Sejak 10 hari setelah lahir, ibu penderita melihat bayinya tampak kuning. Warna kuning tampak
pertama kali pada mata dan muka yang semakin lama semakin kuning, kemudian menyebar ke
badan, tungkai dan lengan hingga betis kaki. Keluhan kuning disertai dengan bayi tampak
mengantuk, menangis lemah dan menetek lemah. Keluhan kuning tidak disertai panas badan,
kejang ataupun penurunan kesadaran. Buang air besar tidak tampak seperti dempul dan buang air
kecil tidak tampak berwarna teh pekat.
Riwayat Kehamilan:
Selama kehamilan berat badan ibu naik 8 kg. ibu memeriksakan kehamilan nya pada bidan dan
kontrol secara tidak teratur sebanyak 3 kali selama kehamilan. Selama kehamilan ibu tidak
pernah minum obat selain dari bidan, yaitu dua macam obat tablet berwarna merah 1x/hari dan
tablet warna kuning kecil 1x/hari selama tiga bulan dan diberi suntikan 1 kali. Riwayat ibu sakit
tekanan darah tiggi selama kehamilan disangkal. Riwayat sakit kuning, kelainan darah dan
kekurangan darah dalam keluarga disangkal. Riwayat mengkonsumsi obat-obatan/jamu selain
dari bidan selama hamil/saat bersalin disangkal. riwayat memelihara kucing disangkal. Ibu dan
ayah tidak mengetahui golongan darah mereka.
Riwayat Kelahiran:
Penderita lahir pada tanggal 07-06-12 jam 13.00 dari seorang ibu G1P0A0 yang hamil kurang
bulan(32-33 minggu), letak kepala, lahir spontan, di tolong oleh paraji, tidak langsung menangis,
dan tali pusat langsung dipotong. Berat badan lahir 1800 gr dengan panjang badan 42 cm.
riwayat kebiruan pada saat atau setelah persalinan tidak diketahui.
Riwayat Makanan :
ASI dari lahir sampai sekarang > 6 x/hari, tampak semakin kuning saat diberikan ASI.
Riwayat Imunisasi :
B. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : letargis
Menangis : lemah
Ikterik : kramer IV
Suhu : 36.8oC
TD : tidak dilakukan
Nadi : 140x/menit.
RR : 40x/menit.
Antropometri.
BB : 1500 gr
PB : 42 cm
LK : 29 cm
LD : 25 cm
LP : 24 cm
Kepala
Kulit : ikterik
Mata :
Thorax
Abdomen
Datar lembut
Ekstremitas
Sianosis(-/-)
Laboratorium
Resume
Penderita bayi laki-laki usia 10 hari datang berobat ke RSUD cianjur dengan keluhan utama
kuning seluruh tubuh.
Sejak 10 hari setelah lahir tampak ikterus seluruh tubuh. Ikterus diawali pada mata dan wajah
yang semakin lama semakin kuning, lalu menjalar sampai dengan betis kaki. Keluhan disertai
bayi tampak mengantuk, menangis lemah dan menetek lemah. Tidak disertai panas badan, kejang
atau penurunan kesadaran, BAB tampak seperti dempul dan BAK berwarna teh pekat. Ibu tidak
rutin memeriksakan kandungan nya selama kehamilan, ibu tidak pernah minum obat selain dari
bidan, yaitu 2 macam obat berwarna merah 1 x/hari dan tablet warna kuning kecil 1 x/hari
selama 3 bulan dan diberi suntikan 1 x/hari/. Riwayat sakit kuning, kelainan darah, dan
kekurangan darah dalam keluarga tidak ada. Penderita anak pertama lahir prematur 32-33
minggu , letak kepala, lahir spontan oleh paraji. Minum ASI semenjak lahir tampak semakin
kuning saat diberikan ASI.
Dari pemeriksaan fisik kesadaran letargis, kulit ikterik, sklera ikterik, dari pemeriksaan
laboratorium bilirubin total, bilirubin indirek, bilirubin direk meningkat.
DISKUSI
Pendahuluan
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada
bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama
kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna
kuning, keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin (4Z, 15Z bilirubin IX alpha) yang
berwarna ikterus pada sklera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari degradasi heme yang
merupakan komponen haemoglobin mamalia. Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum
berfungsi secara optimal, sehingga proses glukuronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal.
Keadaan ini akan menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi di dalam darah. Pada
kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan fenomena
transisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi, terjadi peningkatan bilirubin secara
berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat menyebabkan kematian dan
bila bayi tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan menimbulkan sekuele
neurologis. Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning, harus dibedakan apakah
ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta dimonitor apakah
mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia yang berat.
Oleh karena itu, setiap bayi dengan ikterus harus mendapatkan perhatian, terutama apabila
ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar bilirubin meningkat > 5
mg/dL (> 86mol/L) dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang
berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direk >1 mg/dL juga merupakan keadaan yang
menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologis. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan
ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.
Metabolisme bilirubin
Reaksi kimia dan enzimatis yang terjadi pada metabolisme pemecahan heme dan
pembentukan bilirubin sangat kompleks. Mula-mula heme dilepaskan dari hemoglobin sel darah
merah yang mengalami hemolisis di sel-sel retikuloendothelial dan dari hemoprotein lain, seperti
mioglobin, katalase, peroksidase, sitokrom dan nitrit oksida sintase, yang terdapat pada berbagai
organ dan jaringan. Selanjutnya, globin akan diuraikan menjadi unsur-unsur asam amino
pembentuk semula untuk digunakan kembali, zat besi dari heme akan memasuki depot zat besi
yang juga untuk pemakaian kembali, sedangkan heme akan dikatabolisme melalui serangkaian
proses enzimatik. Bagian porfirin tanpa besi pada heme juga diuraikan, terutama di dalam sel-sel
retikuloendotelial pada hati, limpa dan sumsum tulang.
Heme yang dilepaskan dari hemoglobin akan didegradasi oleh suatu proses enzimatis di
dalam fraksi mikrosom sel retikuloendetelial. Proses ini dikatalisir oleh enzim heme oksigenase,
yaitu enzim pertama dan enzyme pembatas-kecepatan (a rate-limiting enzyme) yang bekerja
dalam suatu reaksi dua tahap dengan melibatkan Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate
(NADPH) dan oksigen. Sebagaimana dilukiskan dalam gambar 1, heme akan direduksi oleh
NADPH, dan oksigen ditambahkan pada jembatan -metenil antara pirol I dan II porfirin.
Dengan penambahan lebih banyak oksigen, ion feri (Fe+++) dilepaskan, kemudian dihasilkan
karbon monoksida dan biliverdin IX- dengan jumlah ekuimolar dari pemecahan cincin
tetrapirol. Metalloporfirin, yaitu analog heme sintetis, dapat secara kompetitif menginhibisi
aktivitas heme oksigenase (ditunjukkan oleh tanda X pada gambar).
Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam
air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospate glukuronosyl transferase (
UDPG T ). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida
yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin ini kemudian
dieksresikan ke dalam kalanikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi
akan kembali ke reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi berikutnya.
Eksresi Bilirubin
Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada mukosa usus
halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim -glukoronidase yang dapat menghidrolisa
monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi yang
selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya steril
sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang tidak
dapat diabsorbsi).
Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada neonatus cukup bulan
sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa sehat. Sekitar 80 % bilirubin yang
diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin. Bayi memproduksi bilirubin lebih besar per
kilogram berat badan karena massa eritrosit lebih besar dan umur eritrositnya lebih pendek. (1)
Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan bilirubin
akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus biliaris, yang
kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan ekskresi bilirubin. Di pihak lain, gangguan
ekskresi bilirubin dapat menggangu ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu, kerusakan
hepatoseluler memperpendek umur eritrosit, sehngga menmbah hiperbilirubinemia dan gangguan
proses ambilan bilirubin olah hepatosit.
Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah merupakan
penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut
ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tetapi suplai
bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan. Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang
sering adalah hemoglobin abnormal (hemoglobin S pada animea sel sabit), sel darah merah
abnormal (sterositosis herediter), anti body dalam serum (Rh atau autoimun), pemberian
beberapa obat-obatan, dan beberapa limfoma atau pembesaran (limpa dan peningkatan
hemolisis). Sebagaian kasus Ikterus hemolitik dapat di akibatkan oleh peningkatan destruksi sel
darah merah atau prekursornya dalam sum-sum tulang (talasemia, anemia persuisiosa, porviria).
Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif Kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi
20 mg / 100 ml pada bayi dapat mengakibatkan Kern Ikterus.
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat abulmin oleh sel-sel hati dilakukan
dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein penerima. Hanya beberapa
obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati,
asam flafas pidat (dipakai untuk mengobati cacing pita), nofobiosin, dan beberapa zat warna
kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan Ikterus biasanya menghilang bila obat
yang menjadi penyebab di hentikan. Dahulu ikterus neonatal dan beberapa kasus sindrom Gilbert
dianggap oleh defisiensi protein penerima dan gangguan dalam pengambilan oleh hati. Namun
pada kebanyakan kasus demikian, telah di temukan defisiensi glukoronil transferase sehingga
keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat konjugasi bilirubin.
Kern Ikterus atau bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan bilirubin tak terkonjugasi
pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak di obati maka akan terjadi
kematian atau kerusakan Neorologik berat tindakan pengobatan saat ini dilakukan pada Neonatus
dengan Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan fototerapi.
Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau (gelombang yang
panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang. Penyinaran ini
menyebabkan perubahan struktural Bilirubin (foto isumerisasi) menjadi isomer-isomer yang larut
dalam air, isomer ini akan di ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di
konjugasi terlebih dahulu. Fenobarbital (Luminal) yang meningkatkan aktivitas glukoronil
transferase sering kali dapat menghilang ikterus pada penderita ini.
Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor Fungsional maupun
obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi .Karena bilirubin
terkonjugasi larut dalam air, maka bilirubin ini dapat di ekskresi ke dalam kemih, sehingga
menimbulkan bilirubin dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih
sering berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai
bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fostafe alkali dalam
serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam
darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia
terkonjugasi biasanya lebih kuning dibandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi.
Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi
obstruksi total aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang
merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik (mengenai sel
hati, kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstra hepatik (mengenai saluran empedu di luar hati).
Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang sama.
Diskusi Anamnesis
{Penderita datang dengan keluhan ikterus seluruh tubuh pada hari ke-10 setelah lahir}
{warna kuning tampak pertama kali pada mata dan wajah yang semakin lama semakin kuning,
kemudian menyebar ke seluruh tubuh sampai dengan betis kaki}
Anamnesis ini di tanyakan untuk melihat penyebaran ikterus, sehingga dapat dilakukan penilaian
derajat ikterus menurut Kramer. Cara ini dapat memperkirakan kadar bilirubin serum secara
kasar dan untuk pemeriksaan lebih lanjut terhadap bilirubin indirek bebas atau direk secara
laboratorium.
{Pada penderita ini ditemukan ikterus sampai dengan betis, hal ini
menandakan derajat ikterus kramer IV}
{keluhan kuning disertai dengan bayi tampak mengantuk, menangis lemah dan menetek lemah.
Keluhan kuning tidak disertai panas badan, kejang ataupun muntah.}
Anamnesis ini ditujukan untuk menilai apakah telah terjadi komplikasi yaitu kernikterus. Gejala
klinis awal dari kern ikterus adalah menurunnya aktifitas bayi, peningkatan iritabilitas, dan
kesukaran minum. Stadium lanjut dari kernikterus adalah kekakuan ekstremitas, epistotonus,
kaku kuduk, tangisan melengking dan kejang-kejang.
{dari anamnesis didapatkan gejala prodromal dari kern ikterus yaitu
penderita tampak lesu, lemah, dan mengantuk, serta malam minum.}
kernikterus
Kernikterus adalah sindrom neurologis akibat pengendapan bilirubin tak terkonjugasi di dalam
sel-sel otak. Gambaran klinis kernikterus bervariasi, dan > 15% bayi baru lahir tidak
menunjukkan gejala neurologis yang nyata. Penyakit ini dapat dibagi menjadi bentuk akut dan
kronik.
Bentuk akut biasanya memiliki tiga fase. Sedangkan bentuk kronik dikarakteristikkan
dengan hipotonia pada tahun pertama, dan setelah itu terjadi abnormalitas ekstrapiramidal dan
ketulian sensorineural. Perubahan spesifik yang tampak pada gambaran MRI yaitu berupa
peningkatan intensitas sinyal dalam globus palidus pada gambaran T 2-weighted menunjukkan
korelasi yang erat dengan terjadinya deposisi bilirubin dalam ganglia basalis.
Beberapa perubahan akan menghilang secara spontan atau dapat dibalikkan dengan transfusi
tukar. Pada sebagian besar bayi dengan hiperbilirubinemia sedang hingga berat, respon yang
ditimbulkan dapat menghilang setelah 6 bulan, dan pada sebagian kecilnya yang lain
abnormalitas tersebut dapat menjadi permanen. Pada sebuah penelitian yang melakukan follow-
up setelah 17 tahun mendapatkan bahwa terdapat hubungan antara bayi yang mengalami
hiperbilirubinemia berat (konsentrasi bilirubin serum 20 mg/dl) dengan IQ yang rendah pada
anak laki-laki saja, tidak pada anak perempuan.
{buang air besar tidak tampak seperti dempul dan buang air kecil tidak berwarna teh pekat}
Anamnesis ini bertujuan untuk membedakan ikterus yang terjadi apakah prehepatik, intrahepatik,
dan post hepatik.
Anamnesis ini didapatkan bahwa penderita lahir oleh petugas non medis yang sangat rentan
terhadap infeksi. Riwayat persalinan kurang higenis menigkatkan resiko terjadinya ikterus
neonatorum.
Infeksi adalah fenomena mikrobiologi yang ditandai dengan respon inflamasi terhadap
mikroorganisme atau invasi mikroorganisme ke jaringan yang seharusnya steril. Infeksi
menyebabkan aktivasi sistem pertahanan tubuh seorang individu, baik seluler maupun humoral.
Pada fase tersebut makrofag dan sel-sel netrofil lainnya akan melakukan proses fagositosis dan
melepaskan sejumlah mediator kimia, termasuk sejumlah radikal bebas berupa spesies oksigen
aktif. Oksidan mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel darah
merah, yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya lisis. Mekanisme terjadinya hemolisis akibat
infeksi bakteri dapat terjadi melalui 2 cara, yaitu secara langsung dan secara tak langsung.
Mekanisme secara langsung dilakukan dengan cara menghasilkan substansi sitolisin yang dapat
melarutkan sel darah merah (hemolisin) atau membunuh sel jaringan atau leukosit (leukocidins).
Beberapa contoh diantaranya, yaitu : Streptokokus grup A yang mengasilkan streptolisin O yang
bersifat hemolitik terhadap sel darah merah, Clostridia yang dapat menghasilkan berbagai
macam hemolisin termasuk lechitinase, Stafilokokus yang juga dapat menghasilkan berbagai
macam hemolisin termasuk leukosidin. Sebagian besar bakteri batang gram negative juga
menghasilkan hemolisin, contohnya : Escherichia coli. Secara tidak langsung, hemolisis dapat
terjadi melalui serangkain proses imunologis. Produk-produk bakteri seperti: endotoksin, yakni
suatu lipopolisakarida, yang merupakan komponen dinding sel kuman gram negatif, dan/atau
asam lipoteikoid, peptidoglikan serta berbagai jenis protein kumangram positif , bertindak
sebagai antigen yang akan memicu respon innate antara lain monosit, makrofag dan sel
polimorfonuklear. Pada saat endotoksin atau komponen dinding sel atau disebut juga
lipopolisakarida (LPS) atau antigen asing lain dilepas ke peredaran darah, LPS akan diikat oleh
lipopolisakarida binding protein. Kompleks ini dapat terikat ke CD4, yakni suatu reseptor yang
terdapat pada permukaan makrofag dan monosit lain yang bersirkulasi, yang akan
mempresentasikan antigen kepada limfosit T yang selanjutnya akan memicu respon inflamasi.
Makrofag dan sel mononuclear kemudian akan teraktivasi dan melepas sitokin proinflamasi,
terutama TNF- dan IL-1. Selanjutnya terjadi stimulasi produksi IL-6, IL-8, IL-10 yang
menyebabkan keradangan lokal. Pelepasan sitokin proinflamasi oleh makrofag menyebabkan
lepasnya berbagai mediator sekunder seperti mediator vasoaktif dan spesies oksigen reaktif oleh
sel-sel monosit, neutrofil dan sel endotel vaskular yang mengawali terjadinya serangkaian proses
imunoinflamasi. Munculnya spesies oksigen reaktif dan radikal oksigen pada infeksi bakteri
mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel darah merah, mengingat
keduanya merupakan kelompok oksidan dan radikal bebas yang berikatan dengan GSH dan
NADH.Selain menghasilkan mediator proinflamasi makrofag juga menghasilkan protein
komplemen. Protein komplemen pada umumnya berada dalam keadaan inaktif dan akan
diaktifkan oleh suatu kaskade inflamasi oleh kompleks imun, yang disebut jalur klasik dan oleh
bakteri yang disebut jalur alternatif menjadi komplemen aktif. Aktifasi komplemen C5 sampai
C9 akan menyebabkan terjadinya cedera membrane, lisis sel darah merah, kebocoran membran
plasma dari sel berinti dan lisis bakteri gram negatif yang disebut dengan kompleks membran
litik.
Transmisi
Infeksi pada neonatus dapat terjadi pada masa antenatal, intranatal atau pascanatal. Infeksi
antenatal terjadi semasa kehamilan. Mikroorganisme dapat masuk ke kavum amnion dan janin
melalui beberapa jalur ini: 1) infeksi asenderen dari vagina dan serviks; 2) penyebaran
hematogen melalui plasenta (infeksi transplasenta); 3) penjalaran retrogad dari kavum peritoneal
melalui tuba falopi; 4) melalui tindakan invasif seperti amniosintesis, pengambilan darah janin
perkutan, chorionic villous sampling, atau shunting. Jalur yang paling banyak menyebabkan
infeksi intrauterin adalah infeksi asenden32,33. Kuman penyebab umumnya virus seperti rubela,
sitomegalovirus, herpes simpleks, cocksaki yang bersifat teratogenik. Infeksi bakteri antenatal
antara lain karena grup B streptokokus. Penyakit lain yang dapat melalui lintas ini adalah
toksoplasmosis, malaria dan sifilis. Infeksi intranatal terjadi pada periode persalinan, dimana
pada umumnya kuman berasal dari vagina dan serviks. Mikroorganisme dapat masuk ke bayi
melalui kulit ketuban yang masih utuh atau sudah pecah. Penggunaan alat-alat monitor
intrauterin yang invasif, dan penggunaan forsep absetri merupakan port dentre mikroorganisme
flora genital ibu 32,33. Pada ketuban pecah dini maka mikroorganisme dalam vagina atau bakteri
patogen lainnya menjalar ke atas, menyebabkan korionitis dan amnionitis. Akibat korionitis,
maka infeksi menjalar terus melalui umbilikus dan akhirnya ke bayi. Cairan amnion yang telah
terinfeksi teraspirasi oleh janin atau neonatus yang kemudian berperan sebagai penyebab
kelainan pada sistem pernapasan 32,33. Infeksi pascanatal pada umumnya terjadi akibat infeksi
nosokomial yang diperoleh bayi dari lingkungan diluar rahim ibu seperti kontaminasi alat-alat,
sarana perawatan dan penyedia jasa layanan kesehatan, seperti : dokter dan perawat
Anamnesis ini ditanyakan untuk mencari faktor resiko kejadian perinatal, misalnya lahir dengan
vakum ekstraksi atau forceps yang dapat menimbulkan sefal hematom(perdarahan) kejadian
perinatal yang menyebabkan perdarahan melalui mekanisme hemolisis akan mempengaruhi
peningkatan kadar bilirubin dalam darah.
{riwayat ibu sakit tekanan darah tinggi salama kehamilan tidak ada}
Ini untuk mencari terdapatnya hipertensi pada ibu yang merupakan salah satu resiko timbulnya
prematuritas dan bayi lahir dengan berat lahir rendah.
{riwayat sakit kuning, kelainan darah dan kekurangan darah dalam keluarga tidak ada}
Anamnesis ini ditujukan untuk mencari apakah terdapat penyakit hepatitis B pada ibu yang dapat
ditularkan ke janin. Hepatitis B menyebabkan berat lahir rendah, kadang merupakan penyebab
timbulnya ikterus neonatorum.(nelson,1991)
{Riwayat mengkonsumsi obat-obatan/jamu selain dari bidan selama hamil atau saat bersalin
disangkal}
Anamnesis riwayat pemakaian obat-obatan selama kehamilan penting, karena terdapat obat-
obatan yang dapat menghambat daya ikat albumin dan daya kerja glukoronil transferase,
sehingga menyebabkan peningkatan kadar bilirubin serum. Contohnya : novobiosin, flasvaspidat,
dan sulfa.
{Riwayat memelihara kucing disangkal}
Anamnesis ini ditujukan untuk mencari apakah terdapat faktor penyebab ikterus akibat infeksi
TORCH yang diketahui hidup dalam bulu-bulu binatang peliharaan.
Diagnosis banding
Sepsis neonatorum.
Indikasi kuat ke arah infeksi atau sepsis pada neonatus antara lain didasarkan atas adanya riwayat
ibu dengan infeksi intrauterin, riwayat persalinan yang kurang higienis, riwayat ibu demam yang
dicurigai sebagai infeksi berat, air ketuban bercampur mekoneum atau ketuban pecah dini (KPD)
disertai gejala klinis yang terjadi pada tiga hari pertama. Gejala klinis yang dapat dijumpai pada
bayi dengan kecurigaan infeksi atau sepsis antara lain : bayi tidak bugar (not doing well), kurang
aktif, letargi atau lunglai, mengantuk, malas minum, dan muntah Pada keadaan yang lebih berat,
dapat dijumpai adanya suhu tubuh tidak normal dan tidak memberi respon terhadap terapi atau
tidak stabil, ikterik, distensi abdomen dan penurunan kesadaran.
2.3.3.2 Laboratoris
Pada infeksi neonatus jumlah lekosit dapat meningkat > 20.000/mm3 atau turun < 5.000/mm3.
Lekosit lebih sensitif untuk menentukan sepsis dibanding jumlah trombosit, namun jumlah
lekosit dapat normal pada 50% kasus dengan kultur yang positif. Bayi yang tidak terinfeksi dapat
menunjukkan jumlah lekosit yang abnormal karena stres kelahiran. Netrofil total (batang dan
segmen) lebih sensitif untuk menentukan sepsis dibanding lekosit total, namun netrofil dapat
dipengaruhi beberapa faktor. Netropenia (< 1.500/mm3) dapat terjadi pada ibu hipertensi,
asfiksia berat, dan perdarahan intraventrikular atau periventrikular. Rasio batang : total netrofil
(rasio I/T) sensitif untuk menentukan sepsis. Nilai normal maksimum rasio I/T dalam 24 jam
pertama adalah 0,16. Sensitifitas rasio I/T 60-90%. Rasio batang dan total netrofil lebih dari 0,2
serta jumlah lekosit < 5.000/mm3 dapat membantu diagnosis. Penurunan jumlah trombosit <
100.000/mm3 biasanya muncul pada akhir minggu pertama setelah sepsis dan tidak spesifik
(dipengaruhi oleh faktor ibu). Pada gambaran darah hapus dapat dijumpai adanya gambaran
hemolisis, anisositosis dan poikilositosis. Hasil kultur darah merupakan baku emas untuk
menegakkan diagnosis infeksi pada neonatorum (proven infection), namun dapat terjadi kultur
darah negatif tetapi gejala klinis jelas (suspect innfection). Sensitifitas kultur darah untuk
mengetahui adanya sepsis 50%-80%.
Manajemen
Strategi mengelola bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia meliputi; pencegahan, penggunaan
farmakologi, fototerapi dan transfusi tukar
1. Strategi pencegahan hiperbirubinemia
(1) Pencegahan primer
Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali per hari
untuk beberapa hari pertama.
Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
a) Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi bayi dengan rhesus yang berat dan
inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan
transfusi tukar.
b) Fenobarbital merangsang aktivitas dan konsentrasi UDPG T dan ligandin serta dapat
meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin sehingga konjugasi bilirubin berlangsung
lebih cepat .Pemberian phenobarbital untuk mengobatan hiperbilirubinemia pada
neonatus selama tiga hari baru dapat menurunkan bilirubin serum yang berarti. Bayi
prematur lebih banyak memberikan reaksi daripada bayi cukup bulan. Phenobarbital
dapat diberikan dengan dosis 8 mg/kg berat badan sehari, mula-mula parenteral,
kemudian dilanjutkan secara oral. Keuntungan pemberian phenobarbital dibandingkan
dengan terapi sinar ialah bahwa pelaksanaanya lebih murah dan lebih mudah.
Kerugiannya ialah diperlukan waktu paling kurang 3 hari untuk mendapat hasil yang
berarti.
Sinar Fototerapi
Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang merupakan suatu
gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik bervariasi menurut frekuensi dan
panjang gelombang, yang menghasilkan spektrum elektromagnetik. Spektrum dari sinar tampak
ini terdiri dari sinar merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing masing dari sinar
memiliki panjang gelombang yang berbeda beda.
Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin adalah
sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm.Sinar biru lebih baik dalam menurunkan
kadar bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar putih, dan sinar hijau. Intensitas sinar
adalah jumlah foton yang diberikan per sentimeter kuadrat permukaan tubuh yang terpapar.
Intensitas yang diberikan menentukan efektifitas fototerapi, semakin tinggi intensitas sinar maka
semakin cepat penurunan kadar bilirubin serum.Intensitas sinar, yang ditentukan sebagai
W/cm2/nm.
Intensitas sinar yang diberikan menentukan efektivitas dari fototerapi. Intensitas sinar
diukur dengan menggunakan suatu alat yaitu radiometer fototerapi.28,36 Intensitas sinar 30
W/cm2/nm cukup signifikan dalam menurunkan kadar bilirubin untuk intensif fototerapi.
Intensitas sinar yang diharapkan adalah 10 40 W/cm2/nm. Intensitas sinar maksimal untuk
fototerapi standard adalah 30 50 W/cm2/nm. Semakin tinggi intensitas sinar, maka akan lebih
besar pula efikasinya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar,
panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas permukaan tubuh
neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.
Intensitas sinar berbanding terbalik dengan jarak antara sinar dan permukaan tubuh. Cara
mudah untuk meningkatkan intensitas sinar adalah menggeser sinar lebih dekat pada bayi.
Rekomendasi AAP menganjurkan fototerapi dengan jarak 10 cm kecuali dengan
menggunakan sinar halogen.Sinar halogen dapat menyebabkan luka bakar bila diletakkan terlalu
dekat dengan bayi. Bayi cukup bulan tidak akan kepanasan dengan sinar fototerapi berjarak 10
cm dari bayi. Luas permukaan terbesar dari tubuh bayi yaitu badan bayi, harus diposisikan di
pusat sinar, tempat di mana intensitas sinar paling tinggi.
Tabel 1: Rekomendasi AAP penanganan hiperbilirubinemia pada neonatus sehat dan cukup bulan
Usia ( jam ) Pertimbangan Terapi sinar Transfusi tukar Transfusi tukar
terapi sinar dan terapi sinar
25-48 >12mg/dl >15 mg/dl >20 mg/dl >25 mg/dl
(>200 mol/L) ( >250 mol/L) (>340 mol/L) (425 mol/L)
Tabel 2: Tatalaksana hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat dan Sakit ( >37
minggu ) (1, 3, 7)
Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin
direk yang disebabkan oleh penyakit hati atau obstructive jaundice.
Komplikasi terapi sinar
Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam penggunaan terapi
sinar, penelitian yang dilakukan selama ini tidak memperlihatkan hal yang dapat mempengaruhi
proses tumbuh kembang bayi, baik komplikasi segaera ataupun efek lanjut yang terlihat selama
ini ebrsifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan memperhatikan tata cara
pengunaan terapi sinar yang telah dijelaskan diatas. (5)
5. Gangguan pertumbuhan
Pada binatang percobaan ditemukan gangguan pertumbuhan (Ballowics 1970). Lucey
(1972) dan Drew dkk (10976) secara klinis tidak dapat menemukan gangguan tumbuh
kembang pada bayi yang mendapat terapi sinar. Meskipun demikian hendaknya
pemakaian terapi sinar dilakukan dengan indikasi yang tepat selama waktu yang
diperlukan.
6. Kenaikan suhu
Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin memperlihatkan kenaikan suhu,
Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan dengan mematikan sebagian lampu yang
dipergunakan.
7. Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-kadang
ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan menghilang
dengan sendirinya.
8. Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti adalah
kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.
Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi.
Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan manfaat
penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai tempat
tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
Tranfusi Tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan
dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang
sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982). (1, 5)
Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati bilirubin
dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan isoimunisasi,
transfusi tukar memiliki manfaat tambahan, karena membantu mengeluarkan antibodi maternal
dari sirkulasi bayi. Sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki anemia. (5)
2. Gunakan darah baru. Kerjasama dengan dokter kandungan dan Bank Darah adalah penting
untuk persiapan kelahiran bayi yang membutuhkan tranfusi tukar.
3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan O
dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran,
dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.
4. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang sama
dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah
antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB,
untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen
tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.
6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap
plasma dan eritrosit pasien/bayi.
7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) ---- 160
mL/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.
Push-Pull tehnique : jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis/ vena saphena
magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.
b. ISOVOLUMETRIC
Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis dan
dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.
Indikasi
Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan transfusi tukar
pada hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar berdasarkan keputusan WHO tercantum dalam
tabel 2. (1, 5)
Hari ke-1 15 13
Hari ke-2 25 15
Hari ke-3 30 20
Bila transfusi tukar memungkinkan untuk dilaksanakan di tempat atau bayi bisa dirujuk
secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah mencapai kadar di atas,
sertakan contoh darah ibu dan bayi. (5)
Tabel 4: Indikasi Transfusi Tukar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah
1000-1500 12-15
1500-2000 15-18
2000-2500 18-20
Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi:
a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb rendah.
b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi sinar
c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 13 gr/dL
d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara
adekuat dengan terapi sinar.
4. Hiperkalemia
5. Gangguan kardiovaskular.
Emboli
Infark
Aritmia
Volume overload
Arrest
6. Pendarahan
Trombositopenia
7. Infeksi
8. Hemolisis