. Normal saline (seperti NaCl 0,9%) termasuk cairan isotonis
dimana cairan tersebut memiliki tekanan osmotik yang sama seperti cairan tubuh dan
sesuai diberikan pada pasien-pasien yang mengalami stres ulcer akibat sindrom erosif
seperti cidera kepala berat karena diharapkan mampu menggantikan cairan yang hilang
akibat perdarahan (stres ulcer).
Bilas lambung dengan menggunakan larutan NaCl fisiologis sebaiknya dilakukan selain
untuk tujuan diagnostik juga dalam usaha untuk menghentikan perdarahan dengan ditandai
adanya perbaikan hemodinamik. Tehnik bilas lambung harus tepat agar tidak menimbulkan
trauma mukosa saluran cerna terutama pasien-pasien dengan kasus trauma berat yang
berada pada kondisi/ keadaan stres fisiologis.
3.2 Tinjauan Teori
3.2.1 Definisi
Bilas lambung (gastric lavage) adalah membersihkan lambung dengan cara
memasukan dan mengeluarkan air ke/dari lambung dengan menggunakan NGT (Naso
Gastric Tube). Menurut Smelltzer dan Bare (2001:2487), lavase lambung adalah
aspirasi isi lambung dan pencucian lambung dengan menggunakan selang lambung.
Bilas lambung, atau disebut juga pompa perut dan irigasi lambung merupakan suatu
prosedur yang dilakukan untuk membersihkan isi perut dengan cara mengurasnya.
Lavase lambung dikontraindikasikan setelah mencerna asam atau alkali, pada
adanya kejang, atau setelah mencerna hidrokarbon atau petroleum disuling. Hal ini
terutama berbahaya setelah mencerna agen korosif kuat. Kumbah lambung
merupakan metode alternatif yang umum pengosongan lambung, dimana cairan
dimasukkan kedalam lambung melalui orogastrik atau nasogastrik dengan diameter
besar dan kemudian dibuang dalam upaya untuk membuang bagian agen yang
mengandung toksik. Selama lavage, isi lambung dapat dikumpulkan untuk
mengidentifikasi toksin atau obat. Selama dilakukan bilas lambung, cairan yang
dikeluarkan akan ditampung untuk selanjutnya diteliti racun apa yang terkandung.
3.2.2 Anatomi fisiologi sistem pencernaan

Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai anus)
adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan,
mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran
darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa
proses tersebut dari tubuh.
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan,
lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi
organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan
kandung empedu.
1). Mulut

Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam dari mulut
dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan relatif sederhana, terdiri dari manis, asam,
asin dan pahit.
2). Gigi

Gigi manusia terdiri dari gigi seri, taring, dan geraham. Gigi seri terletak di depan
berbentuk seperti kapak yang mempunyai fungsi memotong makanan. Di samping
gigi seri terdapat gigi taring. Gigi taring berbentuk runcing yang berguna untuk
merobek makanan. Di belakang gigi taring terdapat gigi geraham yang
mempunyai fungsi menghaluskan makanan.
3). Lidah

Lidah berguna untuk membantu mengatur letak makanan di dalam mulut


mendorong makanan masuk ke kerongkongan. Selain itu lidah lidah juga
berfungsi untuk mengecap atau merasakan makanan. Pada lidah terdapat daerah-
daerah yang lebih peka terhadap rasa-rasa tertentu, seperti asin, masam, manis,
dan pahit.
4). Kelenjar ludah

Ludah dihasilkan oleh 3 pasang kelenjar ludah. Kelenjar ludah tersebut adalah
kelenjar ludah parotis, kelenjar ludah rahang bawah, kelenjar ludah bawah lidah.
Ludah mengandung air, lendir, garam, dan enzim ptialin.enzim ptialin berfungsi
mengubah amilum menjadi gula, yaitu maltosa dan glukosa. Kelenjar Ludah
merupakan kelenjar yang mempunyai duktus yang duktus wartoni dan duktus
stensoni.
Kelenjar ludah ada 2, yakni :
1.Kelenjar ludah bawah rahang (kelenjar submaksilaris), yang terdapat dibawah
tulang rahang atas pada bagian tengah.
2.Kelenjar ludah bawah lidah (kelenjar sublingualis) yang terdapat disebelah
depan bawah lidah.
Di sekitar rongga mulut terdapat 3 buah kelenjar luda :
a). Kelenjar Parotis
Letaknya di bawah depan dari telinga diantara prosesus mastoid kiri dan
kanan os mandibular, duktusnya duktus stensoni. Duktus ini keluar dari
glandula parotis menuju rongga mulut melalui pipi ( muskulus buksinator )
b). Kelenjar Submaksilaris
Terletak di bawah rongga mulut bagian belakang, duktusnya bernama duktus
wartoni, bermuara di rongga mulut dekat dengan frenulum lingua.
c). Kelenjar Sublingualis
Letaknya di bawah selaput lendir dasar rongga mulut bermuara di dasar
rongga mulut. Kelenjar ludah di sarafi oleh saraf-saraf tak sadar.
5). Tenggorokan (faring)

Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Didalam


lengkung faring terdapat tonsil ( amandel ) yaitu kelenjar limfe yang banyak
mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi.

6). Esophagus
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu
makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan
melalui kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik.
7). Lambung

Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang
keledai. Terdiri dari 3 bagian yaitu: Kardia, fundus, antrum.
Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik
untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi lambung
menghasilkan 3 zat penting :
a). Lendir
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung.
Setiap kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang
mengarah kepada terbentuknya tukak lambung.
b). Asam klorida (HCl)
Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan
oleh pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga
berperan sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh
berbagai bakteri.
c). Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein)
Selain sel-sel penyekresi mucus yang mengelilingi seluruh permukaan
lambung, mukosa lambung mempunyai dua tipe kelenjar tubula yang penting :
kelenjar oksintik (Kelenjar gastrik) dan kelenjar pilorik. Kelenjar oksintik
menyekresi asam hidroklorida, pepsinogen, dan mucus. Kelenjar pilorik
terutama menyekresi mucus untuk melindungi mukosa pylorus dari asam
lambung. Kelenjar tersebut juga menyekresi hormon gastrin.
8). Usus halus

Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak
di antara lambung dan usus besar.
1. Usus dua belas jari (Duodenum)
Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam
jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan
megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan.
2. Usus Kosong (jejenum)
Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni
berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan
dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri.
3. Usus Penyerapan (illeum)
. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi
menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.
9). Usus besar (kolon)

Usus besar atau kolon adalah bagian antara usus buntu dan rektum. Ungsi
utama rgan ini adalah menyerap air dari feses
Usus besar terdiri dari :
• Kolon asendens (kanan)
• Kolon transversum
• Kolon desendens (kiri)
• Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum).
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna
beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus
besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini
penting untuk fungsi normal dari usus.
10). Usu buntu (appendix)
Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu.
Infeksi pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing.
Apendisitis yang parah dapat menyebabkan apendiks pecah dan membentuk
nanah di dalam rongga abdomen atau peritonitis (infeksi rongga abdomen).
11). Rectum dan anus
Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya
rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu
pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke
dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB).
3.2.4 Persiapan alat dan bahan
Persiapan Alat :
Alat dan bahan yang digunakan dalam prosedur bilas lambung yaitu sebagai
berikut:
1. selang nasogastrik/ diameter besar atau selang Ewald diameter besar;
2. spuit pengirigasi besar dengan adapter;
3. saluran plastic besar dengan adapter;
4. pelumas larut air;
5. air biasa atau antidote yang tepat (susu, larutan salin, larutan bikarbonat
natrium, jus jeruk, karbon teraktivasi);
6. wadah untuk aspirat;
7. gag mulut, selang nasotrakea atau endotrakea dengan cuv yang dapat
dikembungkan;
8. wadah untuk spesimen.
3.2.5 Cara kerja bilas lambung pada keracunan
1. Bisa dilakukan pada klien yang tidak sadar / stupor atau jika induksi muntah
dengan sirup ipekak tidak berhasil.
2. Bila klien setengah sadar dan masih ada refleks muntah, maka posisikan klien
miring pada satu sisi untuk memudahkan irigasi dan mencegah aspirasi.
3. Bila klien tidak sadar dan refleks muntah tidak ada, maka klien harus dilakukan
intubasi trachea sebelum dilakukan bilas lambung.
4. Gunakan pipa nasogastrik berdiameter besar (>28Fr) untuk memudahkan
aliranirigasi cairan.
5. Gunakan larutan garam fisiologis untuk pembilasan, suhu cairan yang
digunakansebaiknya sesuai suhu tubuh.
6. Lakukan irigasi dan aspirasi cairan garam faal sebanyak +/- 200 ml beberapa
kalisampai terpakai 2-4 liter.
7. Lakukan pencatatan setelah tindakan yang meliputi jumlah, karakteristik, bau
cairan yang dilakukan irigasi serta reaksi klien
3.2.6 Cara kerja bilas lambung pada perdarahan
1.Sebelumnya pasang NGT berukuran besar, jenis yang biasanya digunakan adalah
selang Ewald. Selang dengan diameter kecil tidak cukup efektif untuk
mengeluarkan bekuan darah dan dapat menyebabkan kesalahan penegakan
diagnosa karena bila ada bekuan darah yang menyumbat selang, akan sulit
mendeteksi masih terjadinya perdarahan.
2.Lakukan irigasi dengan menggunakan cairan garam faal dengan cara
memasukkan sejumlah cairan secara bertahap dan kemudian mengeluarkannya
dengan cara mengalirkan atau diaspirasi menggunakan tekanan rendah.
3.Alirkan cairan yang dikeluarkan ke dalam kantong (collection bag) yang
diletakkan dengan posisi lebih rendah dari tubuh klien atau tempat tidur klien.
4.Cairan irigasi yang digunakan bisa berjumlah +/- 500-700 ml.
5.Pastikan bahwa aliran cairan lancar, begitu juga dengan system drainasenya.
6.Waspada terhadap potensial terjadinya sumbatan bekuan darah pada selangatau
perubahan posisi selang.
7.Gunakan cairan dengan suhu ruangan, karena akan lebih efektif dalam tindakan
gastric lavage. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penggunaan
cairan dengan suhu rendah (dingin) akan menggeser kurva disosiasi hemoglobin
kearah kiri dan dapat berakibat langsung seperti : penurunan aliran oksigen ke
organ-organ vital serta memperpanjang waktu perdarahan dan protrombin time.
3.3 Analisis SWOT
S (Strength) 1). Untuk mengeliminasi racun yang masuk kedalam lambung
2). Untuk mengambil sample cairan dan bahan-bahan yang ada
dalam lambung untuk menentukan diagnosa medis.
3). Untuk pembuangan urgen substansi dalam upaya menurunkan
absorpsi sistemik;
4). untuk mengosongkan lambung sebelum prosedur endoskopik.
5). untuk mendiagnosis hemoragi lambung dan menghentikan
hemoragi.
W (Weaknesses) 1). Kumbah lambung tidak dilakukan secara rutin dalam
penatalaksanaan pasien dengan keracunan. Kumbah lambung
dilakuakan ketika pasienmenelan substansi toksik yang dapat
mengancam nyawa, dan prosedurdilakukan dalak 60 menit
setelah tertelan.
2). Kumbang lambung dapat mendorong tablet ke dalam
duodenum selainmengeluarkan tablet tersebut.
3). Kumbah lambung dikontraindikasikan untuk bahan-bahan
toksik yangtajam dan terasa membakar (risiko perforasi
esophageal). Kumbahlakukan tidak dilakukan untuk bahan
toksik hidrokarbon (risikorespirasi), misalnya: camphor,
hidrokarbon, halogen, hidrokarbonaromatik, pestisida.
4). Kumbah lambung dikontrindikasikan untuk pasien yang
menelan benda tajam dan besar.
5). Pasien tanpa gerak refleks atau pasien dengan pingsan (tidak
sadar)membutuhkan intubasi sebelum kumbah lambung untuk
mecegahinspirasi.
6). Pasien kejang
7). Tumor paru-paru
8). Menginsersi tube melalui nasal bila ada fraktur
9). Menelan alkali kat
O (Opportunities) 1. Pasien yang keracunan makanan atau obat tertentu.
2. Persiapan operasi lambung.
3. Persiapan tindakan pemeriksaan lambung.
4. Tidak ada refleks muntah.
5. Gagal dengan terapi emesis.
6. Pasien dalam keadaan sadar.
7. Persiapan untuk pembedahan.
8. Perdarahan gastrointestinal.
9. Kelebihan dosis obat-obatan
T (Threats) 1). Perforasi esophagus
2). Aspirasi pulmonal
3). Ketidakseimbangan elektrolit (Hiponatremi, Hipokloremi)
4). Hipotermia
5). Laringospasme
6). Hipoksia
7). Bradikardi
8). Epistaksi

3.4 Implikasi keperawatan


a). Sebagai Pendidik
Peran perawat di kegawatdaruratan sebagai pendidik yaitu untuk memberikan
informasi berupa pengajaran mengenai pengetahuan tentang penanganan segera
tentang gangguan sistem pencernaan pada masyarakat jika menemui pasien yang
mengalami perdarahan ataupun keracunan. Perawat menjelaskan apa yang kurang
dimengerti oleh pasien dari segi fasilitas maupun yang lainnya.
b). Sebagai Advokat
Peran perawat sebagai advokat yaitu mendampingi keluarga pasien yang
mengalami kegawatdaruratan dalam mengambil keputusan mengenai tindakan yang
akan dilakukan oleh perawat.
c). Sebagai Peneliti
Perawat sebagai peneliti yaitu menterjemahkan temuan riset, bertanggung jawab
untuk melakukan penelitian, mengidentifikasi, menganalisis data, dan memecahkan
masalah klinis dengan menerapkan prinsip dan metode penelitian.
d). Sebagai Konsultan
Peran perawat yang bertugas sebagai tempat konsultasi pasien dalam pemberian
informasi, dukungan atau memberi ajaran tentang tujuan pelayanan keperawatan yang
diberikan, contohnya mengambil keputusan mengenai pengobatan yang dipilih.
e). Sebagai Pemberi Perawatan
Perawat sebagai pemberi perawatan secara langsung yaitu peran perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan secara langsung kepada individu, keluarga, dan
kelompok dengan menggunakan energi dan waktu seminimal mungkin. Perawat
langsung mengkaji kondisi kesehatan pasien, merencanakan, mengimplementasikan,
dan mengevaluasi.
f). Sebagai Pemasaran Kesehatan
Perawat sebagai pemasaran kesehatan pada masyarakat yaitu peran perawat dalam
mempromosikan kesehatan atau gaya hidup sehat. Kegiatan promosi bersifat sosial
dan dibuat berdasarkan kesukarelaan. Peran perawat bisa dilihat ketika perawat secara
langsung memberikan informasi mengenai fasilitas yang tersedia.
BAB 4
KESIMPULAN

Berdasarkan analisis hasil dan pembahasan dari 6 jurnal didapatkan kesimpulan,


bilas lambung berpengaruh terhadap status hemodinamik sebagai indikator sindrom
chusing dalam peningkatan tekanan intrakranial. Selain membantu membersihkan
darah dari lambung dan membantu mengidentifikasi sumber perdarahan juga
membantu memperbaiki sirkulasi (status hemodinamik) akibat peningkatan tekanan
intracranial.
DAFTAR PUSTAKA

Faridah, V. N., & Farida, F. (2017). Penatalaksanaan perdarahan saluran cerna bagian atas
dengan nutrisi enteral dini terhadap kadar albumin. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 13(4), 188.
https://doi.org/10.22146/ijcn.22652

Gleadle, Jonathan. 2007. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:

Erlangga.

History, A. (2021). Gastric Ventilation Along With Gastric Lavage in Celphos Poisoning : A
Prospective Study. 87–93.

Hemodinamik Pada Pasien Stres Ulcer Dengan Post Craniotomy Atas Indikasi Cidera Kepala
Berat Di Ruang Intensif Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta. (Jkg) Jurnal
Keperawatan Global, 2(2), 91–96. https://doi.org/10.37341/jkg.v2i2.38

Kim, et al. (2017). The impact of implementation of an enteral feeding protocol on the
improvement of enteral nutrition in critically ill adults. Asia Pac J Clin Nutr 26(1): 27-35
doi 10.6133/apjcn.122015.01

Pateron D, Vicaut E, Debuc E, Sahraoui K, Carbonell N, Bobbia X. 2011. Erythromycin


Infusion or Gastric Lavage for Upper Gastrointestinal Bleeding: A Multicenter
Randomized Controlled Trial. Ann Emerg Med.;57:582-589

Putri, A. R., & Adriani, R. B. (2017). Pengaruh Bilas Lambung NACL 0,9% Terhadap Status

Rahim, K. A. (2020). The use of gastric lavage in reducing COVID-19 fever: A narrative review.
(5). https://doi.org/10.31219/osf.io/qx8r5

Thanacoody, R., Caravati, E. M., Troutman, B., Höjer, J., Benson, B., Hoppu, K., … Mégarbane,
B. (2015). Position paper update: Whole bowel irrigation for gastrointestinal
decontamination of overdose patients. Clinical Toxicology, 53(1), 5–12.
https://doi.org/10.3109/15563650.2014.989326
Virgilio, E., Balducci, G., Mercantini, P., Giarnieri, E., Giovagnoli, M. R., Montagnini, M., …
Cavallini, M. (2018). Preoperative gastric lavage in gastric cancer patients undergoing
surgical, endoscopic or minimally invasive treatment: An oncological measure preventing
peritoneal spillage of intragastric cancer cells and development of related metastases.
Medical Hypotheses, 114, 30–34. https://doi.org/10.1016/j.mehy.2018.02.023

Anda mungkin juga menyukai