Anda di halaman 1dari 15

ANALISIS JURNAL EVIDANCE BASED PRACTICE

PENATALAKSAAN TERAPI BILAS LAMBUNG DAN NUTRISI ENTERAL

Disusun Oleh Kelompok 1:


Nurviana Novianti
Astri Chahya Pertiwi
Tanty Yulianti
Irvan Rafani Akhyar
Lathifani Azka
Mira Rahmawati
Era Sucia
Annisa Belladiena R. D
Abay Taryana
Fitri Isnanisa

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XXXIII


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2017
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1

BAB II TINJAUAN JURNAL......................................................................................3

BAB III PEMBAHASAN..............................................................................................6

BAB IV SIMPULAN......................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................9

DAFTAR JURNAL PENDUKUNG

LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

Intubasi gastrointestinal adalah pemasangan selang plastik atau karet fleksibel


yang pendek atau panjang kedalam lambung atau usus melalui mulut atau hidung
dengan tujuan dekompresi lambung dan mengeluarkan gas dan cairan, mendiagnosa
motilitas gastrointestinal, memberikan obat-obatan dan makanan, mengobati obstruksi
atau sisi perdarahan dan mengambil kandungan lambung untuk di analisis. Sedangkan
selang nasogastrik (NGT) adalah selang pendek yang dimasukan melalui hidung atau
mulut kedalam lambung (Smeltzer & Bare. 2002).

Salah satu komplikasi klien yang menjalani rawat inap adalah malnutrisi,
sehingga pemberian dini/early enteral nutrition melalui oral/NGT disarankan segera
dilakukan. Early enteral nutrition terbukti dapat mencegah kerusakan yang timbul pada
saluran pencernaan terutama fili-fili usus yang diakibatkan oleh puasa dan hal ini dapat
memberikan keuntungan secara klinis dan telah dibuktikan oleh banyak penelitian dan
review meta-analysis yang terbukti dapat menurunkan angka mortalitas dan pneumonia
serta dapat mempertahankan fungsi imunitas pada pencernaan (Doig S, 2013).

Pada pasien-pasien dengan gangguan sistem pencernaan seperti perdarahan


saluran cerna atas, obstruksi dan ileus paralitik, pemberian early enteral nutrition tidak
bisa dilakukan, tetapi menunggu perbaikan organ pencernaan terlebih dahulu. Sebelum
dilakukan enteral nutrition biasanya dilakukan pengecekan dan pengetesan fungsi
lambung dengan cara prosedur bilas lambung dan test feeding melalui NGT.

Dari hasil pengumpulan data pada tanggal 5 Februari 2017 di ruang Fresia lantai
2 RSHS Bandung terdapat 4 pasien yang terpasang NGT yaitu :

1. Tn. D, diagnosa CKD, keluhan kembung, terpasang NGT tersambung pada


kantung drainase, produksi lambung (+) warna kehijauan, udara (+).

2. Tn. R, diagnosa Meningitis, terpasang NGT tersambung pada kantung drainase


dilakukan bilas lambung 200 cc dengan NaCl 0,9% suhu ruangan, cairan
lambung keluar warna kecoklatan 200 cc.
3. Ny. E, diagnosa Gastropati erosive related ulkus e.c NSAID, punya riwayat
pemasangan NGT dan tersambung pada kantung drainase. Memiliki keluhan
buang air besar hitamdan muntah darah.

4. Tn. A, diagnosa gastropati, keluhan nyeri uluhati, riwayat hemtemesis melena,


terpasang NGT tersambung pada kantung drainase dilakukan bilas lambung 200
cc dengan NaCl 0,9% suhu ruangan, cairan lambung yang keluar berwarna
kehitaman.

5. Tn. M, dengan CAP, kesulitan menelan dan mengunyah, terpasang NGT yang
berfungsi untuk pemberian makanan dan obat-obatan

Berdasarkan penjelasan dan fenomena di ruangan fresia 2 RSHS, kami


melakukan analisa beberapa jurnal dan artikel terkait penatalaksaan terapi bilas lambung
dan enteral nutrition untuk dijadikan Evidence Base Practice (EBP) dalam asuhan
keperawatan pada klien yang menjalani terapi bilas lambung dan nutrisi enteral.
BAB II

TINJAUAN JURNAL

Angka kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) sekitar 50 dari
100.000 populasi per tahun dan angka kematian berkisar 5 11%. Penyebab utama
perdarahan SCBA adalah ulkus peptikum, esofagitis, kerusakan mukosa diinduksi obat,
akibat hipertensi portal (varies esophagus, varises fundus gaster, dan gastropati
hipertensi portal), anomali pembuluh darah, trauma, post operasi, dan keganasan. Cara
cepat dan sederhana untuk melihat adanya perdarahan dari SCBA adalah dengan
pemasangan NGT juga dapat digunakan untuk bilas lambung. Keuntungan terapi bilas
lambung dapat membantu dalam stratifikasi risiko terjadinya perdarahan aktif dan
kematian serta mengurangi risiko aspirasi, meningkatkan kualitas visual saat endoskopi,
dan menyingkirkan adanya perdarahan SCBA pada pasien yang diduga perdarahan
saluran cerna bawah. Saat ini belum ada pedoman yang jelas mengenai pemberian terapi
bilas lambung pada pasien (Ari F, 2014).
Pada pasien-pasien dengan perbaikan organ pencernaan, pemberian early
enteral nutrition sudah bisa dilakukan. Salah satu cara pemberian nutrisi secara enteral
yaitu dengan pemasangan selang nasogastrik (NGT) ataupun dengan pemasangan
orogastrik (OGT). Entral tube dapat diberikan kepada pasien yang memiliki kriteria
tidak sadar, gangguan menenlan, gagal system pencernaan pasrisa, dan anoreksia
nervosa (Stroud et al) Kelebihan pemberian nutrisi secara enteral antara lain biaya lebih
murah, dapat dimulai sesegera mungkin. Selain itu pemberian terapi secara enternal
dapat mengurangi komplikasi septik, mencegah atropi saluran cerna, mempertahankan
gut barrier, mempertahankan flora usus, menstimulasi peristaltic, mempertahankan
produksi igA, (Salim et al, 2013) sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh
(jurnalnya mira) pemasangan NGT pasca operasi dapat membantu dalam resolusi ileus
dengan penampilan awal bising usus, yang juga mengarah ke bagian awal flatus dan
gerakan penurunan ryles lambung pasca aspirasi bedah dan juga dapat menurunkan
septicemia dan tingkat penyembuhan luka. .Early enteral feeding juga dapat
memperbaiki stres oksidatif setelah proses pembedahan dan dapat menurunkan angka
kematian pasca operasi pada pasien yang menjalani operasi gastrointestinal.Meskipun
dengan manfaat tersebut, tidak semua pasien yang menerima nutrisi enteral dapat
optimal karena faktor-faktor seperti keterlambatan dalam pengambilan keputusan
dokter, salah perkiraan kebutuhan kalori, dan sering adanya gangguan makan (Kim et al,
2017).
Protokol nutrisi enteral mendorong inisiasi dini makanan enteral jika tidak ada
kontraindikasi. Kontraindikasi antara lain hemodinamik tidak stabil, volume
intravaskuler yang tidak teresusitasi, obstruksi usus, ileus paralitik, perdarahan saluran
gastrointestinal, distensi abdomen,muntah keras atau diare, iskemia gastrointestinal,
sindrom usus pendek atau pankreatitis kronik dan pasien intravena dilengkapi dengan
emulsi lemak, asam amino atau albumin).
Adapun komplikasi pada pasien dengan enteral feeding sebagai berikut (Salim
et al, 2013):
1. Mechanical Complications
- Aspiration
- Tube malposition
- Tube clogging

2. Gastrointestinal Complications
- Nausea and vomiting
- Diarrhea or constipation
- Malabsorption/maldigestion

3. Metabolic Complications
- Hyperglycemia or hypoglycemia
- Electrolyte imbalance
- Early satiety
- Dehydration
- Refeeding syndrome.
Pada Analisis Jurnal ini akan dibahas tentang early feeding dan bilas lambung pada
pasien-pasien dengan indikasi pemasangan intubasi gastrointestinal.
BAB III

PEMBAHASAN

1. Pemberian Nutrisi Enteral Dini (Early Internal Feeding)

Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan perlu memperhatikan keadaan dan


kebutuhan dasar pasien, yang salah satunya adalah nutrisi pasien. Pengelolaan nutrisi
sangat penting karena pasien (terutama pasien kritis) seringkali mengalami stress akibat
trauma, cedera, pembedahan, sepsis dan penyakitnya sehingga mengakibatkan
peningkatan metabolisme dan katabolisme yang akhirnya terjadi malnutrisi, kondisi
malnutrisi dapat menyebabkan kematian, komplikasi,memperlama hari rawat dan biaya
serta waktu penyembuhan(Setianingsih dan Anna tahun, 2014).
Pada pasien-pasien yang sudah mengalami perbaikan organ pencernaan,
pemberian early enteral nutrition sudah bisa dilakukan. Adapun protokol enteral
nutrition sebagai berikut:
Inisiasi dini makanan enteral dapat dilakukan pada 24-48 jam setelah masuk
ICU/pasca bedah apabila tidak ada kontraindikasi. Jika nutrisi enteral diindikasikan,
pemberian susu formula enteral diberikan pada volume 20 cc/jam pada awalnya dan
meningkat sebesar 10 cc/jam setiap 24 jam sampai target kalori dicapai. Perkiraan target
kalori untuk setiap pasien adalah 20-25 kcal/kg selama fase akut dan 25-30 kkal/kg
selama fase stabil (Kim et al, 2017). Pemberian nutrisi saat awal 24 jam hingga 48 jam
pertama diberikan 50% dari total kebutuhan kalori dan dosis penuh (100%) setelah 3x24
jam (Weisman, 2009).
Pasien yang terpasang nasogatric tube pemberian makan menggunakan rumus
isotonik (Jevity, Abbott Laboratories, Ontario, Kanada), mulai dari 20 cc/jam, dan
meningkat 20 mL/jam setiap 4 jam untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein yang
dianjurkan oleh ahli gizi klinis berdasarkan persamaan Ireton-Jones:

EEE (v) = 1784-1711 (A) + 5 (W) + 244 (S) + 239 (T) + 804 (B) - 609 (O)
REI = EEE (1,0-1,5)

Keterangan:
EEE = perkiraan pengeluaran energi (kkal / hari)
v = tergantung ventilator
A = umur (thn)
W = berat badan (kg)
S = seks (laki-laki = 1, perempuan = 0)
T = diagnosis trauma
B = luka bakar
O = obesitas (jika ada = 1, tidak ada = 0)
REI = asupan energi yang direkomendasikan (Huang et al, 2012).
Nilai rekomendasi harian energi dan protein berkisar 25-30 kkal/kg dan 1,2-1,5
g/kg berat badan ideal. Semua pasien diberi makan dengan kepala ditinggikan 30-45
selama makan dan selama 1 jam setelah makan. Residual diperiksa setiap 4 jam dan
makan ditahan selama 1 jam jika volume residu adalah lebih dari 250 ml. Residu
diperiksa ulang sebelum pemberian makan kembali. Setelah volume residu lebih rendah
dari 250 ml dan pasien tidak menunjukkan distensi abdomen, mual atau muntah, tabung
pengisi dimulai kembali pada tingkat 20 mL/jam dan meningkat sebesar 20 mL/jam
setiap 4 jam sampai target kalori dicapai. Pasien dipantau sampai 21 hari atau
pengamatan ditutup jika mereka berakhir atau dipindahkan ke ruang rawat inap (Huang
et al, 2012).
Pemberian nutrisi secara enteral terdapat dua jenis yaitu gravity drip (pemberian
yang menggunakan corong yang disambungkan ke selang nasogastric dengan kecepatan
mengikuti gaya gravitasi) dan intermittent feeding (pemberian nutrisi secara bertahap
yang diatur kecepatannya menggunakan syiringe pump). Metode intermittent lebih
efektif dibandingkan grafitty drip volume residu yang dihasilkan 2,v47ml : 6,93ml
(Montejo et al., 2010).
Banyak pasien yang mendapat manfaat lebih banyak dengan pemberian nutrisi
melalui enteral dengan formulasi terbaru, seperti Immunonutrisi (Salim et al, 2013).
Imunonutrisi (IN) merupakan konsep pemberian nutrisi melalui enteral dengan
kandungan arginine, omega 3 polyunsaturated fatty acids, glutamine or ribonucleic acid
yang bertujuan untuk meningkatkan kekebalan tubuh.
Pemberian nutrisi enteral memiliki komplikasi yang rendah di banding
parenteral nutrisi namun kadang tidak mencukupi kebutuhan klien jika tidak di
kombinasi dengan pemberian parenteral nutrisi. Pemberian nutrisi enteral dapat
menurunkan infeksi sebesar 0,64% dibanding parenteral nutrisi, penelitian lain
menunjukan enteral : parenteral yaitu 60: 84 (Ziegler, 2009). Apabila dilihat dari hasil
unit perawatan intensif dan kematian di rumah sakit lebih rendah pada kelompok nutrisi
enteral dini dibandingkan kelompok enteral akhir (34% vs 44%; P < .001). (Imran et al,
2017).
Pemberian early enteral feeding dapat meningkatkan hasil klinis, mengurangi
intoleransi lambung, dan mempromosikan pembentukan kembali motilitas saluran cerna
[ CITATION Doi09 \l 1057 ]. Dalam penelitian McClave, et al. (2009) menyebutkan
pasien yang mendapatkan early enteral feeding (dalam waktu 24-48 jam setelah masuk
ICU) menunjukkan penurunan permeabilitas usus dan pelepasan sitokin dibandingkan
dengan pasien yang mendapat late enteral feeding (setelah 72 jam).Jika kurang dari 48
jam termasuk early enteral feeding, jika lebih dari 48 jam termasuk late enteral feeding.
Secara klinis, kadar albumin serum yang paling mungkin bertindak sebagai
prognostik dari indikator gizi. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa
mediator inflamasi dan sitokin dilepaskan selama cedera yang menjadi kontributor
utama dalam menurunkan albumin serum dan tingkat prealbumin. Pada penyakit kritis,
hipoalbuminemia dan hypoprealbuminemia sangat umum dan berbanding terbalik
dengan C-reactive protein (CRP). Oleh karena itu, kenaikan dua tingkat protein serum
ini (dalam menanggapi enteral makan pada hari 4 dan 7) hanya dalam kasus yang lebih
parah sakit awal pengumpan mungkin berhubungan dengan makan pagi menginduksi
pelepasan agen endogen trofik dan efek penghambatan mediator inflamasi dan sitokin
dilepaskan selama penyakit berat.
CRP (C-reactive protein) merupakanprotein yang dihasilkan oleh hati (terutama
saat terjadi infeksi atau inflamasi di dalam tubuh) kadar CRP sering digunakan untuk
memantau keadaan pasien setelah operasi. Pada umumnya, konsentrasi CRP akan mulai
meningkat pada 4-6 jam setelah operasi dan mencapai kadar tertinggi pada 48-72 jam
setelah operasi. Kadar CRP akan kembali normal setelah 7 hari pasca-operasi. Namun,
bila setelah operasi terjadi inflamasi atau sepsis maka kadar CRP di dalam darah akan
terus menerus meningkat, peningkatan kadar CRP ini berkaitan dengan terjadinya
hipermetabolisme dan meningkatnya katabolisme protein pada pasien pasca bedah,
dimana hal tersebut berkaitan dengan pelepasan sitokinin, katekolamin, dan kortisol.
Hipermetabolisme mencapai puncaknya dalam 48-72 jam pasca bedah dan kembali
normal dalam 7-10 (Cook AM et al, 2008). Hipermetabolisme terbagi kedalam beberapa
fase fase awal (Ebb fase) yaitu dimana terjadi ketidak stabilan hemodinamik, ditandai
dengan penurunan fungsi daari sel-sel, sehingga mayoritas jaringan tubuh akan
terdepresi, gejala klinis yang mungkin timbul mencangkup hipotensi sistemik dan
aktivitas sistem saraf otonom (berkerigat, sioanosis perifer, dan takikardi) fase awal
terjadi dalam 24 jam pertama (Tayek et al., 2008). Fase berikutnya adalah (flow fase)
ditandai dengan peningkatan cardiac output dan peningkatan kebutuhan energi dan
ekskresi nitrogen, pada fase ini terjadi pelepasan insulin yang cukup tinggi, tapi efek
insulin ini tidak terlihat karena hormon-hormon anti insulin seperti glucagon,
katekolamin, serta kortisol juga dilepaskan dalam kadar tinggi dalam fase ini. Akibat
ketidak seimbangan hormon ini akan terjadi peningkatan mobilisasi asam amino dan
asam lemak bebas dari otot periferdan jaringan lemak, dimana sebagian besar digunakan
sebagai sumber energy, sedangkan yang lain akan dibentuk langsung menjadi glukosa
dan melalui proses dihepar menjadi trigeserida. Sementara hipermetabolik akan
melibatkan proses anabolik dan katabolik dengan hasil akhir kehilangan protein dan
lemak yang sangat bermakna, oleh karena itu pemenuhan nutrisi perlu dilakukan sedini
mungkin (Debora et al., 2009).

2. Gastric Lavage (Bilas Lambung)


Menurut Pateron et al, (2011) bilas lambung pada pasien dengan perdarahan
lambung dapat menggunakan 500 ml air suhu ruangan yang diulang setiap jam sampai
jernih, dan NGT tersambung terus dengan kantung drainase. Residu sebanyak 500ml
masih dikatakan normal karena tidak menimbulkan komplikasi gastrointestinal
(Montejo et al., 2010). Jika volume residu lambung 200 mL atau lebih, maka
penggunaan penurunan feeding rate atau agen motilitas direkomendasikan. Jika volume
residu lambung persisten tinggi, atau jika risiko aspirasi tinggi, makan via nasojejunal
direkomendasikan. Metoclopramide digunakan sebagai agen motilitas pilihan dalam
penelitian Kim, et al (2017).
Erythromycin adalah agonis reseptor motilin yang dapat mempercepat
pengosongan lambung melalui induksi kontraksi antrum gaster. Beberapa uji klinis telah
membuktikan efektifitas erythromycin dalam membersihkan traktus gastrointestinal
dibandingkan dengan placebo (pateron et al, 2011) Pada studi oleh Pateron et al,
dilakukan perbandingan antara injeksi erythromycin dan bilas lambung terhadap
kualitas visual endoskopi. Pada studi ini tidak didapatkan perbedaan bermakna
pada kelompok erythromycin, nasogastric , dan nasogastric erythomycin. Namun
pada kasus yang berat, kombinasi pemberian erythromycin dan bilas lambung
dapat memberi keuntungan (gambaran visual lambung yang lebih jelas). Angka
perdarahan berulang dan kematian pada ketiga kelompok tidak berbeda bermakna,
dengan rata-rata angkan mortalitas 7%. Pada studi ini juga tidak ditemukan
komplikasi akibat pemasangan NGT selain nyeri. Didapatkan seperempat pasien pada
studi ini yang mengalami nyeri berat (VAS > 60). Sedangkan pemberian erythromycin
dilaporkan aman, mudah dilakukan, dan tidak menimbulkan nyeri. Pada penelitian
lain, pemberian erythromycin sebelum endoskopi juga memberikan efektifitas
biaya. Berbeda dengan studi oleh Huang et al, studi oleh Pateron et al melaporkan
adanya darah atau bekuan darah pada aspirat NGT memiliki sensitifitas dan
spesifisitas yang rendah dalam memprediksi adanya perdarahan aktif saat dilakukan
endoskopi.
BAB IV
SIMPULAN

Pemberian early enteral nutrition terbukti dapat mencegah kerusakan yang


timbul pada saluran pencernaan yang berkaitan dengan berkurangnya tingkat kejadian
malnutrisi, morbiditas dan mortalitas pada pasien rawat inap. Pemberian early enteral
nutrition dapat dilakukan melalui intubasi gastrointestinal menggunakan selang
nasogastric (NGT). Pada pasien-pasien dengan gangguan sistem pencernaan, sebelum
dilakukan enteral nutrition perlu dilakukan pengecekan dan pengetesan fungsi lambung
salah satunya dengan cara melakukan prosedur bilas lambung. Bilas lambung dilakukan
untuk membantu dalam stratifikasi risiko terjadinya perdarahan aktif, serta mengurangi
risiko terjadinya aspirasi.

Analisa jurnal evidence based practice tentang pelaksanaan terapi bilas lambung
dan pemberian enternal nutrisi ini diharapkan dapat menambah referensi tenaga
kesehatan khususnya perawat dalam pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan dalam
pelaksanaan implementasi pemenuhan kebutuhan nutrisi pada pasien-pasien dengan
indikasi terpasang intubasi gastrointestinal.

DAFTAR PUSTAKA
Huang ES, Karsan S, Kanwal F, Singh I, Makhani M, Spiegel B. Impact of nasogastric
lavage on outcomes in acute GI bleeding. Gastrointest Endose. 2011:74:971-80.

Ari Franciscus, 2014. Manfaat Terapi Bilas Lambung Pada Pasien Dengan Perdarahan
Saluran Cerna Bagian Atas: Sebuah Laporan Kasus Berbasis Bukti; Tesis. Jakarta.
Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSCM.

Cook, A,M., Peppard, A., Magnuson, B. (2008). Nutrition consideration In: traumatic
brain Injury. Nutrition in clinical practice.

Debora, Y., Villyastuti, Y, W., Harahap, M,S. (2009). Nutrisi pada pasien cedera kepala.
J Anestesiologi Indonesia.

Doig S. Gordon., dkk. 2013. Early Enteral Nutrition in Critical Illness: Clinical
Evidence and Pathophysiological Rationale. Australia: Northern Clinical School
Intensive Care Research Unit
Kim, et al. (2017). The impact of implementation of an enteral feeding protocol on the
improvement of enteral nutrition in critically ill adults. Asia Pac J Clin Nutr 26(1):
27-35 doi 10.6133/apjcn.122015.01
Huang ES, Karsan S, Kanwal F, Singh I, Makhani M, Spiegel B. Impact of nasogastric
lavage on outcomes in acute GI bleeding. Gastrointest Endose. 2011:74:971-80.

Moh Nursing Clinical Practice Guidelines 1/2010. 2010. Nursing Management Of


Nasogastric Tube Feeding Ministry Of Health, Singapore

Pateron D, Vicaut E, Debuc E, Sahraoui K, Carbonell N, Bobbia X. Erythromycin


Infusion or Gastric Lavage for Upper Gastrointestinal Bleeding: A Multicenter
Randomized Controlled Trial. Ann Emerg Med. 2011;57:582-589

Pranoto,Yosephin Anandati. 2015. Pemenuhan Kebutuhan Gizi Pasien Intensive Care


Unit (Critically Ill) Dengan Enteral Nutrition (En). Dietetic Internship FK UB
Setianingsih, A. 2014. Perbandingan enteral dan parenteral pada pasien kritis. A
literature review.
Smelter & bareng. 2002. Keperawatan medikal bedah volume 1 edisi 8. Jakarta: Egc
Tayek, J, A. (2008). Nutrition. In: Bongard, F,S., Sue, D,Y., Vintch, J,R. editors. Current
diagnosis and treatment critical care 3rd. New York: McGraw-Hill.

Weisman, C. (2009). Nutrition and metabolic control. In: Miller, R,D., Eriksson, L,I.,
Fleisher, L,A., Wiener, J,P., Young, W,L., editors. Millers anesthesia 7th ed.
Philadelphia: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai