i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Bed
Side Teaching yang berjudul “G1P0AO GRAVIDA 33-34 MINGGU DENGAN
PEB + SOLUTIO
PLASENTA” sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior Bagian Obstetri dan Ginekologi di Rumah Sakit Umum Daerah Raden
Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Fitri Yulianti, Sp.OG yang telah
bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Obstetri dan Ginekologi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan guna
kesempurnaan laporan CRS ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis dan para
pembaca.
Penulis
ii
i
4
BAB I
PENDAHULUAN
Solusio plasenta atau disebut juga abruptio placenta atau ablasio placenta
adalah separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya di uterus (korpus
uteri) dalam masa kehamilan lebih dari 20 minggu dan sebelum janin lahir.
Dalam plasenta terdapat banyak pembuluh darah yang memungkinkan
pengantaran zat nutrisi dari ibu ke janin, jika plasenta ini terlepas dari implantasi
normalnya dalam masa kehamilan maka akan mengakibatkan perdarahan yang
hebat. Hebatnya perdarahan tergantung pada luasnya area plasenta yang terlepas.
Menurut The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) 2013,
hipertensi adalah suatu keadaan dengan tekanan darah sistolik minimal 140 mmHg
dengan tekanan darah diastolik minimal 90 mmHg. Tekanan darah harus diukur minimal
2 kali dengan selang waktu pemeriksaan 4 jam. 1 Hipertensi kronik adalah hipertensi pada
ibu hamil yang sudah ditemukan sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur
kehamilan < 20 minggu dan menetap setelah 12 minggu pascasalin. Hipertensi kronis
yang diperberat oleh preeklampsia atau eklampsia, disebut juga hipertensi kronis dengan
Superimposed Preeclampsia.1
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
2.2.1 Keluhan Utama
Keluar darah dari jalan lahir sejak ± 2 jam SMRS.
4
2.3.4 Riwayat KB
a. Pernah mendengar tentang KB: Pernah
b. Pernah menjadi akseptor KB: Tidak Pernah
c. Alat kontrasepsi yang pernah di pakai: -
5
(+)
Abdomen : Striae gravidarum (+), linea nigra (-), sikatrik (-)
Vulva : Labia mayor/minor simetris, pembengkakan kel. Bartholini (-)
Palpasi abdomen :
Leopold I : TFU 29 cm, teraba satu bagian bulat, lunak dan tidak melenting, kesan:
bokong
Leopold II : Teraba satu tahanan keras memanjang di sisi kanan ibu (puka) dan teraba bagian-
bagian kecil di sisi kiri ibu (ekstremitas)
Leopold III : Teraba satu bagian yang bulat, keras dan melenting, kesan: kepala
Leopold IV : Belum masuk PAP
Pemeriksaan Dalam
Portio: Posisi anterior, tebal, konsistensi lunak
Pendataran: -
Pembukaan: -
Ketuban: (+)
Penurunan kepala: -
Penunjuk: -
Lendir darah: +
6
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.5.1 Pemeriksaan Darah Rutin
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI
HEMATOLOGI RUJUKAN
Darah Rutin (25 Februari 2022)
Hemoglobin 13.0 g/dL 13.4-15.5
Hematokrit 35.9 % 34.5-54
Eritrosit 3.98 x10^6/UL 4.0-5.0
MCV 90.2 fL 80-96
MCH 32.7 pg 27-31
MCHC 36.3 g/dL 32-36
Trombosit 116 x10^3/UL 150-450
Leukosit 8.73 x10^3/UL 4.0-10.0
KIMIA KLINIK
GDS 81 mg/dl <200
7
2.5.2 USG ( tanggal 26 – 02 – 2022 )
2.6 DIAGNOSIS
2.7 PENATALAKSANAAN
- Bolus MgSO4 4 gr 40 % selama 10 menit
- Drip MgSO4 1gr/jam dalam RL 500 mg
8
- Po Nifedipine 4x10 mg
- Po Dopamet 3x250 mg
- Inj. Dexametason 2x2 gr
9
2.9 PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad Bonam
2.10 FOLLOW UP
Tanggal Follow up
1
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1
c. Hipertensi kronis dengan superimposed preeclampsia
d. Hipertensi Gestasional1
Preeklampsia
Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia. Proteinuria yaitu protein
dalam urin 24 jam, melebihi 300 mg per 24 jam, atau pada sampel urin secara acak
menunjukkan 30 mg/dL (+1 dipstick) secara persisten. Tingkat proteinuria dapat
berubah-ubah secara luas selama periode 24 jam, bahkan pada kasus yang berat.
Oleh karena itu, satu sampel acak bisa saja tidak membuktikan adanya proteinuria
yang berarti.1,2
1
Kriteria diagnosis pada preeklampsia terdiri dari :
a. Kriteria minimal, yaitu :
1. Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu
2. Proteinuria ≥300 mg/24 jam atau 1+ dipstick
b. Kriteria terjadinya preeklampsia berat atau preeclampsia with severe feature:
1. TD ≥ 160/110 mmHg, pada 2 kali pengukuran
2. Trombosit <100.000/mm3
3. Gangguan fungsi hati : Peningkatan enzim transaminase (ALT atau AST), nyeri
perut kanan atas persisten yang berat atau nyeri epigastrium persisten yang tidak
membaik dengan pengobatan
4. Insufisiensi renal yang progresif : Kreatinin serum ≥ 1.1 mg/dL, kecuali
sebelumnya diketahui sudah meningkat
5. Edema pulmo
6. Gangguan cerebral atau penglihatan1
1
Tabel 1. Kriteria Diagnostik Preeklampsia Berdasarkan ACOG 2013
1
Gambar 2. Preeclampsia with severe features
(ACOG, 2013)
1
ETIOLOGI HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Etiologi Hipertensi dalam kehamilan yaitu :
A. Invasi trofoblastik abnormal pembulu darah uterus
B. Intolerasni imunitas antara plasenta ibu dan janin
C. Maladaptasi maternal pada perubahan cardiovaskular atau inflamasi
dari kehamilan normal
D. Faktor genetik
E. Pengaruh genetik4
1
Perubahan pada preeklampsia, meliputi kerusakan endotelial, perembesan isi
plasma pada dinding arteri, proliferasi sel miointimal, dan nekrosis tunika media.
Lipid mengumpul pertama kali pada sel-sel myointimal dan kemudian pada
makrofag akan membentuk atherosis. Obstruksi lumen arteriol spiral oleh atherosis
dapat mengganggu aliran darah plasenta. Perubahan-perubahan ini dianggap
menyebabkan perfusi plasenta menjadi berkurang secara patologis, yang pada
akhirnya menyebabkan sindrom preeklampsia. 4
Gambar 4. Atherosis
1
yang normotensif. Ketidakseimbangan ini terjadi karena terdapat dominasi Th2 yang
dimediasi oleh adenosin. Limfosit T-helper ini mengeluarkan sitokin spesifik yang
memicu implantasi dan kerusakan pada proses ini dapat menyebabkan
preeklampsia.4
C. Vaskulopati dan Perubahan Inflamasi
Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan akibat dari respon dari plasenta
karena terjadi iskemik sehingga akan menimbulkan urutan proses tertentu. Desidua
juga memiliki sel- sel yang bila diaktivasi maka akan mengeluarkan agen noxious.
Agen ini dapat menjadi mediator yang mengakibatkan kerusakan sel endotel. Sitokin
tertentu seperti tumor necrosis factor- (TNF-) dan interleukin memiliki
kontribusi terhadap stres oksidatif yang berhubungan dengan preeklamsi. Stres
oksidatif ditandai dengan adanya oksigen reaktif dan radikal bebas yang akan
menyebabkan pembentukan lipid peroksida.
Hal ini akan menghasilkan toksin radikal yang merusak sel-sel endotel,
memodifikasi produksi Nitric Oxide (NO), dan mengganggu keseimbangan
prostaglandin (vasodilator). Fenomena lain yang ditimbulkan oleh stres oksidatif
meliputi pembentukan sel-sel busa pada atherosis, aktivasi koagulasi intravaskular
(trombositopeni), dan peningkatan permeabilitas (edema dan proteinuria). 4
D. Faktor Nutrisi
Tekanan darah pada individu yang tidak hamil dipengaruhi oleh sejumlah
pengaruh makanan, termasuk mineral dan vitamin. Beberapa studi telah
membuktikan hubungan antara makanan dan insidensi terjadinya preeklampsia. Hal
ini didahului tentang suplementasi dengan berbagai unsur seperti zinc, kalsium, dan
magnesium yang dapat mencegah preeklampsia. Dikatakan juga bahwa dalam
populasi umum dengan diet tinggi buah dan sayuran yang memiliki efek antioxidant
berhubungan dengan tekanan darah yang menurun. 4
E. Faktor Genetik
1
Penelitian menunjukkan adanya hubungan antara antigen histokompatibilitas HLA-
DR4 dengan hipertensi dan proteinuria. 4
PENATALAKSANAAN HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Penatalaksanaan Preeklampsia
Persalinan merupakan pengobatan yang utama. Setelah diagnosis ditegakkan,
penatalaksanaan selanjutnya harus berdasarkan evaluasi awal terhadap kesejahteraan
ibu dan janin. Berdasarkan hal ini, keputusan dalam penatalaksanaan dapat
ditegakkan, yaitu apakah hospitalisasi, ekspektatif atau terminasi kehamilan, serta
harus memperhitungkan beratnya penyakit, keadaan ibu dan janin, dan usia
kehamilan. Tujuan utama pengambilan strategi penatalaksanaan adalah keselamatan
ibu dan kelahiran janin hidup yang tidak memerlukan perawatan neonatal lebih
lanjut dan lama.
Indikasi persalinan pada preeklampsia dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Indikasi ibu
1. Hipertensi berat yang berulang
2. Kegagalan progresif fungsi ginjal
3. Trombositopenia menetap (< 100.000 sel/mm3) atau HELLP syndrome
4. Edema pulmo
5. Eklampsia
6. Suspek solusio plasenta
7. Ketuban pecah dini1
b. Indikasi janin
1. Usia gestasi 34 minggu
2. Pertumbuhan janin terhambat
3. Oligohidramnion
4. Reversed end-diastolic flow pada arteri umbilkus dengan tes Doppler
5. Adanya rekurensi ariabilitas dan deselerasi pada non stress test (NST)
1
6. Kematian janin1
2
Bagan 2. Penatalaksanaan Preeklampsia berat (with severe feature)
2
Pilihan Obat Anti Hipertensi
Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan adalah
menurunkan risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi lebih
memperhatikan keselamatan janin. Terapi lini I yang banyak disukai adalah
metildopa, berdasarkan laporan tentang stabilisasinya aliran darah uteroplasental dan
hemodinamika janin dan ketiadaan efek samping yang buruk pada pertumbuhan
anak yang terpapar metil dopa saat dalam kandungan.
a. Metildopa
Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti
hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat
ini menurunkan resistensi total perifer tanpa menyebabkan perubahan pada laju
jantung dan cardiac output. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan
menstimulasi reseptor sentral α-2 lewat α-metil norefinefrin yang merupakan bentuk
aktif metil dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat α-2 perifer
lewat efek neurotransmitter palsu.
Jika metil dopa digunakan sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek anti
hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya dikombinasikan
dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil.
Dosis awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi
2-3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dlam 4-6 jam
setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering
dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan
obat ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk
memberhentikan obat ini.5
b. Nifedipin
Obat ini menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ekstraseluler ke
sitoplasma kemudian memblok eksitasi dan kontraksi coupling di jaringan otot polos
2
dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan resistensi perifer. Obat ini
mempunyai efek tokolitik minimal.
Dosis 10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin merupakan
vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah utama hipotensi.
Pemberian nifedipin secara sub lingual, menunjukkan bahwa dapat terjadi
penurunan tekanan darah yang cepat sehingga dapat menyebabkan hipotensi. Karena
alasan ini, nifedipin tidak digunakan pada pasien dengan IUGR atau denyut jantung
janin abnormal. Walaupun nifedipin tampak lebih potensial, obat ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut untuk digunakan dalam kehamilan.5
c. Hidralazin
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung yang
dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat hasil respon
simpatis sekunder yang dimediasi oleh baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac
output penting karena dapat meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin
dimetabolisme oleh hepar.
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol mencapai
110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih dari 160 mmHg. Dosis
hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-20 menit sampai tercapai hasil yang
memuaskan, yaitu tekanan darah diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak
terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan
lama kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan angina. 5
d. Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat α1-
adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk oral maupun intra vena.
Pada sebuah penelitian yang membandingkan labetalol dengan hidralazine
menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan darah lebih cepat dan efek
takikardi minimal, tetapi hidralazine menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih
efektif.
Protokol pemberiannya adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum
2
turun dalam 10 menit, maka diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit
berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai dosis maksimal
kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah
5 menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi kerja 45 menit – 6 jam. Pemberian
labetalol secara intra vena tidak mempengaruhi aliran darah uteroplasenta.
Pengalaman membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu maupun
janin. 5
e. Klonidin
Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai dengan
dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental 0.1-0.2 mg/hari
sampai
2.4 mg/hari. Tekanan darah menurun 30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan
lama kerja 6-8 jam.
Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi cardiac
output menurun namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek samping adalah
xerostomia dan sedasi. Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis hipertensi
yang dapat diatasi dengan pemberian kembali klonidin10
f. Prazosin
Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-adrenergik. Obat ini dapat
menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas pembuluh darah sehingga
menurunkan preload dan afterload. Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa
menurunkan laju jantung, curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi
glomerulus. Obat ini dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90%
ekskresi obat melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan, absorbsi
menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang. Prazosin dapat
menyebabkan hipotensi mendadak dalam 30-90 menit setelah pemberian. Hal ini
dapat dihindari dengan pemberian sebelum tidur.5
Secara umum terdapat tiga bentuk pencegahan yang dapat dilakukan oleh dokter
umum, untuk mencegah terjadinya kondisi preeklampsia, yaitu:
a. Pencegahan primer, meliputi upaya promosi kesehatan:
2
1. Memberikan penyuluhan tentang pentingnya melakukan antenatal care
2
rutin pada setiap ibu hamil
2. Memberikan penyuluhan tentang preeklampsia beserta komplikasinya
3. Penyediaan suplementasi gizi dan suplemen antioksidan pada ibu hamil
4. Memberikan penyuluhan mengenai bagaimana cara memproteksi diri dari
paparan radikal bebas dan zat beracun di lingkungan
5. Melakukan konseling kepada keluarga, terutama kepada suami yang perlu
diberikan pengertian dan pengetahuan mengenai preeklampsia, sehingga
mereka dapat diajak bekerjasama untuk melakukan deteksi dini terhadap
faktor resiko dan gejala preeklampsia yang dialami istrinya
b. Pencegahan sekunder, meliputi deteksi dini adanya penyakit atau kelainan:
1. Mengenali faktor resiko preeklampsia pada ibu hamil
2. Melakukan pemeriksaan screening preeclampsia secara berkala pada ibu
hamil, yang meliputi pemeriksaan tekanan darah dan urinalisis dipstick
3. Melakukan intervensi yang cepat dan tepat bila terdapat kasus ibu hamil
dengan preeclampsia
c. Pencegahan tersier, pencegahan komplikasi dan restorasi:
Mencegah terjadinya komplikasi progresi preeklampsia berat supaya
tidak berlanjut menjadi eklampsia dengan memberikan obat antikejang.
2.2 Solusio Plasenta
A. Definisi
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan plasenta dari
implantasi normalnya (korpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum
janin lahir.6,7 Cunningham dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta
sebagai separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya korpus uteri
sebelum janin lahir.8
2
Gambar 1. Solusio plasenta (placental abruption)
B. Klasifikasi
Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja (ruptura sinus
marginalis), dapat pula terlepas lebih luas (solusio parsialis), atau bisa seluruh
permukaan maternal plasenta terlepas (solusio plasenta totalis). Perdarahan yang
terjadi dalam banyak kejadian akan merembes antara plasenta dan miometrium
untuk seterusnya menyelinap di bawah selaput ketuban dan akhirnya
memperoleh jalan ke kanalis servikalis dan keluar melalui vagina (revealed
hemorrhage). Akan tetapi, ada kalanya, walaupun jarang, perdarahan tersebut
tidak keluar melalui vagina (concealed hemorrhage) jika:
- Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim
- Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim
- Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah ketuban pecah karenanya
- Bagian terbawah janin, umumnya kepala, menempel ketat pada segmen
bawah rahim.9
Dalam klinis solusio plasenta dibagi ke dalam berat ringannya gambaran
klinik sesuai dengan luasnya permukaan plasenta yang terlepas, yaitu solusio
plasenta ringan, solusio plasenta sedang dan solusio plasenta berat. Yang ringan
biasanya baru di ketahui setelah plasenta lahir dengan adanya hematoma yang
2
tidak luas pada permukaan maternal atau adanya ruptura sinus marginalis.
Pembagian secara klinik ini baru definitif bila ditinjau retrospektif karena solusio
plasenta sifatnya berlangsung progresif yang berarti solusio plasenta yang ringan
bisa berkembang mejadi lebih berat dari waktu ke waktu. Keadaan umum
penderita bisa menjadi buruk apabila perdarahannya cukup banyak pada kategori
concealed hemorrhage.9
Berdasarkan gejala klinik yang ditimbulkan10:
a. Kelas 0 : Asimptomatik. Diagnosis ditegakkan secara retrospektif dengan
menemukan hematoma atau daerah yang mengalami pendesakan pada
plasenta. Ruptur sinus marginal juga dimasukkan dalam kategori ini.
b. Kelas 1 : Gejala klinis ringan dan terdapat pada hampir 48 % kasus. Gejala
meliputi: tidak ada perdarahan pervaginam sampai perdarahan pervaginam
ringan; uterus sedikit tegang; tekanan darah dan denyut jantung maternal
normal; tidak ada koagulopati; dan tidak ditemukan tanda-tanda fetal
distress.
c. Kelas 2 : Gejala klinik sedang dan terdapat + 27 % kasus. Perdarahan
pervaginam bisa ada atau tidak ada; ketegangan uterus sedang sampai berat
dengan kemungkinan kontraksi tetanik; takikardi materna dengan perubahan
ortostatik tekanan darah dan denyut jantung; terdapat fetal distress, dan
hipofibrinogenemi (150-250 mg/dl).
d. Kelas 3 : Gejala berat dan terdapat pada hampir 24% kasus, perdarahan
pervaginam dari tidak ada sampai berat; uterus tetanik dan sangat nyeri;
syok maternal; hipofibrinogenemi (<150 mg/dl); koagulopati serta kematian
janin.
Berdasarkan ada atau tidaknya perdarahan pervaginam10:
a. Solusio plasenta yang nyata/tampak (revealed). Terjadinya perdarahan
pervaginam, gejala klinis sesuai dengan jumlah kehilangan darah, tidak
terdapat ketegangan uterus, atau hanya ringan.
b. Solusio plasenta yang tersembunyi (concealed). Tidak terdapat perdarahan
pervaginam, uterus tegang dan hipertonus, sering terjadi fetal distress berat.
2
Tipe ini sering disebut Perdarahan Retroplasental.
2
c. Solusio plasenta tipe campuran (mixed) Terjadi perdarahan baik
retroplasental atau pervaginam; uterus tetanik.
Berdasarkan jumlah perdarahan yang terjadi10:
a. Solusio plasenta ringan: perdarahan pervaginam <100 ml.
b. Solusio plasenta sedang: perdarahan pervaginam 100-500 ml,
hipersensitifitas uterus atau peningkatan tonus, syok ringan, dapat terjadi
fetal distress.
c. Solusio plasenta berat: perdarahan pervaginam luas > 500 ml, uterus tetanik,
syok maternal sampai kematian janin dan koagulopati10.
Berdasarkan luasnya bagian plasenta yang terlepas dari uterus:
a. Solusio plasenta ringan: kurang dari ¼ bagian bagian plasenta yang
terlepas. Perdarahan kurang dari 250 ml.
b. Solusio plasenta sedang: Plasenta yang terlepas ¼ - 2/3 bagian. Perdarahan
<1000 ml, uterus tegang, terdapat fetal distress akibat insufisiensi
uteroplasenta.
c. Solusio plasenta berat: Plasenta yang terlepas > 2/3 bagian , perdarahan
>1000 ml., terdapat fetal distress sampai dengan kematian janin, syok
maternal serta koagulopati.
C. Etiologi
Belum diketahui dengan jelas, namun terdapat beberapa keadaan tertentu
yang menyertai: hipertensi, riwayat trauma, kebiasaan merokok, usia ibu < 20 atau
>35 tahun, multiparitas, tali pusat yang pendek, defisiensi asam folat, perdarahan
retroplasenta, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan.10
D. Patofisiologi
Sesungguhnya solusio plasentra merupakan hasil akhir dari suatu proses
yang bermula dari suatu keadan yang mampu memisahkan vili-vili korialis
plasenta dari tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi
perdarahan. Oleh karena itu patosiologinya bergantung pada etilogi. Pada trauma
abdomen etiologinya jelas karena robeknya pembuluh darah desidua.
3
Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis) yang
disebabkan oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat
menyebabkan pembekuan trombosis dalam pembuluh darah desidua atau dalam
vaskular vili dapat berujung kepada iskemia dan hipoksia setempat yang
menyebabkan kematian sejumlah sel dan mengakibatkan perdarahan sebagai
hasil akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua basalis terlepas kecuali
selapisan tipis yang tetap melekat pada miometrium.
Dengan demikian, pada tingkat permulaan sekali dari proses terdiri
ataspembentukab hematom yang bisa menyebabkan pelepasan yang lebih luas,
kompresi dan kerusakan pada bagian plasenta kecuali terdapat hematom pada
bagian belakang plasenta yang baru lahir. Dalam beberapa kejadian pembentukan
hematom retroplasenta disebabkan oleh putusnya arteria spiralis dalam desidua.
Hematoma retroplasenta mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari
sirkulasi maternal/plasenta ke sirkulasi janin.
Hematoma yang terbentuk dengan cepat meluas dan melepaskan plasenta
lebih luas/banyak sampai ke pinggirnya sehingga darah yang keluar merembes
antara selaput ketuban dan miometrium untuk selanjutnya keluar melalui serviks
ke vagina (revealed hemorrhage). Perdarahan tidak bisa berhenti karena uterus
yang lagi mengandung tidak mampu berkontraksi untuk menjepit pembuluh
arteria spiralis yang terputus. Walaupun jarang, terdapat perdarahan tinggal
terperangkap di dalam uterus (concealed hemorrhage).
E. Gambaran Klinik
Gambaran klinik penderita solusio plasenta bervariasi sesuai dengan berat
ringannya atau luas permukaan maternal plasenta yang terlepas. Belum ada uji
coba yang khas untuk menentukan diagnosisnya. Gejala dan tanda klinisnya yang
klasik dari solusio plasenta adalah terjadinya perdarahan yang berwarna tua
keluar melalui vagina (80% kasus), rasa nyeri perut dan uterus tegang terus-
menerus mirip his partus prematurus. Sejumlah penderita bahkan tidak
menunjukkan tanda
3
atau gejala klasik, gejala yang lahir mirip tanda persalinan prematur saja. Oleh
karena itu, kewaspadaan atau kecurigaan yang tinggi diperlukan dari pihak
pemeriksa.10
1. Solusio plasenta ringan
Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana
terdapat pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak.
Apabila terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitam-hitaman dan
sedikit sakit. Perut terasa agak sakit, atau terasa agak tegang yang sifatnya
terus menerus. Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba.
Uterus yang agak tegang ini harus selalu diawasi, karena dapat saja menjadi
semakin tegang karena perdarahan yang berlangsung.
2. Solusio plasenta sedang
Dalam hal ini plasenta terlepas lebih dari 1/4 bagian, tetapi belum 2/3 luas
permukaan Tanda dan gejala dapat timbul perlahan-lahan seperti solusio
plasenta ringan, tetapi dapat juga secara mendadak dengan gejala sakit perut
terus menerus, yang tidak lama kemudian disusul dengan perdarahan
pervaginam. Walaupun perdarahan pervaginam dapat sedikit, tetapi
perdarahan sebenarnya mungkin telah mencapai 1000 ml. Ibu mungkin telah
jatuh ke dalam syok, demikian pula janinnya yang jika masih hidup mungkin
telah berada dalam keadaan gawat. Dinding uterus teraba tegang terus-
menerus dan nyeri tekan sehingga bagian-bagian janin sukar untuk diraba.
Jika janin masih hidup, bunyi jantung sukar didengar. Kelainan pembekuan
darah dan kelainan ginjal mungkin telah terjadi,walaupun hal tersebut lebih
sering terjadi pada solusio plasenta berat.
3. Solusio plasenta berat
Plasenta telah terlepas lebih dari 2/3 permukaannnya. Terjadi sangat tiba-tiba.
Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok dan janinnya telah meninggal.
Uterus sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri. Perdarahan pervaginam
tampak tidak sesuai dengan keadaan syok ibu, terkadang perdarahan
3
pervaginam mungkin saja belum sempat terjadi. Pada keadaan-keadaan di atas
besar kemungkinan telah terjadi kelainan pada pembekuan darah dan
kelainan/gangguan fungsi ginjal.9,10
F. Diagnosis
Berdasarkan gejala dan tanda klinik yaitu perdarahan melalui vagina, nyeri
pada uterus, kotraksi tetanik pada uterus, dan pada solusio plasenta yang berat
terdapat kelainan denyut jantung janin pada pemeriksaan dengan KTG. Namun
adakalanya pasien datang dengan gejala mirip persalinan prematur , ataupun
datang dengan perdarahan tidak banyak dengan perut tegang, tetapi janin telah
meninggal. Diagnosis definitif hanya bisa ditegakkan secara resrospektif yaitu
setelah partus dengan melihat adanya hematoma retroplasenta.
Pemeriksaan dengan ultrasonografi berguna untuk membedakannya dengan
plasenta previa, tetapi pada solusio plasenta pemeriksaan dengan USG tidak
memberikan kepastian berhubung kompleksitas gambaran retroplasenta yang
normal mirip dengan gambaran perdarahan retroplasenta pada solusio plasenta.
Kompleksitas gambar normal retroplasenta, kompleksitas vaskular rahimsendiri,
desidua dan mioma semuanya bisa mirip dengan solusio plasenta dan
memberikan hasil pemeriksaan positif palsu. Di samping itu solusio plasenta sulit
dibadakan dengan plasenta itu sendiri. Pemeriksaan ulang pada perdarahan baru
sering bisa menbantu karena gambaran ultrasonografi dari darah yang telah
membeku akan berubah menurut waktu menjadi lebih ekogenik pada 48 jam
kemudian menjadi hipogenik dalam waktu 1-2 minggu.9
G. Komplikasi
Komplikasi solusio plasenta berasal dari perdarahan retroplasenta yang
terus berlangsung sehingga menimbulkan berbagai akibat pada ibu seperti
anemia, syok hipovolemik, insufisiensi fungsi plasenta, ganguan pembekuan
darah, gagal ginjal mendadak, dan uterus Couvelaire disamping komplikasi
sindroma insufiensi
3
fungsi plasenta pada janin berupa angka kematian perinatal yang tinggi.
Sindroma Sheehan terdapat pada beberapa penderita yang terhindar dari
kematian setelah penderita syok yang berlangsung lama yang menyebabkan
iskemia dan nekrosis adenohipofisis sebagai akibat solusio plasenta.
Kematian janin, kelahiran prematur dan kematian perinatal merupakan
koplikasi yang paling sering terjadi pada solusio plasenta. Solusio plasenta
berulang dilaporkan juga bisa terjadi pada 25 % perempuan yang pernah
menderita solusio plasenta sebelumnya.
Fungsi plasenta akan terganggu apabila peredaran darah keplasenta
mengalami penurunan yang berarti. Sirkulasi darah keplasenta menurun
manakala ibu mengalami perdarahan banyak dan akut seperti pada syok.
Syok pada solusio plasenta diperkirakan terjadi akibat pelepasan
tromboplastin dari desidua dan plasenta masuk kedalam sirkulasi maternal dan
mendorong pembentukan koagualsi intravaskular beserta gambaran klinik lain
sindroma emboli cairan ketuban termasuk hipotensi.9
H. Penanganan
Semua pasien yang tersangka menderita solusio plasenta harus dirawat
dirumah sakit yang berfasilitas cukup. Ketika masuk lansung lakukan
pemeriksaan darah lengkap lansung Hb dan golongan darah serta gambaran
pembekuan darah dengan memeriksa waktu pembekuan darah, waktu
protrombin, kadar fibrinogen dan kadar hancuran fibrinogen dalam plasma.
Pemeriksaan dengan ultrasonografi berguna terutama untuk membedakanya
dengan plasenta previa dan memastikan janin masih hidup.9
Penanganan solusio plasenta didasarkan kepada berat atau ringannya gejala
klinis, yaitu:
a. Solusio plasenta ringan
Ekspektatif, bila kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada
perbaikan (perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin
3
hidup) dengan tirah baring dan observasi ketat, kemudian tunggu persalinan
spontan. Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung terus, gejala solusio
plasenta makin jelas, pada pemantauan dengan USG daerah solusio plasenta
bertambah luas), maka kehamilan harus segera diakhiri. Bila janin hidup,
lakukan seksio sesaria, bila janin mati lakukan amniotomi disusul infus
oksitosin untuk mempercepat persalinan.11,12
b. Solusio plasenta sedang dan berat
Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan,
penanganan di rumah sakit meliputi transfusi darah, amniotomi, infus
oksitosin dan jika perlu seksio sesaria. Apabila diagnosis solusio plasenta
dapat ditegakkan berarti perdarahan telah terjadi sekurang-kurangnya 1000
ml. Maka transfusi darah harus segera diberikan. Amniotomi akan merangsang
persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin. Keluarnya cairan amnion juga
dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi dan mengurangi
masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu yang mungkin akan
mengaktifkan faktor- faktor pembekuan dari hematom subkhorionik.
Persalinan juga dapat dipercepat dengan infus oksitosin yang memperbaiki
kontraksi uterus.
Kemungkinan kelainan pembekuan darah harus selalu diawasi dengan
pengamatan pembekuan darah. Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas dari
bahaya hepatitis, oleh karena itu pengobatan dengan fibrinogen hanya pada
penderita yang sangat memerlukan, dan bukan pengobatan rutin. Dengan
melakukan persalinan secepatnya dan transfusi darah dapat mencegah
kelainan pembekuan darah. Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak
berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi jika itu tidak memungkinkan,
walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infus oksitosin, maka satu-satunya
cara melakukan persalinan adalah seksio sesaria. Uterus Couvelaire tidak
merupakan indikasi histerektomi. Akan tetapi, jika perdarahan tidak dapat
dikendalikan setelah dilakukan seksio sesaria, tindakan histerektomi perlu
dilakukan.9,12,13
3
I. Prognosis
Solusio plasenta mempunyai prognosis yang buruk baik bagi ibu hamil dan
lebih buruk lagi bagi janin. Solusio plasenta ringan masih mempunyai prognosis
yang baik bagi ibu dan janin karena tidak ada kematian dan morbiditasnya
rendah. Solusio plasenta sedangmempunyai prognosis yang lebih buruk terutama
terhadap janinnya karena morbiditas ibuyang lebih berat. Solusio plasenta berat
mempunyai prognosis paling buruk terhadap ibu lebih-lebih terhadap janinnya.
Umumnya pada keadaan yang demikian janin telah mati dan mortalitas maternal
meningkat akibat salah satu komplikasi. Pada solusio plasenta sedang dan berat
prognosisnya juga tergantung pada kecepatan dan ketepatan bantuan medik yang
diperoleh pasien. Transfusi darah yang banyak dengan segera dan terminasi
kehamilan tepat waktu sangat menurunkan morbiditas dan mortalitas maternal
dan perinatal.9
3
BAB 1V
ANALISA KASUS
1. Definisi
Teori Kasus
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi Pasien datang dengan tekanan
disertai proteinuria, setelah umur darah 200/120 mmHg , pada
kehamilan 20 minggu atau segera setelah kehamilan 33-34 minggu
persalinan
2. Faktor risiko
Teori Kasus
Preeklampsia
Riwayat Hipertensi
Primigravida, primipaternitas
Riwayat hipertensi dalam
Riwayat hipertensi
dalam kehamilan kelurga
sebelumnya
Riwayat penyakit hipertensi,
penyakit ginjal, atau
keduanya
Riwayat trombophilia
Riwayat Systemic lupus
erythematosus (SLE)
Kehamilan multifetus
Riwayat hipertensi dalam keluarga
Diabetes mellitus
Obesitas (BMI ≥ 30)
Usia saat hamil, > 40 tahun
3
Solutio plasenta
Hipertensi Hipertensi
riwayat trauma
kebiasaan merokok, usia ibu
< 20 atau >35 tahun
multiparitas
tali pusat yang pendek,
defisiensi asam folat
perdarahan retroplasenta
penyalahgunaan alkohol dan
obat-obatan
3. Diagnosis
Teori Kasus
Anamnesis Anamnesis
Perdarahan melalui vagina, nyeri pada Pasien datang dengan keluhan
uterus, kotraksi tetanik pada uterus, dan keluar darah dari jalan lahir
pada solusio plasenta yang berat terdapat sejak ± 2 jam smrs disertai
kelainan denyut jantung janin pada rasa nyeri pada perut dan
pemeriksaan dengan KTG menjalar ke pinggang pasien
3
Insufisiensi renal yang progresif :
Kreatinin serum ≥ 1.1 mg/dL, kecuali
sebelumnya diketahui sudah meningkat
Edema pulmo
Gangguan cerebral atau penglihatan
4. Treatment
Teori Kasus
3
BAB V
KESIMPULAN
kriteria minimum untuk diagnosis preeklampsia adalah hipertensi dalam
kehamilan, pada usia kehamilan diatas 20 minggu, disertai proteinuria. Temuan
laboratorium yang abnormal dalam pemeriksaan ginjal, hepar, dan fungsi
hematologi meningkatkan diagnosis preeklampsia.1,2 Nyeri epigastrium atau nyeri
pada kuadran kanan atas abdomen merupakan akibat nekrosis hepatoseluler,
iskemia, dan edema yang merentangkan kapsul Glissoni. Nyeri ini sering disertai
dengan peningkatan serum hepatik transaminase yang tinggi dan biasanya
merupakan tanda untuk mengakhiri kehamilan
Berdasarkan gejala dan tanda klinik yaitu perdarahan melalui vagina, nyeri
pada uterus, kotraksi tetanik pada uterus, dan pada solusio plasenta yang berat
terdapat kelainan denyut jantung janin pada pemeriksaan dengan KTG. Namun
adakalanya pasien datang dengan gejala mirip persalinan prematur , ataupun datang
dengan perdarahan tidak banyak dengan perut tegang, tetapi janin telah meninggal.
Diagnosis definitif hanya bisa ditegakkan secara resrospektif yaitu setelah partus
dengan melihat adanya hematoma retroplasenta
4
DAFTAR PUSTAKA
1. Roberts JM, August PA, Bakris G, Barton JR, Bernstein IM, Druzin M, et al
2013, Hypertension in Pregnancy, The American College of Obstetricians and
Gynecologists.
2. Kementerian Kesehatan RI 2013, Pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan
dasar dan rujukan berdasarkan World Health Organization. Pedoman bagi
tenaga kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
3. Lindheimer MD, Taler SJ, Cunningham FG 2010, Hypertension in
pregnancy, J Am Soc Hypertension
4. Prawirohardjo S 2008, Hipertensi dalam kehamilan dalam Ilmu kebidanan
Sarwono Prawirohardjo, PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
5. Myrtha R 2015, Penatalaksanaan tekanan darah pada preeklampsia, Cermin
Dunia Kedokteran Jurnal, Jakarta.
6. Slava VG. Abruptio Placentae. [Serial Online]. Diunduh dari
http://www.emedicine.com /emerg/topic12.htm.
7. Gasong MS, Hartono E, Moerniaeni N. Penatalaksanaan Perdarahan
Antepartum. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNHAS. 1997: 3-8.
8. Cunningham FG, Macdonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC.
Obstetrical Haemorrhage. Wiliam Obstetrics 21th edition. Prentice Hall
International Inc Appleton. Lange USA. 2001; 819-41.
9. Chalik TMA. Perdarahan pada Kehamilan Lanjut dan Persaliinan. Di dalam:
Saifuddin, A.B. (ed), Ilmu Kebidanan. Ed ke-4. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 2010. 492-521.
10. Suyono et al., Hubungan Antara Umur Ibu Hamil dengan Frekuensi Solusio
Plasenta di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. CDK. 2007; 34 (5): 233-238.
11. WHO. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth. Geneva:
WHO. 2003; 518-20.
12. Israr YA. Karakteristik Kasus Solusio Plasenta di Bagian Obstetri dan
Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode 1 Januari 2002-31 Desember
2006. Riau: Fakultas Kedokteran Universitas Riau, 2007.
13.Blumenfelt M, Gabbe S. Placental Abruption. In: Sciarra Gynecology and
Obstetrics; Revised Ed, 1997. Philadelphia: Lippincott Raven Publ. 1997; 1-17.
4
4