Disusun Oleh:
22712048
Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
2022
MANAJEMEN KASUS
Oleh:
22712048
24 Oktober 2022
LAPORAN KASUS
No. Rekam Medis: 6854660
IDENTITAS
Nama pasien : Ny. LI umur : 25 tahun
Nama suami : Tn. MN umur : 29 tahun
Agama : Islam
Pendidikan istri : SMA
Pendidikan suami : SMK
Pekerjaan istri : Mahasiswi
Pekerjaan suami : Bengkel
Banyak/lama menikah: 1 kali / 9 bulan
Alamat : Jl. Temugiring 07/02 Ngegong, Madiun
Riwayat USG:
PEMERIKSAAN FISIK
Status Umum:
PEMERIKSAAN PENUNJANG
HEMATOLOGI
Hb 10.1 g/dL*
MCV 77.1 fL
Eosinofil 0,3 %
Basofil 0,6%
Neutrofil 69.8 %*
Limfosit 23.0 %*
Monosit 6.3 %
IMUNO-SEROLOGI
DIAGNOSIS AWAL
GIP0000 32/33 mgg THIU + Letak kepala + riwayat KPP Preterm + TBJ terakhir
1700 g + Pasca maturasi paru.
PLANNING
- Diet biasa
- Tablet Nifedipin tokolitik 2x30 mg selang 8 jam lanjut 3x20 mg
- Pro swab vagina
FOLLOW UP VK
A: GIP0000 32/33 mgg THIU + Letak kepala + riwayat KPP Preterm + TBJ terakhir
1700 g + Pasca maturasi paru + Kandidiasis vaginalis.
P: - Diet biasa
- Tablet Sulfas ferrosus 2x1
- Tablet Kalk 2x1
- Ovula Neogynoxa 1x1 tiap malam selama 7 hari per vaginam
FOLLOW UP MAWAR
Kepala /Leher : anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dispneu (-)
P: - Diet biasa
- Tablet Sulfas ferrosus 2x1
- Tablet Kalk 2x1
- Ovula Neogynoxa 1x1 tiap malam selama 7 hari per vaginam
- Monitor keluhan/tanda vital/his/DJJ
Kepala /Leher : anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dispneu (-)
P: - Diet biasa
- Tablet Sulfas ferrosus 2x1
- Tablet Kalk 2x1
- Ovula Neogynoxa 1x1 tiap malam selama 7 hari per vaginam
- Pro KRS sore
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Ketuban pecah spontan di usia kehamilan >28 minggu namun
sebelum onset persalinan disebut ketuban pecah prematur (KPP) atau
prelabor rupture of membranes (PROM). Jika ketuban pecah di usia
kehamilan >37 minggu sebelum onset persalinan, maka disebut KPP term.
Sedangkan ketuban yang pecah sebelum usia kehamilan 37 minggu
disebut KPP preterm. Ketuban yang pecah lebih dari 24 jam sebelum
persalinan disebut prolonged rupture of membranes (Konar, 2018).
B. Epidemiologi
Saat term, KPP menjadi komplikasi 8% populasi ibu hamil. KPP
preterm menjadi komplikasi 1% persalinan secara global (Dayal, 2022).
C. Etiopatogenesis
Penyebab pasti pecahnya ketuban secara prematur tidak diketahui.
Beberapa kausa meliputi kerapuhan dan kelemahan membran bersamaan
dengan uterus yang berkontraksi, polihidramnion, kehamilan multipel,
inkompetensi serviks, panjang serviks <2,5 cm, infeksi (korioamnionitis,
infeksi saluran kemih, dan infeksi genitalia), dan riwayat persalinan
preterm dan KPP sebelumnya. Kondisi stres oksidatif juga menyebabkan
disfungsi dari membran (Menon & Richardson, 2017).
Gambar 1. Kondisi yang dapat menyebabkan disfungsi dan ruptur membran (Menon &
Richardson, 2017).
Patofisiologi pecahnya ketuban timbul dari berbagai faktor yang
sudah dijelaskan di atas. Faktor-faktor tersebut mempercepat degradasi
membran. Integritas dan kekuatan membran didukung oleh protein
ekstraseluler, termasuk kolagen, fibronektin, dan laminin. Peningkatan
sitokin lokal, ketidak seimbangan metalloproteinase matriks dan
inhibitornya, kolagenase yang meningkat, dan kontraksi uterus
menyebabkan membran lebih rapuh dan mudah ruptur (Dayal, 2022; Duff,
2022).
D. Diagnosis
Tanda klasik ketuban pecah adalah wanita hamil yang
mengeluhkan rembesan yang bersifat tiba-tiba keluar dari jalan lahir.
Cairan yang keluar biasanya jernih atau berwarna kuning pucat.
Terkadang, wanita hamil menganggap ada sensasi basah yang tidak biasa
pada vaginanya atau keluar cairan sedikit-sedikit (Duff, 2022).
Pemeriksaan fisik lokalis pada area vagina dan serviks dilakukan
menggunakan spekulum steril. Observasi cairan ketuban dilakukan dengan
melihat ada tidaknya cairan yang keluar dari ostium serviks dan terkumpul
di liang vagina. Pasien dapat diminta mengejan atau batuk untuk
memprovokasi keluarnya cairan dari ostium serviks. Pemeriksaan vaginal
touche tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan risiko infeksi
intrauteri dan memperpendek periode laten sampai persalinan (Duff,
2022).
Cairan yang didapatkan dari forniks posterior diperiksa pH-nya (tes
lakmus atau Nitrazin). Vagina normal dalam kehamilan memiliki pH yang
cenderung asam (4,5-5,5). Jika kertas lakmus berubah warna menjadi biru
(pH >6), maka cairan yang keluar adalah ketuban. Hasil positif palsu dapat
terjadi jika ada cairan semen ataupun darah (Konar, 2018).
Cairan juga dapat dievaluasi di bawah mikroskop untuk melihat
pola ferning, yaitu tanda kristalisasi dari ketuban. Sebagai tambahan,
ultrasonography (USG) dapat dilakukan untuk melihat kecukupan cairan
ketuban dan profil biofisik janin (Konar, 2018).
Gambar 2. Pola ferning (Duff, 2022).
E. Tatalaksana
Tatalaksana KPP dibagi berdasarkan usia kehamilan. Tanda-tanda
vital pasien harus dipantau untuk mengantisipasi adanya infeksi intrauteri.
Penggunaan agen tokolitik bersifat kontroversial karena berperan dalam
menunda persalinan selama >48 jam, namun juga meningkatkan risiko
korioamnionitis pada usia kehamilan <34 minggu. Antibiotik profilaksis
diberikan untuk mengurangi risiko infeksi maternal dan fetal. Tirah baring
total dapat membantu menutup robekan ruptur membran secara spontan
pada beberapa kasus (Konar, 2018).
A. Definisi
Kandidiasis vaginalis adalah kondisi infeksi pada area vagina yang
disebabkan oleh fungi, khususnya spesies Candida albicans yang
merupakan mikroorganisme komensal pada daerah oral, vagina, dan rektal
(Hoffman et al., 2020).
B. Epidemiologi
Sebanyak 75% wanita diperkirakan pernah mengalami setidaknya
satu episode kandidiasis vaginalis dalam hidupnya. Hampir 45% dari
populasi wanita akan mengalami lebih dari dua episode. Sebagian kecil
populasi mungkin mengalami infeksi kronis dengan rekurensi tinggi (>4
episode per tahun) (Aguin & Sobel, 2015). Kandidiasis lebih banyak
ditemukan di daerah dengan iklim hangat dan lembab serta pada pasien
obesitas (Hoffman et al., 2020). Risiko kandidiasis vaginalis pada wanita
adalah 20%, dan angka ini naik menjadi 30% dalam kondisi hamil (Aguin
dan Sobel, 2015).
C. Etiologi
Candida adalah jamur yang berbentuk kecil dan bulat yang
memperbanyak diri dengan cara budding dan membentuk pseudohifa.
Candida albicans adalah yang paling umum ditemukan, diikuti oleh C.
Tropicalis, C. glabrata, C.parapsilosis. Kelompok ini termasuk dalam
flora normal vagina sehingga infeksinya bersifat oportunistik(Spicer,
2018) .
Gambar 4. Pengecatan KOH menunjukkan pseudohifa (Hoffman et al., 2020).
Faktor risiko kandidiasis vaginalis adalah kondisi-kondisi yang
dapat menyebabkan imunosupresi. Terapi antibiotik dapat mengurangi
lactobacilli yang ada dalam vagina, padahal lactobacilli berfungsi dalam
menghambat pertumbuhan fungi. Diabetes melitus dan konsumsi obat-
obatan steroid pun bersifat imunosupresif sehingga meningkatkan risiko
terjadinya kandidiasis (Toy et al., 2016). Kandidiasis vaginalis umumnya
tidak menular lewat hubungan seksual. Perubahan fisiologis dalam
kehamilan juga merupakan faktor predisposisi kandidiasis vaginalis (Dong
et al., 2022).
D. Patofisiologi
Pada trimester akhir kehamilan, risiko kandidiasis meningkat
hingga 50%. Kehamilan menyebabkan peningkatan hormon estrogen dan
progesteron dalam tubuh yang mempengaruhi lingkungan vagina.
Progesteron bersifat sebagai inhibitor terhadap aktivitas anti-Candida oleh
neutrofil, sedangkan estrogen mengurangi kemampuan sel epitel vagina
untuk menghambat pertumbuhan berlebih dari fungi (Waikhom et al.,
2020). Progesteron juga menyebabkan ketidak seimbangan respons sel
imun T helper 1 dan T helper 2 (Aguin & Sobel, 2015).
Estrogen memicu tingginya deposit glikogen di vagina. Deposit ini
merupakan sumber makanan yang baik untuk proliferasi Candida. Afinitas
Candida terhadap reseptor sitosol sel epitel vagina juga lebih kuat dalam
pengaruh estrogen. Selain itu, estrogen mendorong pembentukan hifa dan
enzim yang berperan di dalamnya, seperti fosfolipase dan proteinase.
Secara keseluruhan, terbentuk kondisi anti-inflamasi sejak
trimester kedua kehamilan hingga hari persalinan. Perubahan imunologis
dan hormonal pada kehamilan menyebabkan respons lokal yang lemah
terhadap overgrowth dari Candida. Kecenderungan kandidiasis vaginalis
yang asimptomatik pun disebabkan oleh mekanisme-mekanisme tersebut
(Aguin & Sobel, 2015).
E. Diagnosis
1. Manifestasi klinis
Center for Disease Control and Prevention (CDC)
mengklasifikasikan gejala kandidiasis vaginalis menjadi tanpa
komplikasi dan dengan komplikasi. Kandidiasis tanpa komplikasi
bersifat sporadik dan tidak bersifat kambuhan, bergejala ringan, dan
menjangkit wanita dengan sistem imun yang normal. Kandidiasis
terkomplikasi memiliki gejala yang lebih berat, biasanya disebabkan
spesies selain C. albicans, dan menjangkit populasi
imunokompromais.
Diagnosis kandidiasis vaginalis biasanya diindikasikan dengan
adanya disuria eksternal, pruritus vulva, nyeri, edema, dan kemerahan
pada area genitalia. Dispareunia dapat terjadi pada beberapa
kasus(Hacker et al., 2016). Pada pemeriksaan fisik lokalis dan
inspekulo, dapat ditemukan discharge dengan konsistensi seperti keju
(cottage cheese-like) (CDC, 2021).
Gambar 5. Eritema labia, edema vulva, dan sekret pada kandidiasis (Hoffman et
al, 2020).
2. Pemeriksaan penunjang
Swab vagina dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis kandidiasis vaginalis. Sekret yang didapatkan dicat
menggunakan KOH 10% dan divisualisasi di bawah mikroskop. Hasil
akan menunjukkan budding dan pseudohifa. Hasil pemeriksaan pH
vagina biasanya normal (<4,5). Kultur vagina atau PCR perlu
dilakukan pada kecurigaan gejala kandidiasis dengan komplikasi
(CDC, 2021).
F. Tatalaksana
Prinsip terapi kandidiasis pada ibu hamil adalah untuk mengurangi
gejala yang mengganggu. Terapi topikal golongan azol digunakan selama
7 hari pada ibu hamil. Golongan ini dikaitkan dengan penyembuhan gejala
dalam kurun waktu 2-3 hari. Terapi tambahan dengan steroid topikal (krim
hidrokortison 1%) dapat ditambahkan untuk mengurangi iritasi. Nistatin
supositoria juga dapat digunakan selama 14 hari pada kehamilan trimester
awal (CDC, 2021).
Gambar 6. Rekomendasi lini pertama terapi kandidiasis (CDC, 2021).
Penggunaan flukonazol dosis tunggal 150 mg ditemukan
berhubungan dengan abortus spontan dan anomali kongenital, sehingga
tidak direkomendasikan sebagai lini pertama (CDC, 2021).
G. Prognosis
Komplikasi kandidiasis vaginalis dalam kehamilan masih
diperdebatkan. Satu studi menunjukkan bahwa dalam kehamilan normal,
kandidiasis sering ditemukan tanpa ada peningkatan risiko pada janin
(Roberts et al., 2015). Studi lain menemukan angka persalinan preterm
spontan dilaporkan lebih tinggi pada ibu hamil dengan kandidiasis
asimptomatik yang tidak diobati. Korioamnionitis ditemukan pada
beberapa kasus kandidiasis non-albicans dan dalam kondisi ketuban pecah
berkepanjangan (prolonged) (Aguin & Sobel, 2015). Penelitian lainnya
juga melaporkan 70% wanita hamil dengan kandidiasis melahirkan bayi
dengan infeksi Candida generalisata, khususnya bayi lahir preterm
(Waikhom et al., 2020).
DAFTAR PUSTAKA