Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN KASUS

Multigravida Tua dengan Ketuban Pecah Dini (KPD) dan


Dermatitis Atopi

Disusun oleh:

dr. Frigandra Syahputri

Pembimbing

dr. M. Indrawan Yachya, Sp.OG

Pendamping

dr. Ade Mirza

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RSUD DEMANG SEPULAU RAYA
LAMPUNG TENGAH
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Kehamilan merupakan proses reproduksi yang normal dan merupakan sebuah


keadaan yang dinantikan dari setiap pasangan, tetapi tetap mempunyai risiko
untuk terjadinya komplikasi. Setiap wanita hamil mempunyai risiko untuk
mendapatkan hal-hal yang merugikan jiwanya maupun janin yang dikandungnya,
hanya saja mempunyai derajat risiko yang bervariasi. Faktor risiko ibu hamil
adalah kondisi pada ibu hamil/janin yang menyebabkan kemungkinan terjadinya
komplikasi persalinan dengan risiko kematian pada ibu dan bayi.

Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah
satu indikator keberhasilan layanan kesehatan di suatu negara. Agenda
pembangunan berkelanjutan yaitu Sustainable Development Goals (SDGs) yang
telah disahkan pada September 2015 berisi 17 tujuan dan 169 target. Tujuan
ketiga SDGs adalah menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong
kesejahteraan bagi semua orang di segala usia dengan salah satu target
mengurangi AKI secara global sebanyak 70 per 100.000 kelahiran hidup tahun
2030.1

World Health Organization (WHO) memperkirakan di Indonesia terdapat 126


kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup dengan jumlah kematian ibu 6.400 pada
tahun 2015. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) AKI
menurun dari 359 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2012 menjadi 305 per
100.000 kelahiran hidup tahun 2015 dan kembali menetap menjadi 305 per
100.000 kelahiran hidup tahun 2018 . Sementara target AKI yang harus dicapai
sesuai kesepakatan SDGs tahun 2030 adalah 70 per 100.000 kelahiran hidup dan
AKB 12 per 1.000 kelahiran.2,3
Beberapa Keadaan yang menyebabkan Angka Kematian Ibu (AKI) antara lain
adalah penanganan komplikasi, anemia, dan ibu hamil yang menderita diabetes,
hipertensi, malaria dan empat terlalu (terlalu muda <20 tahun, terlalu tua >35
tahun, terlalu dekat jaraknya <2 tahun dan telalu banyak anaknya >3 tahun).
Penyebab ini dapat diminimalisir apabila kualitas Antenatal Care dilaksanakan
dengan baik. Beberapa faktor penyebab Angka Kematian Bayi (AKB) antara lain
adalah Intra Uterine Fetal Death (IUFD) dan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR),
ini berarti faktor kondisi ibu sebelum dan selama kehamilan sangat menetukan
kondisi bayinya.4
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 KETERANGAN UMUM


- NamaPasien : Ny. W
- Umur : 43 Tahun
- Pendidikan : SLTP
- Pekerjaan : Ibu rumah tangga
- NamaSuami : Tn. AW
- Umur : 45 Tahun
- Pendidikan : SLTP
- Pekerjaan : Wiraswasta
- Alamat : Lingkungan I Bandar Jaya Timur
- Tanggal Masuk : 24 November 2021

2.2 ANAMNESIS

Keluhan utama : Keluar air-air dari jalan lahir


Anamnesis : (25/11/2021, 08.30)
Pasien wanita 43 tahun Gravida enam Para lima Abostus nol (G6P5A0)
pasien mengaku hamil 38 minggu datang ke IGD Rumah Sakit Demang
Sepulau Raya dengan keluhan keluar air-air dari jalan lahir yang dirasakan
sejak 02.00 WIB malam tadi (7 jam SMRS). Air-air keluar secara spotan
tanpa disertai rasa ingin berkemih, warna bening dan tidak berbau. Pasien
juga mulai merasakan perut kencang-kencang, lendir (-), darah (-).
Pasien mengatakan tidak pernah melakukan pemeriksaan USG selama
kehamilan, hanya melakukan ANC dengan bidan desa setempat.
Pasien juga mengeluhkan wajah, leher, lipatan ketiak, dada, perut,
selangkang dan kaki terasa gatal dan perih yang memberat sejak 2 minggu
SMRS. Keluhan diperberat saat pasien berkeringat. Sebelumnya pasien
pernah mengalami hal serupa saat usia kandungan 3 bulan dan hanya
berobat di bidan lalu membaik. Riwayat alergi sebelumnya (-), asma dalam
keluarga (-), penyakit kulit sebelumnya (-).

Anamnesis Tambahan
- Riwayat jantung berdebar, mudah lelah saat beraktivitas disertai sesak
nafas tidak ada.
- Riwayat tekanan darah tinggi sebelum hamil tidak ada.
- Riwayat kencing manis tidak ada.
- Riwayat penyakit ginjal tidak ada.
- Riwayat pernah dioperasi di perut tidak ada.
- Riwayat alergi obat-obatan dan makanan tidak ada.
- Riwayat trombosit rendah atau perdarahan sebelum hamil atau pada
keluarga tidak ada.

Riwayat Sosial Ekonomi


- Status pernikahan : Menikah
- Pernikahan ke : Satu
- Usia suami menikah : 21 Tahun
- Usia istri saat menikah : 19 Tahun
- Lama pernikahan : 24 tahun
- Respon ibu dan keluarga terhadap kehamilan : Baik
- Pembuat keputusan dalam keluarga : Suami 

Riwayathaid
- Menarche : 12 tahun
- Siklus : 28 hari
- Lama : 7 hari
- Banyaknya : ± 2-3x ganti pembalut sedang
- Dismenorhae : Tidak ada

RiwayatKehamilanSekarang
- Usia ibu hamil : 43 tahun
- HPHT : 27 Maret 2021
- Taksiran Persalinan : 03 Desember 2021
- Usia Kehamilan : 38 minggu
- Perdarahan Pervaginam : Tidak ada
- Keputihan : Tidak ada
- Mual dan Muntah : Tidak ada
- Pemakaian obat-obatan dan jamu : Tidak ada

Riwayat ANC
- Ibu pertama kali melakukan ANC pada saat usia kehamilan 4 minggu di
bidan.
- ANC selama hamil hanya dilakukan sebanyak 3 kali.
- Tidak pernah melakukan USG selama kehamilan

Riwayat obstetrik
Gravida 6, Partus 5, Abortus 0
No Tahun JK Usia Jenis Ditolong BBL &
Kehamilan Persalinan oleh PBL
1. 1997 P Aterm Spontan Bidan 2,9 kg
2. 2002 L Aterm Spontan Bidan 4 kg
3. 2008 L Aterm Spontan Dukun 2,7 kg
4. 2011 L Aterm Spontan Bidan 3,5 kg
5. 2018 P Aterm Spontan Bidan 3,6 kg
6. 2021 Hamil ini
Riwayat Ginekologi
Tidak ada

Riwayat KB
Kontrasepsi suntik 3 bulanan tidak teratur
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaanumum
- Kesadaran : Composmentis
- Kesan sakit : Sakit sedang
- Tanda vital
TD :120/80 mmHg
Nadi : 98x/m
Respirasi : 20x/m
Suhu : 36,7 C
- Berat badan awal sebelum hamil : 55 kg
- Beratbadansekarang : 63 kg
- Tinggi badan : 154 cm
- Kepala: Mata : Konjungtivaanemis -/-
Skleraikterik -/-
Hidung : Epistaksis -/-
Mulut : Gusi berdarah (-)
- Leher : KGB tidak teraba,JVP 5+0 cmH2O
- Thorax : Bentuk dan gerak simetris
Cor : Ictus cordis tidak terlihat,
BJ S1 dan S2 murni regular, S3 dan
S4 Gallop
(-),murmur (-), kardiomegali(-)
Pulmo : vesikuler +/+, Ronki -/-,
Wheezing -/-, sonor +/+
- Abdomen : Datar, bising usus(+) normal, hepar
lien tidak teraba. Nyeri
tekan (+)
- Ekstremitas : Akral hangat CRT< 2 detik,
petechiae (-), ekimosis (-)
Status Obstetrikus
- Thorax
Mammae : Papila menonjol : +/+
Areola hiperpigmentasi : +/+
Abses : -/-
Nyeritekan : -/-
- Abdomen : Bentuk : Cembung
Striae gravidarum : (+)
Linea Nigra : (+)
Tinggi Fundus Uteri : 33 cm
TBJ : (-)
Luka Operasi : (-)
Leopold I : (-)
Leopold II : (-)
Leopold III : (-)
Leopold IV : (-)
DJJ : 138x/m
His : (-)

Status Dermatologi :
Pada regio facialis, trunkus, manus dan pedis terdapat plak dengan dasar
eritem basah disertai krusta diatasnya berukuran lentikuler-plakat tersebar
diskret hingga konfluens disertai eksoriasi.

Status ginekologi
Pemeriksaan dalam : Portio tebal, pembukaan 2 cm, discharge (-),
perdarahan aktif pervaginam (-), HI
Inspekulo : (-)

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Telah dilakukan pemeriksaan darah,urin dan pemeriksaan serologis pada
tanggal 24/11/2021 jam 09.17 dengan hasil sebagai berikut :
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12,0 g/dl 11,7 –15.5

Eritrosit 3,62* 106/uL 3.8–5,2

Leukosit 9,50 103/uL 4,0–11,0

Hematokrit 32,1* % 35,0–47,0

Trombosit 345 103/uL 150–440

HITUNGJENIS
Basofil 0 % 0,0 – 1,0
Eosinofil 3 % 2,0 –4,0
Neutrophil Segmen 77* % 50,0 –70,0
Limfosit 15* % 25,0 –50,0
Monosit 5 % 4,0 –8,0

KIMIA KLINIK
GDS 114 Mg/dL 60-200

GOLONGAN DARAH + RHESUS


Golongan Darah O
Rhesus Positif

SERO – IMUNOLOGI
IgG SARs Cov2 Non Reaktif Non Reaktif
IgM SARs Cov2 Non Reaktif Non Reaktif
HBsAg Non Reaktif Non Reaktif
T.P.H.A Negatif Negatif
Anti HIV Negatif Negatif

2.5 DIAGNOSA KERJA


G6P5A0 Multigravida tua hamil 38-39 minggu dengan KPD 7 jam JTH
Preskep dengan Dermatitis Atopi
2.6 PENATALAKSANAAN
- Observasi tanda vital dan kemajuan persalinan
- IVFD RL XX gtt/menit
- Konsul Sp.OG (Rencana SC + MOW)
- Konsul Sp.An
- Konsultasi Sp.DV

2.7 LAPORAN OPRASI


Tanggal : 24 November 2021
Operator : dr. M. Indrawan Yachya, Sp.OG

Diagnosa pre operasi : G6P5A0 Multigravida tua hamil 38-39 minggu


dengan KPD 7 jam JTH Preskep dengan Dermatitis
Atopi

Diagnosa post operasi : P6A0 post SC ai KPD + MOW dengan Dermatitis


Atopi
Jenis anastesi : Anastesi Spinal

INTRAOPERATIF

16.10 WIB : OPERASI DIMULAI

- Pasien dalam posisi terlentang dalam keadaan spinal anestesi.


- Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada daerah abdomen dan
sekitarnya.
- Lapangan operasi dipersempit dengan doek steril.
- Dilakukan insisi pfanennstiel 2 jari diatas simfisis pada bekas operasi
kemudian insisi diperdalam secara tajam dan tumpul sampai menembus
peritoneum.
- Didapatkan uterus sesuai usia kehamilan aterm
- Insisi segmen bawah rahim semilunar menembus plasenta sampai cavum
uteri
- Pukul 16.15 WIB: bayi lahir hidup dengan meluksir kaki dengan jenis
kelamin laki-laki,berat badan bayi: 2700 gram, panjang badan 49 cm,
A/S 8/9.
- Plasenta lahir lengkap.
- Dilakukan pembersihan cavum uteri dengan kassa, sisa plasenta (-)
- Dilakukan tubektomi secara pomeroy di kedua tuba
- SBR dijahit dua lapis secara jelujur dengan PGA no. 2
- Dinding abdomen ditutup lapis demi lapis

17.20 WIB : OPERASI SELESAI

2.8 PERJALANAN PENYAKIT


24/11/2021
08.49 WIB
S/ Pasien pasien mengeluh keluar air-air dari jalan lahir, perut terasa
kencang
O/ Kesadaran : Compos mentis
TD : 180/110 mmHg S : 36,6 C
N : 82x/menit R : 20 x/menit
Obstetri : TFU 33cm, His (-), DJJ 138x/m, portio tebal, pembukaan 2 cm
A/ G6P5A0 Multigravida tua hamil 38-39 minggu dengan KPD 7 jam JTH
Preskep + Dermatitis Atopi
P/
- Observasi tanda vital dan kemajuan persalinan
- IVFD RL XX gtt/menit
- Konsul Sp.OG (Rencana SC + MOW)
- Konsul Sp.An
- Konsultasi Sp.DV

14.30 WIB
USG :
- JTH Preskep
- GA 38w5d
- EDD 03/12/2021

15.10 WIB
S/ keluar air-air sejak 13 jam yll, mulas-mulas (+)
O/ Kesadaran : Compos mentis
TD : 120/80 mmHg S : 36,6 C
N : 81x/menit R : 20 x/menit
A/ G6P5A0 Multigravida tua hamil 38-39 minggu dengan KPD >12 jam
JTH Preskep + Dermatitis Atopi

P/
- IVFD RL XX gtt/m
- Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam
- Inj Dexamethasone 6gr/12 jam
- R/ SC + MOW
- Konsul Sp.An (acc)
- Konsul Sp.DV
• Cetirizine 10mg tab 1x1
• Cream Topicare (ceramide) 10gr + Cream Digenta (Gentamicin
+ Betamethasone dipropionate) 10gr 2ddue
• Menggunakan sabun bayi yang hipoallergen

16.15 WIB
S/ telah lahir bayi laki-laki, menangis kuat, gerak aktif, retraksi (-), BAB
(+), BAK (+)
O/ APGAR 8/9
BB : 2700 gr PB : 49 cm
LK : 33cm LP : 31 cm
HR : 148x/m RR : 40x/m
SpO2 : 97%
Anus (+)
Kelainan (-)
A/ BBLC + NCB post SC a/i KPD>12 jam
P/
- Bersihkan jalan nafas
- Rangsang taktil
- Termoregulasi
- Inj Vit K
- Salep mata Gentamicin
BAB III
PERMASALAHAN

1. Apakah diagnosis multigravida tua dengan ketuban pecah dini (KPD) dan
dermatitis atopi (DA) pada pasien serta penatalaksanaannya pada kasus ini
sudah tepat ?
2. Bagaimana patofisiologi terjadinya ketuban pecah dini (KPD) dan dermatitis
atopi (DA) pada ibu hamil?
3. Bagaimana prognosis penderita pada kasus ini ?
BAB IV
ANALISA KASUS

1. Apakah diagnosis multigravida tua dengan ketuban pecah dini (KPD) dan
dermatitis atopi (DA) pada pasien serta penatalaksanaannya pada kasus ini
sudah tepat ?

Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien dengan G6P5A0 hamil dengan usia


43 tahun. Berdasarkan jumlah paritas, pasien dapat dimasukan kedalam
kelompok multigravida. Multigravida adalah ibu yang sudah pernah hamil >
1 kali.

Hamil multigravida dengan usia tua termasuk kedalam kehamilan dengan


resiko tinggi. Kehamilan risiko tinggi adalah kehamilan yang kemungkinan
dapat menyebabkan terjadinya bahaya atau komplikasi baik terhadap ibu
maupun janin yang dikandungnya selama masa kehamilan, melahirkan dan
masa nifas. Komplikasi penyebab kematian maternal pada wanita hamil dan
melahirkan terjadi tinggi pada kehamilan dengan usia <20 dan >35 tahun.

Usia ibu hamil terlalu tua >35 tahun meningkatkan resiko kematian ibu. Pada
usia ini organ kandungan menua, jalan lahir tambah kaku, ada kemungkinan
besar ibu hamil mendapat anak cacat, terjadi persalinan macet dan
perdarahan. Pada umur ≥ 35 tahun kesehatan ibu sudah menurun akibatnya
akan beresiko lebih besar untuk mempunyai anak cacat, persalinan lama, dan
perdarahan. Penyulit lain yang mungkin timbul adalah kelainan letak,
plasenta previa, distoia dan partus lama.
Bayi yang lahir dari ibu hamil >35 tahun memiliki kelainan pada kromosom.
Kelainan yang paling banyak muncul berupa kelainan Down Syndrome, yaitu
sebuah kelainan kombinasi dari retardasi mental dan abnormalitas bentuk
fisik yang disebabkan oleh kelainan kromosom.

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi komplikasi resiko dari
kehamilan dengan usia 30-40 tahun adalah :

a. Rencanakan kehamilan dengan konsultasi ke dokter sebelum pasti


untuk kehamilan tersebut. Kondisi kesehatan, obat-obatan dan
imunisasi dapat diketahui melalui langkah ini.
b. Konsumsi multivitamin yang mengandung 400 mikrogram asam folat
setiap hari sebelum hamil dan selama bulan pertama kehamilan untuk
membantu mencegah gangguan pada saluran tuba.
c. Konsumsi makanan-makanan yang bernutrisi secara bervariasi,
termasuk makanan yang mengandung asam folat, seperti sereal, produk
dari padi, sayuran hijau daun, buah jeruk, dan kacang- kacangan.
d. Mulai kehamilan pada berat badan yang normal atau sehat (tidak terlalu
kurus atau terlalu gemuk). Berhenti minum alkohol sebelum dan selama
kehamilan.
e. Jangan gunakan obat-obatan, kecuali obat anjuran dari dokter yang
mengetahui bahwa si ibu sedang hamil.

Pada anamnesis juga didapatkan bahwa pasien menggunakan KB hormonal


jenis suntik 3 bulanan. Pasien mengatakan bahwa pasien tidak rutin
melakukan suntik KB ke bidan. Hal ini menandakan bahwa terjadinya
kegagalan dalam kontrasepsi. Salah satu faktor yang menjadi penentu
kegagalan kontrasepsi adalah akseptor yang menggunakan metode secara
tidak konsisten dan tidak benar.

Salah satu metode kontrasepsi yang dapat digunakan untuk mencegah


multigravida usia tua adala dengan melakukan kontrasepsi jenis tubektomi /
Metode Operasi Wanita (MOW) yang jua diterapkan kepada pasien ini.
Tubektomi adalah prosedur bedah mini untuk memotong, mengikat atau
memasang cincin pada saluran tuba falopi untuk menghentikan fertilisasi
(kesuburan) seorang perempuan. Manfaatnya sangat efektif, baik bagi klien
apabila kehamilan akan terjadi resiko kesehatan yang serius dan tidak ada
efek samping dalam jangka panjang.

Sterilisasi pada wanita dapat dilakukan pada beberapa waktu seperti


postpartum sterilization dalam waktu 7 hari setelah melahirkan, caesarean
tuba ligation 2 kombinasi prosedur, interval logation dilakukan 6 minggu
pasca melahirkan. Tubektomi dengan tindakan SC haruslah memiliki
indikasi utama. Pada kasus ini pasien dengan multigravida tua dan KPD >
12 jam menjadi indikasi utama dilakukannya tubektomi bersamaan dengan
tindakan SC, sehingga tindakan yang dilakukan terhadap pasien sudah tepat.
Berdasarkan jurnal oleh Gemici dkk (2018) tindakan ligase tuba atau
tubektomi baik melalui tindakan SC ataupun laparoscopy memiliki efek
yang sama terhadap cadangan ovarium yang diukur menggunakan kadar
Anti-Mullerian Hormone (AMH). Pertimbangan dilakukannya caesarean
tuba ligation pada pasien untuk menghindarkan dilakukannya sayatan dan
tindakan anestesi berulang pada pasien.

Pada masa kehamilan, ibu hamil disarankan untuk memeriksakan


kehamilannya minimal 4 kali yaitu satu kali saat trimester I dan II serta 2
kali saat trimester III, sedangkan pada pasien hanya melakukan ANC
sebanyak 3 kali dan tidak pernah melakukam USG.

Pada trimester I, USG bertujuan untuk meyakinkan adanya kehamilan,


menduga usia kehamilan dengan mencocokkan ukuran bayi, menentukan
kondisi bayi jika ada kemungkinan kelainan bawaan, menentukan penyebab
perdarahan atau bercak darah dini pada kehamilan muda (misalnya kehamilan
ektopik), menentukan lokasi janin apakah di dalam atau di luar rahim,
menentukan kondisi janin jika tidak ada denyut jantung atau pergerakan janin,
dan mendiagnosis adanya janin kembar. Sedangkan pada trimester II dan III
pemeriksaan USG bertujuan untuk menilai jumlah air ketuban, menentukan
kondisi plasenta, menentukan ukuran janin, memeriksa kondisi janin lewat
pengamatan aktivitasnya, menentukan letak janin apakah sungsang atau
terlilit tali pusat, serta untuk melihat kemungkinan adanya tumor.

Saat anamnesis didapatkan juga pasien mengeluh keluar air-air dari jalan lahir
sejak 7 jam SMRS. Air-air keluar secara spontan tanpa disertai rasa ingin
berkemih, warna bening dan tidak berbau. Pada pemeriksaan ginekologi
didapatkan portio tebal pembukaan 2 cm, discharge (-), perdarahan aktif
pervaginam (-), Hodge I. pemeriksaan inspekulo tidak dilakukan.

Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum


persalinan. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu
maka disebut ketuban pecah dini pada kehamilan premature. Menurut
penelitian oleh Prawirohardjo ibu dengan usia <20 dan > 35 tahun lebih
beresiko tinggi mengalami KPD. Ibu hamil dengan usia diatas 35 tahun
biasanya diikuti penyakit degenerative seperti hipertensi dan diabeles melitus.
Penyakit degenerative tersebut secara tidak langsung mempengaruhi prosen
kehamilan dan persalinan ibu maupun bayinya. Selain itu menurut penelitian
Manuaba dan Chandranita (2009) ibu dengan multipara dan grandemultipara
adalah penyebab umum terjadinya ketuban pecah dini (KPD). Pada ibu
multipara dan grandemultipara sebelumnya sudah mengalami persalinan lebih
dari satu kali yang dapat mempengaruhi kekuatan otot uterus dan abdomen,
keadaan ini mempengauhi kekuatan membrane untuk menahan cairan
ketuban sehingga menyebabkan selaput cairan ketuban lebih rentan untuk
pecah ditambah dengan multipara dengan konsistensi servix yang tipis akan
lebih meningkatkan resiko terjadinya KPD.

KPD pada pemeriksaan dengan spekulum, akan tampak keluar cairan dari
OUE. Seandainya belum keluar, fundus uteri ditekan, penderita diminta
batuk, mengejan atau mengadakan manuver valsava, atau bagian terendah 13
digoyangkan, akan lampak keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada
fomiks anterior. Lihat dan perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari
kanaiis servikalis pada bagian yang sudah pecah, atau terdapat cairan ketuban
pada fomiks posterior.

Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan dalam untuk memastikan terjaidnya


KPD. Bila dilakukan pemeriksaan dalam akan didapatkan cairan di dalam
vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi. Pemeriksaan dalam
bimanual perlu dipertimbangkan karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari
pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina
yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen.
Pemeriksaan dalam vagina hanya dilakukan kalau ketuban pecah dini sudah
dalam persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan dan dibatasi
sesedikit mungkin. Jadi tindakan tidak melakukan pemeriksaan dalam untuk
memastikan KPD sudah tepat.

Ada beberapa akibat yang dihasilkan dari kejadian ketuban pecah dini,
diantaranya prolaps funiculii penurunan tali pusat. Hal ini bisa menyebabkan
gawat janin dan kematian janin akibat hipoksia (sering terjadi pada presentasi
bokong atau Ietak lintang). Hipoksia dan asfiksia sekunder mengakibatkan
kompresi tali pusat, prolaps uteri, nilai APGAR rendah, ensefalopati, cerebral
palsy, perdarahan intrakranial. gagal ginjal, dan sndrom gawat napas.

Penatalaksanaan KPD yang diberikan kepada pasien ini adalah sudah tepat :

- IVFD RL XX gtt/m
- Inj Ceftriaxon 1gr/12 jam
- Inj Dexamethasone 6gr/12 jam
- R/ SC + MOW
- Konsul anestesi (acc)

Menurut Prawirahardjo (2007) penanganan ketuban pecah dini bisa dilakukan


dengan 2 hal yaitu:
a. Konservatif
 Rawat di Rumah Sakit.
 Berikan Anlibiotika (ampisilin 4 x 500 mg atau eritromisin bila tak tahan
ampisilin ) dan metrodinazol 2 x 500 mg selama 7 hari.
 Jika umur kehamilan < 32-34 minggu, dirawat selama air ketuban masih
keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
 Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes
busa negatif: beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan
kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu.
 Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi,
berikan tokolitik { salbutamol ), deksametason dan induksi sesudah 24
jam.
 Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi beri antibiotik dan
lakukan induksi.
 Nilai tanda-tanda infeksi(suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intra uterin ).
 Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memacu
kematangan paru janin dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin
dan spingomielin tiap minggu. Dosis deksametason IM 5 mg setiap 6 jam
sebanyak 4 kali.

b. Aktif
 Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin. bila gagal seksio
sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50 gg intravaginal tiap 6 jam
maksimal 4 kali.
 Bila ada tanda-tanda infeksi berikan anlibiotika dosis tinggi, dan
persalinan diakhiri: a. bila skor pelvik 5, induksi persalinan, partus
pervaginam.

Selama masa kehamilan pasien juga mengeluhkan wajah, leher, lipatan


ketiak, dada, perut, selangkang dan kaki terasa gatal dan perih yang memberat
sejak 2 minggu SMRS. Sebelumnya pasien pernah mengalami hal serupa saat
usia kandungan 3 bulan dan hanya berobat di bidan lalu membaik. Riwayat
alergi sebelumnya (-), asma dalam keluarga (-), penyakit kulit sebelumnya (-).
Keluhan yang sering dirasakan ibu hamil adalah gatal atau pruritus. Pruritus
pada kehamilan diinduksi oleh estrogen dan mungkin berhubungan dengan
kolestasis (obstruksi dan stasis di dalam saluran empedu). Seiring
meningkatnya usia kehamilan terjadi perubahan metabolik, kondisi kulit
kering dan kelainan kulit, misalnya kandidiasis yang juga dapat mencetuskan
pruritus pada kehamilan.

Pada kehamilan, pruritus erat dikaitkan dengan berbagai kondisi yang


berhubungan dengan kehamilan dan juga tidak berhubungan dengan
kehamilan. Kondisi pruritus yang berhubungan dengan kehamilan, yaitu
pemphigoid gestationis, Polimorphic Eruption of Pregnancy (PEP),
Intrahepatic Cholestasis of Pregnancy (ICP), dan Atopic Eruption of
Pregnancy (AEP).

Keluhan gatal pada pasien kembali memberat saat trimester ketiga akibat dari
bertambah besarnya uterus diikuti meningkatnya peregangan pada kulit.
Keluhan gatal pada kulit di trimester 3 perlu diwaspadai akibat tingginya
angka kejadian ICP (Intrahepatic cholestasis of pregnancy). Akibat
perubahan hormonal yang mencetuskan kolestasis. Kehamilan menyebabkan
defek pada ekskresi garam empedu yang menghasilkan peningkatan asam
empedu yang mencetuskan timbulnya pruritus. Diagnosis ICP pada pasien
bisa disingkirkan karena tidak ditemukan ikterik pada pasien meskipun tidak
dilakukannya pemeriksaan fungsi hati, dan diagnosis lebih mengarah kepada
dermatitis atopi pada kehamilan.

Dermatitis Atopi adalah kondisi pruritus yang aman yang ditandai dengan lesi
papular, eksoriasi dan tanda scratching dengan riwayat atau predisposisi yang
sesuai ataupun onset pertama selama kehamilan. Daerah predileksi yang
sering terkena adalah wajah, leher, daerah fleksor ekstremitas, dan badan.
Pada pasien didapatkan lesi pada regio facialis, trunkus, manus dan pedis
terdapat plak dengan dasar eritem basah disertai krusta diatasnya berukuran
lentikuler-plakat tersebar diskret hingga konfluens disertai eksoriasi. Temuan
pada pasien semakin mendukung kearah diagnosis dermatitis atopi.

Dalam mendiagnosis DA dapat digunakan kriteria diagnosis Hanifin Rajka


dengan menemukan 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor. Kriteria mayor
yang didapatkan pada pasien adalah; pruritus, dermatitis pada flesural,
dermatitis residif, sedangkan kritera minor yang didapatkan pada pasien
adalah; xerosis, lipatan Dennie-Morgan; dan gatal bila berkeringat.

Penatalaksaan umum yang diberikan pada pasien DA diantaranya


menghindari bahan iritan, mengeleminasi allergen yang terbukti, pengobatan
topical, sistemik, terapi sinar dan mengurangi stress. Tatalaksana DA pada
ibu hamil hampir sama dengan DA pada bukan ibu hamil. Dapat digunakan
pelembab kulit dan kortikosteroid dari potensi rendah sampai tinggi, seperti
potensi tinggi yang digunakan pada pasien adalah Betamethasone
dipropionate.

Tatalaksana yang diberkan pada pasien adalah Cetirizine 10mg tab 1x1,
Cream Topicare (ceramide) 10gr + Cream Digenta (Gentamicin +
Betamethasone dipropionate) 10gr dioleskan 2 kali sehari setelah mandi, dan
menggunakan sabun bayi hipoallergen. Tatalaksana sistemsik yang aman
diberikan pada ibu hamil juga termasuk antihistamin antagonis H2
(loratadine dan cetirizine).

2. Bagaimana patofisiologi terjadinya ketuban pecah dini (KPD) dan dermatitis


atopi (DA) pada ibu hamil?

Faktor penyebab ketuban pecah dini belum diketahui atau tidak dapat
ditemukan secara pasti. Namun, kemungkinan yang menjadi faktor
predisposisi antara lain adalah paritas, kelainan selaput ketuban, usia ibu,
serviks yang pendek, indeksi, serviks inkompeten, trauma, gemeli,
hidramnion, kelainan letak, alkohol, dan merokok. Pasien pada kasus ini
hamil dengan multigravida usia tua yaitu G6P5A0 usia 43 tahun, hal ini
menjadikan pasien beresiko terjadinya KPD.

Pada penelitian lain (Maria & Sari, 2016), ibu dengan usia kehamilan 37- 42
minggu (aterm) kemungkinan memiliki risiko 3,300 kali lebih mengalami
ketuban pecah dini dibandingkan dengan usia kehamilan 42 minggu (preterm
dan postterm). Ibu dengan usia 35 tahun memiliki risiko 4,95 lebih besar
mengalami ketuban pecah dini dibandingkan dengan ibu dengan usia 20-35
tahun.

Ibu dengan multipara dan grandemultipara adalah penyebab umum terjadinya


ketuban pecah dini. Pada multipara dan grandemultipara sebelumnya sudah
megalami persalinan lebih dari satu kali yang dapat mempengaruhi kekuatan
otot uterus dan abdomen, keadaan ini akan mempengaruhi kekuatan membran
untuk menahan cairan ketuban sehingga menyebabkan selaput cairan ketuban
lebih rentan untuk pecah. Selain itu, pada multipara dengan konsistensi
serviks yang tipis, akan meningkatkan kemungkinan terjadinya ketuban pecah
dini karena adanya tekanan intrauterin pada saat persalinan.

Proses pembukaan serviks pada multipara (mendatar sambil membuka hampir


sekaligus) dengan konsistensi serviks yang tipis tersebut dapat mempercepat
pembukaan serviks sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya ketuban
pecah dini sebelum pembukaan lengkap, sehingga memperbesar
kemungkinan terjadinya infeksi. Pada kasus infeksi terjadi proses proteolitik
oleh mikroba pada selaput ketuban sehingga memudahkan ketuban menjadi
pecah.

Selama masa kehamilan juga terjadi perubahan dari fisik sampai hormonal
secara fisiologis. Kadar estrogen meningkat selama masa kehamilan, hal ini
pulalah yang menjadi salah satu faktor timbulnya dermatitis atopi selama
masa kehamilan.

Selama masa kehamilan wanita memilihi perubahan terhadap T-helper (Th).


Th1 (IL-2, interferon gamma, dam IL12) produksinya menurun, sedangkan
Th 2 (IL-4 and IL-10) produksinya meningkat. Hal inilah yang mendasari
terjadinya perubahan-perubahan fisilogis pada kulit wanita hamil.
3. Bagaimana prognosis penderita pada kasus ini ?

Pengaruh ketuban pecah dini dapat terjadi baik pada ibu dan juga janinnya.
Prognosis yang terjadi kepada ibu diantaranya :
a. Infeksi intrapartum/dalam persalinan. Jika terjadi infeksi dan kontraksi
saat ketuban pecah, dapat menyebabkan sepsis yang selanjutkan dapat
mengakibatkan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.
b. Infeksi puerpuralis/ masa nifas
c. Partus lama/dry labour
d. Perdarahan postpartum
e. Meningkatkan tindakan operatif obstetri (khususnya SC)
f. Morbiditas dan mortalitas materal 16

Prognosis ketuban pecah dini juga ditentukan oleh cara penatalaksanaan dan
komplikasi-komplikasi dari kehamilan. Untuk mencegah infeksi yang terjadi
pada ibu maupun janin akibat KPD, pada pasien diberikan antibiotik
spektrum luas yaitu Ceftriaxon dosis 1 gram dalam 24 jam, serta pemberian
Dexamenthason 6 gram tiap 12 jam. Pada pasien prognosis adalah dubia ad
bonam.
Untuk prognosis pada janin tergantung pada :
a. Maturitas janin : bayi yang beratnya di bawah 2500 gram mempunyai
prognosis yang lebih jelek dibanding bayi lebih besar.
b. Presentasi : presentasi bokong menunjukkan prognosis yang jelek,
khususnya jika bayinya premature.
c. Infeksi intrauterin meningkatkan mortalitas janin.
d. Semakin lama kehamilan berlangsung dengan ketuban pecah, semakin
tinggi insiden infeksi.
BAB V
TINJAUAN PUSTAKA

5.1 Kehamilan Resiko Tinggi

Kehamilan risiko tinggi adalah kehamilan yang kemungkinan dapat


menyebabkan terjadinya bahaya atau komplikasi baik terhadap ibu maupun
janin yang dikandungnya selama masa kehamilan, melahirkan ataupun nifas
bila dibandingkan dengan kehamilan persalinan dan nifas normal akibat
adanya gangguan/komplikasi kehamilan. Pada kehamilan risiko tinggi
terdapat tindakan khusus terhadap ibu dan janin.5,6

Tanda kemungkinan kehamilan abnormal atau patologis adalah muntah


berlebihan, pada hamil muda mengalami perdarahan, demam, dan sakit
perut mendadak. Pada kehamilan trimester II dan III ditemukan kontraksi
uterus berlebihan, ketuban pecah (mengeluarkan air), perdarahan, gerakan
janin berkurang, kehamilan telat waktu, badan panas dan sesak napas, tanda
in partu (persalinan prematur dan persalinan aterm).6

Kategori Kehamilan Berisiko Menurut Poedji Rochyati, dkk adalah :6


a. Primipara muda umur kurang dari 16 tahun
b. Primipara tua umur diatas 35 tahun
c. Primipara sekunder dengan umur anak terkecil di atas 5 tahun
d. Tinggi badan kurang dari 145 cm
b. Riwayat kehamilan yang buruk :
 Pernah keguguran
 Pernah persalinan prematur, lahir mati.
 Riwayat persalinan dengan tindakan (ekstraksi vacum, ekstraksi
forceps, operasi seksio sesarea).
 Pre-eklampsia dan eklampsia
 Gravida serotinus
 Kehamilan perdarahan antepartum
 Kehamilan dengan kelainan letak
o Kehamilan dengan penyakit ibu yang mempengaruhi kehamilan.

Kehamilan yang termasuk kedalam 4 terlalu :


a. Umur ibu terlalu muda (< 20 tahun) Pada usia ini rahim dan panggul ibu
belum berkembang dengan baik dan relatif masih kecil, biologis sudah siap
tetapi psikologis belum matang. Sebaiknya tidak hamil pada usia di bawah
20 tahun. Apabila telah menikah pada usia di bawah 20 tahun, gunakanlah
salah satu alat/obat kontrasepsi untuk menunda kehamilan anak pertama
sampai usia yang ideal untuk hamil.
b. Umur ibu terlalu tua (≥ 35 tahun) Risiko persalinan kembali meningkat
setelah umur 30 tahun yaitu risiko terjadinya kematian ibu. Pada usia ini
organ kandungan menua, jalan lahir tambah kaku, ada kemungkinan besar
ibu hamil mendapat anak cacat, terjadi persalinan macet dan perdarahan.
Pada umur ≥ 35 tahun kesehatan ibu sudah menurun akibatnya akan
beresiko lebih besar untuk mempunyai anak cacat, persalinan lama, dan
perdarahan. Penyulit lain yang mungkin timbul adalah kelainan letak,
plasenta previa, dystocia dan partus lama. Pada proses pembuahan kualitas
sel telur juga telah menurun dibandingkan dengan usia reproduksi sehat
yaitu usia 20-30 tahun.
c. Jarak kehamilan terlalu dekat (< 2 tahun) Bila jarak anak terlalu dekat, maka
rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik, pada keadaan ini perlu
diwaspadai kemungkinan pertumbuhan janin kurang baik, persalinan lama,
atau perdarahan.
d. Jumlah anak terlalu banyak (> 4 anak) Ibu yang memiliki anak lebih dari 4,
apabila terjadi hamil lagi, perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya
persalinan lama, kelainan letak, persalinan letak lintang, perdarahan pasca
persalinan karena semakin banyak anak, rahim ibu makin melemah.
Penelitian yang dilakukan oleh Tandu dkk menyatakan bahwa faktor risiko
non-patologis pra-kehamilan yang telah ditemukan untuk mempengaruhi
hasil kehamilan diantaranya adalah paritas (primipara dan multipara), usia
18 atau > 35 tahun, tinggi badan < 150 cm, dan perilaku seperti merokok
dan asupan obat dan alkohol. Faktor risiko pra-kehamilan patologis
berhubungan dengan komplikasi yang dialami selama kehamilan
sebelumnya, termasuk keguguran, persalinan prematur, ketuban pecah dini
membran (PROM), preeklamsia / eklamsia (PEE), perdarahan postpartum
(PPH), operasi caesar, infeksi, pertumbuhan janin teratur, janin kesusahan /
neonatal, dan kematian perinatal, serta saat ini hadir patologi medis / bedah
(turun-temurun, masyarakat, dan penyakit pribadi, termasuk obesitas).
Faktor resiko tersebut dapat mempengaruhi kualitas maternal dan perinatal
termasuk asfiksia.7

5.1.2 Program perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi


(P4K)

P4K menggunakan stiker adalah terobosan percepatan penurunan


angka kematian ibu. Stiker P4K berisi data tentang nama ibu
hamil,taksiran persalinan, penolong persalinan, tempat persalinan,
pendamping persalinan, transportasi yang digunakan dan calon donor
darah.8

Program perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi melalui


pemasangan stiker pesalinan pada semua rumah ibu hamil. Orientasi
stiker P4K untuk pengelola program dan stakeholder terkait di tingkat
Provinsi, Kabupaten / kota dan puskesmas. Sosialisasi di tingkat desa
kepada kader, dukun, tokoh agama, tokoh masyarakat, PKK serta
lintas sektor di tingkat desa, pertemuan bulanan di tingkat desa (forum
desa siaga, forum KIA, pokja psyandu, dll) yang melibatkan kepala
desa, tokoh masyarakat, tokoh agama, kader dengan difasilitas oleh
bidan desa, yang dipimpin oleh kades membahas tentang pendataan
ibu hamil di wilayah desa membahas dan menyepakati calon donor
darah, transportasi dan pembiayaan jamkesmas serta tabulin.8

5.1.2 Program Keluarga Berencana (KB)

Menurut World Health Organisation (WHO) : keluarga berencana


adalah tindakan yang membantu pasangan suami istri untuk
menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran
yang memang sangat diinginkan, mengatur interval diantara
kehamilan, mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan
umur suami istri serta menentukan jumlah anak dalam keluarga.9

Keluarga berencana menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1992


(tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga
sejahtera) adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta
masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan (PUP), pengaturan
kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan
keluarga kecil, bahagia dan sejahtera. Keluarga berencana adalah
suatu usaha untuk menjarangkan jumlah dan jarak kehamilan dengan
memakai kontrasepsi.9

Secara umum keluarga berencana dapat diartikan sebagai suatu usaha


yang mengatur banyaknya kehamilan sedemikian rupa sehingga
berdampak positif bagi ibu, bayi, ayah serta keluarganya yang
bersangkutan tidak akan menimbulkan kerugian sebagai akibat
langsung dari kehamilan tersebut. Diharapkan dengan adanya
perencanaan keluarga yang matang kehamilan merupakan suatu hal
yang memang sangat diharapkan sehingga akan terhindar dari
perbuatan untuk mengakhiri kehamilan dengan aborsi. Adapun
beberapa jenis alat kontrasepsi, antara lain :10

a. Pil, yang mempunyai manfaat tidak mengganggu hubungan


seksual dan mudah dihentikan setiap saat. Terhadap kesehatan
resikonya sangat kecil
b. Suntikan (1bulan dan 3bulan) sangat efektif (0,1-0,4 kehamilan
per 100 perempuan) selama tahun pertama penggunaan. Alat
kontrasepsi suntikan juga mempunyai keuntungan seperti klien
tidak perlu menyimpan obat suntik dan jangka pemakaiannya bias
dalam jangka panjang
c. Implant (susuk) Yang merupakan alat kontrasepsi yang digunakan
dilengan ats bawah kulit dan sering digunakan pada tangan kiri.
Keuntungannya daya guna tinggi, tidak menggangu produksi ASI
dan pengembalian tingkat kesuburan yang cepat setelah
pencabutan
d. AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim) merupakan alat kontrasepsi
yang digunakan dalam rahim. Efek sampingnya sangat kecil dan
mempunyai keuntungan efektifitas dengan proteksi jangka
panjang 5 tahun dan kesuburan segera kembali setelah AKDR
diangkat
e. Kondom, merupakan selubung / sarung karet yang dapat terbuat
dari berbagai bahan diantaranya lateks (karet), plastic (vinil) atau
bahan alami (produksi hewani) yang dipasang pada penis saat
berhubungan seksual. Manfaatnya kondom sangat efektif bila
digunakan dengan benar dan murah atau dapat dibeli secara
umum
f. Tubektomi atau Metode Operasi Wanita (MOW) adalah prosedur
bedah mini untuk memotong, mengikat atau memasang cincin
pada saluran tuba falopi untuk menghentikan fertilisasi
(kesuburan) seorang perempuan. Manfaatnya sangat efektif, baik
bagi klien apabila kehamilan akan terjadi resiko kesehatan yang
serius dan tidak ada efek samping dalam jangka panjang

5.1.3 Faktor yang mempengaruhi kegagalan KB

a. Penggunaan metode secara tidak sempurna


Akseptor yang cenderung mengalami gagal kontrasepsi adalah
akseptor yang menggunakan metode secara tidak konsisten dan
tidak benar.
b. Frekuensi hubungan intim
Di antara akseptor yang menggunakan kontrasepsi secara
konsisten dan benar, tetap bisa terjadi kehamilan yang ditentukan
oleh frekuensi berhubungan intim. Hal ini paling mungkin terjadi
pada metode kontrasepsi sawar. Hubungan intim 4 kali atau lebih
dalam seminggu membuat mereka lebih mudah hamil dalam
tahun pertama dibanding yang kurang dari 4 kali.
c. Usia
Kemampuan seorang akseptor wanita untuk mengeluarkan sel
telur dan hamil menurun sesuai dengan usia. Pada kondisi normal,
wanita akan makin menurun kesuburannya pada akhir usia
tigapuluhan. Selain faktor kesuburan yang memang menurun,
biasanya frekuensi hubungan intim pun menurun seiring usia.
Namun demikian, bukan berarti seorang wanita tidak bisa hamil,
karena menganggap kesuburannya sudah menurun, maka wanita
usia ini lengah dan lalai sehingga terjadi kehamilan.
d. Siklus haid
Suatu penelitian menunjukkan akseptor yang memiliki siklus haid
teratur 7,2 kali lebih mungkin menjadi hamil selama
menggunakan kontrasepsi kondom dibandingkan mereka yang
siklusnya tidak teratur.9

5.1.4 Penyebab Kegagalan Kb di Indonesia

Kegagalan kontrasepsi adalah terjadinya kehamilan pada saat


menggunakan alat/obat kontrasepsi secara benar. Paradigma baru
program keluarga berencana nasional telah diubah visinya dan
mewujudkan norma kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS) menjadi
visi untuk mewujudkan “keluarga berkualitas tahun 2015” keluarga
yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri,
memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung
jawab, harmoni dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.10
Efektivitas KB pil menurut Hartanto, akseptor KB pil mempunyai
risiko lebih besar untuk menjadi kehamilan atau kegagalan
dibandingkan KB hormonal lainnya yaitu menurut teori kegagalan KB
pil 0–2,1% sedangkan praktek dilapangan tingkat kegagalannya jauh
lebih tinggi bisa mencapai 0,7–9.6%.

5.1.5 Pengaruh kegagalan kontrasepsi terhadap Komplikasi kehamilan

Kegagalan kontrasepsi adalah kasus terjadinya kehamilan pada


akseptor aktif yang pada saat tersebut menggunakan metode
kontrasepsi. Kegagalan kontrasepsi ini dapat diakibatkan karena
kegagalan metode kontrasepsi itu sendiri atau karena ketidakpatuhan
dan ketidaksempurnaan akseptor dalam memakai kontrasepsi. Dari
data rutin Kementerian Kesehatan Tahun 2012 didapatkan persentase
kegagalan kontrasepsi di Indonesia sebesar 0,006 persen. Namun
dengan persentase kecil ini memberikan pengaruh besar terhadap
terjadinya kehamilan tidak diinginkan. Pada pasangan yang pernah
menggunakan kontrasepsi dan mengalami kehamilan tidak diinginkan
mungkin disebabkan ketidak berlangsungan pemakaian (drop out)
penggunaan kontrasepsi modern yang mereka pakai.12

Komplikasi kehamilan berhubungan dengan kejadian kehamilan tidak


diinginkan. Ibu yang mengalami kehamilan dengan komplikasi lebih
memungkinkan mengalami kehamilan tidak diinginkan dibanding
dengan ibu tanpa komplikasi. Penelitian di Iran menunjukkan bahwa
komplikasi kehamilan berhubungan dengan kejadian kehamilan tidak
diinginkan. Pada kehamilan dengan komplikasi hal ini akan membuat
ibu lebih merasa depresi. Secara fisiologis, pada saat kehamilan akan
terjadi perubahan hormon yang membuat perasaan ibu lebih sensitif.
Pada kehamilan dengan penyulit juga akan berlangsung lebih berat
dibanding dengan kehamilan tanpa penyulit. Hal ini akan menambah
beban psikologis ibu pada kehamilan dengan penyulit sehingga
membuat kehamilan menjadi tidak diinginkan. Kehamilan tidak
diinginkan sendiri juga berdampak pada komplikasi kehamilan ibu.
Komplikasi kehamilan dapat meliputi mual muntah berlebih
(hyperemesis gravidarum), preeclampsia, perdarahan serta penyakit
yang dapat diinduksi oleh kehamilan antara lain gangguan kejiwaan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hyperemesis gravidarum
merupakan upaya bawah sadar ibu sebagai bentuk penolakan terhadap
kehamilan yang dialami. Pada kehamilan tidak diinginkan juga
berhubungan dengan ketidakcukupan pelayanan antenatal care yang
dapat berdampak pada meningkatnya morbiditas dan mortalitas ibu
dan bayi baik selama kehamilan maupun setelah melahirkan.11

5.2 Ketuban Pecah Dini (KPD)

5.2.1 Definisi KPD


Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput sebelum terdapat tanda-
tanda persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu terjadi
pada pembukaan <4 cm yang dapat usia kehamilan cukup waktu atau
kurang waktu.9

Ketuban pecah dini (KPD) atau ketuban pecah sebelum waktunya


(KPSW) atau ketuban pecah prematur (KPP) adalah keluarnya cairan
dari jalan lahir lahir/vagina sebelum proses persalinan atau pecahnya
membran khorio-aminiotik sebelum mulainya persalinan atau disebut
juga premature rupture of membran/prelabour rupture of
membran/PROM.12

5.2.2 Etiologi

Penyebab dari faktor predisposisi KPD masih belum diketahui dan


tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan
faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD. Namun faktor-
faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Kemungkinan yang
menjadi faktor predisposisi adalah :9

a. Infeksi ‘

Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun


asenderen dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa
meneybabkan terjadinya KPD. Seviks yang inkompetensia, kanalis
servikal yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada serviks uteri
(akibat persalinan, curetage). Tekanan intra uterian yang meninggi
atau meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya
trauma, hidramnion, gemeli. Trauma oleh beberapa ahli disepakati
sebagai beberapa faktor presdisisi atau penyebab terjadinya KPD.
Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan
dalam, maupun amnosintesis menyebabkan terjadinya KPD karena
biasanya disertai infeksi. Kelainan letak, misalnya sungsang,
sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas
panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap
membrane bagian bawah.

b. Keadaan sosial ekonomi faktor lain


c. Faktor golongan darah, akibat golongan darah ibu dan anak
yang tidak sesuai dapat menimbulkan kelemahan bawaan
termasuk kelemahan jaringan kulit ketuban
d. Faktor disproporsi anatara kepala janin dan dipanggul ibu
e. Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum.
f. Defisiensi gizi dari tembaga atau asaman askorbat (vitamin c)

Pada sebagaian kasus, penyebabnya belum dtemukan. Faktor yang


disebutkan memiliki kaitan dengan KPD yaitu riwayat kehamilan
premature, merokok, dan perdarahan selama kehamilan.
5.2.3 Patofisiologi

Ketuban pecah dini biasanya terjadi karena berkurangnya kekuatan


membrane atau penambahan tekanan intauteri ataupun oleh sebab
kedua duanya. Kemungkinan tekanan intauteri yang kuat adalah
penyebab independen dari ketuban pecah dini dan selaput ketuban
yang tidak kuat akibat kurangnya jaringan ikat dan vaskularisis akan
mudah pecah dengan mengeluarkan air ketuban.13

Menurut Taylor dkk. Terjadinya ketuban pecah dini ternyata ada


hubunganntya dengan hal-hal berikut :13
a. Adanya hipermotilitas rahim yang sudah lama terjadi sebelum ketuban
pecah.
b. Penyakit-penyakit seperti pielonefritis, sistitis,servitis dan vaginitis
c. Selaput ketuban terlalu tipis (kelainan ketuban)
d. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis)
e. Faktor lain yang merupakan presdiposisi ialah multipara, malposis,
dispropsisi, servix inkompeten dan lain-lain.
f. Ketuban pecah dini articial (amniotomi), dimana ketuban
dipecahkan terlalu dini.

5.2.4 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes


melalui vagina. Aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau
amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes,
dengan ciri pucat dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak akan
berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran. Tetpai
bila anda duduk atau berdiri, krpala janin sudah terletak sibawah
biasanya mengganjal atau menyumbat kebocoran untuk sementara.
Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin
bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi.12
5.2.5 Komplikasi
Pengaruh ketuban pecah dini terhadap ibu dan janin adalah sebagai
berikut:13
a. Prognosis ibu
o Infeksi intrspartal/dalam persalinan. Jika terjadi infeksi dan
kontraksi saat ketuban pecah, dapat menyebabkan sepsis yang
selanjutkan dapat mengakibatkan meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas.
o Infeksi puerpuralis/ masa nifas
o Partus lama/dry labour
o Perdarahan postpartum
o Meningkatkan tindakan operatif obstetri (khususnya SC)
o Morbiditas dan mortalitas materal

b. Prognosis janin
o Prematuritas
Masalah yang dapat terjadi pada persalinan prmatur
diantaranya respiratory distress sindrome, hipotermia,
gangguan makan neonatus, retinopathy of prematurity,
perdarahan intraventrikular, necrotizing enterocolitis,
gangguan otak, resiko cerebral palsy, hiperbilirubinema,
anemia, sepsis.
o Prolaps funiculli/penurunan tali pusat
o Hipoksia dan asfiksia sekunder (kekurangan oksigen pada
bayi).
Menyebabkan kompresitali pusat, prolaps uteri, dry
labour/partus lama, skor APGAR rendah, ensefalopati, cerebral
palsy, perdarahan intakranial, gagal ginjal, distress pernapasan.
o Morbiditas dan mortalitas perinatal (fadlun, 2011).
Semua ibu hamil dengan KPD prrmatur dapat kemungkinan
terjadinya karioamnionitis (radang pada korion dan amnion).
Resiko kecacatan dan kematian janin meningkatkan pada KPD
preterm.

5.2.6 Cara Menentukan KPD


Menurut Prawirohardjo cara menentukan terjadinya KPD dengan :14
a. Memeriksa adanya cairan yang berisi mekoneum,verniks kaseosa,
rambut lanugo atau bila telah terinfeksi berbau
b. Inspekulo: lihat dan perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari
kanalis serviks dan apakah ada bagian yang sudah pecah
c. Gunakan kertas lakmus (litmus) : bila menjadi biru (basa) berarti air
ketuban, bila menjadi merah (merah) berarti air kemih (urine)
d. Pemeriksaan pH forniks posterior pada KPD pH adalah basa (air
ketuban)
e. Pemeriksaan histopatologi air ketuban

5.2.7 Diagnosis
Penegakkan diagnosis adalah sebagai berikut : bila air ketuban banyak dan
mengandung mekonium verniks maka diagnosis dengan inspeksi mudah
ditegakkan, tapi bila cairan keuar sedikit maka diagnosis harus ditegakkan
pada : 15
a. Anamnesa : kapan keluar cairan, warna, bau, adakah partikel-partikel di
dalam cairan (lanugo serviks)
b. Inpeksi : bila fundus di tekan atau bagian terendah digoyangkan, keluar
cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada forniks posterior
c. Periksa dalam : ada cairan dalam vagina dan selaput ketuban sudah
tidak ada lagi
d. Pemeriksaan laboratorium : Kertas lakmus : reaksi basa (lakmus merah
berubah menjadi biru ), Mikroskopik: tampak lanugo, verniks
kaseosa(tidak selalu dikerjakan )
e. Pemeriksaan penunjang pada kasus ketuban pecah dini meliputi
pemeriksaan leukosit/ WBC (bila >15.000/ml) kemungkinan telah
terjadi infeksi. Ultrasonografi (sangat membantu dalam menentukan
usia kehamilan, letak atau presentasi janin, berat janin, letak dan gradasi
plasenta serta jumlah air ketuban), dan monitor bunyi jantung janin
dengan fetoskop Laennec atau Doppler atau dengan melakukan
pemeriksaan kardiotokografi ( bila usia kehamilan >32 minggu).15

5.2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan ketuban pecah dini dibagi menjadi pada kehamilan aterm,


kehamilan pretem, ketuban pecah dini yang dilakukan induksi, dan ketuban
pecah dini yang sudah inpartu.15

a. Ketuban pecah dengan kehamilan aterm


Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm yaitu : diberi antibiotika,
Observasi suhu rektal tidak meningkat, ditunggu 24 jam, bila belum ada
tanda-tanda inpartu dilakukan terminasi. Bila saat datang sudah lebih
dari 24 jam, tidak ada tanda-tanda inpartu dilakukan terminasi
b. Ketuban pecah dini dengan kehamilan prematur Penatalaksanaan KPD
pada kehamilan aterm yaitu EFW (Estimate Fetal Weight) < 1500 gram
yaitu pemberian Ampicilin 1 gram/ hari tiap 6 jam, IM/ IV selama 2
hari dan gentamycine 60-80 mg tiap 8-12 jam sehari selama 2 hari,
pemberian Kortikosteroid untuk merangsang maturasi paru
(betamethasone 12 mg, IV, 2x selang 24 jam), melakukan Observasi
2x24 jam kalau belum inpartu segera terminasi, melakukan Observasi
suhu rektal tiap 3 jam bila ada kecenderungan meningkat > 37,6°C
segera terminasi EFW (Estimate Fetal Weight) > 1500 gram yaitu
melakukan Observasi 2x24 jam, melakukan Observasi suhu rectal tiap 3
jam, Pemberian antibiotika/kortikosteroid, pemberian Ampicilline 1
gram/hari tiap 6 jam, IM/IV selama 2 hari dan Gentamycine 60-80 mg
tiap 8-12 jam sehari selama 2 hari, pemberian Kortikosteroid untuk
merangsang meturasi paru (betamethasone 12 mg, IV, 2x selang 24 jam
), melakukan VT selama observasi tidak dilakukan, kecuali ada
his/inpartu, Bila suhu rektal meningkat >37,6°C segera terminasi, Bila
2x24 jam cairan tidak keluar, USG: bagaimana jumlah air ketuban :
Bila jumlah air ketuban cukup, kehamilan dilanjutkan, perawatan
ruangan sampai dengan 5 hari, Bila jumlah air ketuban minimal segera
terminasi. Bila 2x24 jam cairan ketuban masih tetap keluar segera
terminasi, Bila konservatif sebelum pulang penderita diberi nasehat :
Segera kembali ke RS bila ada tanda-tanda demam atau keluar cairan
lagi, Tidak boleh coitus, Tidak boleh manipulasi digital.

5.3 Dermatitis Atopi

Selama kehamilan ibu hamil mengalami fluktuasi hormonal yang dapat


menyebabkan perubahan kulit. Perubahan dan gejala pada kulit yang
terjadi pada ibu hamil, antara lain hiperpigmentasi, melasma, linea nigra,
stretch marks, varises, dan pruritus. Pruritus adalah sensasi tidak nyaman
pada kulit yang menimbulkan keinginan untuk menggaruk.

Pada kehamilan, pruritus erat dikaitkan dengan berbagai kondisi yang


berhubungan dengan kehamilan dan juga tidak berhubungan dengan
kehamilan. Kondisi pruritus yang berhubungan dengan kehamilan, yaitu
pemphigoid gestationis, Polimorphic Eruption of Pregnancy (PEP),
Intrahepatic Cholestasis of Pregnancy (ICP), Atopic Eruption of
Pregnancy (AEP).

Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi yang bersifat kronik


residif disertai rasa gatal yang hebat serta eksaserbasi kronik dan remisi,
dengan etiologi yang multifaktorial. Penyakit ini biasanya dihubungkan
dengan penyakit alergi lain seperti asma bronkial dan rhinokonjungtivitis
alergi.16

5.3.1 Etiologi dan Patogenesis

Etiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan


patogenesisnya sangat komplek ,tetapi terdapat beberapa faktor
yang dianggap berperan sebagai faktor pencetus kelainan ini
misalnya faktor genetik,imunologik,lingkungan dan gaya hidup,
dan psikologi.16,17,18

a. Faktor genetik

Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada penderita


yang mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya.
Kromosom 5q31-33 mengandung kumpulan familygen
sitokin IL-3, IL-4, IL-13, dan GM-CSF, yang diekspresikan
oleh sel TH2.

Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan penting dalam


ekspresi dermatitis atopik. Perbedaan genetik aktivitas
transkripsi gen IL-4 mempengaruhi presdiposisi dermatitis
atopik.Ada hubungan yang erat antara polimorfisme spesifik
gen kimase sel mas dengan dermatitis atopik, tetapi tidak
dengan asma bronkial atau rhinitis alergik.

Sejumlah bukti menunjukkan bahwa kelainan atopik lebih


banyak diturunkan dari garis keturunan ibu daripada garis
keturunan ayah. Sejumlah survey berbasis populasi
menunjukkan bahwa resiko anak yang memiliki atopik lebih
besar ketika ibunya memiliki atopik, daripada ayahnya.
Darah tali pusat IgE cukup tinggi pada bayi yang ibunya
atopik atau memiliki IgE yang tinggi, sedangkan atopik
paternal atau IgE yang meningkat tidak berhubungan dengan
kenaikan darah tali pusat IgE.

b. Faktor imunologi

Konsep dasar terjadinya dermatitis atopik adalah melalui


reaksi imunologik, yang diperantai oleh sel-sel yang berasal
dari sumsum tulang. Beberapa parameter imunologi dapat
diketemukan pada dermatitis atopik, seperti kadar IgE dalam
serum penderita pada 60-80% kasus meningkat, adanya IgE
spesifik terhadap bermacam aerolergen dan eosinofilia darah
serta diketemukannya molekul IgE pada permukaan sel
langerhans epidermal.Terbukti bahwa ada hubungan secara
sistemik antara dermatitis atopik dan alergi saluran napas,
karena 80% anak dengan dermatitis atopik mengalami asma
bronkial atau rhinitis alergik.

Pada individu yang normal terdapat keseimbangan sel T


seperti Th1, Th 2, Th 17, sedangkan pada penderita
dermatitis atopik terjadi ketidakseimbangan sel T. Sitokin
Th2 jumlahnya lebih dominan dibandingkan Th1 yang
menurun.Hal ini menyebabkan produksi dari sitokin Th 2
seperti interleukin IL-4, IL-5, dan IL-13 ditemukan lebih
banyak diekspresikan oleh sel-sel sehingga terjadi
peningkatan IgE dari sel plasma dan penurunan kadar
interferon-gamma.Dermatitis atopik akut berhubungan
dengan produksi sitokin tipe Th2, IL-4 dan IL-13, yang
membantu immunoglobulin tipe isq berubah menjadi sintesa
IgE, dan menambah ekspresi molekul adhesi pada sel-sel
endotel. Sebaliknya, IL-5 berperan dalam perkembangan dan
ketahanan eosinofil, dan mendominasi dermatitis atopik
kronis.

Imunopatogenesis dermatitis atopik dimulai dengan paparan


imunogen atau alergen dari luar yang mencapai kulit. Pada
paparan pertama terjadi sensitisasi, dimana alergen akan
ditangkap oleh antigen presenting cell untuk kemudian
disajikan kepada sel limfosit T untuk kemudian diproses dan
disajikan kepada sel limfosit T dengan bantuan molekul
MHC kelas II. Hal ini menyebabkan sel T menjadi aktif dan
mengenai alergen tersebut melalui T cell reseptor. Setelah
paparan, sel T akan berdeferensiasi menjadi subpopulasi sel
Th2 karena mensekresi IL-4 dan sitokin ini merangsang
aktivitas sel B untuk menjadi sel plasma dan memproduksi
IgE. Setelah ada di sirkulasi IgE segera berikatan dengan sel
mast dan basofil.Pada paparan alergen berikutnya IgE telah
bersedia pada permukaan sel mast, sehingga terjadi ikatan
antara alergen dengan IgE.Ikatan ini akan menyebabkan
degranulasi sel mast.Degranulasi sel mast akan
mengeluarkan mediator baik yang telah tersedia seperti
histamine yang akan menyebabkan reaksi segera, ataupun
mediator baru yang dibentuk seperti leukotrien C4,
prostaglandin D2dan lain sebagainya.

Sel langerhans epidermal berperan penting pula dalam


pathogenesis dermatitis atopik oleh karena mengekspresikan
reseptor pada permukaan membrannya yang dapat mengikat
molekul IgE serta mensekresi berbagai sitokin.

Inflamasi kulit atopik dikendalikan oleh ekspresi lokal dari


sitokin dan kemokin pro-inflamatori. Sitokin seperti Faktor
Tumor Nekrosis (TNF-α ) dan interleukin 1 (IL-1) dari sel-
sel residen seperti keratinosit, sel mast, sel dendritik
mengikat reseptor pada endotel vaskular, mengaktifkan jalur
sinyal seluler yang mengarah kepada peningkatan pelekatan
molekul sel endotel vaskular. Peristiwa ini menimbulkan
proses pengikatan, aktivasi dan pelekatan pada endotel
vaskular yang diikuti oleh ekstravasasi sel yang meradang ke
atas kulit. Sekali sel- sel yang inflamasi telah infiltrasi ke
kulit, sel-sel tersebut akan merespon kenaikan kemotaktik
yang ditimbulkan oleh kemokin yang diakibatkan oleh
daerah yang luka atau infeksi.
Penderita dermatitis atopik cenderung mudah terinfeksi oleh
bakteri, virus, dan jamur, karena imunitas seluler menurun
(aktivitas TH1 menurun). Staphylococcus aureus ditemukan
lebih dari 90% pada kulit penderita dermatitis atopik,
sedangkan orang normal hanya 5%. Bakteri ini membentuk
koloni pada kulit penderita dermatitis atopik, dan eksotosin
ikelu
yang d arkannya merupakan superantigen yang diduga
memiliki peran patogenik dengan cara menstimulasi aktivitas
sel T dan makrofag. Apabila ada superantigen menembus
sawar kulit yang terganggu akan menginduksi IgE spesifik,
dan degranulasi sel mas, kejadian ini memicu siklus gatal
garuk yang akan menimbulkan lesi. Superantigen juga
meningkatkan sintesis IgE spesifik dan menginduksi
resistensi kortikosteroid, sehingga memperparah dermatitis
atopic.

c. Faktor lingkungan dan gaya hidup

Berbagai faktor lingkungan dan gaya hidup berpengaruh


terhadap pravelensi dermatitis atopik.Dermatitis atopik lebih
banyak ditemukan pada status sosial yang tinggi daripada
status sosial yang rendah.Penghasilan meningkat, pendidikan
ibu makin tinggi, migrasi dari desa ke kota dan jumlah
keluarga kecil berpotensi menaikkan jumlah penderita
dermatitis atopik.

Faktor-faktor lingkungan seperti polutan dan alergen-alergen


mungkin memicu reaksi atopik pada individu yang rentan.
Paparan polutan dan alergen tersebut adalah.18,19

1. Polutan

Asap rokok, peningkatan polusi udara, pemakaian


pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan
penurunan kelembaban udara, penggunaan pendingin
ruangan.

2. Alergen
- -Aeroalergen atau alergen inhalant : tungau debu rumah,
serbuk sari buah, bulu binatang, jamur kecoa
- -Makanan: susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan
gandum
- -Mikroorganisme: Staphylococcus aureus,
Streptococcus sp, P.ovale, Candida
albicans,Trycophyton sp.
- -Bahan iritan: wool, desinfektans, nikel, peru balsam.

3. Faktor Psikologi

Pada penderita dermatitis atopik sering tipe astenik,


egois, frustasi, merasa tidak aman yang mengakibatkan
timbulnya rasa gatal. Namun demikian teori ini masih
belum jelas.

5.3.2 Gambaran Klinis

Gejala klinis dan perjalanan dermatitis atopik sangat bervariasi,


membentuk sindrom manifestasi diatesis atopi. Gejala utama
dermatitis atopik ialah pruritus,dapat hilang timbul sepanjang
hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari.Akibatnya,
penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam
kelainan kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, eksoriasi,
eksudasi, dan krusta. Kulit penderita dermatitis atopik umumnya
kering, pucat atau redup, kadar lipid di epidermis berkurang, dan
kehilangan air lewat epidermis meningkat.20

Lesi akut pada dermatitis atopik berupa eritema dengan papul,


vesikel, edema yang luas dan luka akibat menggaruk.Sedangkan
pada stadium kronik berupa penebalan kulit atau yang disebut
likenifikasi.Selain itu, dapat terjadi fisura yang nyeri terutama
pada fleksor,telapak tangan,jari dan telapak kaki.Pada orang
berkulit hitam atau coklat dapat ditemukan likenifikasi
folikular.20

5.3.3 Diagnosis

Diagnosis dermatitis atopik berdasarkan keluhan dan gambaran


klinis.Pada awalnya diagnosis dermatitis atopik didasarkan atas
berbagai fenomena klinis yang tampak, terutama gejala
gatal.George Rajka menyatakan bahwa diagnosis dermatitis
atopik tidak dapat dibuat tanpa adanya riwayat gatal.17,21

Hanifin Rajka telah membuat kriteria diagnosis untuk dermatitis


atopik yang didasarkan pada kriteria mayor dan minor yang
sampai sekarang masih banyak digunakan.21

Kriteria mayor dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka
didasarkan pengalaman klinis yang cocok untuk diagnosis
berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental,tetapi
tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis populasi karena
kriteria minor umumnya ditemukan pada kelompok kontrol,
disamping itu belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau
diuji untuk pengulangan (repeatability).

Dalam perkembangan selanjutnya seiring dengan kemajuan di


bidang imunologi maka untuk diagnosis dermatitis atopik mulai
dimasukkan uji alergi sebagai kriteria diagnosis. Pemeriksaan
atau uji alergik tersebut adalah uji tusuk (skin pricktest)terhadap
bahan alergen inhalan dan pemeriksaan IgE total didalam serum
penderita.19

Uji tusuk merupakan suatu metode uji alergi yang banyak


digunakan untuk mendeteksi alergen yang melibatkan reaksi
hipersensivitas tipe I pada kulit. Pada reaksi hipersesivitas tipe I
alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun
berupa produksi IgE. IgE akan terikat pada reseptor Fc sel
mast dikulit yang selanjutnya menyebabkan degranulasi sel
mast.18

5.3.4 Diagnosa Banding

Terdapat sejumlah penyakit kulit inflamasi, imunodefisiensi,


penyakit genetik, penyakit infeksi, dan infestasi yang mempunyai
gejala dan tanda yang sama dengan dermatitis atopik.Dermatitis
atopik didiagnosis banding dengan dermatitis seboroik, dermatitis
kontak, dermatitis numularis, skabies, iktiosis, psoriasis,
dematitis herpetiformis, sindrom Sezary danpenyakit Letterer-
Siwe. Pada bayi, dapat pula didiagnosis banding dengan sindrom
Wiskott-Aldrich dan sindrom hiper IgE.20
5.3.5 Penatalaksanaan Umum

Penatalaksanaan dermatitis atopik harus mengacu pada kelainan


dasar , selain mengobati gejala utama gatal untuk meringankan
penderitaan penderita.Penatalaksanaan ditekankan padakontrol
jangka waktu lama (long term control), bukan hanyauntuk
mengatasi kekambuhan.19,20,21

Pengobatan topical dermatitis atopik kronik pada prinsipnya adalah


sebagai berikut:

a. Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)

Kulit penderita dermatitis atopik menunjukkan adanya


transepidermal water loss yang meningkat.Oleh karena itu
hidrasi penting dalam keberhasilan terapi, biasanya
menggunakan pelembab.Pemaikan pelembab dapat
memperbaiki fungsi barier stratum korneum dan
mengurangi kebutuhan steroid topikal. Sebuah studi
menunjukkan bahwa pelembab mungkin mengurangi 50%
kebutuhan pemakaian kortikosteroid topical.

Pelembab dapat dibedakan menjadi tiga yaitu pelembab


humektan, oklusif , dan emolien. Pelembab humektan
merupakan bahan aktif dalam komestik yang ditujukan
untuk meningkatkan kandungan air pada epidermis. Bahan-
bahan yang termasuk ke dalam humektan terutama bahan-
bahan yang bersifat higroskopis yang dapat digunakan
secara khusus untuk tujuan melembabkan kulit, contoh
humektan adalah gliserin. Pelembab oklusif adalah bahan
aktif kosmetik yang menghambat terjadinya penguapan air
dari permukaan kulit. Dengan menghambat terjadinya
penguapan air pada permukaan kulit, bahan-bahan oklusif
dapat meningkatkan kandungan air dalam kulit. Contoh
oklusif adalah petrolatum.Pelembab yang digunakan bisa
berbentuk cairan, krim atau salep.Misalnya krim hidrofilik
urea 10%, dapat pula ditambahkan hidrokortison 1%
didalamnya.Bila memakai pelembab yang mengandung
asam laktat, konsentrasinya jangan lebih dari 5% karena
dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif.

b. Kortikosteroid topikal

Kortikosteroid topikal adalah yang paling banyak


digunakan sebagai anti inflamasi.Selain itu dapat berguna
pada saat ekserbasi akut, anti pruritus dan sebagai anti
mitotik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hoare C,
dkk menggunakan kortikosteroid topikal pada 83 pasien
dermatitis atopik dengan menggunakan simple randomized
control trialshasil dari penggunaan kortikosteroid topikal
kurang dari satu bulan 80% menunjukkan pemulihan sangat
baik.

Pada prinsipnya penggunaan steroid topikal dipilih potensi


yang paling lemah yang masih efektif, karena semakin kuat
potensi semakin banyak efek sampingnya.Potensi dari
kortikosteroid topikal diklasifikasikan berdasarkan potensi
vasokontriksi pembuluh darah.

Group 1 Group 2 Grup 3 Grup 4

Potensi Rendah Potensi Sedang Potensi Tinggi Poten sangat


tinggi
Alcometasone Betametason Beklometason Clobetasol

dipropionate 0,05% valerat 0,025% dipropionat propionate 0,05%

(Modrason) 0,025% (Dermovat)

(Propaderm)

Fluocinolone Klobetason butirat Betametason Diflukortolon

acetonide 0,0025% 0,05% (Eumovat) dipropionat 0,05% valerat 0,3%

(Synalar 1:10) (Diproson) (Nerison forte)

Hidrokortison 0,5- Desosimetason Desosimetason Halcinonide

2,5% (Cobadex, 0,05% (Stiedex 0,25% (Stiedex) 0,1%

Dioderm, Efcortelan, LP) (Halsiderm)

E45 HC, Hidro)

Fluosinolon Diflukortolon

asetonid 0,00625% valerat 0,1%

(Synalar 1:4) (Nerison)

Pada bayi digunakan kortikosteroid topikal potensi rendah,


misalnya hidrokortison 1-2,5%.Pada anak dan dewasa
dipakai steroid potensi menengah, misalnya triamsinolon,
kecuali pada muka diberikan steroid yang berpotensilebih
rendah.Pada daerah genitalia dan intertriginosa juga
digunakan kortikosteroid topikal yang berpotensi rendah
jangan digunakan yang berpotensi tinggi seperti
Fluorinated glukokortikoid.Bila aktivasi penyakit telah
dikontrol dipakai secara intermiten, umumnya 2 kali
seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh
sebaiknya dengan kortikosteroid yang potensinya paling
rendah.
c. Preparat tar

Walaupun tidak sekuat kortikosteroid topikal Preparat tar


batubara mempunyai efek anti-gatal dan anti-inflamasi.
Preparat tar sebaiknya dipakai pada lesi kronik tidak
digunakan pada lesi akutkarena dapat menyebabkan iritasi.
Efek sampingnya antaralain folikulitis, fotosensitivitas, dan
potensi karsinogenik.

d. Inhibitor kalsineurin topikal

Inhibitor kalsineurin topikal merupakan non-steroidal agen


yang bekerja melalui jalur immunologik baik menghambat
atau meningkatkan reaksi imun dan inflamasi. Inhibitor
kalsineurin topikal terdiri atas takrolimus dan
pimekrolimus. Takrolimus (FK-506) adalah suatu
penghambat kalsineurin yang bekerja untuk menghambat
aktivasi sel yang terlibat seperti sel langerhans, sel T, sel
mas dan keratinosit. Takrolimus dapat diberikan dalam
bentuk salep 0.03% untuk anak-anak 2-15 tahun dan untuk
dewasa 0.03% dan 0.1%. Sedangkan pimekrolimus (ASM
81) merupakan suatu senyawa askomisin yaitu
imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama
ditemukan dari hasil fermentasi Streptomyces
hygroscopicusvar.Krim pimekrolimus dapat diberikan 1%
untuk anak-anak > 2 tahun dengan dermatitis atopik ringan
sedang.

Takrolimus dan pimekrolimus topikal telah terbukti efektif.


Sebuah penelitian dengan takrolimus 0,1%, dikatakan
mempunyai potensi yang sama dengan kortikosteroid
topikal. Penelitian lain menunjukkan terapi takrolimus
topikal memberi hasil lebih dari 70% pasien mengalami
perbaikan sedang sampai baik dalam 3 minggu pemberian
dan 30-40% pasien mengalami tingkat perbaikan lebih dari
90%.

Kelebihan inhibitor kalsineurin topikal dibandingkan


dengan kortikosteroid adalah tidak menyebabkan penipisan
kulit, namun pada penggunaan awal akan menimbulkan
sensasi terbakar di kuli. Takrolimus dan pimekrolimus
tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun.
e. Pemberian antihistamin

Antihistamin digunakan sebagai antipruritus yang cukup


memuaskan, membantu untuk mengurangi rasa gatal yang
hebat terutama pada malam hari. Karena dapat
mengganggu tidur, antihistamin yang dipakai ialah yang
mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin,
difenhidramin dan sinequan. cetrizine dan fexofenadine
telah diuji keberhasilannya untuk mengatasi rasa gatal pada
penderita dermatitis atopik anak-anak dan dewasa. Pada
kasus yang lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorid
yang mempunyai antidepresan dan memblokade reseptor
histamine H1 dan H2, dengan dosis 10-75mg secara oral
malam hari pada dewasa.

Pada suatu penelitian menyatakan bahwa penggunaan


antihistamin mempunyai bukti yang tidak adekuat untuk
terapi dermatitis atopik, meskipun anti histamin dianjurkan
karena memiliki efek sedatif

f. .Pemberian antibiotik

Pada penderita dermatitis atopik lebih dari 90% ditemukan


peningkatan koloni Staphylococcus aureus.Untuk yang
belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau
klaritomisin, sedang untuk yang sudah resisten diberikan
dikloksasilin, oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin.
Apabila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks,
kortikosteroid dihentikan sementara dan diberikan oral
asiklovir.

Meskipun kombinasi kortikosteroid topikal dan antibiotik


digunakan dalam terapi dermatitis atopik, tetapi tidak ada
bukti yang baik bahwa kombinasi keduanya memiliki
manfaat yang lebih dibandingkan pemakaiankortikosteroid
topikal saja.

g. Kortikosteroid Sistemik

Pada umumnya kortikosteroid sistemik hanya digunakan


untuk mengontrol eksaserbasi akut. Penggunaannya hanya
dalam jangka pendek, dosis rendah, berselang-seling,
diturunkan bertahap dan kemudian diganti kortikosteroid
topical.

h. Siklosporin

Dermatitis atopik yang sulit digunakan dengan pengobatan


konvesional dapat diberikan siklosporin jangka pendek.
Siklosporin oral sebagai terapi sistemik dermatitis atopik
tersedia dalam bentuk kapsul gelatin 25 atau 100 mg,
durasi terapi singkat, namun penggunaan lebih dari setahun
tidak dianjurkan. Relaps dan rekurensi sering terjadi setelah
penghentian terapi siklosporin.
BAB VI
KESIMPULAN

Pasien usia 43 tahun dengan G6P5A0 hamil 38 minggu dengan keluhan keluar
air-air dari jalan lahir sejak 7 jam SMRS dan gatal dan perih pada wajah, leher,
lipatan ketiak, dada, perut, selangkang dan kaki yang memberat sejak 2 minggu
SMRS. Pasien tidak pernah melakukan pemeriksaan USG selama kehamilan,
hanya melakukan ANC di bidan setempat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
TFU 33 c, DJJ 138x/menit, His (-), portio tebal, pembukaan 2cm, discharge (-),
perdarahan aktif pervaginam (-), HI. Status dermatologis didapatkan regio
facialis, trunkus, manus dan pedis terdapat plak dengan dasar eritem basah disertai
krusta diatasnya berukuran lentikuler-plakat tersebar diskret hingga konfluens
disertai eksoriasi. Pasien terdiagnosis G6P5A0 Multigravida tua hamil 38 minggu
dengan KPD 7 jam JTH preskep dengan Dermatitis Atopi. Pasien direncanakan
SC+ MOW serta mendapatkan tatalaksana kulit berupa Cetirizine 10mg tablet
1x1, Cream Topicare + Digenta dioles 2 kali sehari. Kehamilan >35 tahun pada
pasien termasuk kehamilan resiko tinggi dengan penyulit KPD akibat factor resiko
multipara dengan usia > 35 tahun akibat berkurangnya kekuatan otot uterus dan
abdomen, sehingga pada pasien direncanakan SC sekaligus melakukan MOW
untuk menghentikan kehamilan. Pada pasien juga terjadi dermatitis atopi akibat
perubahan kadar hormone estrogen yang meningkat. Berdasarkan diagnosis dan
tatalaksana yang sudah diberikan pada pasien prognosis pada pasien adalah dubia
ad bonam.
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. 2017. Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi di Dunia.
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatanindonesia/profil-kesehatan-indonesia-2016.pdf (diakses pada
tanggal 30 November 2021)
2. Kementerian Kesehatan RI. 2015. Kesehatan dalam Kerangka Sistainable
Development Goals. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI
3. Depkes RI. 2010. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Dep. Kes RI
4. Depkes, R.I. 2010. Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Jakarta: Depkes
RI dan JICA
5. Manuaba, Ida Bagus Gede. 2013. Ilmu kebidanan, Penyakit Kandungan,
dan KB. Jakarta: EGC
6. Prawirohardjo Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono
7. Tandu-Umba, B., Mbangama, M.A., Brunel, K.M., Kamongola., Kamgang
A.G., Tchawou., Perthus. M., Kivuidi., Munene, S.K., Meke, I.K.,
Kabasele, O.K., Kondoli, B.J., Kikuni, K.R., Kuzungu, S.K. 2014. Pre-
pregnancy high-risk factors at first antenatal visit: how predictive are these
of pregnancy outcomes. International Journal of Women’s Health, vol. 6,
hlm. 1011 – 1018
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia ( Depkes ). 2010. Komplikasi
Kehamilan
9. Manuaba I.A.C.,I.B.G Fajar M., dan I.B.G Manuaba, (2012). Ilmu
Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB untuk Pendidikan Bidan edisi 2.
Jakarta:EGC
10. Hartanto, H. (2012). Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
11. Susilo. (2006). Kehamilan Tidak iinginkan (KTD) . Jakarta: PT
12. Endang S, Lisa D. 2010. Gambaran karakteristik ibu bersalin dengan
ketuban pecah dini di Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang tahun
2009. [Diakses 4 Desember 2021]. Available from:
https://ejurnal.akbidpantiwilasa.ac.id/index.php/kebidanan/article/
viewFile/3/2
13. Sualman K. Penatalaksanaan ketuban pecah dini. [online] 2009.[Diakses 4
Desember 2021]. 2019. Available from http://www.medicalstore.com
14. Prawirohardjo Sarwono, (2009). Ilmu kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka
15. Saifuddin AB. Ketuban pecah dini, ekstraksi vakum. In: Buku Acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal (1st ed). Jakarta:
JNPKKRPOGI, 2002; 218-20.
16. Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopic Dermatitis. In:
Goldsmith LA, Katz LI, Gilchrest BA, Paleer AS, Leffell DJ, Wolff K,
editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine (Eight Edition).
New York: McGraw Hill Companies; 2008: p. 146- 58.
17. Ou LS, Leung DYM. Advances in atopic dermatitis. Chang Gung Med J.
2005;28:1-8.
18. Sularsito SA, Djuanda A. Dermatitis. In: Hamzah M, Aisah S, editors.
2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (Edisi ke5). Jakarta: FKUI; p.129-
58.
19. Turner JD, Schwartz RA.2006. Atopic dermatitis a clinical chalange. Acta
Dermatoven APA.;15:59-67.
20. Remitz A, Reitamo S. 2008. The clinical manifestations of atopic
dermatitis. In: Reitamo S, Luger TA, Steinhoff M, editors. Textbook of
Atopic Dermatitis. London: Informa UK Ltd; p.1-12.
21. Gimenez JC. 2000. Atopic dermatitis. Alergol Immunol Clin.;15:279-95

Anda mungkin juga menyukai