Oleh:
Pandela Gibran Sattari, S.Ked*
Pembimbing:
dr. Zul Andriahta, Sp.OG **
Disusun Oleh :
Pandela Gibran Sattari, S.Ked
G1A222075
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Clinical Report Session
(CRS) ini dengan judul “G1P0A0 Hamil 36-37 minggu Inpartu Kala I Fase
Aktif + PEB + KPD, JTH IU + Preskep” Laporan ini merupakan bagian dari
tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi RSUD
Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Zul Andriahta, Sp.OG, sebagai pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan arahan sehingga Clinical Report Session (CRS) ini dapat
terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai penutup
semoga kiranya Clinical Report Session (CRS) ini dapat bermanfaat bagi kita
khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Persalinan merupakan proses membuka dan menipisnya serviks dan janin turun
ke dalam jalan lahir. Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran
janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37- 42 minggu), lahir spontan
dengan presentasi belakang kepala, tanpa komplikasi baik ibu maupun janin.1
Menurut World Health Organization (WHO), setiap hari terdapat 830 ibu di
dunia meninggal akibat penyakit atau komplikasi selama kehamilan dan
persalinan. 75% kematian ibu disebabkan akibat perdarahan, hipertensi, dan juga
infeksi, dan sebanyak 65% adalah karena ketuban pecah dini yang banyak
menimbulkan infeksi pada ibu dan bayi.1
Ketuban pecah dini memiliki bermacam-macam batasan, teori, dan definisi.
Ketuban Pecah Dini (KPD) atau sering disebut Premature Rupture of the
Membrane (PROM) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum terjadinya
proses persalinan pada kehamilan aterm. Sedangkan Preterm Premature Rupture
of the Membrane (PPROM) adalah pecahnya ketuban pada pasien dengan usia
kehamilan kurang dari 37 minggu. Insidensi KPD berkisar antara 8-10% dari
semua kehamilan. Pada kehamilan aterm insidensinya bervariasi antara 6-19 %
sedangkan pada kehamilan preterm insidensinya 2% dari semua kehamilan.2
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, prevalensi kejadian ketuban pecah
dini di Indonesia sebesar 5,6%, dimana provinsi tertinggi dengan angka kejadian
KPD berada di DI Yogyakarta yaitu 10,1%, dan angka kejadian KPD terendah
berada di provinsi Sumatera selatan yaitu 2,6%. Sedangkan di Provinsi Jambi
angka kejadian KPD sebesar 2,82%.3
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Suami
Nama : Tn. A
Umur : 23 tahun
Suku/Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Sekernan
2
3
2.2 Anamnesis
Keluhan utama :
Perut terasa kencang kencang kurang lebih 7 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan perut terasa kencang-kencang sejak ± 7 jam
SMRS. Keluhan disertai nyeri perut yang menjalar ke pinggang. Pasien juga
mengeluhkan keluar air-air dari jalan lahir (+) 10 jam SMRS. Keluhan tidak
disertai dengan sakit kepala, pandangan kabur (-). Nyeri ulu hati (-), mual (-),
muntah (-)
Pasien rutin melakukan ANC ke puskesmas sebanyak 6x, USG ke dokter
kandungan 1x dan dikatakan tidak terdapat kelainan.
Riwayat Haid
- Menarche umur : 12 tahun
- Haid : Teratur
- Lama haid : 7 hari
- Siklus : 28 hari
4
- Dismenore : Tidak
- Warna : Merah Segar
- Bau Haid : Anyir
Riwayat Perkawinan
- Status pernikahan : Menikah
- Jumlah : 1 kali
- Lama pernikahan : 1 tahun
Riwayat Obstetri
- GPA : G1P0A0
- HPHT : 17-07-2022
- TP : 24-04-2023
- ANC : 6x di puskesmas
Riwayat Persalinan
Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keturunan kembar (-)
Diabetes melitus (-), Hepatitis (-), Hipertensi (+), Penyakit Jantung
Koroner (-), TB (-).
2. Perilaku Kesehatan yang lalu
Diabetes mellitus (-), Hepatitis (-), Hipertensi (-), Penyakit Jantung
Koroner (-), TB (-).
• TD : 165/93 mmHg
• Nadi : 94x/menit
• Suhu : 36,2ºC
• Pernapasan : 20 x/menit
• SpO2 : 99%
Status Generalisata
- Kepala : Normocephale, rambut hitam, tidak
mudah dicabut
Status Obstetri
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Cembung, Striae Gravidarum (-), BSC (-), sesuai
6
usia kehamilan
Pemeriksaan Genitalia
Vulva : Tenang
Pemeriksaan Dalam
Inspekulo: Tidak dilakukan
VT : Konsistensi lunak, Pendataran 100%, Pembukaan 4 cm,
Ketuban (+), denominator ubun ubun kecil, Presentasi belakang
kepala
Posisi UUK di kiri
7
LAPORAN OPERASI
Nama dokter : dr. Firmansyah, Sp.OG (K) Obsginsos
Diagnosa pre operatif :
G1P0A0 hamil 36-37 minggu inpartu kala I fase aktif + PEB+ KPD, JTH IU +
Preskep
Diagnosa post operatif :
P1A0 Post SC a/i inpartu kala I Fase Aktif + PEB + KPD
Tanggal operasi : 21 Maret 2023, 17.10 WIB
Tindakan : SC
Perdarahan : ± 300 cc
OUTCOME BAYI
Lahir Pukul 16.15 WIB
Bayi Perempuan
BB : 3300 gram
Bayi segera menangis
Apgar Score : 8/9
FOLLOW UP
Tanggal Follow Up
9
Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
PO nifedipin. 4 x 10mg
23/03/2023 S Nyeri luka bekas operasi (+)
O TD : 163/90 mmHg; HR : 84x/i; RR : 20x/i; T : 36o , SpO2: 99%
A P1A0 Post SC hari 2 a/i inpartu kala I Fase Aktif + PEB + KPD
P IVFD RL 500 ml
Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
PO nifedipin. 4 x 10mg
24/03/2023 S Nyeri luka bekas operasi berkurang
o
O TD : 148/95 mmHg; HR : 93x/i; RR : 20x/i; T : 36 , SpO2: 99%
A P1A0 Post SC hari 3 a/i inpartu kala I Fase Aktif + PEB + KPD
P IVFD RL 500 ml
Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
PO nifedipin. 4 x 10mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
10
11
negara berkembang tujuh kali lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju,
dengan perbandingan prevalensi 14%:1,8%. Insiden preeklampsia dengan
komplikasi di Indonesia pada tahun 2011 ialah sebesar 128.273 kejadian, yakni
sekitar 5,3% dari seluruh populasi ibu bersalin di Indonesia.5
• Kehamilan ganda.
• Riwayat keluarga dengan preeklamsia.
b. Faktor risiko tinggi:
• Gangguan hipertensi pada kehamilan sebelumnya.
• Penyakit ginjal kronis.
• Penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik atau sindrom
antifosfolipid.
• Diabetes tipe 1 dan 2.
• Hipertensi kronis6
3.3.4 Patogenesis
Preeklampsia bukanlah suatu “one disease” namun melibatkan seluruh
aspek maternal, plasental, dan fetal. Penyebab hipertensi dalam kehamilan sampai
sekarang belum diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukajan namun
tidak ada teori yang dianggap mutlak benar.7
Patogenesa preeclampsia sangat kompleks meliputi genetic, imunologi, dan
factor-faktor lingkungan yang saling berinteraksi. Preeclampsia merupakan
gangguan penyakit dengan dua tahap. Tahap pertama penurunan perfusi plasenta
dan tahap kedua adanya gangguan sindroma maternal. Pada tahap pertama
asimptomatik, dengan karakteristik pertumbuhan plasenta abnormal selama
trimester pertama yang berakibat insufisiensi plasenta dan merangsang plasenta
untuk memproduksi material yang masuk ke sirkulasi maternal. Tahap kedua
ditandai wanita hamil mulai mengalami hipertensi, gangguan renal dan
proteinuria. Gejala klinis tersebut disebabkan oleh aktivasi sel-sel endotel yang
telah terjadi pada tahap pertama dengan respon inflamasi sistemik di seluruh
organ tubuh yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas vaskuler serta
hipoperfusi organ.9
13
peranan s-Flt-1
Aliran darah ke plasenta melalui a.spiralis yang merupakan cabang
a.uterina. pada awal kehamilan, sel sitotrofoblas menginvasi dinding plasenta,
merobek endothelium dan tunica media a.spiralis. Dinding a.spiralis mengalami
remodeling, dimana terjadi transformasi dari aliran darah pelan resistensi tinggi
menjadi aliran darah cepat dengan resistensi rendah pada kehamilan normal. Ada
2 tahap pada invasi sitotrofoblas : tahap pertama invasi pada segmen desidua dari
a.spiralis saat umur kehamilan 10-12 minggu, dan tahap kedua invasi
myometrium pada saat umur kehamilan 15-16 minggu.9
Invasi trofoblas mengubah a.spiralis dari pembuluh darah dengan resisteni
tinggi menjadi pembuluh darah dengan resistensi rendah. Perubahan atau
remodeling a.spiralis terjadi lengkap setelah 18-20 minggu. Pada preeclampsia
invasi sitotrofoblas pada myometrium terganggu: a.spiralis tetap dangkal dan
aliran darah ke fetus terhambat. Iskemia plasenta disebabkan invasi sitotrofoblas
yang abnormal: yang merangsang factor plasental dan ketidakseimbangan factor
angiogenik yang menyebabkan disfungsi endotel saat pembentukan plasenta. Jadi
dalam preeclampsia, nutrisi pada plasenta kurang optimal, dan oksigenasi juga
menurun karena insufisiensi plasenta dan perfusi uteroplasenta yang tidak
adekuat.7
Pada preeclampsia, transformasi vascular tidak lengkap. Invasi sitotrofoblas
dari arteri terbatas pada permukaan desidua, dan menyebabkan segmen
myometrium tetap sempit dan vasokonstriksi. Pada preeclampsia, sitotrofoblas
gagal bertransformasi menjadi sel endotel permukaan integrins dan gagal
terbentuk molekul adhesi serta gagal menginvasi a.spiralis di myometrium.
Factor-faktor yang mengatur proses ini adalah factor angiogenik.7
Disfungsi endotel memegang peranan juga dalam pathogenesis
preeclampsia di ginjal, otak dan liver serta menyebabkan hipertensi. Pada
preeclampsia, vascular maternal bereaksi terhadap peningkatan vasopressor
seperti angiotensin II dan norepinefrin. Pada keadaan ini terjadi
ketidakseimbangan substansi vasoaktif sehingga terjadi hipertensi. Disfungsi
endotel juga menyebabkan permeabilitas vascular meningkat sehingga
15
preterm akan lahir sebelum aterm atau persalinan akan terjadi dalam satu minggu
setelah selaput ketuban pecah. Sekitar 85% morbiditas dan mortalitas perinatal
disebabkan oleh prematuritas. KPD berhubungan dengan penyebab kejadian
prematuritas dengan insidensi 30-40%.9
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, prevalensi kejadian ketuban pecah
dini di Indonesia sebesar 5,6%, dimana provinsi tertinggi dengan angka kejadian
KPD berada di DI Yogyakarta yaitu 10,1%, dan angka kejadian KPD terendah
berada di provinsi Sumatera selatan yaitu 2,6%. Sedangkan di Provinsi Jambi
angka kejadian KPD sebesar 2,82%.3
2.3.3 Etiologi
Secara teoritis pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya elastisitas
yang terjadi pada daerah tepi robekan selaput ketuban dengan perubahan yang
besar. Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini sangat erat kaitannya dengan
jaringan kolagen, yang dapat terjadi karena penipisan oleh infeksi atau rendahnya
kadar kolagen. Kolagen pada selaput terdapat pada amnion didaerah lapisan
kompakta, fibroblast serta pada korion didaerah lapisan retikuler atau trofoblast,
dimana sebagaian besar jaringan kolagen terdapat pada lapisan penunjang (Dari
epitel amnion sampai dengan epitel basal korion). Sintesis maupun degradasi
jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan inhibisi interleukin-1 dan
prostaglandin. Adanya infeksi dan inflamasi menyebabkan bakteri penyebab
infeksi mengeluarkan enzim protease dan mediator inflamasi interleukin-1 dan
prostaglandin. Mediator ini menghasilkan kolagenase jaringan sehingga terjadi
depolimerisasi kolagen pada selaput korion/amnion menyebabkan selaput ketuban
tipis, lemah dan mudah pecah spontan. Selain itu mediator terebut membuat
uterus berkontraksi sehingga membran mudah ruptur akibat tarikan saat uterus
berkontraksi.10,11,12
Sampai saat ini penyebab KPD belum diketahui secara pasti, tetapi ditemukan
beberapa faktor predisposisi yang berperan pada terjadinya ketuban pecah dini,
antara lain :
a. Infeksi (Amnionitis atau korioamnionitis)
Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana korion, amnion
27
berat badan rendah (<2500 gram). Sebagian wanita hamil tidak mengeluhkan
keputihannya karena tidak merasa terganggu padahal keputihanya dapat
membahayakan kehamilannya, sementara wanita hamil lain mengeluhkan gejala
gatal yang sangat, cairan berbau namun tidak berbahaya bagi hasil persalinannya.
Dari berbagai macam keputihan yang dapat terjadi selama kehamilan, yang paling
sering adalah Candidiasis Vaginalis, Vaginosis Bakterial dan Trikomoniasis. Dari
NICHD Maternal-fetal Medicine Units Network Preterm Prediction Study
melaporkan bahwa infeksi Clamidia Genitourinaria pada usia gestasi 24 minggu
yang dideteksi berkaitan dengan peningkatan kejadian ketuban pecah dini dan
kelahiran preterm spontan sebesar dua kali lipat setelah terinfeksi bakteri
ini.14,16,17
Infeksi akut yang sering menyerang daerah genital ini termasuk herpes
simpleks dan infeksi saluran kemih (ISK) yang merupakan infeksi paling umum
yang mengenai ibu hamil dan sering menjadi faktor penyebab pada kelahiran
preterm dan bayi berat badan rendah.12
c. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia)
Didasarkan pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan
kehamilan. Inkompetensi serviks sering menyebabkan kehilangan kehamilan pada
trimester kedua. Kelainan ini dapat berhubungan dengan kelainan uterus yang lain
seperti septum uterus dan bikornis. Sebagian besar kasus merupakan akibat dari
trauma bedah pada serviks pada konisasi, produksi eksisi loop elektrosurgical,
dilatasi berlebihan serviks pada terminasi kehamilan atau laserasi obstetrik.14
Diagnosa inkompetensi serviks ditegakkan ketika serviks menipis dan
membuka tanpa disertai nyeri pada trimester kedua atau awal trimester ketiga
kehamilan. Umumnya, wanita datang kepelayanan kesehatan dengan keluhan
perdarahan pervaginam, tekanan pada panggul, atau ketuban pecah dan ketika
diperiksa serviksnya sudah mengalami pembukaan. Bagi wanita dengan
inkompetensi serviks, rangkaian peristiwa ini akan berulang pada kehamilan
berikutnya, berapa pun jarak kehamilannya. Secara tradisi, diagnosis
inkompetensia serviks ditegakkan berdasarkan peristiwa yang sebelumnya terjadi,
yakni minimal dua kali keguguran pada pertengahan trimester tanpa disertai
29
tidak berlaku pada semua wanita hamil. Tidak sedikit wanita yang libidonya sama
seperti trimester sebelumnya, hal ini normal sebab termasuk beruntung karena
tidak tersiksa oleh kaki bengkak, sakit kepala, sakit punggung dan pinggul, berat
badan yang semakin bertambah atau keharusan istirahat total.19
Frekuensi koitus pada trimester ketiga kehamilan yang lebih dari tiga kali
seminggu diyakini berperan pada terjadinya ketuban pecah dini, hal ini berkaitan
dengan kondisi orgasme yang memicu kontraksi, namun kontraksi ini berbeda
dengan kontraksi yang dirasakan menjelang persalinan. Selain itu, paparan
terhadaap prostaglandin didalam semen (Cairan sperma) juga memicu kontraksi
yang walaupun tidak berbahaya bagi kehamilan normal, tetapi harus tetap
diwaspadai jika memiliki risiko melahirkan prematur. Pada kehamilan tua untuk
mengurangi risiko kelahiran preterm maupun ketuban pecah adalah dengan
mengurangi frekuensi hubungan seksual atau dalam keadaan betul-betul
diperlukan wanita tidak orgasme meski menyiksa.13,18
Tapi jika tetap memilih koitus, keluarkanlah sperma diluar dan hindari
penetrasi penis yang terlalu dalam serta pilihlah posisi berhubungan yang aman
agar tidak menimbulkan penekanan pada perut ataupun dinding rahim.
Mengurangi frekuensi koitus yang sejalan dengan meminimalkan orgasme selain
dapat mengurangi terjadinya ketuban pecah dini, dapat pula mengurangi
penekanan pembuluh darah tali pusat yang membawa oksigen untuk janin, sebab
penekanan yang berkepanjangan oleh karena kontraksi pada pembuluh darah
dapat menyebabkan gawat janin akibat kurangnya supply oksigen kejanin.13,18
e. Defisiensi Vitamin C
Vitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan kolagen,
selaput ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen) akan mempunyai elastisitas
yang berbeda tergantung kadar vitamin dalam darah ibu.
2.3.4 Faktor Risiko
Sejumlah faktor risiko untuk KPD spontan telah diidentifikasi. Infeksi intra-
amniotik dan perdarahan desidua (solusio plasenta) yang terjadi jauh dari aterm,
misalnya, dapat melepaskan protease ke dalam jaringan choriodecidual dan cairan
ketuban, menyebabkan pecahnya membran. Solusio plasenta terjadi pada 4%
31
sampai 12% kehamilan yang dengan KPD, dan lebih sering terjadi pada
kehamilan yang dengan KPD sebelum usia kehamilan 28 minggu. Prosedur uterus
invasif yang dilakukan selama kehamilan (seperti amniosentesis, pengambilan
sampel chorionic villus, fetoscopy, dan cervical cerclage) dapat merusak
membran, menyebabkan kebocoran, tetapi hal ini jarang menyebabkan
PROM.20,21
besar (Makrosomia), kehamilan kembar, kelainan pada plasenta dan tali pusat dan
penggunaan obat-obatan (Misalnya propiltiourasil). Kelainan kongenital yang
sering menimbulkan polihidramnion adalah defek tabung neural, obstruksi traktus
gastrointestinal bagian atas, dan kelainan kromosom (Trisomi 21,18,8,13)
komplikasi yang sering terjadi pada polihidramnion adalah malpresentasi janin,
ketuban pecah dini, prolaps tali pusat, persalinan preterm dan gangguan
pernafasan pada ibu.14,16
Kehamilan kembar juga sangat penting diidentifikasi sejak dini. Sejumlah
komplikasi yang dihubungakan dengan kehamilan, persalinan dan kelahiran serta
masa nifas pada wanita yang mengandung lebih dari satu janin. Kemungkinan
yang mungkin timbul pada kehamilan kembar adalah anomali janin, keguguran
dini, lahir hidup, plasenta previa, persalinan dan kelahiran preterm, diabetes pada
kehamilan, preeklamsi, malpresentasi dan persalinan dengan gangguan. Pada
kehamilan kembar, evaluasi plasenta bukan hanya mencakup posisinya tetapi juga
korionisitas kedua janin. Pada banyak kasus adalah mungkin saja menentukan
apakah janin merupakan kembar monozigot atau dizigot. Selain itu, dapat juga
ditentukan apakah janin terdiri dari satu atau dua amnion. Upaya membedakan ini
diperlukan untuk memperbaiki risiko kehamilan. Pengawasan pada wanita hamil
kembar perlu ditingkatkan untuk mengevaluasi risiko persalinan preterm.
9. Faktor usia ibu
Usia ibu yang ≤ 20 tahun termasuk usia yang terlalu muda dengan keadaan
uterus yang kurang matur untuk melahirkan sehingga rentan mengalami ketuban
pecah dini. Sedangkan ibu dengan usia ≥ 35 tahun tergolong usia yang terlalu tua
untuk melahirkan khususnya pada ibu primi (Tua) dan berisiko tinggi mengalami
ketuban pecah dini. Usia dan fisik wanita sangat berpengaruh terhadap proses
kehamilan pertama, pada kesehatan janin dan proses persalinan. Sampai sekarang,
rekomendasi WHO untuk usia yang dianggap paling aman menjalani kehamilan
dan persalinan adalah 20 hingga 30 tahun. Kehamilan diusia kurang dari 20 tahun
dapat menimbulkan masalah karena kondisi fisik belum 100% siap.18,20
Beberapa risiko yang bisa terjadi pada kehamilan diusia kurang dari 20 tahun
adalah kecenderungan naiknya tekanan darah dan pertumbuhan janin terhambat.
35
Bisa jadi secara mental pun wanita belum siap. Ini menyebabkan kesadaran untuk
memeriksakan diri dan kandungannya menjadi rendah. Diluar urusan kehamilan
dan persalinan, risiko kanker leher rahimpun meningkat akibat hubungan seks dan
melahirkan sebelum usia 20 tahun ini. Berbeda dengan wanita usia 20-30 tahun
yang dianggap ideal untuk menjalani kehamilan dan persalinan. Direntang usia ini
kondisi fisik wanita dalam keadaan prima. Rahim sudah mampu memberi
perlindungan atau kondisi yang maksimal untuk kehamilan. Umumnya secara
mental pun siap, yang berdampak pada perilaku merawat dan menjaga
kehamilannya secara hati-hati.14,16
Usia 30-35 tahun sebenarnya merupakan masa transisi, kehamilan pada usia ini
masih bisa diterima asal kondisi tubuh dan kesehatan wanita yang bersangkutan
termasuk gizinya, dalam keadaan baik. Proses kehamilan dan persalinan berkaitan
dengan kondisi dan fungsi organ-organ wanita. Artinya, sejalan dengan
bertambahnya usia, tidak sedikit fungsi organ yang menurun. Semakin bertambah
usia, semakin sulit hamil karena sel telur yang siap dibuahi semakin sedikit.
Selain itu, kualitas sel telur juga semakin menurun. Itu sebabnya, pada kehamilan
pertama diusia lanjut, risiko perkembangan janin tidak normal dan timbulnya
penyakit kelainan bawaan juga tinggi, begitu juga kondisi-kondisi lain yang
mungkin mengganggu proses kehamilan dan persalinan seperti kelahiran preterm
ataupun ketuban pecah dini. Meningkatnya usia juga membuat kondisi dan fungsi
rahim menurun. Salah satu akibatnya adalah jaringan rahim yang tidak lagi subur,
padahal dinding rahim tempat menempelnya plasenta. Kondisi ini memunculkan
kecenderungan terjadinya plasenta previa atau plasenta tidak menempel ditempat
semestinya. Selain itu, jaringan rongga panggul dan otot-ototnyapun melemah
sejalan pertambahan usia. Hal ini membuat rongga panggul tidak mudah lagi
menghadapi dan mengatasi komplikasi yang berat, seperti perdarahan. Pada
keadaan tertentu, kondisi hormonalnya tidak seoptimal usia sebelumnya. Itu
sebabnya, risiko keguguran, ketuban pecah, kematian janin, dan komplikasi
lainnya juga meningkat.14,16,18
Namun secara umum periode waktu dari ketuban pecah dini sampai kelahiran
berbanding terbalik dengan usia gestasi saat ketuban pecah, jika ketuban pecah
36
ada trimester ketiga, maka hanya diperlukan beberapa hari saja sehingga kelahiran
terjadi dibandingkan dengan trimester kedua.15
2.3.5 Patofisiologi
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi
uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah
tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior
rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh.23
Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi matriks ekstraselular.
Perubahan struktur, jumlah sel dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas
kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah. Degradasi kolagen
dimediasi oleh Matriks Metalloproteinase (MMP) yang dihambat oleh inhibitor
jaringan spesifik dan inhibitor protease. Mendekati waktu persalinan,
keseimbangan antara MMP dan tissue inhibitors metalloproteinase-1 (TIMP-1)
mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraselular dan membran
janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat menjelang persalinan.23
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga
selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada
hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, serta gerakan janin.
Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia pada selaput ketuban sehingga
pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis.23
Ketuban pecah dini pada kehamilan preterm disebabkan oleh adanya faktor-
faktor eksternal misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. Disamping itu
ketuban pecah dini preterm juga sering terjadi pada polihidramnion, inkompeten
servik, serta solusio plasenta.23
Banyak teori, mulai dari defek kromosom, kelainan kolagen, sampai infeksi.
Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai 65%).
Termasuk diantaranya; high virulensi yaitu Bacteroides, dan low virulensi yaitu
Lactobacillus.23
Kolagen terdapat pada lapisan kompakta ketuban, fibroblast, jaringan retikuler
korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh
sistem aktifas dan inhibisi interleukin-1 (iL-1) dan prostaglandin. Jika ada infeksi
37
menyebabkan PROM.
infection syndrome (AIS) dan solusio plasenta. PPROM <20 minggu kehamilan
menyebabkan deformitas wajah / ekstremitas, hipoplasia paru dan sindrom paru
kering terkait dengan mortalitas tinggi dan komplikasi paru jangka panjang.
Amnioinfusi intrapartum dan amnioinfusi transabdominal sebagai prosedur
diagnostik dapat diterima secara luas dan memiliki manfaat yang terbukti secara
klinis. Ada beberapa Risiko dan manfaat dari amnioinfusi Namun, amnioinfusi
transabdominal antepartum belum kontroversial.25
2.3.7 Penegakan Diagnosa
KPD dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dengan vaginal
toucher dan inspekulo, serta pemeriksaan penunjang berupa ferning test,
laboratorium, dan USG.21
Pada anamnesis paling utama tanyakan berapa bulan usia kandungan. Gejala
yang dirasakan apa saja. Apakah pasien merasakan keluar air-air pada jalan lahir,
atau mengeluarkan cairan yang banyak dari jalan lahir secara tiba-tiba tanpa sebab
atau ada sebab yang dirasakan, misalkan pasca trauma. Apakah cairan berbau khas
dan perlu diperhatikan warnanya. Riwayat kehamilan sebelumnya jika ada. Pada
anamnesis sebaiknya ditanyakan juga riwayat demam, diurut-urut, minum
jamuan, intercourse terakhir, dan riwayat keputihan. Hal ini berguna untuk
menentukan faktor predisposisi. Apakah ada keluhan lain.21
Mengingat risiko infeksi, tidak ada indikasi untuk pemeriksaan vaginal toucher
jika pasien kehamilan pertama. Hal ini disebabkan vaginal toucher pada
kehamilan preterm yang belum memasuki masa persalinan dapat mengakumulasi
serviks dengan flora vagina yang dapat menjadi patogen sehingga menimbulkan
pelepasan prostaglandin, infeksi intrauterin dan persalinan preterm. Vaginal
toucher hanya dilakukan pada ketuban pecah dini yang sudah memasuki masa
persalinan atau dilakukan induksi persalinan. Pemeriksaan spekulum steril cukup
untuk membedakan antara kelahiran awal dan lanjutan. Pada pemeriksaan
inspekulo, terdapat OUE masih tertutup, flour (+), pool di fornix posterior atau
cairan bening mengalir dari saluran serviks.21
Beberapa pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnose ketuban pecah
dini (PROM), yaitu :
40
hasil penjumlahan dari diameter vertical terbesar kantung amnion pada setiap
kuadran. Bila ICA < 5 cm disebut oligohidramnion.
2.3.8 Tatalaksana
Konservatif26
a. Rawat di rumah sakit
b. Nilai-tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda – tanda infeksi intrauterin)
c. Berikan antibiotik (Ampisilin 4 x500 mg atau eritromisin bila tidak tahan
dengan ampisilin dan metronidazole 2x 500 mg selama 7 hari)
d. Jika umur kehamilan <32-34 minggu, di rawat selama air ketuban masih
keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
e. Pada usia kehamilan 32-34 minggu, berikan steroid untuk memacu
kematangan paru janin dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan
spingomielin tiap minggu. Dosis dexamethasone 12 mg sehari dosis tunggal
selama 2 hari, dexamethasone i.m 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.
f. Jika umur kehamilan 34-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes
busa negative: beri dexamethasone, observasi tanda-tanda infeksi dan
kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu.
g. Jika kehamilan 34-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan
tokolitik (salbutamol), deksamethasone dan induksi sesudah 24 jam.
h. Jika usia kehamilan 34-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan
induksi.
Aktif27
a. Kehamilan >37 minggu, tidak ada tanda-tanda infeksi, induksi dengan
oksitosin, bila gagal pikirkan seksio sesarea. Dapat pula diberikan
misoprostol 50ug intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.
b. Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan
diakhiri jika:
▪ Bila skor pelvik < 5, lakukanlah pematangan serviks, kemudian induksi.
Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan secsio sesarea
▪ Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam.
Antibiotik
43
Pemberian antibiotik pada pasien KPD dapat menurunkan resiko infeksi pada
perinatal dan maternal serta dapat memperpanjang periode laten. Sebuah
metanalisis memperlihatkan bahwa penderita yang mendapatkan antibiotik setelah
preterm KPD dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan antibiotik,
mengurangi kejadian endometritis post partum, chorioamnionitis, sepsis neonatal,
pneumonia neonatal dan hemoragi intravnetrikuler.18
Tokolitik27
Terapi tokolitik dapat memperpanjang periode laten untuk waktu yang singkat
tetapi tidak memperlihatkan peningkatan luaran janin yang baik. Terapi tokolitik
jangka panjang pada pasien KPD tidak direkomendasikan dengan pertimbangan
belum ada hasil penelitian lebih lanjut.
Kortikosteroid28
Pemberian kortikosteroid dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas
perinatal setelah preterm KPD antara lain resiko RDS, hemoragi intraventrikuler
dan enterokolitis nekrotik.
Tabel 2.1 Medika mentosa yang digunakan pada KPD
Magnesium MAGNESIUM SULFAT IV:
Untuk efek neuroproteksi pada Bolus 6 gram selama 40 menit
PPROM < 31 minggu bila dilanjutkan infus 2 gram/ jam untuk dosis
persalinan diperkirakan dalam pemeliharaan sampai persalinan atau
waktu 24 jam sampai 12 jam terapi
Kortikosteroid BETAMETHASONE:
Untuk menurunkan risiko sindrom 12 mg IM setiap 24 jam dikali 2 dosis
distress pernapasan Jika Betamethasone tidak tersedia,
gunakan deksamethason 6 mg IM setiap
12 jam
44
Antibiotik AMPICILLIN
Untuk memperlama masa laten 2 gram IV setiap 6 jam dan
ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam,
dikali 4 dosis diikuti dengan
AMOXICILLIN
250 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari
dan
ERYTHROMYCIN
333 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari,
jika alergi ringan dengan penisilin, dapat
digunakan:
CEFAZOLIN
1 gram IV setiap 8 jam selama 48 jam
dan
ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam
diikuti dengan :
CEPHALEXIN
500 mg PO setiap 6 jam selama 5 hari
dan
ERYTHROMYCIN
333 mg PO setiap 8 jam selama hari
Jika alergi berat penisilin, dapat diberikan
VANCOMYCIN 1 gram IV setiap 12
jam selama 48 jam dan
ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam
diikuti dengan
CLINDAMYCIN
300 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari
45
Ketuban Pecah
Dini
48
49
hipertensi dimana tekanan darah pasien lebih dari 140/90mmHg. Wanita hamil
yang mengalami hipertensi akan dilakukan penilaian klinis untuk
mengklasifikasikan jenis hipertensi yang dialaminya. Pemeriksaan laboratorium
urinalisa menunjukkan hasil proteinuria +4 yang juga merupakan kriteria
penegakan diagnosa preeklamsia. Hal tersebut dapat terjadi karena dampak dari
pre-eklampsia yaitu kerusakan pada sel glomerulus sehingga mengakibatkan
proses filtrasi terganggu sehingga protein dapat tergabung dengan urin
menghasilkan proteinuria. adanya peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi dapat menembus sel kapiler
dan diekskresikan melalui urin. Dengan demikian Ny. I dapat di diagnosis
mengalami Preeklamsia Berat.
Penatalaksanaan yang diberikan terhadap pasien, yaitu pasien rawat inap
dan dianjurkan tirah baring, disertai observasi keadaan umum, tanda-tanda vital,
kemajuan persalinan, denyut jantung janin dan pemberian obat-obatan dan
direncakan untuk dilakukan SC.
Obat anti kejang yang diberikan pada pasien berupa MgSO4 40% 4 mg,
dilanjutkan MgSO4 1 gr/jam (drip). Tujuan utama pemberian magnesium sulfat
pada preeklampsia adalah untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian
eklampsia, serta mengurangi morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal.
Cara kerja magnesium sulfat belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu
mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari otot
polos, termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga selain sebagai
antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan
tokolitik. Guideline RCOG merekomendasikan dosis loading magnesium sulfat 4
g selama 5 – 10 menit,dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1-2 g/jam selama 24
jam post partum atau setelah kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu
untuk melanjutkan pemberian magnesium sulfat.
Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan -
sedang (tekanan darah 140 – 169 mmHg/90 – 109 mmHg), masih kontroversial.
European Society of Cardiology (ESC) guidelines 2010 merekomendasikan
pemberian antihipertensi pada tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥
49
50
50
51
BAB III
KESIMPULAN
Ketuban Pecah Dini (KPD) atau sering disebut Premature Rupture of the
Membrane (PROM) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum terjadinya
proses persalinan pada kehamilan aterm. Sedangkan Preterm Premature Rupture
of the Membrane (PPROM) adalah pecahnya ketuban pada pasien dengan usia
kehamilan kurang dari 37 minggu.2
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, prevalensi kejadian ketuban pecah
dini di Indonesia sebesar 5,6%, dimana provinsi tertinggi dengan angka kejadian
KPD berada di DI Yogyakarta yaitu 10,1%, dan angka kejadian KPD terendah
berada di provinsi Sumatera selatan yaitu 2,6%. Sedangkan di Provinsi Jambi
angka kejadian KPD sebesar 2,82%.3
Secara teoritis pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya elastisitas
yang terjadi pada daerah tepi robekan selaput ketuban dengan perubahan yang
besar. Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini sangat erat kaitannya dengan
jaringan kolagen, yang dapat terjadi karena penipisan oleh infeksi atau rendahnya
kadar kolagen yang dipengaruhi oleh berbagai faktor resiko lainnya.10
KPD dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dengan vaginal
toucher dan inspekulo, serta pemeriksaan penunjang berupa ferning test,
laboratorium, dan USG.Tatalaksana KPD berdasarkan dengan usia kehamilan dan
tingkat terjadinya infeksi yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas bagi
ibu dan janin.21,26
51
DAFTAR PUSTAKA
52
11. Mansjoer, Arif dkk. 2001. Ketuban Pecah Dini. Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal : 310- 313.
12. Mirazanie, H. Desy Kurniawati. 2010. Ketuban Pecah Dini. Obgynacea,
Obstretri dan Ginekologi. Yogyakarta : Tosca enterprise. Hal : VI.16-18.
13. Nili F., Ansaari A.A.S. Neonatal Complications Of Premature Rupture Of
Membranes. Acta Medica Iranica. [Online] 2003. Vol 41. No.3. Diambil
dari http://journals.tums.ac.ir/upload_files/pdf/59.pdf.
14. Soewarto, S. 2009. Ketuban Pecah Dini. Dalam : Winkjosastro H.,
Saifuddin A.B., dan Rachimhadhi T. (Editor). Ilmu Kebidanan. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal. 677-682.
15. Meller,H. Maria, E. Carducci M. Premature rupture of membranes. Arch
argent pediatr; 2018.
16. Saifudin A.B. 2006. Ketuban Pecah Dini. Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Hal : 218-220.
17. Kozinszky Z, Sikovanyecz J, Pásztor N. Severe midtrimester
oligohydramnios: treatment strategies. Curr Opin Obstet Gynecol 26: 67-
76; 2014.
18. National Institute for Health and Care Excellence. Diagnosing and
managing preterm prelabour rupture of membranes; 2019.
19. Hanke, K., Hartz, A., Manz, M., Bendiks, M. Preterm prelabor rupture of
membranes and outcome of very-low-birth-weight infants in the German
Neonatal Network.; 2015.
20. Tchirikov, M., Schlabritz, N. Mid-trimester premature rupture of
membranes (PROM): etiology, diagnosis, classification, international
recommendations of treatment options and outcome. Journal of Perinatal
Medicine; 2018.
21. Baud, O. Premature rupture of membranes: pathophysiology of
neurological impact; 2012.
53
22. Maryuni et al. Risk Factors of Premature Rupture of Membrane. National
Public Health Journal; 2017.
23. Wiknyosastro H, Saiffudin AB, Rachimhadi T. Ilmu Kebidanan, Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1999; 85-86
24. Parry and Strauss III. Premature Rupture of Fetal Membrane. New
England Journal of Medicine; 2012.
25. Kamyar, M., Manuck, T., Stoddard, G. Magnesium sulfate,
chorioamnionitis, and neurodevelopment after preterm birth. BJOG: An
International Journal of Obstetrics & Gynaecology; 2015.
26. Catt, E., Chadha, R., Tang, S. Management of Preterm Premature Rupture
of Membranes: A Comparison of Inpatient and Outpatient Care. Journal of
Obstetrics and Gynaecology Canada; 2018.
27. Dayal, S. Hong, P. Preamature rupture of membranes. Nassau University
Medical Center. NCBI; 2019.
28. Boskabadi, H. Evaluation of Maternal Risk Factors, Delivery, and
Neonatal Outcomes of Premature Rupture of Membrane: A Systematic
Review Study; 2018.
29. Dayal S, Hong PL. Premature Rupture Of Membranes. [Updated 2022 Jul
18]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2022
54