Anda di halaman 1dari 23

Laporan Kasus

NEONATUS ATERM+ HIPOTERMI + HIPOGLIKEMI +IKTERUS NEONATORUM

Monika Ayu Lestari H1A009016

Pembimbing dr. Artsini Manfaati, Sp.A

Dalam Rangka Mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya Di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Mataram/RSU Prop. NTB 2014

I. Identitas Pasien: Nama lengkap Umur / TTL Jenis kelamin Alamat Identitas keluarga Identitas Keluarga: Ibu Nama Umur Pendidikan/Berapa tahun Pekerjaan Masuk RS tanggal Diagnosis MRS Ny. Z 20 th SMA IRT

LAPORAN KASUS

: By. Ny. Z : 1 hari / 2-4-2014 : Perempuan : Gn Sari : Anak kandung

Ayah Tn. Z 23 th SMA Swasta

: 2 April 2014 : neonatus aterm +hipotermi + hipoglikemia + ikterus neonatorum

ANAMNESIS (Alloanamnesis ibu pasien) Keluhan Utama : hipotermi Riwayat Penyakit Sekarang : bayi dibawa ke ruang NICU RSUP NTB setelah lahir di OK Cito RSUP NTB pada tanggal 2 April 2014 dikarenakan persalinan berlangsung lama dan menimbulkan komplikasi pada ibu dan janin. Berat badan lahir : 3600 gram, Panjang Badan ; 50 cm, Lingkar Kepaa ; 34 cm Lingkar lengan atas ; 12 cm. Anus (+). Sehari setelah dirawat di NICU, bayi Ny. Z mulai menguning. Warna kuning pada tampak terutama pada badan hingga paha kiri dan kanan bayi. Riwayat minum ASI (-), karena ibu bayi masih dirawat post SC

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat Kehamilan : Kehamilan : 1. ini HPHT lupa Kehamilan aterm (cukup bulan)

ANC teratur di Polindes. ANC > 4 kali Ibu mendapatkan imunisasi saat hamil (+) Ibu tidak pernah sakit selama hamil Ibu tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan atau jamu saat hamil Riwayat sakit kuning saat hamil (-). Riwayat Ibu pasien menderita kencing manis (-).

Riwayat Persalinan: pasien lahir SC, pada tanggal 2 April 2014 jam 21.25 wita dengan kala I fase aktif macet. AS : 7-9 , Lahir langsung menangis BBL : 3600 gram, PB ; 50 cm, LK ; 34 cm LILA ; 12 cm. Anus (+). Sianosis (+) , hipotermi (+) Bayi diberikan suntikan vitamin K (+) segera setelah lahir.

Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang menderita gejala yang serupa/ sering kejang sewaktu kecil. Riwayat nutrisi : Riwayat minum ASI (-), karena ibu bayi masih dirawat post SC

PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 04/04/2014) Kesan Umum : sedang Kesadaran : CM BB : 3600 gram Fungsi Vital : HR = 145 x/mnt, isi dan tegangan cukup.

RR = 48 x/mnt T ax = 35.8 C CRT : <3 detik

Pemeriksaan Khusus : 1. Kepala Bentuk : normocephali, tdk ada kelainan. Ubun-ubun besar : terbuka, datar.

Mata : Anemis -/-. Ikterik +/+, RP (+), isokor (+). THT: Napas cuping hidung (-) Mulut mencucu (-), bibir sianosis (-), mukosa mulut kuning 2. Leher Kaku kuduk (-). 3. Thoraks Cor : Irama teratur. S1S2 tunggal, reguler, murmur (-). Pulmo : Pernapasan tidak teratur, retraksi subcosta (-). Vesikuler +/+, Wheezing -/-, Rhonki -/-. 4. Abdomen Distensi (-), Bising usus (+) normal, organomegali (-), H/L tidak teraba. Umbilikus: bersih, merah (-), pus(-), berbau (-). 5. Extremitas Tungkai Atas Kanan Deformitas Tonus otot Edema Refleks Babinsky 6. Kulit Ikterus (+) pada sklera mata, badan, dan ekstremitas bawah, namun tidak mencapai bagian bawah lutut Kelainan kulit lainnya (-). 7. Urogenital Kelainan bawaan (-) normal Kiri Tungkai bawah Kanan normal + Kiri

RESUME Pasien perempuan lahir SC, pada tanggal 2 April 2014 jam 21.25 wita dengan kala I fase aktif macet. AS : 7-9 , BBL : 3600 gram, PB ; 50 cm, LK ; 34 cm LILA ; 12 cm. Anus (+). Sianosis (+) , hipotermi (+) Pemeriksaan fisik: Kesan Umum : sedang Kesadaran : CM

Fungsi Vital : HR = 145 x/mnt T ax = 35.8 C CRT : <3 detik

RR = 48 x/mnt Merintih (+), Kejang (-).

Mata : Anemis -/-. Ikterik +/+, RP (+), isokor (+). THT: Napas cuping hidung (-) Mulut mencucu (-), bibir sianosis (-) Thorax : retraksi subcosta (-) C: S1S2 tunggal, reguler, murmur (-). P: Vesikuler +/+, Wheezing -/-, Rhonki -/Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+) normal, organomegali (-), H/L tidak teraba. Umbilikus: dalam batas normal Extremitas: dalam batas normal Kulit : pada sklera mata, badan, dan ekstremitas bawah, namun tidak mencapai bagian bawah lutut

PEMERIKSAAN LABORATORIUM 1. Darah Lengkap (02 April 2014) HGB WBC RBC HCT MCV MCH MCHC PLT : 16,9 gr%3 : 25.12 10^3/ul : 5,11 10^6/ul : 48,9 % : 95,7 fl : 33,1 pg : 34,6 g/dl : 133 10^3/ul

2. GDS : 30 mg%

DIAGNOSIS KERJA:
Neonatus Aterm+ Hipotermi + Hipoglikemi +Ikterus Neonatorum

Rencana Awal ; Planning diagnosis: o cek bilirubin total&bilirubin direct o golongan darah dan rhesus Planning teraphy : o O2 1 liter/menit o Bolus D10% 2 cc/kgBB IV (D10% 7,5 cc), kemudian cek ulang GDS setelah 30 menit. Jika GDS > 45 mg/dl, cek GDS tiap 1-2 jam sampai stabil, minimal dalam 2 kali pemeriksaan didapatkan GDS > 45 mg/dl. o Infus micro D10% 12 tpm o Ampicillin 2 x 175 mg /IV o Gentamicin 1 x 17,5 mg/IV o fototerapi

II.

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Pengertian Ikterus Neonatorum Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus pada bayi baru lahir. Ikterus adalah pewarnaan kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya kadar bilirubin dalam darah. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5 mg/dL atau disebut dengan hiperbilirubinemia, yang dapat menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan.1,2 Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritrosit pada neonatus lebih bnayk dan usianya lebih pendek. Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada bayi berat lahir rendah (BBLR). Penyebeab yang sering terjadi adalah belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit. Pada bayi, usia sel darah merah sekitar 90 hari. Hasil pmecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati. Saat lahir, hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut biliruibn, bilirubin inilah yang menyebabkan pewarnaan kuning pada bayi.1,2,3

II.2. Metabolisme Bilirubin Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar (80%) bilirubin berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi (20%) dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karena mempunyai sofat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, seingga bilirubin terikat oleh

reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin (protein Y) protein Z dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.1 Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresikan melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan feses sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsobsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik.1

Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neoatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada ari ke 5-7, kemudian akan menurun kemali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan. pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga terakumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh, misal kerusakan sel otak yang akan menyebebabkan gejala sisa di kemudian hari.4,5 II.3. Etiologi Ikterus Neonatorum4 Peningkatan kadar bilirubin umumnya terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena : a. Meningkatnya kadar bilirubin Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek. b. Penurunan eksresi bilirubin Hal ini dapat terjadi karena : Fungsi hepar yang belum sempurna sehingga terjadi penurunan ambilan dalam hati dan penurunan konjugasi oleh hati Peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik meningkat karena masih berfungsinya enzim glukoronidase di usus, penurunan motilitas usus halus, dan penurunan bakteri flora normal. Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau frekuensi menyusu yang sering dan bayi dengan pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai insiden yang rendah untuk terjadinya ikerus fisiologis. Pada bayi yang diberi minum susu formula cenderung mengeluarkan bilirubin lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari pertama kehidupan dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat ASI, kadar bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya lebih sering. Bayi yang terlambat mengeluarkan mekonium lebih sering terjadi ikterus fisiologis.

Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early yang berhubungan dengan breast feeding dan late berhubungan dengan ASI. Bentuk early onset diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum. Bentuk late onset diyakini dipengaruhi oleh kandungan ASI ibu yang mempengaruhi prose konjugasi dan eksresi bilirubin. Faktor spesifik dari ASI tersebut kemungkinan adanya peningkatan asam lemak unsaturated yang menghambat proses konjugasi atau adanya beta glukorunidase yang menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.

II.4. Faktor Risiko4 Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum adalah : a. Faktor maternal Ras atau kelompok etnik tertentu Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh) Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, ASi

b. Faktor perinatal Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis) Infeksi (bakteri, virus)

c. Faktor neonatus Prematuritas Faktor genetik Polisitemia Obat (sterptomisin, kloramfenikol, benzyl alkohol, sulfisoxazol) Rendahnya asupan ASI Hipoglikemia Hipoalbuminemia

II.5. Klasifikasi Ikterus Neonatorum4,5,6 Ada 2 macam ikterus neonatorum : 1. Ikterus fisiologis a. Ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga b. Tidak mempuyai dasar patologis c. Kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau tidak berpotensi menjadi kern ikterus

d. Tidak menyebabkan morbiditas pada bayi e. Ikterus tampak jelas pada hari kelima dan keenam dan menghilang pada hari kesepuluh 2. Ikterus patologik Ikterus yang cenderung menjadi patologik adalah ; a. Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan b. Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5 mg/dl atau lebih per 24 jam c. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis) d. Ikterus yang disertai oleh : Berat lahir kurang dari 2000 gram Masa gestasi 36 minggu Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat nafas pada neonatus (SGNN) Infeksi Trauma lahir pada kepala Hipoglikemia, hiperkarbia Hiperosmolaritas darah

e. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia lebih dari 8 hari pada neonatus cukup bulan atau lebih dari 14 hari pada neonatus kurang bulan II.6. Penegakan Diagnosis Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu ialah menggunakan saat timbulnya ikterus.7 a. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama Berikut penyebab ikterus yang dapat terjadi dalam kurun waktu 24 jam pertama kehidupan : inkompatibilitas darah AB0, Rh atau golongan lain infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang bakteri) defisiensi G6PD

b. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir Biasanya ikterus fisiologis

Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ab0, rh atau golongan lain Hal ini dapat diduga dar jika terdapat peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg% per 24 jam Defisiensi enzim g6pd Polisitemia Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahn

subkapsuler hepar) Hipoksia Sferositosis, elipsitosis Dehidrasi asidosis Defisiensi enzim eritrosit lainnya

c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jampertama sampai akhir minggu pertama Biasanya karena infeksi (sepsis) Dehidrasi asidosis Defisiensi enzim G6PD Pengaruh obat Sindrom Crigler-Najjar Sindrom Gilbert

d. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya Biasanya karena obstruksi Hipotiroidisme Breast milk jaundice Infeksi Neonatal hepatitis

Adapaun pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah : Pemeriksaan bilirubin berkala; direk dan indirek Pemeriksaan darah tepi Pemeriksaan penyaring G6PD Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab

Ikterus dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan lanjut tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern ikterus. Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menetukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total lebih 20 mg/dl atau usia bayi lebih 2 minggu.4

Gambar 1. Pembagian ikterus menurut Kramer4

Tabel 1. Hubugan kadar bilirubin (mg/dl) dengan daerah ikterus menurut Kramer Daerah ikterus 1 2 3 4 Penjelasan Kepala dan leher Dada sampai pusat Pusat bagian bawah sampai lutut Lutut sampai pergelangan kaki dan bahu sampai pergelangan tangan 5 Kaki dan tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan Kadar bilirubin (mg/dl) Prematur 4-8 5-12 7-15 9-18 Aterm 4-8 5-12 8-16 11-18

>10

>15

II.7. Penatalaksanaan Ikterus Neonatorum Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum kuat, cukup bula, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kern ikterus sangat kecil. Untu mengatasi ikterus pada bayi sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut :4 Minum ASI dini dan sering Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO

Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning). Bilirubin serum total 24 jam pertama lebih dari 4,5 mg/dl dapat digunakan

sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar. Tatalaksana awal ikterus neonatorum :8 Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat Tentukan apakah bayi memeiliki faktor risiko ; berat lahir kurang dari 2500 gram, lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs Jika kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar Jika kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi sinar Jika faktor Rhesus dan golongan darah AB0 bukan merupakan penyebab hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan Hal selanjutnya yang dilakukan adalah mengatasi hiperbilirubinemia. Adapun hal yang dapat dilakukan antara lain : Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat ini bekerja sebagai enzyme inducer sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum melahirkan bayi. Memberikan substrat yang kurang toksisk untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti dengan plasma dosis 15-20 mg.kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum transfusi tukar dilakukan karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih

mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan transfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca transfusi tukar. Indikasi terapi sinar adalah :9 Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar albumin lebih dari 10 mg/dl Bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin lebih dari 15 mg/dl

Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus menerus, istirahat 12 jam, bila perlu dapat diberikan dosis kedua selma 24 jam. Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :9 Kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl Kadar bilirubin tali pusat lebih dari 4 mg/dl dan Hb kurang dari 10 mg/dl Peningkatan bilirubin lebih dari 1 mg/dl

Tabel 2. Bagan penatalaksanaan ikterus menurut waktu timbulnya dan kadar bilirubin Bilirubin < 24 jam serum (mg/dl) <2500 <5 5-9 10-14 15-19 >20 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500 Tidak perlu terapi observasi Terapi sinar bila hemolisis Transfusi tukar Transfusi tukar Transfusi tukar Terapi sinar Terapi sinar 24-48 jam 49-72 jam >72 jam

Terapi suportif, antara lain :10 Minum ASI atau pemberian ASI peras Infus cairan dengan dosis rumatan

Monitoring yang dilakukan antara lain :10 Bilirubin dapat menghilang dengan cepat ddengan terapi sinar. Warna kulit tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.

Pulangkan bayi jika terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan baik, atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di RS

Strategi pencegahan yang dapat dilakukan meliputi :6 a. Pencegahan primer Menganjurkan ibu untuk menyusui bayunya paling sedikit 8-12 kali/hari untuk beberapa hari pertama Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi b. Pencegahan sekunder Wanita hamil harus diperiksa golongan darah AB0 dan rhesus serta penyaringan serum utnuk antibodi isoimun yang tidak biasa Memastikan bahwa semua bayi secara rutin di monitor erhadap timbulnya ikterus da menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda-tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam II.8. Komplikasi Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern ikterus. Kern ikterus atau ensefalopati bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan batang otak. Patogenesis kern ikterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interakasi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf terhadap cedera. Keruskan sawar darah otak, asfiksia dan perubahan permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern ikterus. Pada bayi sehat yang menyusu, kern ikterus terjadi saat kadar bilirubin lebih dari 30 mg/dl dengan rentang antara 21-50 mg/dl. Onset umumnya pada minggu pertama kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 miggu. Gambaran klinis kern ikterus, antara lain :1 a. Bentuk akut Fase 1 (hari 1-2) : menetek tidak kuat, hipotonia, kejang Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstesor, opistotonus, retrocollis, demam

Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni

b. Bentuk kronis Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic neck reflexes, keterampilan motorik yang lambat Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus, tremor), gangguan pendengaran Oleh karena itu, pada bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut sebagai berikut :1 Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan Penilaian berkala pendengaran Fisioterapi dan rehabilitasi bila terjadi gejala sisa

III.

PEMBAHASAN

Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek. Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis). Pada pasien ini didapatkan pewarnaan kuning pada sklera mata, badan, dan ekstremitas bawah, namun tidak mencapai bagian bawah lutut. Hal tersebut sesuai dengan pembagian derajat Ikterus Kramer Derajat III. Pembagian ikterus menurut metode Kramer berguna untuk memperkirakan kadar bilirubin dalam darah . Peningkatan kadar bilirubin yang berlebih ikterus non-fisiologis menurut (Moeslichan, 2004) dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor di bawah ini : Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rh, penyakit hemolitik lainnya (defisiensi G6PD, sferosis herediter), dan pengaruh obat-obatan

(Streptomycin, Kloramfenikol, Benzylalkohol, Sulfisoxazol). Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, ISK, dan infeksi intrauterin. Trauma lahir dan cephal hematoma Hipoksia/asfiksia Bayi makrosomia dari ibu DM Kurangnya asupan ASI Prematuritas Faktor genetik

Hipoglikemia Hipoalbuminemia Pada pasien ini, hiperbilirubinemia dapat terjadi karena suatu keadaan hipoglikemia ( glukosa). Glukosa dibutuhkan oleh enzim uridine diphosphate glucoronosyl trasferase (UDPGT) pada proses konjugasi untuk mengubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi bilirubin terkonjugasi. Jika terjadi penurunan oksigen dan glukosa, maka akan terjadi penurunan aktivitas UDPG-T yang kemudian akan mempengaruhi proses konjugasi bilirubin sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi yang tampak sebagai suatu keadaan ikterus. Pada bayi baru lahir, kadar serum albumin umumnya rendah. Selain itu, keadaan hipoglikemia juga menyebabkan bayi baru lahir memiliki kapasitas ikatan plasma yang rendah. Kedua hal tersebut menyebabkan jumlah bilirubin tak terkonjugasi yang berikatan dengan albumin rendah dan terjadi peningkatan jumlah bilirubin bebas dalam plasma. Penurunan bilirubin clearance dalam plasma ini merupakan salah satu penyebab terjadinya keadaan ikterus. Pada pasien dengan ikterus non-fisiologis memerlukan tindak lanjut seperti fototerapi dan penanganan penyakit lain yang mendasari. Setelah dilakukan fototerapi, kuning pada tubuh pasien terus berkurang. Teori terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin. Dengan dilakukannya fototerapi maka akan terjadi fotooksidasi bilirubin sehingga menjadi isomer foto yang tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus. Sedangkan mengenai pemberian ASI pada bayi yang mendapatkan fototerapi, AAP (The American Academy of Pediatrics) tidak menganjurkan penghentian ASI dan telah merekomendasikan pemberian ASI terus menerus (minimal 8-10 kali dalam 24 jam). Pemantauan lanjut saat bayi sudah di rumah juga penting dilakukan. Pemantauan dapat berlangsung selama kurang lebih 14 hari. Pemantauan dilakukan terutama jika kadar bilirubin mencapai > 12 mg/dl.

DAFTAR PUSTAKA

1. Richard E., et al. 2003. Nelson Textbook of Paediatrics 17th edition. Philadelpia : WB Saunders Company 2. Liawati R. 2008. Manajemen Asuhan Kebidanan pada Bayi Baru Lahir pada Bayi Ny D dengan Ikterik grade IV. Padang : Poltekes 3. Rahmayani. 2008. Ikterus pada Bayi Baru Lahir. Padang : Poltekes 4. Mansjoer, A. Dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI 5. Arianti R. 2009. Ikterik pada Bayi Baru Lahir. Padang : Poltekes 6. Sudigdo, dkk. 2004. Tatalaksana Ikterus Neonatorum. Jakarta : HTA Indonesia 7. WHO.2003. Managing Newborn Problems : A Guide For Doctors, Nurses, And Midwives. Department of Reproductive Health and Research. Geneva : World Organization Health. 8. Suraatmaja, S. Soettjiningsih 2000. Ikterus Neonatorum dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah, Denpasar ; Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah 9. Kosim, M.S dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, edisi I. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta. 10. American Academy of Pediatrics. 2004. Clinical Practice Guideline. Management of Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation. Pediatrics 114:297-316

Anda mungkin juga menyukai