Anda di halaman 1dari 8

JOURNAL READING

Outcomes in Patients with Hirschsprung


Disease Following Definitive Surgery

Disusun oleh:

Gilang Anugrah 1102012097

Qatrunnada Nadhifah 1102015184

Nahdira 1102015155

Pembimbing:

dr. Febian Aji Wicaksono, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN BEDAH

PERIODE 13 JULI – 9 AGUSTUS 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

2020
ABSTRAK
Objektif: Beberapa prosedur pull-through telah dijelaskan untuk penyakit
Hirschsprung (HSCR) dengan hasil yang bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan hasil pada pasien HSCR <18 tahun yang menjalani prosedur bedah
di Rumah Sakit Dr. Sardjito, Yogyakarta, Indonesia dari Januari 2013 hingga
Desember 2014.

Hasil: Penelitian ini menggunakan 67 pasien HSCR, 49 di antaranya (73%) adalah


laki-laki dan 18 (27%) perempuan. Presentasi neonatal terlihat pada 57 kasus (85%)
dan sebagian besar pasien (98,5%) HSCR pada segmen pendek. Manifestasi klinis
utamanya adalah distensi abdomen (94%) dan keterlambatan keluarnya mekonium
(45%). Perawatan definitif yang paling umum dilakukan adalah transanal
endorectal pull-through (TEPT) (54%), diikuti oleh Soave (18%) dan prosedur
Duhamel (13%). Enterocolitis terjadi pada 13% pasien HSCR setelah endorektal
pull-through, tetapi tidak mencapai tingkat yang signifikan ( p- nilai = 0,65),
sementara tingkat sembelit secara signifikan lebih tinggi pada pasien HSCR yang
menjalani neurektomi posterior dibandingkan dengan prosedur lain (OR = 15,5,
95% CI = 1,8132,5; p- nilai = 0,019). Sebagai kesimpulan, sebagian besar pasien
HSCR di Indonesia didiagnosis pada periode neonatal dan menjalani prosedur
TEPT. Selain itu, risiko sembelit meningkat pada pasien HSCR setelah neurektomi
posterior dibandingkan dengan teknik bedah definitif lainnya.

Kata kunci: Sembelit, Enterocolitis, penyakit Hirschsprung, operasi definitive

2
PENDAHULUAN
Penyakit Hirschsprung (HSCR), yang ditandai dengan tidak adanya sel-sel
ganglion (Meissnerr dan Auerbach) sepanjang variabel dari saluran pencernaan
bagian distal, merupakan penyebab umum dari obstruksi usus neonatal, yang sangat
menarik bagi ahli bedah anak sepanjang dunia. Gangguan ini dapat diklasifikasikan
sebagai berikut: (1) segmen pendek (aganglionosis terbatas pada kolon
rectosigmoid), (2) segmen panjang (segmen aganglionik meluas proksimal ke
sigmoid), dan (3) total kolon aganglionosis.
Manajemen HSCR saat ini adalah menghilangkan segmen aganglionik dari
usus. Beberapa operasi definitif telah ditetapkan untuk HSCR seperti
transabdominal endorectal pull-through (Soave), Duhamel, transanal endorektal
pull-through (TEPT), transanal Swenson-like, dan prosedur neurektomi posterior,
dengan hasil yang bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat konstipasi dan
radang usus, pada pasien HSCR setelah operasi definitif di Indonesia.

METODE

Pasien

Rekam medis secara histopatologis (Gambar 1) digunakan untuk mendiagnosis


pasien dengan HSCR di Rumah Sakit Dr. Sardjito, Indonesia dilakukan evaluasi
selama masa studi Januari 2013 dan Desember 2014. Untuk perhitungan insiden
HSCR hanya dilakukan di provinsi Yogyakarta. Studi ini disetujui oleh Dewan
Review Institutional, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan
Keperawatan, Universitas Gadjah Mada di RS Dr. Sardjito. Formulir persetujuan
tertulis telah diisi oleh semua orang tua sebelum berpartisipasi dalam penelitian ini.

3
Gambar 1. Temuan histopatologis biopsi rektal full-thickness pada pasien dengan penyakit
Hirschsprung (HSCR) menunjukkan batang saraf hipertrofik dan tidak ada sel ganglion (panah):
pewarnaan hematoxylin dan eosin (× 200), b S100 imunohistokimia (× 200)

Prosedur bedah defnitif

Teknik Soave, Duhamel, atau TEPT dilakukan di rumah sakit berdasarkan


penelitian sebelumnya, sedangkan metode neurektomi posterior telah dijelaskan
dalam laporan terbaru kami.

Konstipasi dan enterokolitis

Konstipasi dikelompokkan menurut Krickenbeck kategori, sedangkan diagnosis


enterocolitis ditentukan menggunakan sistem skor Delphi.

HASIL

Dalam penelitian ini, terdapat 67 pasien HSCR masing-masing 49 adalah pria dan
18 adalah wanita. Ini memberikan rasio pria-wanita 2,7: 1. Kasus HSCR baru dari
provinsi Yogyakarta pada 2013 adalah 14, sedangkan jumlah bayi baru lahir pada
tahun 2013 di provinsi Yogyakarta adalah 45.436. Karena itu, kejadiannya HSCR
di Yogyakarta, Indonesia berdasarkan data tahunan jumlah kasus dibagi dengan
jumlah tahunan bayi baru lahir sekitar 1: 3250. Semua pasien adalah HSCR
sporadis, kecuali satu, dengan tingkat aganglionosis sebagai berikut: segmen

4
pendek di 66 (98,5%) pasien, segmen panjang pada 1 (1,5%) pasien dan
aganglionosis kolon total tidak ada. Presentasi neonatal terlihat di 56 (84%) pasien,
sedangkan 5 (8%), 3 (4%), 2 (3%), dan 1 (1%) kasus disajikan masing-masing
sebagai bayi, balita, anak, dan remaja. Manifestasi klinisnya adalah terutama
distensi abdomen (94%) dan keterlambatan pengeluaran meconium (45%) (Tabel
1).

Tabel 1 Karakteristik klinis pasien dengan HSCR di Indonesia

Karakteristik Jumlah (%)


Jenis Kelamin
Pria 49 (71)
Wanita 18 (27)
Distribusi berdasakan usia
Neonatus 56 (84)
Bayi 5 (8)
Balita 3 (4)
Anak-anak 2 (3)
Remaja 1 (1)
Tipe ganglionosis
Segmen kecil 66 (98,5)
Segmen panjang 1 (1,5)
Total colonic ganglionosis 0
Manifestasi klinis
Distensi abdomen 63 (94)
Bagian mekonium tertunda (> 24 jam) 30 (45)

Operasi defnitif dilakukan pada 39 bayi, 28 menjalani kolostomi dan biopsi full-
thickness rektal. Semua kasus secara histopatologis terbukti sebagai HSCR sebelum
dilakukan operasi (Gbr. 1). Prosedur TEPT yang paling banyak dilakukan (54%),
diikuti oleh Soave (18%), dan Prosedur Duhamel (13%). Satu pasien menjalani

5
miektomi posterior, sedangkan neurektomi posterior dilakukan pada 13% pasien
HSCR. Enterocolitis terjadi pada 15% pasien HSCR, dengan tingkat tertinggi
(13%) setelah penarikan endorektal, tetapi tidak mencapai tingkat signifikan (p-
value = 0,65). Frekuensi konstipasi setelah operasi adalah 15%, dan kebanyakan
dari mereka (7,5%) menjalani neurektomi posterior (p-value = 0,019) (Tabel 2).
Selain itu, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kasus HSCR di Yogyakarta
dan HSCR provinsi lain dalam hal distribusi usia diagnosis, enterokolitis dan angka
konstipasi setelah operasi defnitif (p-value = 1,00, 0,68, dan 0,68, masing-masing)
(Tabel 2). Hal ini juga sebanding antara HSCR pria dan wanita pasien (masing-
masing p-value = 1,00, 0,70, 0,31, dan 0,09) (Tabel. 2)

Tabel 2. Prosedur bedah dan hasilnya pada pasien dengan HSCR di Indonesia

6
DISKUSI
Kejadian HSCR di Yogyakarta, Indonesia lebih tinggi daripada daerah lain,
bahkan dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya Ini mungkin berhubungan
dengan etnisitas struktur genetika Indonesia. Baru-baru ini, penelitian
menunjukkan bahwa Indonesia memiliki frekuensi tinggi RET rs2435357 yaitu alel
berisiko (0,50), yang lebih tinggi daripada individu keturunan Eropa dan Afrika
(0,25 vs 0,01). Riwayat keluarga telah dilaporkan pada ~ 40% kasus HSCR,
terutama dengan aganglionosis kolon total dan pada pasien wanita. Dalam
penelitian ini, hanya ada satu pasien dengan riwayat keluarga HSCR. Pasien dan
saudara kandung yang terkena adalah perempuan, tetapi disajikan dengan
aganglionosis segmen pendek. Mayoritas kasus HSCR dari penelitian ini
didiagnosis pada periode neonatal (85%), yang mirip dengan penelitian sebelumnya
di Eropa (78,5%). Namun, penelitian kami menunjukkan hasil yang berbeda dari
penelitian dari Burkino Faso di Jepang , di mana diagnosis HSCR dibuat pada
periode neonatal di 36% dan 40,1-53,4% dari kasus, masing-masing. Lebih lanjut,

7
di Australia, persentase kasus HSCR didiagnosis dalam periode neonatal lebih
tinggi (90,5%) dibandingkan di Indonesia.
Dalam penelitian ini, frekuensi enterocolitis (15%) setelah pembedahan
definitif relatif sama dengan penelitian lain (14-20%), dengan tingkat tertinggi pada
pasien HSCR setelah melalui endorektal (13%). Frekuensi sembelit bervariasi dari
6 hingga 34%. Pada penelitian ini menunjukkan konstipasi pasca operasi 15%, yang
sebanding dengan penelitian sebelumnya (10%). Selain itu, angka sembelit tertinggi
pada pasien yang menjalani bedah saraf posterior (7,5%). Hasil ini mungkin karena
tidak melakukan reseksi kolon aganglionik selama neurectomy posterior.

KESIMPULAN
Sebagian besar pasien HSCR di Indonesia didiagnosis pada periode neonatal dan
menjalani prosedur TEPT. Selain itu, risiko sembelit meningkat pada pasien HSCR
setelah neurektomi posterior dibandingkan dengan teknik bedah definitif lainnya.

KETERBATASAN
Batasan yang mungkin dari penelitian ini adalah hanya mengambilinformasi secara
retrospektif dari catatan medis yang tersedia.

Anda mungkin juga menyukai