Anda di halaman 1dari 57

CASE REPORT SESSION

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A222075


**Pembimbing/ dr. Zul Andriahta, Sp.OG

G1P0A0 Hamil 36-37 minggu Inpartu Kala I Fase Aktif + PEB+


KPD, JTH IU + Preskep

Oleh:
Pandela Gibran Sattari, S.Ked*

Pembimbing:
dr. Zul Andriahta, Sp.OG **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2022
HALAMAN PENGESAHAN

CASE REPORT SESSION (CRS)

G1P0A0 Hamil 36-37 minggu Inpartu Kala I Fase Aktif + PEB+


KPD, JTH IU + Preskep

Disusun Oleh :
Pandela Gibran Sattari, S.Ked
G1A222075

Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi
RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Jambi, Mei 2023

Pembimbing

dr. Zul Andriahta, Sp.OG

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Clinical Report Session
(CRS) ini dengan judul “G1P0A0 Hamil 36-37 minggu Inpartu Kala I Fase
Aktif + PEB + KPD, JTH IU + Preskep” Laporan ini merupakan bagian dari
tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi RSUD
Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Zul Andriahta, Sp.OG, sebagai pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan arahan sehingga Clinical Report Session (CRS) ini dapat
terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai penutup
semoga kiranya Clinical Report Session (CRS) ini dapat bermanfaat bagi kita
khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Mei 2023

Pandela Gibran Sattari

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Persalinan merupakan proses membuka dan menipisnya serviks dan janin turun
ke dalam jalan lahir. Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran
janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37- 42 minggu), lahir spontan
dengan presentasi belakang kepala, tanpa komplikasi baik ibu maupun janin.1
Menurut World Health Organization (WHO), setiap hari terdapat 830 ibu di
dunia meninggal akibat penyakit atau komplikasi selama kehamilan dan
persalinan. 75% kematian ibu disebabkan akibat perdarahan, hipertensi, dan juga
infeksi, dan sebanyak 65% adalah karena ketuban pecah dini yang banyak
menimbulkan infeksi pada ibu dan bayi.1
Ketuban pecah dini memiliki bermacam-macam batasan, teori, dan definisi.
Ketuban Pecah Dini (KPD) atau sering disebut Premature Rupture of the
Membrane (PROM) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum terjadinya
proses persalinan pada kehamilan aterm. Sedangkan Preterm Premature Rupture
of the Membrane (PPROM) adalah pecahnya ketuban pada pasien dengan usia
kehamilan kurang dari 37 minggu. Insidensi KPD berkisar antara 8-10% dari
semua kehamilan. Pada kehamilan aterm insidensinya bervariasi antara 6-19 %
sedangkan pada kehamilan preterm insidensinya 2% dari semua kehamilan.2
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, prevalensi kejadian ketuban pecah
dini di Indonesia sebesar 5,6%, dimana provinsi tertinggi dengan angka kejadian
KPD berada di DI Yogyakarta yaitu 10,1%, dan angka kejadian KPD terendah
berada di provinsi Sumatera selatan yaitu 2,6%. Sedangkan di Provinsi Jambi
angka kejadian KPD sebesar 2,82%.3

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. I
Umur : 16 tahun
Suku/Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : IRT
Alamat : Sekernan
MRS : 21 Maret 2023, 11.00 WIB
No. RM : 1025034

Suami
Nama : Tn. A
Umur : 23 tahun
Suku/Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Sekernan

2
3

2.2 Anamnesis
Keluhan utama :
Perut terasa kencang kencang kurang lebih 7 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan perut terasa kencang-kencang sejak ± 7 jam
SMRS. Keluhan disertai nyeri perut yang menjalar ke pinggang. Pasien juga
mengeluhkan keluar air-air dari jalan lahir (+) 10 jam SMRS. Keluhan tidak
disertai dengan sakit kepala, pandangan kabur (-). Nyeri ulu hati (-), mual (-),
muntah (-)
Pasien rutin melakukan ANC ke puskesmas sebanyak 6x, USG ke dokter
kandungan 1x dan dikatakan tidak terdapat kelainan.

Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat Hipertensi (-)
b. Riwayat Diabetes Mellitus (-)
c. Riwayat Asma (-)
d. Riwayat Malaria (-)
e. Riwayat Penyakit Jantung (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat Hipertensi (-)
b. Riwayat Diabetes Mellitus (-)
c. Riwayat Asma (-)
d. Riwayat Malaria (-)
e. Riwayat Penyakit Jantung (-)

Riwayat Haid
- Menarche umur : 12 tahun
- Haid : Teratur
- Lama haid : 7 hari
- Siklus : 28 hari
4

- Dismenore : Tidak
- Warna : Merah Segar
- Bau Haid : Anyir
Riwayat Perkawinan
- Status pernikahan : Menikah
- Jumlah : 1 kali
- Lama pernikahan : 1 tahun

Riwayat Obstetri
- GPA : G1P0A0
- HPHT : 17-07-2022
- TP : 24-04-2023
- ANC : 6x di puskesmas

Riwayat KB : Tidak ada

Riwayat Persalinan

Tahun Umur Jenis Anak


No Penolong Penyulit Ket
JK BB
Partus Kehamilan Persalinan
1 2023 ini

Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keturunan kembar (-)
Diabetes melitus (-), Hepatitis (-), Hipertensi (+), Penyakit Jantung
Koroner (-), TB (-).
2. Perilaku Kesehatan yang lalu
Diabetes mellitus (-), Hepatitis (-), Hipertensi (-), Penyakit Jantung
Koroner (-), TB (-).

2.3 Pemeriksaan Fisik


5

• KeadaanUmum : Tampak sakit sedang

• Kesadaran : Compos Mentis GCS : E4V5M6

• TD : 165/93 mmHg

• Nadi : 94x/menit

• Suhu : 36,2ºC

• Pernapasan : 20 x/menit

• SpO2 : 99%

Status Generalisata
- Kepala : Normocephale, rambut hitam, tidak
mudah dicabut

- Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

- THT : Dalam batas normal

- Leher : Pembesaran KGB (-)

- Thorak : Pergerakan dada simetris statis dan


dinamis

- Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

- Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

- Abdomen : Membesar sesuai usia kehamilan, bekas


SC(-)

- Ekstremitas superior : Akral hangat, edema -/-, sianosis -/-

- Ekstremitas inferior : Akral hangat, edema -/-, sianosis -/-

Status Obstetri

Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Cembung, Striae Gravidarum (-), BSC (-), sesuai
6

usia kehamilan

Leopold I : Lunak, besar, tidak bisa digerakkan


(Bokong), TFU 32 cm
Leopold II : Kanan : Teraba bagian besar janin (Punggung).
Kiri : Teraba bagian-bagian kecil
(Ekstremitas).
Leopold III : Teraba bulat keras melenting (Kepala).
Leopold IV : Divergen
TBJ : 3100 gr
HIS : 2x10’x20”
Auskultasi : DJJ (+) 138 x/menit

Pemeriksaan Genitalia

Vulva : Tenang

Varises : tidak ada


Labia mayora : edema, pembengkakan kelenjar bartholini (-) terlihat
cairan bening mengalir lendir (-)darah (-)

Pemeriksaan Dalam
Inspekulo: Tidak dilakukan
VT : Konsistensi lunak, Pendataran 100%, Pembukaan 4 cm,
Ketuban (+), denominator ubun ubun kecil, Presentasi belakang
kepala
Posisi UUK di kiri
7

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah rutin (21-03-2023)

HEMATOLOGI SATUAN RUJUKAN


Hemoglobin 10.6 g/dL 13.4 – 15.5
Hematokrit 30.7 % 34.5 – 54
MCV 81.2 fL 80-96
MCH 27.9 Pg 27-31
MCHC 34.3 g/dl 32-36
Trombosit 172. ribu/ L 184 – 488
Leukosit 14.2 ribu/ L 4 – 10
CT 4 1-3 Menit
BT 2 2-6 Menit

Kimia Klinik (21-03-2023)


GDS : 110 mg/dl
Na : 136.9 mmol/L
K : 3.98 mmol/L
Cl : 106.4 mmol/L
Ca Ion++ : 1.16 mmol/L
Ureum : 7 mg/dL
Creatinin : 0,53 mg/Dl

Urine Rutin (21-03-2023)


Protein : +4
2.5 Diagnosis
G1P0A0 hamil 36-37 minggu inpartu kala I fase aktif + PEB+ KPD, JTH
IU + Preskep
2.6 Penatalaksanaan
• IVFD RL 30 tpm
8

• Inj MgSO4 40% 4gr bolus pelan (dilarutkan 10 cc aquades)


• Drip MgSO4 40% 1gr/jam selama 24 jam
• Inj Ceftriaxone 2gr
• PO Nifedipine 1 x 10 mg
• Pro SC

LAPORAN OPERASI
Nama dokter : dr. Firmansyah, Sp.OG (K) Obsginsos
Diagnosa pre operatif :
G1P0A0 hamil 36-37 minggu inpartu kala I fase aktif + PEB+ KPD, JTH IU +
Preskep
Diagnosa post operatif :
P1A0 Post SC a/i inpartu kala I Fase Aktif + PEB + KPD
Tanggal operasi : 21 Maret 2023, 17.10 WIB
Tindakan : SC
Perdarahan : ± 300 cc
OUTCOME BAYI
Lahir Pukul 16.15 WIB
Bayi Perempuan
BB : 3300 gram
Bayi segera menangis
Apgar Score : 8/9
FOLLOW UP

Tanggal Follow Up
9

22/03/2023 S Nyeri luka bekas operasi (+)


o
O TD : 135/90 mmHg; HR : 82x/i; RR : 20x/i; T : 36,3 , SpO2: 99%
A P1A0 Post SC hari 1 a/i inpartu kala I Fase Aktif + PEB + KPD
P IVFD RL 500 ml

Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
PO nifedipin. 4 x 10mg
23/03/2023 S Nyeri luka bekas operasi (+)
O TD : 163/90 mmHg; HR : 84x/i; RR : 20x/i; T : 36o , SpO2: 99%
A P1A0 Post SC hari 2 a/i inpartu kala I Fase Aktif + PEB + KPD
P IVFD RL 500 ml
Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
PO nifedipin. 4 x 10mg
24/03/2023 S Nyeri luka bekas operasi berkurang
o
O TD : 148/95 mmHg; HR : 93x/i; RR : 20x/i; T : 36 , SpO2: 99%
A P1A0 Post SC hari 3 a/i inpartu kala I Fase Aktif + PEB + KPD
P IVFD RL 500 ml
Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
PO nifedipin. 4 x 10mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pre Eklampsia


3.3.1 Definisi
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi
sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia
ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan
disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20
minggu. Preeklampsia, sebelumya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi
dan proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with
proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik
preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai
gangguan multisistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari
preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuri. Sedangkan,
untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak
ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.4
3.3.2 Epidemiologi
Preeklampsia adalah salah satu penyakit obstetrik utama, mempengaruhi 2-
3% wanita hamil, dan bertanggung jawab atas sekitar 10% kematian pasien di
seluruh dunia. Terdapat tiga penyebab tersering kematian ibu di Indonesia pada
tahun 2015 yaitu adalah pendarahan sebelum dan setelah persalinan di peringkat
pertama dengan persentase sebesar 30%, dilanjutkan dengan hipertensi dalam
kehamilan dengan persentase sebesar 20% dan infeksi dengan persentase sebesar
12%. Kemajuan di bidang kedokteran saat ini telah berhasil menurunkan
penyebab kematian ibu karena pendarahan dan infeksi, tetapi tidak dengan
hipertensi dalam kehamilan. Dikarenakan kurangnya pemahaman pasien terhadap
gejala dan terlambatnya pasien dalam mencari pertolongan, menyebabkan gejala
klinis dapat berkembang menjadi preeklampsia dan berbagai komplikasinya.
WHO memperkirakan kejadian kasus preeklampsia dengan komplikasi pada

10
11

negara berkembang tujuh kali lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju,
dengan perbandingan prevalensi 14%:1,8%. Insiden preeklampsia dengan
komplikasi di Indonesia pada tahun 2011 ialah sebesar 128.273 kejadian, yakni
sekitar 5,3% dari seluruh populasi ibu bersalin di Indonesia.5

3.3.3 Faktor Resiko


Pedoman 2019 National Institute for Health and Care Excellence (NICE)
mengklasifikasikan wanita berisiko tinggi preeklamsia jika ada riwayat penyakit
hipertensi selama kehamilan sebelumnya atau penyakit ibu termasuk penyakit
ginjal kronis, penyakit autoimun, diabetes, atau hipertensi kronis. Wanita berada
pada risiko sedang jika mereka nulipara, 40 tahun, memiliki indeks massa tubuh
(BMI) 35 kg/m2], riwayat keluarga preeklamsia, kehamilan multifoetal, atau
interval kehamilan lebih dari 10 tahun. Adanya satu faktor risiko tinggi, atau dua
atau lebih faktor risiko sedang, digunakan untuk membantu memandu profilaksis
aspirin, yang efektif dalam mengurangi risiko preeklamsia jika diberikan sebelum
16 minggu kehamilan. Ada faktor klinis tambahan yang secara signifikan
meningkatkan risiko preeklamsia, termasuk peningkatan tekanan darah arteri rata-
rata sebelum usia kehamilan 15 minggu , sindrom ovarium polikistik , gangguan
pernapasan saat tidur, dan berbagai infeksi seperti penyakit periodontal, infeksi
saluran kemih, dan helicobacter pylori . Dari segi riwayat kebidanan, perdarahan
pervaginam setidaknya selama lima hari selama kehamilan meningkatkan risiko
preeklamsia, seperti halnya penggunaan donor oosit, yang memiliki risiko lebih
tinggi terjadinya preeklamsia dibandingkan dengan fertilisasi in vitro (IVF) tanpa
donasi oosit atau konsepsi alami.5
Disarankan untuk mempertimbangkan kondisi berikut yang telah terbukti
terkait dengan: terjadinya preeklamsia:
a. Faktor risiko sedang:
• Kehamilan pertama.
• Usia lebih dari atau sama dengan 40 tahun.
• Jarak antar kelahiran lebih dari 10 tahun.
• BMI lebih besar atau sama dengan 35 kg / m pada konsultasi pertama.
12

• Kehamilan ganda.
• Riwayat keluarga dengan preeklamsia.
b. Faktor risiko tinggi:
• Gangguan hipertensi pada kehamilan sebelumnya.
• Penyakit ginjal kronis.
• Penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik atau sindrom
antifosfolipid.
• Diabetes tipe 1 dan 2.
• Hipertensi kronis6
3.3.4 Patogenesis
Preeklampsia bukanlah suatu “one disease” namun melibatkan seluruh
aspek maternal, plasental, dan fetal. Penyebab hipertensi dalam kehamilan sampai
sekarang belum diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukajan namun
tidak ada teori yang dianggap mutlak benar.7
Patogenesa preeclampsia sangat kompleks meliputi genetic, imunologi, dan
factor-faktor lingkungan yang saling berinteraksi. Preeclampsia merupakan
gangguan penyakit dengan dua tahap. Tahap pertama penurunan perfusi plasenta
dan tahap kedua adanya gangguan sindroma maternal. Pada tahap pertama
asimptomatik, dengan karakteristik pertumbuhan plasenta abnormal selama
trimester pertama yang berakibat insufisiensi plasenta dan merangsang plasenta
untuk memproduksi material yang masuk ke sirkulasi maternal. Tahap kedua
ditandai wanita hamil mulai mengalami hipertensi, gangguan renal dan
proteinuria. Gejala klinis tersebut disebabkan oleh aktivasi sel-sel endotel yang
telah terjadi pada tahap pertama dengan respon inflamasi sistemik di seluruh
organ tubuh yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas vaskuler serta
hipoperfusi organ.9
13

Gambar 1. Patogenesis Preeklampsia


Plasenta memiliki peran sentral dalam pathogenesis preeclampsia.
Preeclampsia hanya terjadi dengan adanya plasenta dan selalu hilang setelah
kelahiran plasenta. Pemeriksaan patologis plasenta pada kehamilan preeclampsia
umumnya menunjukkan infark pada plasenta dan sclerosis penyempitan arteri dan
arteriol. Hal ini ditandai berkurangnya invasi sitotrofoblas pada endovaskuler dan
tidak terjadi remodeling arteriol spiralis uterine. Walaupun perubahan besar
plasenta tidak selalu nampak pada wanita dengan preeclampsia, profil plasenta
dan morfologi plasenta dapat digunakan mengidentifikasi wanita hamil dengan
risiko tinggi yang berkembang menjadi preeclampsia.7

Gambar 2 Diagram pathogenesis preeclampsia dengan placenta hypoxia dan hipotesis


14

peranan s-Flt-1
Aliran darah ke plasenta melalui a.spiralis yang merupakan cabang
a.uterina. pada awal kehamilan, sel sitotrofoblas menginvasi dinding plasenta,
merobek endothelium dan tunica media a.spiralis. Dinding a.spiralis mengalami
remodeling, dimana terjadi transformasi dari aliran darah pelan resistensi tinggi
menjadi aliran darah cepat dengan resistensi rendah pada kehamilan normal. Ada
2 tahap pada invasi sitotrofoblas : tahap pertama invasi pada segmen desidua dari
a.spiralis saat umur kehamilan 10-12 minggu, dan tahap kedua invasi
myometrium pada saat umur kehamilan 15-16 minggu.9
Invasi trofoblas mengubah a.spiralis dari pembuluh darah dengan resisteni
tinggi menjadi pembuluh darah dengan resistensi rendah. Perubahan atau
remodeling a.spiralis terjadi lengkap setelah 18-20 minggu. Pada preeclampsia
invasi sitotrofoblas pada myometrium terganggu: a.spiralis tetap dangkal dan
aliran darah ke fetus terhambat. Iskemia plasenta disebabkan invasi sitotrofoblas
yang abnormal: yang merangsang factor plasental dan ketidakseimbangan factor
angiogenik yang menyebabkan disfungsi endotel saat pembentukan plasenta. Jadi
dalam preeclampsia, nutrisi pada plasenta kurang optimal, dan oksigenasi juga
menurun karena insufisiensi plasenta dan perfusi uteroplasenta yang tidak
adekuat.7
Pada preeclampsia, transformasi vascular tidak lengkap. Invasi sitotrofoblas
dari arteri terbatas pada permukaan desidua, dan menyebabkan segmen
myometrium tetap sempit dan vasokonstriksi. Pada preeclampsia, sitotrofoblas
gagal bertransformasi menjadi sel endotel permukaan integrins dan gagal
terbentuk molekul adhesi serta gagal menginvasi a.spiralis di myometrium.
Factor-faktor yang mengatur proses ini adalah factor angiogenik.7
Disfungsi endotel memegang peranan juga dalam pathogenesis
preeclampsia di ginjal, otak dan liver serta menyebabkan hipertensi. Pada
preeclampsia, vascular maternal bereaksi terhadap peningkatan vasopressor
seperti angiotensin II dan norepinefrin. Pada keadaan ini terjadi
ketidakseimbangan substansi vasoaktif sehingga terjadi hipertensi. Disfungsi
endotel juga menyebabkan permeabilitas vascular meningkat sehingga
15

menyebabkan edema dan proteinuria.7

Gambar 3. Disfungsi Placental dan Disfungsi Endotel Pada Patogenesis Preeklampsia


16

Gambar 4. Plasentasi Normal Pada Kehamilan dan Abnormal Pada Preeklampsia7

a) Perkembangan remodeling arteri spiralis yang dimulai dari anchoring


villous, dimana sitotrofoblas melakukan proses invasi menjadi endotel
vaskuler sejak awal hingga trimester kehamilan
b) Proses plasentasi normal. Pada perkembangan plasenta yang normal,
sitotrofoblas yang berasal dari janin akan menginvasi arteri spiralis
maternal, menyebabkan transformasi pembuluh darah arteri spiralis
dengan caliber kecil dengan resistensi rendah memungkinkan perfusi
berjalan maksimal. Dalam proses ini sitotrofoblas akan berdiferensiasi dari
fenotip epitel menjadi fenotip endtoel yang disebut sebagai
“pseudovaskulogenesi”
c) Plasentasi abnormal pada PE. Pada PE sitotrofoblas gagal melakukan
proses invasive tersebut, sehingga caliber vaskuler tetap kecil dengan
resistensi tinggi yang menurunkan perfusi uteroplasenta, sehingga terjadi
iskemia plasenta.7

3.3.5 Penegakan Diagnosa


Penilaian klinik yang perlu dilakukan untuk mengidentifkiasi kondisi
patologis pada ibu hamil dapat digunakan algoritme dibawah ini:
17

Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada


kehamilan diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Jika
hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan
peeklampsia, harus didapatkan gangguan organ spesifik akibat preeklampsia
tersebut. Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin,
namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu:
A. Kriteria Minimal Preeklampsia Hipertensi :
• Tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg
diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan
lengan yang sama, dan
• Protein urin :Protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin
dipstik > positif 1
• Jika tidak didapatkan protein urin, hipertensi dapat diikuti salah satu
dibawah ini:
18

• Trombositopeni :Trombosit < 100.000 / mikroliter


• Gangguan ginjal :Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi dimana
tidak ada kelainan ginjal lainnya
• Gangguan Liver :Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
• Edema Paru
• Gejala Neurologis :Stroke, nyeri kepala, gangguan visus
• Gangguan Sirkulasi Uteroplasenta :Oligohidramnion, Fetal Growth
Restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed end diastolic
velocity (ARDV).6

B. Kriteria Preeklampsia berat (diagnosis preeklampsia dipenuhi dan jika


didapatkan salah satu kondisi klinis dibawah ini :
• Hipertensi :Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau
110 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama
• Trombositopeni :Trombosit < 100.000 / mikroliter
• Gangguan ginjal :Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi dimana
tidak ada kelainan ginjal lainnya
• Gangguan Liver :Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
• Edema Paru
• Gejala Neurologis :Stroke, nyeri kepala, gangguan visus
• Gangguan Sirkulasi Uteroplasenta :Oligohidramnion, Fetal Growth
Restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed end diastolic
velocity (ARDV).6
3.3.6 Pencegahan
Pencegahan PEB dapat dilakukan dengan nonmedikal dan medikal :7
19

- Pencegahan dengan nonmedikal → pencegahan dengan tidak memberikan


obat. Cara yang paling sederhana ialah melakukan tirah baring. Hendaknya
diet ditambah suplemen yang mengandung
a. minyak ikan yang kaya dengan asam lemak tidak jenuh,
misalnya omega-3 PUFA,
b. antioksidan: vitamin C, vitamin E, B-karoten, CoQro, N-
Asetilsistein, asam lipoik, dan
c. elemen logam berat: Zinc, magnesium, kalsium.
- Pencegahan dengan medikal → Pemberian diuretik tidak terbukti mencegah
terjadinya preeklampsia bahkan memperberat hipovolemia. Antihipertensi
tidak terbukti mencegah terjadinya preeklampsia. Pemberian kalsium: 1.500 -
2.000 mg/hari dapat dipakai sebagai suplemen pada risiko tinggi terjadinya
preeklampsia. Selain itu dapat pula diberikan zinc 2OO mg/hari, magnesium
365 mg/hari. Obat antitrombotik yang dianggap dapat mencegah
preeklampsia ialah aspirin dosis rendah rata-rata di bawah 100 mg/hari, atau
dipiridamole. Dapat juga diberikan obat-obat antioksidan, misalnya vitamin
C, vitamin E, B-karoten, CoQro, N-Asetilsistein, asam lipoik.
3.3.7 Penatalaksanaan
Perawatan wanita yang berisiko preeklampsia dimulai dengan konseling
prakonsepsi diikuti dengan pencegahan, pengobatan, dan tindak lanjut
pascapersalinan yang tepat. ACOG merekomendasikan bahwa wanita yang
memiliki preeklamsia pada kehamilan sebelumnya mencari konseling dan
penilaian prakonsepsi. Selain itu, mereka merekomendasikan bahwa untuk wanita
yang memiliki riwayat hipertensi kronis, penggunaan ACE-I dikontraindikasikan
bagi mereka yang menginginkan kehamilan. Surveilans pascapersalinan, sesuai
pedoman ACOG, termasuk memperoleh profil kardiovaskular, termasuk penilaian
tahunan BP, lipid, glukosa darah puasa, dan indeks massa tubuh, pada wanita
dengan riwayat preeklamsia premature atau preeklamsia berulang . Diakui bahwa
bukti di balik rekomendasi ini rendah dan dengan demikian, penyedia layanan
kesehatan harus menyesuaikan keputusan mereka berdasarkan nilai informasi ini
versus kenyamanan dan biaya.9
20

Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan kejadian morbiditas maternal


seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio sesar, atau solusio plasenta.
Sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, serta mengurangi morbiditas
perinatal seperti penyakit membran hialin, necrotizing enterocolitis, kebutuhan
perawatan intensif dan ventilator serta lama perawatan. Berat lahir bayi rata – rata
lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun insiden pertumbuhan janin
terhambat juga lebih banyak. Pemberian kortikosteroid mengurangi kejadian
sindrom gawat napas, perdarahan intraventrikular, infeksi neonatal serta kematian
neonatal.6
A. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia tanpa
gejala berat dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan evaluasi
maternal dan janin yang lebih ketat
• Perawatan poliklinis secara ketat dapat dilakukan pada kasus preeklampsia
tanpa gejala berat.
• Evaluasi ketat yang dilakukan adalah:
• Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien
• Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis
• Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu
• Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2 kali
dalam seminggu)
• Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi
menggunakan doppler velocimetry terhadap arteri umbilikal
direkomendasikan
21

Bagan 1. Manajemen Ekspektatif Preeklampsia Tanpa Gejala Berat8

B. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia berat


dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu
dan janin stabil.
• Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat juga direkomendasikan
untuk melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan
tersedia perawatan intensif bagi
• Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif preekklamsia berat,
pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan
paru janin
• Pasien dengan preeklampsia berat direkomendasikan untuk melakukan
rawat inap selama melakukan perawatan ekspektatif.
22

Bagan 2. Manajemen Ekspektatif Pada PEB6

Tabel 1. Kriteria Terminasi Kehamilan Pada PEB


Terminasi Kehamilan
Data Maternal Data Janin
Hipertensi berat yang tidak Usia kehamilan 34 minggu
terkontrol
Gejala preeklampsia berat yang IUGR
tidak berkurang (nyeri kepala,
pandangan kabur, dsbnya)
23

Penurunan fungsi ginjal Oligohidramnion persisten


progresif
Trombositopenia persisten atau Profil biofisik <4
HELLP Syndrome
Edema Paru Deselerasi variable dan lambat
pada NST
Eklampsia Doppler a.umbilikalis: reversed
end diastolic flow
Solusio Plasenta IUFD
Persalinan atau ketuban pecah

C. Pemberian Magnesium Sulfat Untuk Mencegah Kejang


Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan untuk
eklampsia di Eropa dan Amerika Serikat. Tujuan utama pemberian
magnesium sulfat pada preeklampsia adalah untuk mencegah dan
mengurangi angka kejadian eklampsia, serta mengurangi morbiditas dan
mortalitas maternal serta perinatal. Cara kerja magnesium sulfat belum
dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu mekanisme kerjanya adalah
menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos, termasuk
pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan,
magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan tokolitik.
Magnesium sulfat juga berperan dalam menghambat reseptor N-metil-D-
aspartat (NMDA) di otak, yang apabila teraktivasi akibat asfiksia, dapat
menyebabkan masuknya kalsium ke dalam neuron, yang mengakibatkan
kerusakan sel dan dapat terjadi kejang. 6
Belum ada kesepakatan dari penelitian yang telah dipublikasi
mengenai waktu yang optimal untuk memulai magnesium sulfat, dosis
(loading dan pemeliharaan), rute administrasi (intramuskular atau intravena)
serta lama terapi. Guideline RCOG merekomendasikan dosis loading
magnesium sulfat 4 g selama 5 – 10 menit, dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 1-2 g/jam selama 24 jam post partum atau setelah kejang
terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk melanjutkan pemberian
magnesium sulfat. Pemantauan produksi urin, refleks patella, frekuensi
24

napas dan saturasi oksigen penting dilakukan saat memberikan magnesium


sulfat. Pemberian ulang 2 g bolus dapat dilakukan apabila terjadi kejang
berulang.6
D. Antihipertensi
Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi
ringan - sedang (tekanan darah 140 – 169 mmHg/90 – 109 mmHg), masih
kontroversial. European Society of Cardiology (ESC) guidelines 2010
merekomendasikan pemberian antihipertensi pada tekanan darah sistolik ≥
140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg pada wanita dengan hipertensi
gestasional (dengan atau tanpa proteinuria), hipertensi kronik superimposed,
hipertensi gestasional, hipertensi dengan gejala atau kerusakan organ
subklinis pada usia kehamilan berapa pun. Pada keadaan lain, pemberian
antihipertensi direkomendasikan bila tekanan darah ≥ 150/95 mmHg.6
Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker yang sudah
digunakan sejak dekade terakhir untuk mencegah persalinan preterm
(tokolisis) dan sebagai antihipertensi. Penggunaan nifedipin oral
menurunkan tekanan darah lebih cepat dibandingkan labetalol intravena,
kurang lebih 1 jam setelah awal pemberian. Nifedipin selain berperan
sebagai vasodilator arteriolar ginjal yang selektif dan bersifat natriuretik,
dan meningkatkan produksi urin. Dibandingkan dengan labetalol yang tidak
berpengaruh pada indeks kardiak, nifedipin meningkatkan indeks kardiak
yang berguna pada preeklampsia berat. Regimen yang direkomendasikan
adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap 15 – 30 menit, dengan dosis
maksimum 120 mg. Penggunaan berlebihan calcium channel blocker
dilaporkan dapat menyebabkan hipoksia janin dan asidosis. Hal ini
disebabkan akibat hipotensi relatif setelah pemberian calcium channel
blocker.8
Atenolol merupakan beta-blocker kardioselektif (bekerja pada reseptor
P1 dibandingkan P2). Atenolol dapat menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat, terutama pada digunakan untuk jangka waktu yang lama selama
kehamilan atau diberikan pada trimester pertama, sehingga penggunaannya
25

dibatasi pada keadaan pemberian anti hipertensi lainnya tidak efektif.6


Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat,
adalah obat antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita hamil
dengan hipertensi kronis. Obat ini mempunyai safety margin yang luas
(paling aman). Walaupun metildopa bekerja terutama pada sistem saraf
pusat, namun juga memiliki sedikit efek perifer yang akan menurunkan
tonus simpatis dan tekanan darah arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan
aliran darah ginjal relatif tidak terpengaruh. Efek samping pada ibu antara
lain letargi, mulut kering, mengantuk, depresi, hipertensi postural, anemia
hemolitik dan drug-induced hepatitis. Metildopa biasanya dimulai pada
dosis 250-500 mg per oral 2 atau 3 kali sehari, dengan dosis maksimum 3 g
per hari. Efek obat maksimal dicapai 4-6 jam setelah obat masuk dan
menetap selama 10-12 jam sebelum diekskresikan lewat ginjal. Alternatif
lain penggunaan metildopa adalah intra vena 250-500 mg tiap 6 jam sampai
maksimum 1 g tiap 6 jam untuk krisis hipertensi. Metildopa dapat melalui
plasenta pada jumlah tertentu dan disekresikan di AS

3.2 Ketuban Pecah Dini (KPD)


3.2.1 Definisi
Ketuban Pecah Dini (KPD) atau sering disebut Premature Rupture of the
Membrane (PROM) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum terjadinya
proses persalinan pada kehamilan aterm. Sedangkan Preterm Premature Rupture
of the Membrane (PPROM) adalah pecahnya ketuban pada pasien dengan usia
kehamilan kurang dari 37 minggu.2
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya
tanpa disertai tanda inpartu dan setelah satu jam tetap tidak diikuti dengan
proses inpartu sebagaimana mestinya.2
2.3.2 Epidemiologi
Insidensi KPD berkisar antara 8- 10% dari semua kehamilan. Pada kehamilan
aterm insidensinya bervariasi antara 6-19%. Sedangkan pada kehamilan preterm
insidensinya 2% dari semua kehamilan. Hampir semua KPD pada kehamilan
26

preterm akan lahir sebelum aterm atau persalinan akan terjadi dalam satu minggu
setelah selaput ketuban pecah. Sekitar 85% morbiditas dan mortalitas perinatal
disebabkan oleh prematuritas. KPD berhubungan dengan penyebab kejadian
prematuritas dengan insidensi 30-40%.9
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, prevalensi kejadian ketuban pecah
dini di Indonesia sebesar 5,6%, dimana provinsi tertinggi dengan angka kejadian
KPD berada di DI Yogyakarta yaitu 10,1%, dan angka kejadian KPD terendah
berada di provinsi Sumatera selatan yaitu 2,6%. Sedangkan di Provinsi Jambi
angka kejadian KPD sebesar 2,82%.3
2.3.3 Etiologi
Secara teoritis pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya elastisitas
yang terjadi pada daerah tepi robekan selaput ketuban dengan perubahan yang
besar. Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini sangat erat kaitannya dengan
jaringan kolagen, yang dapat terjadi karena penipisan oleh infeksi atau rendahnya
kadar kolagen. Kolagen pada selaput terdapat pada amnion didaerah lapisan
kompakta, fibroblast serta pada korion didaerah lapisan retikuler atau trofoblast,
dimana sebagaian besar jaringan kolagen terdapat pada lapisan penunjang (Dari
epitel amnion sampai dengan epitel basal korion). Sintesis maupun degradasi
jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan inhibisi interleukin-1 dan
prostaglandin. Adanya infeksi dan inflamasi menyebabkan bakteri penyebab
infeksi mengeluarkan enzim protease dan mediator inflamasi interleukin-1 dan
prostaglandin. Mediator ini menghasilkan kolagenase jaringan sehingga terjadi
depolimerisasi kolagen pada selaput korion/amnion menyebabkan selaput ketuban
tipis, lemah dan mudah pecah spontan. Selain itu mediator terebut membuat
uterus berkontraksi sehingga membran mudah ruptur akibat tarikan saat uterus
berkontraksi.10,11,12
Sampai saat ini penyebab KPD belum diketahui secara pasti, tetapi ditemukan
beberapa faktor predisposisi yang berperan pada terjadinya ketuban pecah dini,
antara lain :
a. Infeksi (Amnionitis atau korioamnionitis)
Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana korion, amnion
27

dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis merupakan


komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan dapat berlanjut menjadi
sepsis. Membrana khorioamnionitik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila
jaringan ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan
sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik. Grup
B streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionitis. Selain itu
Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan Staphylococcus epidermidis adalah
bakteri-bakteri yang sering ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan
preterm. Bakteri-bakteri tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi yang
menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dan
pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban.10,13,14
Jika terdiagnosis korioamnionitis, perlu segera dimulai upaya untuk melahirkan
janin sebaiknya pervaginam. Sayangnya, satu-satunya indikator yang andal untuk
menegakkan diagnosis ini hanyalah demam, suhu tubuh 38ºC atau lebih, air
ketuban yang keruh dan berbau yang menyertai pecah ketuban yang menandakan
infeksi.12,13
b. Infeksi genitalia
Meskipun Chlamydia Trachomatis adalah patogen bakteri paling umum yang
ditularkan lewat hubungan seksual, tetapi kemungkinan pengaruh infeksi serviks
oleh organisme ini pada ketuban pecah dini dan kelahiran preterm belum jelas.
Pada wanita yang mengalami infeksi ini banyak mengalami keputihan saat hamil
juga mengakibatkan berat badan lahir rendah. Seorang wanita lebih rentan
mengalami keputihan pada saat hamil karena pada saat hamil terjadi perubahan
hormonal yang salah satu dampaknya adalah peningkatan jumlah produksi cairan
dan penurunan keasaman vagina serta terjadi pula perubahan pada kondisi
pencernaan. Keputihan dalam kehamilan sering dianggap sebagai hal yang biasa
dan sering luput dari perhatian ibu maupun petugas kesehatan yang melakukan
pemeriksaan kehamilan.15
Meskipun tidak semua keputihan disebabkan oleh infeksi, beberapa keputihan
dalam kehamilan dapat berbahaya karena dapat menyebabkan persalinan kurang
bulan (Prematuritas), ketuban pecah sebelum waktunya atau bayi lahir dengan
28

berat badan rendah (<2500 gram). Sebagian wanita hamil tidak mengeluhkan
keputihannya karena tidak merasa terganggu padahal keputihanya dapat
membahayakan kehamilannya, sementara wanita hamil lain mengeluhkan gejala
gatal yang sangat, cairan berbau namun tidak berbahaya bagi hasil persalinannya.
Dari berbagai macam keputihan yang dapat terjadi selama kehamilan, yang paling
sering adalah Candidiasis Vaginalis, Vaginosis Bakterial dan Trikomoniasis. Dari
NICHD Maternal-fetal Medicine Units Network Preterm Prediction Study
melaporkan bahwa infeksi Clamidia Genitourinaria pada usia gestasi 24 minggu
yang dideteksi berkaitan dengan peningkatan kejadian ketuban pecah dini dan
kelahiran preterm spontan sebesar dua kali lipat setelah terinfeksi bakteri
ini.14,16,17
Infeksi akut yang sering menyerang daerah genital ini termasuk herpes
simpleks dan infeksi saluran kemih (ISK) yang merupakan infeksi paling umum
yang mengenai ibu hamil dan sering menjadi faktor penyebab pada kelahiran
preterm dan bayi berat badan rendah.12
c. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia)
Didasarkan pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan
kehamilan. Inkompetensi serviks sering menyebabkan kehilangan kehamilan pada
trimester kedua. Kelainan ini dapat berhubungan dengan kelainan uterus yang lain
seperti septum uterus dan bikornis. Sebagian besar kasus merupakan akibat dari
trauma bedah pada serviks pada konisasi, produksi eksisi loop elektrosurgical,
dilatasi berlebihan serviks pada terminasi kehamilan atau laserasi obstetrik.14
Diagnosa inkompetensi serviks ditegakkan ketika serviks menipis dan
membuka tanpa disertai nyeri pada trimester kedua atau awal trimester ketiga
kehamilan. Umumnya, wanita datang kepelayanan kesehatan dengan keluhan
perdarahan pervaginam, tekanan pada panggul, atau ketuban pecah dan ketika
diperiksa serviksnya sudah mengalami pembukaan. Bagi wanita dengan
inkompetensi serviks, rangkaian peristiwa ini akan berulang pada kehamilan
berikutnya, berapa pun jarak kehamilannya. Secara tradisi, diagnosis
inkompetensia serviks ditegakkan berdasarkan peristiwa yang sebelumnya terjadi,
yakni minimal dua kali keguguran pada pertengahan trimester tanpa disertai
29

awitan persalinan dan kelahiran.13,14


Faktor risiko inkompetensi serviks meliputi riwayat keguguran pada usia
kehamilan 14 minggu atau lebih, adanya riwayat laserasi serviks menyusul
kelahiran pervaginam atau melalui operasi sesar, adanya pembukaan serviks
berlebihan disertai kala dua yang memanjang pada kehamilan sebelumnya, ibu
berulang kali mengalami abortus elektif pada trimester pertama atau kedua, atau
sebelumnya ibu mengalami eksisi sejumlah besar jaringan serviks (Conization).
Apabila seorang wanita mempunyai riwayat keguguran pada trimester kedua atau
pada awal trimester ketiga, konsultasi dengan dokter mutlak diperlukan. Jika
seorang wanita datang ketika sudah terjadi penipisan serviks, pembukaan, tekanan
panggul, atau perdarahan pervaginam yang sebabnya tidak diketahui, maka ia
perlu segera mendapat penatalaksanaan medis.12,13,18
d. Trauma
Trauma juga diyakini berkaitan dengan terjadinya ketuban pecah dini. Trauma
yang didapat misalnya hubungan seksual saat hamil baik dari frekuensi yang lebih
dari 3 kali seminggu, posisi koitus yaitu suami diatas dan penetrasi penis yang
sangat dalam sebesar 37,50% memicu terjadinya ketuban pecah dini, pemeriksaan
dalam, maupun amniosintesis dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini
karena biasanya disertai infeksi. Kelainan letak janin misalnya letak lintang,
sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang
dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.16
Hubungan seksual selama hamil memiliki banyak dampak terhadap kehamilan.
Pada trimester pertama kehamilan biasanya gairah seks mengalami penurunan.
Hal ini terjadi akibat ibu didera mual, muntah, lemas, malas dan apapun yang
bertolak belakang dengan semangat libido. Tetapi trimester kedua umumnya
libido timbul kembali, tubuh ibu telah dapat menerima kembali, tubuh telah
terbiasa dengan kondisi kehamilan sehingga ibu dapat menikmati aktifitas dengan
lebih leluasa dari pada trimester pertama. Mual-muntah dan segala rasa tidak enak
biasanya sudah jauh berkurang demikian pula urusan hubungan seksual. Ini akibat
meningkatnya pengalihan darah keorgan-organ seksual seperti vagina dan
payudara. Memasuki trimester ketiga minat/libido menurun kembali, tetapi hal ini
30

tidak berlaku pada semua wanita hamil. Tidak sedikit wanita yang libidonya sama
seperti trimester sebelumnya, hal ini normal sebab termasuk beruntung karena
tidak tersiksa oleh kaki bengkak, sakit kepala, sakit punggung dan pinggul, berat
badan yang semakin bertambah atau keharusan istirahat total.19
Frekuensi koitus pada trimester ketiga kehamilan yang lebih dari tiga kali
seminggu diyakini berperan pada terjadinya ketuban pecah dini, hal ini berkaitan
dengan kondisi orgasme yang memicu kontraksi, namun kontraksi ini berbeda
dengan kontraksi yang dirasakan menjelang persalinan. Selain itu, paparan
terhadaap prostaglandin didalam semen (Cairan sperma) juga memicu kontraksi
yang walaupun tidak berbahaya bagi kehamilan normal, tetapi harus tetap
diwaspadai jika memiliki risiko melahirkan prematur. Pada kehamilan tua untuk
mengurangi risiko kelahiran preterm maupun ketuban pecah adalah dengan
mengurangi frekuensi hubungan seksual atau dalam keadaan betul-betul
diperlukan wanita tidak orgasme meski menyiksa.13,18
Tapi jika tetap memilih koitus, keluarkanlah sperma diluar dan hindari
penetrasi penis yang terlalu dalam serta pilihlah posisi berhubungan yang aman
agar tidak menimbulkan penekanan pada perut ataupun dinding rahim.
Mengurangi frekuensi koitus yang sejalan dengan meminimalkan orgasme selain
dapat mengurangi terjadinya ketuban pecah dini, dapat pula mengurangi
penekanan pembuluh darah tali pusat yang membawa oksigen untuk janin, sebab
penekanan yang berkepanjangan oleh karena kontraksi pada pembuluh darah
dapat menyebabkan gawat janin akibat kurangnya supply oksigen kejanin.13,18
e. Defisiensi Vitamin C
Vitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan kolagen,
selaput ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen) akan mempunyai elastisitas
yang berbeda tergantung kadar vitamin dalam darah ibu.
2.3.4 Faktor Risiko
Sejumlah faktor risiko untuk KPD spontan telah diidentifikasi. Infeksi intra-
amniotik dan perdarahan desidua (solusio plasenta) yang terjadi jauh dari aterm,
misalnya, dapat melepaskan protease ke dalam jaringan choriodecidual dan cairan
ketuban, menyebabkan pecahnya membran. Solusio plasenta terjadi pada 4%
31

sampai 12% kehamilan yang dengan KPD, dan lebih sering terjadi pada
kehamilan yang dengan KPD sebelum usia kehamilan 28 minggu. Prosedur uterus
invasif yang dilakukan selama kehamilan (seperti amniosentesis, pengambilan
sampel chorionic villus, fetoscopy, dan cervical cerclage) dapat merusak
membran, menyebabkan kebocoran, tetapi hal ini jarang menyebabkan
PROM.20,21

Gambar 2.2 Faktor Risiko PROM


Latensi mengacu pada interval antara pecahnya membran dan onset
persalinan. Sejumlah faktor diketahui mempengaruhi periode latensi, termasuk:22
1. Usia kehamilan.
Pada kehamilan aterm, 50% kehamilan dengan penyulit KPD akan melahirkan
secara spontan dalam waktu 12 jam, 70% dalam 24 jam, 85% dalam 48 jam, dan
95% dalam 72 jam tanpa adanya intervensi kebidanan. Pada wanita dengan KPD
yang jauh dari aterm, 50% akan melahirkan dalam waktu 24 hingga 48 jam dan
70% hingga 90% dalam 7 hari.
2. Keparahan oligohidramnion.
32

Semakin parah tingkat oligohidramnion, semakin pendek periode latensi.


Oligohidramnion yang parah berarti lubang yang lebih besar pada membran atau
bukti kompromi awal janin dengan berkurangnya produksi urin.
3. Ketebalan miometrium dilihat dari sonografi.
Bukti penipisan yang berlebihan pada miometrium pada wanita nonlaboring
dengan KPD prematur (12 mm) diukur dengan USG transabdominal dan dikaitkan
dengan interval latensi yang lebih pendek.
4. Jumlah janin.
Secara umum, kehamilan kembar yang dengan penyulit KPD prematur
memiliki periode latensi yang lebih pendek daripada kehamilan tunggal.
5. Komplikasi kehamilan.
Bukti komplikasi kehamilan (misalnya infeksi intra-amniotik, solusio plasenta,
atau persalinan aktif) atau gawat janin akan menyebabkan persalinan lebih awal
dan interval latensi yang memendek.
6. Faktor paritas, terbagi menjadi primipara dan multipara
Primipara adalah wanita yang pernah hamil sekali dengan janin mencapai titik
mampu bertahan hidup. Ibu primipara yang mengalami ketuban pecah dini
berkaitan dengan kondisi psikologis, mencakup sakit saat hamil, gangguan
fisiologis seperti emosi dan termasuk kecemasan akan kehamilan. Selain itu, hal
ini berhubungan dengan aktifitas ibu saat hamil yaitu akhir triwulan kedua dan
awal triwulan ketiga kehamilan yang tidak terlalu dibatasi dan didukung oleh
faktor lain seperti keputihan atau infeksi maternal. Sedangkan multipara adalah
wanita yang telah beberapa kali mengalami kehamilan dan melahirkan anak
hidup. Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan mengalami ketuban pecah
dini pada kehamilan sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat,
diyakini lebih berisiko akan mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan
berikutnya.15
Meski bukan faktor tunggal penyebab ketuban pecah dini namun faktor ini juga
diyakini berpengaruh terhadap terjadinya ketuban pecah dini, yang didukung satu
dan lain hal pada wanita hamil tersebut, seperti keputihan, stress (Beban
psikologis) saat hamil dan hal lain yang memperberat kondisi ibu dan
33

menyebabkan ketuban pecah dini.15


7. Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya
Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya berisiko 2-4 kali mengalami ketuban
pecah dini kembali. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat
ialah akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membran sehingga
memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama
pada pasien risiko tinggi. Wanita yang mengalami ketuban pecah dini pada
kehamilan atau menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya wanita
yang telah mengalami ketuban pecah dini akan lebih berisiko mengalaminya
kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang tidak mengalami ketuban pecah dini
kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan berikutnya.15
8. Tekanan intrauterin yang meningkat secara berlebihan (Overdistensi uterus)
misalnya polihidramnion dan gamelli
Pada kelahiran kembar sebelum 37 minggu sering terjadi kelahiran preterm,
sedangkan bila lebih dari 37 minggu lebih sering mengalami ketuban pecah dini.
Perubahan pada volume cairan amnion diketahui berhubungan erat dengan hasil
akhir kehamilan yang kurang bagus. Baik karakteristik janin maupun ibu
dikaitkan dengan perubahan pada volume cairan amnion. Polihidramnion,
akumulasi berlebihan cairan amnion (> 2 liter), seringkali terjadi disertai
gangguan kromosom, kelainan struktur seperti fistula trakeoesofageal, defek
pembuluh saraf dan malformasi susunan saraf pusat akibat penyalahgunaan zat
dan diabetes pada ibu. AFI (Amnion fluid indeks) pada kehamilan cukup bulan
secara normal memiliki rentang antara 5,0 cm dan 23,0 cm.15,17
Polihidramnion dapat terjadi akibat kelainan kongenital, diabetes mellitus,
janin
34

besar (Makrosomia), kehamilan kembar, kelainan pada plasenta dan tali pusat dan
penggunaan obat-obatan (Misalnya propiltiourasil). Kelainan kongenital yang
sering menimbulkan polihidramnion adalah defek tabung neural, obstruksi traktus
gastrointestinal bagian atas, dan kelainan kromosom (Trisomi 21,18,8,13)
komplikasi yang sering terjadi pada polihidramnion adalah malpresentasi janin,
ketuban pecah dini, prolaps tali pusat, persalinan preterm dan gangguan
pernafasan pada ibu.14,16
Kehamilan kembar juga sangat penting diidentifikasi sejak dini. Sejumlah
komplikasi yang dihubungakan dengan kehamilan, persalinan dan kelahiran serta
masa nifas pada wanita yang mengandung lebih dari satu janin. Kemungkinan
yang mungkin timbul pada kehamilan kembar adalah anomali janin, keguguran
dini, lahir hidup, plasenta previa, persalinan dan kelahiran preterm, diabetes pada
kehamilan, preeklamsi, malpresentasi dan persalinan dengan gangguan. Pada
kehamilan kembar, evaluasi plasenta bukan hanya mencakup posisinya tetapi juga
korionisitas kedua janin. Pada banyak kasus adalah mungkin saja menentukan
apakah janin merupakan kembar monozigot atau dizigot. Selain itu, dapat juga
ditentukan apakah janin terdiri dari satu atau dua amnion. Upaya membedakan ini
diperlukan untuk memperbaiki risiko kehamilan. Pengawasan pada wanita hamil
kembar perlu ditingkatkan untuk mengevaluasi risiko persalinan preterm.
9. Faktor usia ibu
Usia ibu yang ≤ 20 tahun termasuk usia yang terlalu muda dengan keadaan
uterus yang kurang matur untuk melahirkan sehingga rentan mengalami ketuban
pecah dini. Sedangkan ibu dengan usia ≥ 35 tahun tergolong usia yang terlalu tua
untuk melahirkan khususnya pada ibu primi (Tua) dan berisiko tinggi mengalami
ketuban pecah dini. Usia dan fisik wanita sangat berpengaruh terhadap proses
kehamilan pertama, pada kesehatan janin dan proses persalinan. Sampai sekarang,
rekomendasi WHO untuk usia yang dianggap paling aman menjalani kehamilan
dan persalinan adalah 20 hingga 30 tahun. Kehamilan diusia kurang dari 20 tahun
dapat menimbulkan masalah karena kondisi fisik belum 100% siap.18,20
Beberapa risiko yang bisa terjadi pada kehamilan diusia kurang dari 20 tahun
adalah kecenderungan naiknya tekanan darah dan pertumbuhan janin terhambat.
35

Bisa jadi secara mental pun wanita belum siap. Ini menyebabkan kesadaran untuk
memeriksakan diri dan kandungannya menjadi rendah. Diluar urusan kehamilan
dan persalinan, risiko kanker leher rahimpun meningkat akibat hubungan seks dan
melahirkan sebelum usia 20 tahun ini. Berbeda dengan wanita usia 20-30 tahun
yang dianggap ideal untuk menjalani kehamilan dan persalinan. Direntang usia ini
kondisi fisik wanita dalam keadaan prima. Rahim sudah mampu memberi
perlindungan atau kondisi yang maksimal untuk kehamilan. Umumnya secara
mental pun siap, yang berdampak pada perilaku merawat dan menjaga
kehamilannya secara hati-hati.14,16
Usia 30-35 tahun sebenarnya merupakan masa transisi, kehamilan pada usia ini
masih bisa diterima asal kondisi tubuh dan kesehatan wanita yang bersangkutan
termasuk gizinya, dalam keadaan baik. Proses kehamilan dan persalinan berkaitan
dengan kondisi dan fungsi organ-organ wanita. Artinya, sejalan dengan
bertambahnya usia, tidak sedikit fungsi organ yang menurun. Semakin bertambah
usia, semakin sulit hamil karena sel telur yang siap dibuahi semakin sedikit.
Selain itu, kualitas sel telur juga semakin menurun. Itu sebabnya, pada kehamilan
pertama diusia lanjut, risiko perkembangan janin tidak normal dan timbulnya
penyakit kelainan bawaan juga tinggi, begitu juga kondisi-kondisi lain yang
mungkin mengganggu proses kehamilan dan persalinan seperti kelahiran preterm
ataupun ketuban pecah dini. Meningkatnya usia juga membuat kondisi dan fungsi
rahim menurun. Salah satu akibatnya adalah jaringan rahim yang tidak lagi subur,
padahal dinding rahim tempat menempelnya plasenta. Kondisi ini memunculkan
kecenderungan terjadinya plasenta previa atau plasenta tidak menempel ditempat
semestinya. Selain itu, jaringan rongga panggul dan otot-ototnyapun melemah
sejalan pertambahan usia. Hal ini membuat rongga panggul tidak mudah lagi
menghadapi dan mengatasi komplikasi yang berat, seperti perdarahan. Pada
keadaan tertentu, kondisi hormonalnya tidak seoptimal usia sebelumnya. Itu
sebabnya, risiko keguguran, ketuban pecah, kematian janin, dan komplikasi
lainnya juga meningkat.14,16,18
Namun secara umum periode waktu dari ketuban pecah dini sampai kelahiran
berbanding terbalik dengan usia gestasi saat ketuban pecah, jika ketuban pecah
36

ada trimester ketiga, maka hanya diperlukan beberapa hari saja sehingga kelahiran
terjadi dibandingkan dengan trimester kedua.15
2.3.5 Patofisiologi
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi
uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah
tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior
rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh.23
Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi matriks ekstraselular.
Perubahan struktur, jumlah sel dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas
kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah. Degradasi kolagen
dimediasi oleh Matriks Metalloproteinase (MMP) yang dihambat oleh inhibitor
jaringan spesifik dan inhibitor protease. Mendekati waktu persalinan,
keseimbangan antara MMP dan tissue inhibitors metalloproteinase-1 (TIMP-1)
mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraselular dan membran
janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat menjelang persalinan.23
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga
selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada
hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, serta gerakan janin.
Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia pada selaput ketuban sehingga
pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis.23
Ketuban pecah dini pada kehamilan preterm disebabkan oleh adanya faktor-
faktor eksternal misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. Disamping itu
ketuban pecah dini preterm juga sering terjadi pada polihidramnion, inkompeten
servik, serta solusio plasenta.23
Banyak teori, mulai dari defek kromosom, kelainan kolagen, sampai infeksi.
Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai 65%).
Termasuk diantaranya; high virulensi yaitu Bacteroides, dan low virulensi yaitu
Lactobacillus.23
Kolagen terdapat pada lapisan kompakta ketuban, fibroblast, jaringan retikuler
korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh
sistem aktifas dan inhibisi interleukin-1 (iL-1) dan prostaglandin. Jika ada infeksi
37

dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas iL-1 dan prostaglandin, menghasilkan


kolagenase jaringan, sehinggaterjadidepolimerasi kolagen pada selaput
korion/amnion, menyebabkan ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan.23
KPD berkaitan dengan peningkatan cairan amnionik. Kekuatan tahanan
membran banyak diperoleh dari matriks ekstraselular dalam amnion. Ketika
selaput yang mengandung cairan yang mengelilingi bayi (cairan ketuban) pecah,
maka akan terjadi kekurangan cairan, kondisi ini disebut oligohidramnion.24
Oligohidramnion merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan kekurangan
volume cairan ketuban/ amniotic fluid volume (AFV) di bawah korpersentil ke-10
pada kehamilan. Kelainan janin berpengaruh hingga 50% dari penurunan AFV
pada trimester kedua, tetapi malformasi yang mematikan umumnya menyebabkan
oligohidramnion yang parah melalui anuria janin. Amnioinfusi merupakan
prosedur diagnosis dari ultrasonografi di 26% dari kasus dan sekaligus dapat
mengidentifikasi traktus urinarius.24
Terjadi perubahan sitoarsitektur membran korioamniotik, kualitas dan kuantitas
dari membran kolagen. Khususnya kolagen tipe III yang dapat berkurang pada
pasien KPD, serta peningkatan aktifitas kolagenolitik ditemukan pada KPD.
Infeksi diduga berperanan cukup penting dalam menyebabkan persalinan
prematur dan KPD. Organisme yang paling sering menyebabkan yaitu bakteri
vaginosis, Trichomonas vaginalis, Mycoplasmae, Chlamydia trachomitis,
Neisseria gonnorhea, Streptococcus group B, serta Bacteroides fragilis,
Peptostreptococcus, dan Fusobacterium. Bakteri yang sering ditemukan dari
cairan amnion pada persalinan prematur dan bakteri vagina lainnya termasuk
Lactobacillus dan Staphylococcusepidermidis dapat menyebabkan pengeluaran
mediator inflamasi yang dapat menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini dapat
menyebabkan perubahan pada serviks, pemisahan korion dari amnion, dan KPD.23
Maternal dan fetal “stress” juga dapat menyebabkan pengeluaran stress
mediator melalui axis hypothalamic-pituitary-adrenal yang menyebabkan
peningkatan produksi placental corticotrophin releasing hormone (CRH). Aksi
yang belakangan diketahui sebagai suatu efector parakrin, yang dapat
meningkatkan pengeluaran enzim dan senyawa compound yang dapat
38

menyebabkan PROM.

Gambar 2.3 Patofisiologi KPD

2.3.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang dapat timbul pada pasien PROM antara lain:
a. Gejala utama berupa keluarnya cairan dari vagina, yang dapat keluar sebagai
pancaran yang besar dan mendadak atau sebagai suatu tetesan yang konstan
lambat.
b. Keluarnya cairan berupa air-air dari vagina setelah kehamilan 37 minggu
c. Ketuban dinyatakan pecah dini jika terjadi sebelum proses persalinan
berlangsung.
PROM dikaitkan dengan risiko anhidramnion, kompresi tali pusat, amniotik
39

infection syndrome (AIS) dan solusio plasenta. PPROM <20 minggu kehamilan
menyebabkan deformitas wajah / ekstremitas, hipoplasia paru dan sindrom paru
kering terkait dengan mortalitas tinggi dan komplikasi paru jangka panjang.
Amnioinfusi intrapartum dan amnioinfusi transabdominal sebagai prosedur
diagnostik dapat diterima secara luas dan memiliki manfaat yang terbukti secara
klinis. Ada beberapa Risiko dan manfaat dari amnioinfusi Namun, amnioinfusi
transabdominal antepartum belum kontroversial.25
2.3.7 Penegakan Diagnosa
KPD dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dengan vaginal
toucher dan inspekulo, serta pemeriksaan penunjang berupa ferning test,
laboratorium, dan USG.21
Pada anamnesis paling utama tanyakan berapa bulan usia kandungan. Gejala
yang dirasakan apa saja. Apakah pasien merasakan keluar air-air pada jalan lahir,
atau mengeluarkan cairan yang banyak dari jalan lahir secara tiba-tiba tanpa sebab
atau ada sebab yang dirasakan, misalkan pasca trauma. Apakah cairan berbau khas
dan perlu diperhatikan warnanya. Riwayat kehamilan sebelumnya jika ada. Pada
anamnesis sebaiknya ditanyakan juga riwayat demam, diurut-urut, minum
jamuan, intercourse terakhir, dan riwayat keputihan. Hal ini berguna untuk
menentukan faktor predisposisi. Apakah ada keluhan lain.21
Mengingat risiko infeksi, tidak ada indikasi untuk pemeriksaan vaginal toucher
jika pasien kehamilan pertama. Hal ini disebabkan vaginal toucher pada
kehamilan preterm yang belum memasuki masa persalinan dapat mengakumulasi
serviks dengan flora vagina yang dapat menjadi patogen sehingga menimbulkan
pelepasan prostaglandin, infeksi intrauterin dan persalinan preterm. Vaginal
toucher hanya dilakukan pada ketuban pecah dini yang sudah memasuki masa
persalinan atau dilakukan induksi persalinan. Pemeriksaan spekulum steril cukup
untuk membedakan antara kelahiran awal dan lanjutan. Pada pemeriksaan
inspekulo, terdapat OUE masih tertutup, flour (+), pool di fornix posterior atau
cairan bening mengalir dari saluran serviks.21
Beberapa pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnose ketuban pecah
dini (PROM), yaitu :
40

1. Pooling, kumpulan cairan ketuban dalam fornix posterior.


2. Nitrazine tes, ujung kapas steril digunakan untuk mengumpulkan cairan dari
fornix posterior dan menempelkannya pada kertas nitrazine
(phenaphthazine). Jika cairan tersebut adalah cairan ketuban, maka kertas
Nitrazine menyala biru, dan ini menunjukkan bahwa cairan amnion
memiliki pH basa (7,0-7,25). Tes ini dapat negatif palsu pada darah.

Gambar 2.4 Pemeriksaan Nitrazine


3. Tes Ferning, cairan dari fornix posterior ditempatkan pada slide dan
dibiarkan kering di udara, cairan ketuban akan membentuk pola fernlike
kristalisasi (bentuk pakis) pada mikroskop.

Gambar 2.5 Hasil Pemeriksaan Ferning


41

Ketiga hal tersebut, mengkonfirmasi adanya pecah ketuban, meskipun


beberapa faktor dapat menghasilkan hasil positif palsu. pH basa pada uji Nitrazine
juga bisa disebabkan oleh infeksi vagina atau adanya darah atau air mani dalam
sampel. Lendir serviks dapat menyebabkan tes ferning positif, tetapi biasanya
tidak merata dan kurang luas dibandingkan dengan air ketuban.
Penilaian jumlah cairan amnion melalui USG dapat dilakukan dengan cara
subjektif ataupun semikuantitatif.
1. Penilaian Subjektif
Dalam keadaan normal, janin tampak bergerak bebas dan dikelilingi oleh
cairan amnion. Struktur organ janin, plasenta dan tali pusat dapat terlihat jelas.
Kantung-kantung amnion terlihat di beberapa tempat, terutama pada daerah
diantara kedua tungkai bawah dan diantara dinding depan dan belakang uterus.
Pada kehamilan trimester III biasanya terlihat sebagian dari tubuh janin
bersentuhan dengan dinding depan uterus.
Pada keadaan oligohidramnion cairan amnion disebut berkurang bila kantung
amnion hanya terlihat di daerah tungkai bawah, dan disebut habis jika tidak
terlihat lagi kantung amnion. Pada keadaan ini aktivitas gerakan janin menjadi
berkurang. Struktur janin sulit dipelajari dan ekstermitas tampak berdesakan.
2. Penilaian Semikuantitatif
Pengukuran diameter vertical yang terbesar pada salah satu kantung amnion,
dilakukan dengan mencari kantung amnion terbesar, bebas dari bagian tali pusat
dan ekstermitas janin, yang dapat ditemukan melalui transduser yang diletakkan
tegak lurus terhadap kontur dinding abdomen ibu. Pengukuran dilakukan pada
diameter vertical kantung amnion. Morbiditas dan mortalitas perinatal meningkat
bila diameter vertical terbesar kantung amnion < 2cm (oligohidramnion) atau > 8
cm (polihidramnion).
Pengukuran indeks cairan amnion (ICA), Pada cara ini, uterus dibagi dalam 4
kuadran yang dibuat oleh garis mediana melalui linea nigra dan garis horizontal
setinggi umbilicus. Pada setiap kuadran uterus dicari kantung amnion terbesar,
bebas dari bagian tali pusar dan ekstermitas janin, yang ditentukan transducer
yang diletakkan tegak lurus terhadap lantai. Indeks cairan amnion merupakan
42

hasil penjumlahan dari diameter vertical terbesar kantung amnion pada setiap
kuadran. Bila ICA < 5 cm disebut oligohidramnion.
2.3.8 Tatalaksana
Konservatif26
a. Rawat di rumah sakit
b. Nilai-tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda – tanda infeksi intrauterin)
c. Berikan antibiotik (Ampisilin 4 x500 mg atau eritromisin bila tidak tahan
dengan ampisilin dan metronidazole 2x 500 mg selama 7 hari)
d. Jika umur kehamilan <32-34 minggu, di rawat selama air ketuban masih
keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
e. Pada usia kehamilan 32-34 minggu, berikan steroid untuk memacu
kematangan paru janin dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan
spingomielin tiap minggu. Dosis dexamethasone 12 mg sehari dosis tunggal
selama 2 hari, dexamethasone i.m 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.
f. Jika umur kehamilan 34-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes
busa negative: beri dexamethasone, observasi tanda-tanda infeksi dan
kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu.
g. Jika kehamilan 34-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan
tokolitik (salbutamol), deksamethasone dan induksi sesudah 24 jam.
h. Jika usia kehamilan 34-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan
induksi.
Aktif27
a. Kehamilan >37 minggu, tidak ada tanda-tanda infeksi, induksi dengan
oksitosin, bila gagal pikirkan seksio sesarea. Dapat pula diberikan
misoprostol 50ug intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.
b. Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan
diakhiri jika:
▪ Bila skor pelvik < 5, lakukanlah pematangan serviks, kemudian induksi.
Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan secsio sesarea
▪ Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam.
Antibiotik
43

Pemberian antibiotik pada pasien KPD dapat menurunkan resiko infeksi pada
perinatal dan maternal serta dapat memperpanjang periode laten. Sebuah
metanalisis memperlihatkan bahwa penderita yang mendapatkan antibiotik setelah
preterm KPD dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan antibiotik,
mengurangi kejadian endometritis post partum, chorioamnionitis, sepsis neonatal,
pneumonia neonatal dan hemoragi intravnetrikuler.18
Tokolitik27
Terapi tokolitik dapat memperpanjang periode laten untuk waktu yang singkat
tetapi tidak memperlihatkan peningkatan luaran janin yang baik. Terapi tokolitik
jangka panjang pada pasien KPD tidak direkomendasikan dengan pertimbangan
belum ada hasil penelitian lebih lanjut.
Kortikosteroid28
Pemberian kortikosteroid dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas
perinatal setelah preterm KPD antara lain resiko RDS, hemoragi intraventrikuler
dan enterokolitis nekrotik.
Tabel 2.1 Medika mentosa yang digunakan pada KPD
Magnesium MAGNESIUM SULFAT IV:
Untuk efek neuroproteksi pada Bolus 6 gram selama 40 menit
PPROM < 31 minggu bila dilanjutkan infus 2 gram/ jam untuk dosis
persalinan diperkirakan dalam pemeliharaan sampai persalinan atau
waktu 24 jam sampai 12 jam terapi
Kortikosteroid BETAMETHASONE:
Untuk menurunkan risiko sindrom 12 mg IM setiap 24 jam dikali 2 dosis
distress pernapasan Jika Betamethasone tidak tersedia,
gunakan deksamethason 6 mg IM setiap
12 jam
44

Antibiotik AMPICILLIN
Untuk memperlama masa laten 2 gram IV setiap 6 jam dan
ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam,
dikali 4 dosis diikuti dengan
AMOXICILLIN
250 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari
dan
ERYTHROMYCIN
333 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari,
jika alergi ringan dengan penisilin, dapat
digunakan:
CEFAZOLIN
1 gram IV setiap 8 jam selama 48 jam
dan
ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam
diikuti dengan :
CEPHALEXIN
500 mg PO setiap 6 jam selama 5 hari
dan
ERYTHROMYCIN
333 mg PO setiap 8 jam selama hari
Jika alergi berat penisilin, dapat diberikan
VANCOMYCIN 1 gram IV setiap 12
jam selama 48 jam dan
ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam
diikuti dengan
CLINDAMYCIN
300 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari
45

Ketuban Pecah
Dini

Masuk Rumah Sakit :


▪ Antibiotik
▪ Batasi Pemeriksaan Dalam
▪ Observasi tanda infeksi dan
fetal distres

Hasil premature : Kehamilan


▪ Observasi aterm
(suhu,
fetal
distress) Kelainan obstetri : Letak
▪ Kortikost Kepala
▪ Fetal distress
▪ Letak
sungsang
▪ CPD Indikasi
▪ Riwayat induksi :
obstetric - Infeksi
buruk - Waktu
▪ Grandemulti
para
▪ Ederly
primigravida
Berhasil :
Gagal: ▪ Persalinan
▪ Reaksi vaginam
Seksio
uterus tidak
Sesarea
ada
▪ Kelainan
letak kepala
▪ Fase laten
dan aktif
memanjang
▪ Fetal distress

Gambar 2.6 Penatalaksanaan ketuban pecah dini


46

Gambar 2.7 Alur diagnonis dan penatalaksanaan ketuban pecah dini


2.3.9 Komplikasi29
1. Neonatal
a) Peningkatan morbiditas dan mortalitas neonatal yang berhubungan dengan
prematuritas, seperti Respiratory distress syndrome (RDS) Intraventricular
hemorrhage (IVH), Enterokolitis nekrosis (NBC)
b) Komplikasi selama kehamilan dan persalinan yang dapat meningkatkan
resiko resusitasi neoatal.
c) Infeksi
d) Deformitas fetus sindrom, seperti retardasi pertumbuhan, anomali muka dan
47

tungkai fetus, hipoplasi pulmonary, imature alveoli


2. Maternal
a) Infeksi
Korioamnionitis dapat menyebabkan septicemia, pneumonia, infeksi traktus
urinaria, atau infeksi lokal seperti omphalitis atau konjunctivitis.
b) Peningkatan resiko seksio sesarea
BAB IV
ANALISA KASUS

Pada kasus ini didapatkan Ny I 16 tahun, datang ke RSUD Raden mattaher


Jambi tanggal 21 Maret 2023, pukul 11.00 WIB memalui IGD dengan diagnosis
G1P0A0 hamil 36-37 minggu inpartu kala I fase aktif + PEB+ KPD, JTH IU + Preskep.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesis Pasien datang ke RS dengan keluhan Perut terasa
kencang sejak 7 jam SMRS. Keluhan disertai nyeri perut yang menjalar ke
pinggang. Dari keluhan utama kemungkinan telah ada his pada Ny. I. Seseorang
ibu hamil dapat dikatakan inpartu setelah ditemukan tanda tanda inpartu yaitu
keluarnya lendir darah adanya his serta adanya pembukaan, dari hasil pemeriksaan
obstetri pada Ny. I ditemukan adanya tanda tanda inpartu ditandai dengan adanya
his, pembukaan pada serviks, dan keluarnya lendir darah, sehingga dapat
ditegakkan bahwa Ny.I telah masuk inpartu. Pasien juga mengeluh keluar air air
dari jalan lahir sekitar sejak ± 10 jam SMRS, air air yang keluar berwarna putih
bening dan tidak berbau. Keluhan tersebut bisa merupakan hasil dari ketuban
pecah dini (KPD) dimana pecahnya selaput ketuban sebelum waktunya. Usia Ny.
I pada saat hamil adalah 16 tahun dimana hamil dengan usia <20 tahun dan > 35
tahun merupakan kehamilan resiko tinggi karena organ reproduksi belum siap
hamil sehingga mempengaruhi pembentukan selaput ketuban menjadi abnormal,
sedangkan usia > 35 tahun terjadi penurunan organ-organ reproduksi yang
berpengaruh pada proses embryogenesis sehingga selaput ketuban lebih tipis yang
memudahkan pecah sebelum waktunya. Pada pasien tidak dapat dilakukan
pemeriksaan inspekulo di IGD karena pasien datang pada saat inpartu.
Pada hasil pemeriksaan fisik secara umum ditemukan peningkatan pada
tekanan darah yaitu 165/93 mmHg. Hal ini mengindikasikan bahwa ibu
mengalami hipertensi dalam kehamilan, secara teori pada wanita hamil,
normalnya akan mengalami penurunan tekanan darah. Penyebab terjadinya
hipertensi pada ibu hamil hingga saat ini belum diketahui. Pada pasien, tekanan
darah pasien adalah 165/93 mmHg dan telah memenuhi kriteria dikatakan

48
49

hipertensi dimana tekanan darah pasien lebih dari 140/90mmHg. Wanita hamil
yang mengalami hipertensi akan dilakukan penilaian klinis untuk
mengklasifikasikan jenis hipertensi yang dialaminya. Pemeriksaan laboratorium
urinalisa menunjukkan hasil proteinuria +4 yang juga merupakan kriteria
penegakan diagnosa preeklamsia. Hal tersebut dapat terjadi karena dampak dari
pre-eklampsia yaitu kerusakan pada sel glomerulus sehingga mengakibatkan
proses filtrasi terganggu sehingga protein dapat tergabung dengan urin
menghasilkan proteinuria. adanya peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi dapat menembus sel kapiler
dan diekskresikan melalui urin. Dengan demikian Ny. I dapat di diagnosis
mengalami Preeklamsia Berat.
Penatalaksanaan yang diberikan terhadap pasien, yaitu pasien rawat inap
dan dianjurkan tirah baring, disertai observasi keadaan umum, tanda-tanda vital,
kemajuan persalinan, denyut jantung janin dan pemberian obat-obatan dan
direncakan untuk dilakukan SC.
Obat anti kejang yang diberikan pada pasien berupa MgSO4 40% 4 mg,
dilanjutkan MgSO4 1 gr/jam (drip). Tujuan utama pemberian magnesium sulfat
pada preeklampsia adalah untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian
eklampsia, serta mengurangi morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal.
Cara kerja magnesium sulfat belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu
mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari otot
polos, termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga selain sebagai
antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan
tokolitik. Guideline RCOG merekomendasikan dosis loading magnesium sulfat 4
g selama 5 – 10 menit,dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1-2 g/jam selama 24
jam post partum atau setelah kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu
untuk melanjutkan pemberian magnesium sulfat.
Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan -
sedang (tekanan darah 140 – 169 mmHg/90 – 109 mmHg), masih kontroversial.
European Society of Cardiology (ESC) guidelines 2010 merekomendasikan
pemberian antihipertensi pada tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥

49
50

90 mmHg pada wanita dengan hipertensi gestasional (dengan atau tanpa


proteinuria), hipertensi kronik superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi
dengan gejala atau kerusakan organ subklinis pada usia kehamilan berapa pun.
Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker yang sudah
digunakan sejak dekade terakhir untuk mencegah persalinan preterm (tokolisis)
dan sebagai antihipertensi. Nifedipin selain berperan sebagai vasodilator arteriolar
ginjal yang selektif dan bersifat natriuretik, dan meningkatkan produksi urin.
Regimen yang direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap 15 – 30
menit, dengan dosis maksimum 120 mg.
Pemberian antibiotik profilaksis agar mengurangi kejadian infeksi pada
pasien dan aman bagi kehamilan. Metoklopramid digunakan untuk antiemesis
(mengurangi sekresi asam lambung).
Pada pasien direncanakan SC cito dikarenakan kehamilan telah inpartu dan
kondisi PEB serta KPD.

50
51

BAB III
KESIMPULAN

Ketuban Pecah Dini (KPD) atau sering disebut Premature Rupture of the
Membrane (PROM) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum terjadinya
proses persalinan pada kehamilan aterm. Sedangkan Preterm Premature Rupture
of the Membrane (PPROM) adalah pecahnya ketuban pada pasien dengan usia
kehamilan kurang dari 37 minggu.2
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, prevalensi kejadian ketuban pecah
dini di Indonesia sebesar 5,6%, dimana provinsi tertinggi dengan angka kejadian
KPD berada di DI Yogyakarta yaitu 10,1%, dan angka kejadian KPD terendah
berada di provinsi Sumatera selatan yaitu 2,6%. Sedangkan di Provinsi Jambi
angka kejadian KPD sebesar 2,82%.3
Secara teoritis pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya elastisitas
yang terjadi pada daerah tepi robekan selaput ketuban dengan perubahan yang
besar. Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini sangat erat kaitannya dengan
jaringan kolagen, yang dapat terjadi karena penipisan oleh infeksi atau rendahnya
kadar kolagen yang dipengaruhi oleh berbagai faktor resiko lainnya.10
KPD dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dengan vaginal
toucher dan inspekulo, serta pemeriksaan penunjang berupa ferning test,
laboratorium, dan USG.Tatalaksana KPD berdasarkan dengan usia kehamilan dan
tingkat terjadinya infeksi yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas bagi
ibu dan janin.21,26

51
DAFTAR PUSTAKA

1. W, I. A., Febrianti, M., & Octaviani, A. (2019). Faktor yang Berhubungan


Terhadap Kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) di RSIA Sitti Khadijah I
Makassar Tahun 2019. Jurnal Kesehatan Delima Pelamonia, Vol. 3, No.1,
September 2019, 51-60.
2. Syarwani, T. I., Tendean, H. M., & Wantania, J. J. E. (2020). Gambaran
Kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou
Manado Tahun 2018. Medical Scope Journal (MSJ, Volume 1, Nomor 2,
24-29.
3. Gathiram P, Moodley J. Pre-eclampsia: its pathogenesis and
pathophysiolgy. Cardiovasc J Afr. 2016 Mar-Apr;27(2):71-8.
4. Abarham. Prevalensi Kejadian Preeklampsia dengan Komplikasi dan
Faktor Risiko yang Mempengaruhinya di RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang. Universitas Sriwijaya. Palembang. 2019
5. Fox R, Kitt J, Leeson P, Aye CYL, Lewandowski AJ. Preeclampsia: Risk
Factors, Diagnosis, Management, and the Cardiovascular Impact on the
Offspring. J Clin Med. 2019 Oct 4;8(10):1625.
6. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. Diagnosis dan Tatalaksana
Preeklamsia. PNPK. Jakarta. 2016
7. Kusnaman. Patomekanisem Preeklampsia Terkini. Universitas Brawjiaya.
Malang. 2014
8. Phipps E, Prasanna D, Brima W, Jim B. Preeclampsia: Updates in
Pathogenesis, Definitions, and Guidelines. Clin J Am Soc Nephrol. 2016 Jun
6;11(6):1102-13
9. Novianti Rahmat, N. I. (2017). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Ketuban Pecah Dini Pada Ibu Hamil di RSKDIA Pertiwi Makassar. Jurnal
Kesehatan Delima Pelamonia, Volume I, Nomor 1, 71-78.
10. Mochtar, Rustam. 1998. Ketuban Pecah Dini. Sinopsis Obstetri Jilid 1.
Jakarta : EGC. Hal : 255-258.

52
11. Mansjoer, Arif dkk. 2001. Ketuban Pecah Dini. Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal : 310- 313.
12. Mirazanie, H. Desy Kurniawati. 2010. Ketuban Pecah Dini. Obgynacea,
Obstretri dan Ginekologi. Yogyakarta : Tosca enterprise. Hal : VI.16-18.
13. Nili F., Ansaari A.A.S. Neonatal Complications Of Premature Rupture Of
Membranes. Acta Medica Iranica. [Online] 2003. Vol 41. No.3. Diambil
dari http://journals.tums.ac.ir/upload_files/pdf/59.pdf.
14. Soewarto, S. 2009. Ketuban Pecah Dini. Dalam : Winkjosastro H.,
Saifuddin A.B., dan Rachimhadhi T. (Editor). Ilmu Kebidanan. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal. 677-682.
15. Meller,H. Maria, E. Carducci M. Premature rupture of membranes. Arch
argent pediatr; 2018.
16. Saifudin A.B. 2006. Ketuban Pecah Dini. Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Hal : 218-220.
17. Kozinszky Z, Sikovanyecz J, Pásztor N. Severe midtrimester
oligohydramnios: treatment strategies. Curr Opin Obstet Gynecol 26: 67-
76; 2014.
18. National Institute for Health and Care Excellence. Diagnosing and
managing preterm prelabour rupture of membranes; 2019.
19. Hanke, K., Hartz, A., Manz, M., Bendiks, M. Preterm prelabor rupture of
membranes and outcome of very-low-birth-weight infants in the German
Neonatal Network.; 2015.
20. Tchirikov, M., Schlabritz, N. Mid-trimester premature rupture of
membranes (PROM): etiology, diagnosis, classification, international
recommendations of treatment options and outcome. Journal of Perinatal
Medicine; 2018.
21. Baud, O. Premature rupture of membranes: pathophysiology of
neurological impact; 2012.

53
22. Maryuni et al. Risk Factors of Premature Rupture of Membrane. National
Public Health Journal; 2017.
23. Wiknyosastro H, Saiffudin AB, Rachimhadi T. Ilmu Kebidanan, Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1999; 85-86
24. Parry and Strauss III. Premature Rupture of Fetal Membrane. New
England Journal of Medicine; 2012.
25. Kamyar, M., Manuck, T., Stoddard, G. Magnesium sulfate,
chorioamnionitis, and neurodevelopment after preterm birth. BJOG: An
International Journal of Obstetrics & Gynaecology; 2015.
26. Catt, E., Chadha, R., Tang, S. Management of Preterm Premature Rupture
of Membranes: A Comparison of Inpatient and Outpatient Care. Journal of
Obstetrics and Gynaecology Canada; 2018.
27. Dayal, S. Hong, P. Preamature rupture of membranes. Nassau University
Medical Center. NCBI; 2019.
28. Boskabadi, H. Evaluation of Maternal Risk Factors, Delivery, and
Neonatal Outcomes of Premature Rupture of Membrane: A Systematic
Review Study; 2018.
29. Dayal S, Hong PL. Premature Rupture Of Membranes. [Updated 2022 Jul
18]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2022

54

Anda mungkin juga menyukai