Anda di halaman 1dari 21

PRESENTASI KASUS

IKTERUS NEONATORUM

Disusun sebagai salah satu syarat mengikuti ujian

Stase Anak di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Tjitrowardojo Purworejo

Diajukan Kepada :

dr. Nurul Hadi, M.Sc., Sp.A

Disusun Oleh :

Sintang Damar Apriliastyo - 20204010141

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR TJITROWARDOJO PURWOREJO

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2022
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

IKTERUS NEONATORUM

Disusun oleh:

Sintang Damar Apriliastyo

20204010141

Telah disetujui pada tanggal

…………………

Dokter Pembimbing

dr. Nurul Hadi, M.Sc., Sp. A


BAB I
PRESENTASI KASUS

A. IDENTITAS

Nama : Bayi Ny. HA


Usia : 15 hari
Alamat : Prapag Lor 02/05 Pituruh
Tanggal Masuk : 28 April 2022
Diagnosa Masuk : BBLR, Ikterus Neonatorum

B. ANAMNESIS

a. Keluhan Utama
Lahir dengan berat 1570 gr, kulit kuning pada usia 6 hari

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pada usia 6 hari, kulit pasien tampak kuning. Warna kuning tampak pertama
kali pada mata dan wajah yang semakin kuning, kemudian menyebar ke
badan, tungkai dan lengan. Keluhan kuning disertai dengan bayi tampak
lemah. Keluhan kuning tidak disertai dengan demam, kejang ataupun
penurunan kesadaran. BAB (-), BAK tidak tampak berwarna kuning pekat.
c. Riwayat Kehamilan
Pasien lahir dari Ibu dengan usia kehamilan kurang bulan. Selama kehamilan
ibu rutin kontrol ke puskesmas dan minum tablet penambah darah. Hipertensi
disangkal, diabetes melitus disangkal, anemia disangkal
d. Riwayat Persalinan
Pasien perempuan lahir spontan pervaginam pada 28 April 2022 pukul 21:45,
dengan riwayat ibu G1P0A0 usia kehamilan 32 minggu dengan keluhan
kenceng-kenceng tanpa keluar air ketuban, janin tunggal, letak kepala, dengan
berat lahir 1570 gr, Panjang badan 41 cm, Lingkar kepala 29 cm, Lingkar
lengan atas 7 cm, lingkar dada 24 cm. APGAR Score 8/9/10, menangis kuat,
tonus baik, ketuban jernih, tanpa riwayat kebiruan
e. Riwayat pasca persalinan
Pasien dirawat di NICU, dengan asupan nutrisi ASI melalui OGT
f. Riwayat Penyakit Keluarga

 Riwayat keluhan yang sama disangkal

 DM disangkal

 Hipertensi disangkal

 Asma disangkal

 Alergi disangkal

 Anemia disangkal
g. Riwayat Sosial Ekonomi
 Sosial
Pasien merupakan anak yang diharapkan
 Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai kuli bangunan dan ibu bekerja sebagai
penjaga toko roti, jaminan Kesehatan menggunakan BPJS
 Lingkungan
Keluarga menempati rumah sendiri, ayah dan ibu pasien tinggal bersama
orangtua ibu pasien. Keluarga yang tinggal satu rumah dengan pasien
tidak ada yang merokok. Wilayah tempat tinggal orangtua pasien
melewati jalan yang menanjak. Akses ke fasilitas Kesehatan cukup sulit
namun pasien rutin melakukan ANC di puskesmas.

h. Riwayat Imunisasi
HB0 (-)
BCG (-)
Polio (-)
DPT (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK (3/5/2022)

Keadaan umum : tampak lemas


Kesadaran : compos mentis, E4V5M6
Vital sign
HR : 124 x/menit
RR : 46 x/menit
T : 36 oC
SpO2 :
97% degan oksigenasi CPAP

Kepala/Leher : Normocephal, kulit ikterik (+), sklera ikterik (+/+), konjungtiva


anemis (-/-), napas cuping hidung (-), ubun-ubun dbn
Thorax
 Inspeksi : kulit kuning (+)
Pulmo
 Inspeksi : dinding dada simetris, retraksi ICS (+), jejas (-)
 Palpasi : Nyeri Tekan (-)
 Auskultasi : ronkhi (-), suara dasar vesikuler (+/+)
Cor
 Inspeksi : ictus cordis (-)
 Palpasi : ictus cordis (+) di ICS V LMCS
 Auskultasi : S1 S2 normal reguler, suara tambahan (-)
Abdomen
 Inspeksi : distensi (-), jejas (-), kulit kunng (+)
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar lien ginjal tidak teraba

Ekstremitas :
 Superior : tonus otot lemah, akral hangat, CRT <2 detik, edema (-/-),
sianosis (-) kuning (+), reflek fisiologis (+)
 Inferior : tonus otot lemah, akral hangat, CRT <2 detik, edema (-/-)
sianosis (-) kuning (+), reflek fisiologis (+)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil
Nilai
Rujukan
HEMATOLOGI PAKET DARAH LENGKAP (29/4/2022)
Hemoglobin 18.5 g/ dL 15.2 - 23.6
Leukosit 22,9 × 10ˆ3/ul 9.4 - 34.0
Eritrosit 5,2 × 10ˆ6/ul 4.30 - 6.30
Hematokrit 55 % 44-72

Trombosit 277 × 10^3/ul 150 - 400

MCV 105 fL 98 - 122


MCH 36 pg 33 - 41
MCHC 34 g/dL 31-35
DIFF COUNT
Neutrofil 66.70 % 50-70
Limfosit L 23,70 % 25-40
Monosit H 13.0 % 2-8
Eosinofil L0% 2.00-4.00
GDS 45 mg/dL 40-60
BILIRUBIN SERUM (3/5/2022)
Bilirubin Total H 12,84 mg/ <12
dL
Bilirubin Direk H 0,94 mg/dL <0,2
Bilirubin Indirek 11.90
E. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis Klinis :
BBLR, KB, SMK, Spontan
Ikterus Neonatorum

F. TATA LAKSANA
Infus D10 6 tpm

Injeksi Amoxicilin 2x230 mg

Injeksi Vitamin K

Gentamicin Salep mata

Fototerapi

G. PROGNOSIS
Dubia ad Bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Hiperbilirubinemia pada icterus neonatorum merupakan salah satu fenomena
klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup
bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh
keadaan ini. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning,
keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin (4Z, 15Z bilirubin IX alpha)
yang berwarna ikterus pada sklera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari
degradasi heme yang merupakan komponen haemoglobin mamalia. Pada masa
transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses
glukuronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini akan
menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi di dalam darah. Pada kebanyakan
bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan fenomena
transisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi, terjadi peningkatan bilirubin
secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat
menyebabkan kematian dan bila bayi tersebut dapat bertahan hidup pada jangka
panjang akan menimbulkan sekuele neurologis. Dengan demikian, setiap bayi yang
mengalami kuning, harus dibedakan apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan
yang fisiologis atau patologis serta dimonitor apakah mempunyai kecenderungan
untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia yang berat.
Oleh karena itu, setiap bayi dengan ikterus harus mendapatkan perhatian,
terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila
kadar bilirubin meningkat > 5 mg/dL (> 86μmol/L) dalam 24 jam. Proses hemolisis
darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin
direk >1 mg/dL juga merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya
ikterus patologis. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan
sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.

B. ETIOLOGI
1. Metabolisme Bilirubin
Reaksi kimia dan enzimatis yang terjadi pada metabolisme pemecahan heme
dan pembentukan bilirubin sangat kompleks. Mula-mula heme dilepaskan dari
hemoglobin sel darah merah yang mengalami hemolisis di sel-sel
retikuloendothelial dan dari hemoprotein lain, seperti mioglobin, katalase,
peroksidase, sitokrom dan nitrit oksida sintase, yang terdapat pada berbagai
organ dan jaringan. Selanjutnya, globin akan diuraikan menjadi unsur-unsur
asam amino pembentuk semula untuk digunakan kembali, zat besi dari heme
akan memasuki depot zat besi yang juga untuk pemakaian kembali, sedangkan
heme akan dikatabolisme melalui serangkaian proses enzimatik. Bagian porfirin
tanpa besi pada heme juga diuraikan, terutama di dalam sel-sel retikuloendotelial
pada hati, limpa dan sumsum tulang.
Heme yang dilepaskan dari hemoglobin akan didegradasi oleh suatu proses
enzimatis di dalam fraksi mikrosom sel retikuloendetelial. Proses ini dikatalisir
oleh enzim heme oksigenase, yaitu enzim pertama dan enzyme pembatas-
kecepatan (a rate-limiting enzyme) yang bekerja dalam suatu reaksi dua tahap
dengan melibatkan Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate (NADPH)
dan oksigen. Sebagaimana dilukiskan dalam gambar 1, heme akan direduksi
oleh NADPH, dan oksigen ditambahkan pada jembatan α-metenil antara pirol I
dan II porfirin. Dengan penambahan lebih banyak oksigen, ion feri (Fe+++)
dilepaskan, kemudian dihasilkan karbon monoksida dan biliverdin IX-α dengan
jumlah ekuimolar dari pemecahan cincin tetrapirol. Metalloporfirin, yaitu analog
heme sintetis, dapat secara kompetitif menginhibisi aktivitas heme oksigenase
(ditunjukkan oleh tanda X pada gambar).
Gambar 1. Alur Metabolisme Pemecahan Heme dan Pembentukan Bilirubin

Karbon monoksida mengaktivasi GC (guanylyl cyclase) menghasilkan


pembentukan cGMP (cyclic guanosine monophosphate). Selain itu dapat
menggeser oksigen dari oksi hemoglobin atau diekshalasi. Proses ini melepaskan
oksigen dan menghasilkan karboksi hemoglobin. Selanjutnya karboksi
hemoglobin dapat bereaksi kembali dengan oksigen, menghasilkan oksi
hemoglobin dan karbon monoksida yang diekshalasi. Jadi rangkaian reaksi ini
sebenarnya merupakan reaksi dua arah. Biliverdin dari hasil degradasi heme
selanjutnya direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase di dalam
sitosol. Bilirubin disebut sebagai bilirubin indirek (unconjugated bilirubin), yang
terbentuk dalam jaringan perifer akan diikat oleh albumin, diangkut oleh plasma
ke dalam hati.
Pada saat kompleks bilirubin – albumin mencapai membran plasma hepatosit,
albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, di transfer
melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin ( protein y ), mungkin juga
dengan protein ikatan sitosilik lainnya. Keseimbangan antara jumlah bilirubin
yang masuk ke sirkulasi, dari sintesis de novo, resirkulasi enterohepatik,
perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan bilirubin oleh sel hati dan
konjugasi bilirubin akan menentukan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi
dalam serum, baik pada keadaan normal ataupun tidak normal.
Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin tak terkonjugasi akan
berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Penelitian menunjukkan
hal ini terjadi karena adanya defisiensi konjugasi bilirubin dalam menghambat
transfer bilirubin dari darah ke empedu selama 3-4 hari pertama kehidupan.
Walaupun demikian defisiensi ambilan ini dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi ringan pada minggu kedua kehidupan saat
konjugasi bilirubin hepatic mencapai kecepatan normal yang sama dengan orang
dewasa
2. Konjugasi bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin konjugasi yang
larut dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine
diphospate glukuronosyl transferase ( UDPG – T ). Katalisa oleh enzim ini akan
merubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan
dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin ini kemudian
dieksresikan ke dalam kalanikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin
tak terkonjugasi akan kembali ke reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi
berikutnya
3. Ekskresi bilirubin
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan dieksresikan kedalam
kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan di eksresikan melalui
feses. Setelah berada dalam usus halus bilirubin yang terkonjugasi tidak
langsung dapat diresorbsi, kecuali jika dikonversikan kembali menjadi bentuk
tidak terkonjugasi oleh enzim beta – glukoronidase yang terdapat dalam usus.
Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk di
konjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.
Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada
mukosa usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase
yang dapat menghidrolisa monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi
bilirubin yang tak terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali.
Selain itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin
konjugasi tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang tidak
dapat diabsorbsi).
Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada neonatus
cukup bulan sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa sehat.
Sekitar 80 % bilirubin yang diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin. Bayi
memproduksi bilirubin lebih besar per kilogram berat badan karena massa
eritrosit lebih besar dan umur eritrositnya lebih pendek.
Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya
kelebihan bilirubin akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau
kerusakan duktus biliaris, yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi
dan ekskresi bilirubin. Di pihak lain, gangguan ekskresi bilirubin dapat
menggangu ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu, kerusakan hepatoseluler
memperpendek umur eritrosit, sehngga menmbah hiperbilirubinemia dan
gangguan proses ambilan bilirubin olah hepatosit.
4. Mekanisme hyperbilirubinemia dan ikterus
Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat
terjadi : pembentukan bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan
bilirubin tak terkonjugasi oleh hati, gangguan konjugasi bilirubin, penurunan
ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intra hepatik yang
bersifat opbtruksi fungsional atau mekanik.
1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan
Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah
merupakan penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan.
Ikterus yang timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer
pigmen empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi
melampaui kemampuan. Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang sering
adalah hemoglobin abnormal (hemoglobin S pada animea sel sabit), sel
darah merah abnormal (sterositosis herediter), anti body dalam serum (Rh
atau autoimun), pemberian beberapa obat-obatan, dan beberapa limfoma atau
pembesaran (limpa dan peningkatan hemolisis). Sebagaian kasus Ikterus
hemolitik dapat di akibatkan oleh peningkatan destruksi sel darah merah atau
prekursornya dalam sum-sum tulang (talasemia, anemia persuisiosa,
porviria). Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif Kadar bilirubin
tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg / 100 ml pada bayi dapat
mengakibatkan Kern Ikterus
2. Gangguan pengambilan bilirubin
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat abulmin oleh sel-sel hati
dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada
protein penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan
pengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati, asam flafas pidat
(dipakai untuk mengobati cacing pita), nofobiosin, dan beberapa zat warna
kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan Ikterus biasanya
menghilang bila obat yang menjadi penyebab di hentikan. Dahulu ikterus
neonatal dan beberapa kasus sindrom Gilbert dianggap oleh defisiensi
protein penerima dan gangguan dalam pengambilan oleh hati. Namun pada
kebanyakan kasus demikian, telah di temukan defisiensi glukoronil
transferase sehingga keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat konjugasi
bilirubin
3. Gangguan konjugasi bilirubin
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( < 12,9 / 100 ml ) yang
mulai terjadi pada hari ke dua sampai ke lima lahir disebut Ikterus fisiologis
pada neonatus. Ikterus neonatal yang normal ini disebabkan oleh kurang
matangnya enzim glukoronik transferase. Aktivitas glukoronil tranferase
biasanya meningkat beberapa hari setelah lahir sampai sekitar minggu ke
dua, dan setelah itu Ikterus akan menghilang.
Kern Ikterus atau bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan bilirubin tak
terkonjugasi pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini
tidak di obati maka akan terjadi kematian atau kerusakan Neorologik berat
tindakan pengobatan saat ini dilakukan pada Neonatus dengan
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan fototerapi.
Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau (gelombang
yang panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang.
Penyinaran ini menyebabkan perubahan struktural Bilirubin (foto
isumerisasi) menjadi isomer-isomer yang larut dalam air, isomer ini akan di
ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di konjugasi terlebih
dahulu. Fenobarbital (Luminal) yang meningkatkan aktivitas glukoronil
transferase sering kali dapat menghilang ikterus pada penderita ini.
4. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi
Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor
Fungsional maupun obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi .Karena bilirubin terkonjugasi larut dalam air, maka bilirubin ini
dapat di ekskresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubin dan
kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih sering
berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi
dapat di sertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti
peningkatan kadar fostafe alkali dalam serum, AST, Kolesterol, dan garam-
garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam darah
menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh
hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning dibandingkan dengan
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari kuning
jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi obstruksi total aliran
empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang
merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat
intrahepatik (mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstra
hepatik (mengenai saluran empedu di luar hati). Pada ke dua keadaan ini
terdapat gangguan biokimia yang sama
C. KLASIFIKASI
1. Berdasarkan waktu timbulnya kuning :

2. Berdasarkan penyebaran kuningnya :


Anamnesis ditanyakan untuk melihat penyebaran ikterus, sehingga dapat
dilakukan penilaian derajat ikterus menurut Kramer. Cara ini dapat
memperkirakan kadar bilirubin serum secara kasar dan untuk pemeriksaan lebih
lanjut.
 Kramer I. Daerah kepala (Bilirubin total ± 5 – 7 mg).
 Kramer II daerah dada – pusat (Bilirubin total ± 7 – 10 mg%)
 Kramer III Perut dibawah pusat s/d lutut (Bilimbin total ± 10 – 13 mg)
 Kramer IV lengan s/d pergelangan tangan tungkai bawah s/d pergelangan
kaki (Bilirubin total ± 13 – 17 mg%)
 Kramer V s/d telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17 mg%)
3. Berdasarkan temuan gejala

Anamnesis menggali manifestasi klinis yang terjadi bertujuan untuk


membedakan ikterus yang terjadi apakah prehepatik, intrahepatik, dan post
hepatik.

D. TATALAKSANA

Strategi pengelolaan bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia meliputi;


pencegahan, penggunaan farmakologi, fototerapi dan transfusi tukar
1. Pencegahan
Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta
penyaringan serum untuk antibodi isoimun yang tidak biasa.
Jika golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan
pemeriksaan antibodi direk (tes coombs), golongan darah dan tipe Rh darah tali
pusat bayi.
Jika golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes
golongan darah dan tes coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak
diperlukan jikan dilakukan pengawasan, penilaian terhadap resiko sebelum
keluar RS dan tindak lanjut yang memadai
Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap
timbulnya ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang
harus dinilai saat memeriksa tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8-12
jam.
(1) Evaluasi laboraturium
 Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan pada setiap bayi yang
mengalami ikterus dalam 24 jam pertama setelah lahir.
 Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan jika tampak ikterus yang
berlebihan.
(2) Penyebab kuning
 Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus
dilakukan analisis dan kultur urin
 Bayi sakit dan ikterus pada umur atau lebih dari 3 minggu harus dilakukan
pemeriksaan bilirubin total dan direk untuk mengidentifikasi adanya
kolestatis.
 Jika kadar bilirubin direk meningkat, dilakukan evaluasi tambahan
mencari penyebab kolestatis.
 Pemeriksaan kadar G6PD direkomendasikan untuk bayi ikterus yang
mendapat fototerapi dan dengan riwayat keluarga atau asal geografis yang
menunjukkan kecenderungan defisiensi G6PD atau pada bayi dengan respon
fototerapi buruk.
(3) Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan
 Setiap bayi harus dinilai terhadap resiko berkembangnya hiperbilirubinemia
berat.

2. Penggunaan Farmakologi

a) Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi – bayi dengan rhesus yang
berat dan inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan
menurunkan tindakan transfusi tukar.
b) Fenobarbital merangsang aktivitas dan konsentrasi UDPG – T dan ligandin serta
dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin sehingga konjugasi bilirubin
berlangsung lebih cepat .Pemberian phenobarbital untuk mengobatan
hiperbilirubinemia pada neonatus selama tiga hari baru dapat menurunkan
bilirubin serum yang berarti. Bayi prematur lebih banyak memberikan reaksi
daripada bayi cukup bulan. Phenobarbital dapat diberikan dengan dosis 8 mg/kg
berat badan sehari, mula-mula parenteral, kemudian dilanjutkan secara oral.
Keuntungan pemberian phenobarbital dibandingkan dengan terapi sinar ialah
bahwa pelaksanaanya lebih murah dan lebih mudah. Kerugiannya ialah
diperlukan waktu paling kurang 3 hari untuk mendapat hasil yang berarti.
c) Metalloprotoprophyrin adalah analog sintesis heme.
d) Tin – Protoporphyrin ( Sn – Pp ) dan Tin – Mesoporphyrin ( Sn – Mp ) dapat
menurunkan kadar bilirubin serum.
e) Pemberian inhibitor b - glukuronidasi seperti asam L – aspartik dan kasein
holdolisat dalam jumlah kecil ( 5 ml/dosis – 6 kali/hari ) pada bayi sehat cukup
bulan yang mendapat ASI dan meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan
ikterus menjadi berkurang dibandingkan dengan bayi control
3. Penggunaan Fototerapi

Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler


superfisial dan ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat
diekstraksikan tanpa metabolisme lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti
bilirubin, menyatakan bahwa fototerapi merupakan obat perkutan.3 Bila fototerapi
menyinari kulit, akan memberikan foton- foton diskrit energi, sama halnya seperti
molekul-molekul obat, sinar akan diserap oleh bilirubin dengan cara yang sama
dengan molekul obat yang terikat pada reseptor.
Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami
reaksi fotokimia yang relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan
merubah bentuk molekul bilirubin dan bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk
bilirubin 4Z, 15Z akan berubah menjadi bentuk 4Z,15E yaitu bentuk isomer
nontoksik yang bisa diekskresikan. Isomer bilirubin ini mempunyai bentuk yang
berbeda dari isomer asli, lebih polar dan bisa diekskresikan dari hati ke dalam
empedu tanpa mengalami konjugasi atau membutuhkan pengangkutan khusus untuk
ekskresinya. Bentuk isomer ini mengandung 20% dari jumlah bilirubin serum.
Eliminasi melalui urin dan saluran cerna sama-sama penting dalam mengurangi
muatan bilirubin. Reaksi fototerapi menghasilkan suatu fotooksidasi melalui proses
yang cepat. Fototerapi juga menghasilkan lumirubin, dimana lumirubin ini
mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum. Lumirubin diekskresikan
melalui empedu dan urin. Lumirubin bersifat larut dalam air

Gambar 2. Panduan foto terapi pada bayi usia kehamillan > 35 minggu

Tatalaksana hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat dan Sakit

Neontaus kurang bulan Neontaus kurang bulan sakit


sehat :Kadar Total Bilirubin :Kadar Total Bilirubin Serum
Serum (mg/dl) (mg/dl)
Berat Terapi sinar Transfusi Terapi sinar Transfusi
tukar tukar
Hingga 1000 g 5-7 10 4-6 8-10
1001-1500 g 7-10 10-15 6-8 10-12
1501-2000 g 10 17 8-10 15
>2000 g 10-12 18 10 17

Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar


bilirubin direk yang disebabkan oleh penyakit hati atau obstructive jaundice

4. Tranfusi Tukar

Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang
dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang
dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar
Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati
bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan
isoimunisasi, transfusi tukar memiliki manfaat tambahan, karena membantu
mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi bayi. Sehingga mencegah hemolisis
lebih lanjut dan memperbaiki anemia
BAB III
KESIMPULAN

Didapatkan hasil bahwa Ny. S mengalami keluhan berupa nyeri kepala hilang-timbul
yang terasa seperti berdenyut yang merupakan tanda cephalgia. Tatalaksana yang
diberikan adalah Citicolin yang merupakan obat yang digunakan untuk meningkatkan
aliran darah dan konsumsi oksigen di otak. Omeprazole dan Ranitidin untuk mengatasi
gangguan lambung serta Dexamethasone sebagai obat anti inflamasi yang berperan
dalam mengurangi dan menekan proses peradangan.

Anda mungkin juga menyukai