0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
354 tayangan10 halaman
1. Pasien dengan atresia duodenum mengalami gejala obstruksi usus seperti muntah berwarna hijau yang terus-menerus akibat empedu yang masuk ke dalam muntahan. Pemeriksaan radiologi seperti USG dan foto polos abdomen dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis.
2. Penanganan pasien dilakukan melalui operasi seperti duodenoduodenostomi untuk memperbaiki penyempitan pada duodenum.
3. Malrotasi dan volvulus usus mer
1. Pasien dengan atresia duodenum mengalami gejala obstruksi usus seperti muntah berwarna hijau yang terus-menerus akibat empedu yang masuk ke dalam muntahan. Pemeriksaan radiologi seperti USG dan foto polos abdomen dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis.
2. Penanganan pasien dilakukan melalui operasi seperti duodenoduodenostomi untuk memperbaiki penyempitan pada duodenum.
3. Malrotasi dan volvulus usus mer
1. Pasien dengan atresia duodenum mengalami gejala obstruksi usus seperti muntah berwarna hijau yang terus-menerus akibat empedu yang masuk ke dalam muntahan. Pemeriksaan radiologi seperti USG dan foto polos abdomen dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis.
2. Penanganan pasien dilakukan melalui operasi seperti duodenoduodenostomi untuk memperbaiki penyempitan pada duodenum.
3. Malrotasi dan volvulus usus mer
Karena empuda dapat masuk kedalam usus kecil pada bagian kedua dari duodenum, obstruksi usus dibawah bagian ini dapat menyebabkan masuknya empedu pada muntahan atau aspirasi gaster. Muntahan empedu pada neonatus adalah kondisi urgen yang membutuhkan penangan team bedah anak dan spesial anak untuk management pembedahan. Muntah bilier, dengan atau tanpa disertai distensi andomen, merupakan tanda awal obstruksi intestinal pada neonatus. Naso orogastrik tube harus dipasang untuk usaha dekompresi. Pemeriksaan fisik harus diikuti dengan foto pada daerah abdomen. Dilatasi usus dan air-fluid levels menandakan adanya suatu obstruksi yang membutuhkan pembedahan. Radiologi dengan kontras mungkin dibutuhkan. Atresia duodenal, malrotasi midgut dan volvulus, atresi jejunal, ileus meconium dan necrotizing enterocolitis merupakan penyebab tersering dari obstruksi intestinal pada neonatal.1 Duodenal Atresia
Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum tidak berkembang baik. Pada kondisi ini deodenum bisa mengalami penyempitan secara komplit sehingga menghalangi jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk mengalami proses absorbsi. Apabila penyempitan usus terjadi secara parsial, maka kondisi ini disebut dengan doudenal stenosis. Etiologi duodenal Atresia
Penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenal sampai saat ini belum diketahui. Atresia duodenal sering ditemukan bersamaan dengan malformasi pada neonatus lainnya, yang menunjukkan kemungkinan bahwa anomali ini disebabkan karena gangguan yang dialami pada awal kehamilan. Pada beberapa penelitian, anomali ini diduga karena karena gangguan pembuluh darah masenterika. Gangguan ini bisa disebabkan karena volvulus, malrotasi, gastrokisis maupun penyebab yang lainnya. Pada atresia duodenum, juga diduga disebabkan karena kegagalan proses rekanalisasi. Faktor risiko maternal sampai saat ini tidak ditemukan sebagai penyebab signifikan terjadinya anomali ini. Pada sepertiga pasien dengan atresia duodenal menderita pula trisomi 21 (sindrom down), akan tetapi ini bukanlah faktor risiko yang signifikan menyebabkan terjadinya atresia duodenal. Beberapa penelitian
2
menyebutkan bahwa 12-13% kasus atresis duodenal disebabkan karena polihidramnion. Disamping itu, beberapa penelitian menyebutkan bahwa annular pankreas berhubungan dengan terjadinya atresia duodenal. Patogenesis dan Klasifikasi Ada faktor ekstrinsik serta ekstrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya atresia duodenal. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya anomali ini karena kegagalan rekanalisasi lumen usus. Duodenum dibentuk dari bagian akhir foregut dan bagian sefalik midgut. Selama minggu ke 5-6 lumen tersumbat oleh proliferasi sel dindingnya dan segera mengalami rekanalisasi pada minggu ke 8- 10. Kegagalan rekanalisasi ini disebut dengan atresia duodenum. Perkembangan duodenum terjadi karena proses ploriferasi endoderm yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi ploriferasinya atau disebabkan kegagalan rekanalisasi epitelial (kegagalan proses vakuolisasi). Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa epitel duodenum berploriferasi dalam usia kehamilan 30-60 hari ataupada kehamilan minggu ke 5 atau minggu ke 6, kemudian akan menyumbat lumen duodenum secara sempurna. Kemudian akan terjadi proses vakuolisasi. Pada proses ini sel akan mengalami proses apoptosis yang timbul pada lumen duodenum. Apoptosis akan menyebabkan terjadinya degenerasi sel epitel, kejadian ini terjadi pada minggu ke 11 kehamilan. Proses ini mengakibatkan terjadinya rekanalisasi pada lumen duodenum. Apabila proses ini mengalami kegagalan, maka lumen duodenum akan mengalami penyempitan. Pada beberapa kondisi, atresia duodenum dapat disebabkan karena faktor ekstrinsik. Kondisi ini disebabkan karena gangguan perkembangan struktur tetangga, seperti pankreas. Atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular. Pankreas anular merupakan jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum, terutama deodenum bagian desenden. Kondisi ini akan mengakibatkan gangguan perkembangan duodenum. Atresia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe morfologi. Atresia tipe I terjadi pada lebih dari 90 % kasus dari semua obstruksi duodenum. Kandungan lumen diafragma meliputi mukosa dan submukosa. Terdapar windsock deformity, dimana bagian duodenum yang terdilatasi terdapat pada bagian distal dari duodenum yang obstruksi. Pada tipe I ini, tidak ada fibrous cord dan duodenum masih kontinu. Atresia tipe II, dikarakteristikan dengan dilatasi proksimal dan kolaps pada segmen area distal yand terhubung oleh fibrous cord. Atresia tipe III memiliki gap pemisah yang nyata antara duodenal segmen distal dan segmen proksimal.
3
Gejala Klinis Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus. Gejala akan nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat timbul gejala dalam beberapa jam hingga beberapa hari setelah kelahiran. Muntah yang terus menerus merupakan gejala yang paling sering terjadi pada neonatus dengan atresia duodenal. Muntah yang terus- menerus ditemukan pada 85% pasien.. Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah mengandung cairan empedu (biliosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah yang timbul yaitu non-biliosa apabila atresia terjadi pada proksimal dari ampula veteri. Muntah neonatus akan semakin sering dan progresif setelah neonatus mendapat ASI. Karakteristik dari muntah tergantung pada lokasi obstruksi. Jika atresia diatas papila, maka jarang terjadi. Apabila obstruksi pada bagian usus yang tinggi, maka muntah akan berwarna kuning atau seperti susu yang mengental. Apabila pada usus yang lebih distal, maka muntah akan berbau dan nampak adanya fekal. Apabila anak terus menerus muntah pada hari pertama kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti roentgen dan harus dicurigai mengalami obstruksi usus. Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk menegakkan diagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya akan memiliki mekonium yang jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-abu dibandingkan mekonium yang normal. Pada beberapa kasus, anak memiliki mekonium yang nampak seperti normal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak terganggu. Akan tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila kondisi anak tidak ditangani dengan cepat, maka anak akan mengalami dehidrasi, penurunan berat badan, gangguan keseimbangan elektrolit. Jika dehidrasi tidak ditangani, dapat terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik akan mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna. Anak dengan atresi duodenum juga akan mengalami aspirasi gastrik dengan ukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat, biasanya aspirasi gastrik berukuran kurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada jalan nafas anak. Pada beberapa anak, mengalami demam. Kondisi ini disebabkan karena pasien mengalami dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103 F, maka kemungkinan pasien mengalami ruptur intestinal atau peritonitis. Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi distensi ini tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien tidak dirawat. Jika obstruksi pada
4
duodenum, distensi terbatas pada epigastrium. Distensi dapat tidak terlihat jika pasien terus menerus muntah. Pada kasus lain, distensi tidak nampak sampai neonatus berusia 24-48 jam, tergantung pada jumlah susu yang dikonsumsi neonatus dan muntah yang dapat menyebabkan traktus alimentari menjadi kosong. Pada beberapa neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai hari ke empat, kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus sehingga cairan berpindah ke kavum peritoneal. Neonatus dengan atresia duodenum memiliki gejala khas perut yang berbentuk skafoid. Saat auskultasi, terlihat gelombang peristaltik gastrik yang melewati epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada kuadran kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum maupun kolon, maka gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut. Pemeriksaan penunjang dan Managemen pasien Pemeriksaan penunjang yang dilakukan meliputi pemeriksaan USG saat prenatal, saat postnatal meliputi pemeriksaan foto polos abdomen yang menunjukkan gambaran double bubble. Managemen pasien dilakukan melalui operasi side-to-side duodenoduodenostomi, diamnond shape duodenoduodenostomi, partial web resection with heineke mikulick type duodenoplasty, dan tapering duodenoplasty.2 Malrotasi dan Volvulus Definisi Malrotasi merupakan anomali kongenital berupa gagalnya suatu rotasi/perputaran dan fiksasi normal pada organ, terutama usus selama perkembangan embriologik.1,2 Malrotasi dapat terjadi disertai atau tanpa volvulus.1,2 Volvulus merupakan kelainan berupa puntiran dari segmen usus terhadap usus itu sendiri, mengelilingi mesenterium dari usus tersebut dimana mesenterium itu sebagai aksis longitudinal sehingga menyebabkan obstruksi saluran cerna. Keadaan ini disebabkan karena adanya rotasi gelung usus di sekeliling cabang arteri mesenterika superior. Normalnya gelung usus primer berotasi 270 berlawanan dengan arah jarum jam. Akan tetapi kadang-kadang putaran hanya 90 saja. Apabila hal ini terjadi, kolon dan sekum adalah bagian usus pertama yang kembali dari tali pusat, dan menempati sisi kiri rongga perut. Gelung usus yang kembali belakangan makin terletak di kanan, sehingga mengakibatkan kolon letak kiri. Apabila volvulus mengenai seluruh bagian usus maka keadaan ini disebut volvulus midgut. Malrotasi dan volvulus merupakan kasus gawat darurat dibidang bedah anak yang memerlukan intervensi segera. Malrotasi dan volvulus kebanyakan terjadi pada periode
5
neonatus walaupun pada beberapa kasus dilaporkan terjadi pada usia anak besar bahkan dewasa. Manifestasi klinis berupa muntah hijau dengan atau tanpa distensi abdomen yang berhubungan dengan obstruksi duodenum atau volvulus midgut. Keterlambatan diagnosis dan talaksana dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis intestinal, short bowel syndrome, dan ketergantungan pada nutrisi parenteral total. Mortalitas pada neonatus diperkirakan mencapai angka 30% pada sekitar tahun 1950, namun angka mortalitas tersebut semakin menurun mencapai 3% - 5%. Penanganan operatif yang darurat seringkali dibutuhkan untuk mencegah iskemia intestinal atau untuk melakukan reseksi pada lengkung usus yang telah mengalami infark.
Manifestasi Klinik Manifestasi klinik malrotasi usus dan volvulus sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai gejala akibat nekrosis usus yang mengancam jiwa. Neonatus dengan malrotasi usus mengalami nuntah berwarna hijau (muntah bilier), akibat obstruksi setinggi duodenum oleh pita kongenital dan merupakan gejala utama adanya obstruksi usus pada bayi dan anak. Apabila gejala ini terdapat pada anak berusia kurang dari 1 tahun maka harus dipikirkan adanya malrotasi dan volvulus midgut sampai terbukti akibat kelainan lain. Manifestasi klinis malrotasi usus pada bayi - Muntah (akut atau kronik) - Nyeri perut, biasanya berat, akut, kronik, dengan atau tanpa muntah - Diare kronik - Konstipasi - Mual - Irritabilitas atau letargi - BAB darah - Gagal tumbuh Manifestasi klinis lain pada bayi dengan malrotasi adalah dehidrasi akibat muntah yang sering dengan gejala bayi tampak gelisah, tidak tenang, BAK yang berkurang, letargi, UUB cekung dan mukosa bibir kering. Apabila terjadi volvulus, aliran darah usus dapat berkurang sehingga menimbulkan nekrosis usus dan bayi dapat menunjukkan gejala peritonitis atau syok septik berupa hipotensi, gagal nafas, hematemesis atau melena. Volvulus midgut dapat terjadi tidak sempurna atau intermitten tetapi biasanya terjadi pada anak yang lebih besar dan memiliki gejala dan tanda nyeri perut non spesifik kronik,
6
muntah yang bersifat intermitten (kadang tidak berwarna hijau), rasa cepat kenyang, penurunan berat badan, gagal tumbuh, diare dan malabsorbsi.
Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan penunjang laboratorium tidak banyak membantu diagnosis volvulus, namun berguna untuk persiapan operasi. Pemeriksaan penunjang laboratorium juga dapat mengkonfirmasi adanya komplikasi dari volvulus. Pada tahap awal, ditemukan hasil laboratorium yang normal. Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukositosis dan nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amilase sering didapatkan pada obstruksi saluran cerna. Leukositosis menunjukkan adanya iskemik atau strangulasi. Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada dehidrasi. Selain itu dapat ditemukan adanya gangguan elektrolit. Analisa gas darah menunjukkan abnormalitas pada pasien dengan alkalosis metabolik bila muntah berat, dan asidosis metabolik bila ada tanda - tanda syok dan dehidrasi. 2. Pemeriksaan Radiologis Untuk mendapatkan diagnosis pasti, pemeriksaan imaging atau radiologis diperlukan. Secara umum, pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan adalah : a. Foto polos Abdomen. Foto polos abdomen anterior-posterior dan lateral dapat menunjukan adanya obstruksi usus, dengan adanya pelebaran loop, dilatasi lambung dan duodenum, dengan atau tanpa gas usus serta batas antara udara dengan cairan (air-fluid level ). Foto dengan kontras dapat menunjukan adanya obstruksi, baik bagian proksimal maupun distal. Malrotasi dengan volvulus midgut patut dicurigai bila duodenojejunal junction berada di lokasi yang tidak normal atau ditunjukan dengan letak akhir dari kontras berada. Foto dengan kontras juga dapat menunjukan obstruksi bagian bawah, dilakukan juga pada pasien dengan gejala bilious vomiting untuk mencurigai adanya penyakit Hirschsprung, meconium plug syndrome dan atresia.
Diagnosis Penegakan diagnosis malrotasi dilakukan dengan memperhatikan temuan tanda dan gejala dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan dapat disertai pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan Prioritas utama penyelamatan pasien adalah dengan mendiagnosis adanya volvulus, letak volvulus dan kemudian mencegah adanya nekrosis jaringan dan syok hipovolemik akibat muntah dan kehilangan cairan di abdomen. SIRS juga dapat menyertai komplikasi dari
7
volvulus, sehingga perlu untuk dilakukan tatalaksana resusitasi yang cepat jika ada tanda- tanda komplikasi. Prinsip resusitasi adalah dengan mengurangi kehilangan cairan dan mencegah terjadinya inkarserasi dan strangulasi. Lakukan resusitasi cairan segera, sementara menunggu untuk dilakukan tindakan operatif. Pipa nasogastrik direkomendasikan untuk mengurangi muntah serta pipa rectal untuk dekompresi volvulus usus besar serta untuk mengurangi obstruksi akibat feses dan gas. Persiapan pra-bedah harus cepat, karena harus segera menyelamatkan usus halus yang terancam nekrosis. Tata laksana bayi dan anak dengan malrotasi dan volvulus adakah dengan tindakan bedah menggunakan prosedur Ladd. Prosedur Ladd merupakan suatu prosedur bedah yang terdiri dari tindakan distorsi volvulus midgut, membebaskan pita peritoneal, vertikalisasi duodenum, apendiktomi dan mengembalikan posisi kolon dan sekum pada tempatnya di kiri abdomen.3
Atresia Jejunoileal Atresia jejunoileal disebabkan oleh accident vaskular mesenterik pada fetal. Secara anatomi diklasifikasikan ke dalam 4 tipe: (1) membranous, (2) interrupted, (3) apple-peel and (4) multiple. Distensi abdomen dengan muntah empedu terjadi dalam waktu 24 jam setelah lahir. Foto Abdominal menunjukkan air-fluid levels pada bagian proximal dari letak lesi, yang menegaskan diagnosis adanya obstruksi usus. Pemeriksaan barium enema, merupakan penegakkan diagnosi untuk jejunoileal atresia, tetapi saat ini sudak tidak dibutuhkan untuk karena hasil barium enema dapat nenunjukkan vaskular mesenterik yang hampir sama seperti pada orang normal. Preoperatif, dekompresi lambung, hidrasi intravena dan koreksi gangguan elektrolit harus dilakukan. Pada saat operasi, strategi pembedahan yang berbeda tergangtung pada tiap tipe dari lesi. Umumnya, rekonstruksi dilakukan dengan end-to-end (atau end-to-side) anastomosis (atau anastomoses in multiple atresias). Meconium peritonitis adalah peritonitis aseptik yang disebabkan oleh penyumbatan mekonium kedalam rongga abdominal selama perkembangan atresia jejunoileal. Extravasasi mekonium akan menyebabkan peritonitis kemikal yang inten dan adanya reaksi benda asing dengan karakteristik berupa kalsifikasi, proliferasi fibrosis vaskular dan pembentukan kista. Meconium peritonitis sering terjadi dan berhubungan dengan ileus mekonium. Meconium Ileus Meconium ileus ditunjukkan dengan adanya retensi mekonium yang tebal pada usus (ileum, jejunum atau colon), sehingga menyebabkan terjadinya obstruksi pada usus.
8
Meconium ileus terjadi pada 15% dari neonatus dengan fibrosis kistik, dan hanya 5 sampai 10 % dari pasien dengan mekonium ileus yang tidak menderita fibrosis kistik. Setelah beberapa jam kehidupan setelah lahir, terjadinya distensi abdomen yang diakibatkan oleh ikut tertelannya udara dan muntah empedu. Pada pemeriksaan fisik,ditemukan distensi abdominal, dan eritema kulit abdomen mengindikasikan adanya perforasi, yang membutuhkan pembedahan yang segera. Pasien dengan ileus mekonium inkomplite dapat berhasil disembuhkan dengan pengobatan dengan diatrizoate maglumine (Gastrografin) enema. Terapi ini sukses pada sekita 16 sampai 50% dari semua pasien. Namun ketika Gastrografin enema tidak berhasil, laparatomi diindikasikan untuk mengevaluasi obstruksi mekonium dengan cara mengirigasi mekonium. Necrotizing Enterocolitis Enterokolitis nekrotikans (EKN) merupakan salah satu penyakit yang sangat serius dan berat pada saluran pencernaan neonatus.Sampai saat ini etiologi yang jelas mengenai EKN belum diketahui secara pasti, beberapa teori berusaha menjelaskan timbulnya nekrosis dan perforasi yang terjadi pada saluran pencernaan neonatus yang menderita EKN. Beberapa teori tersebut antara lain teori gangguan sirkulasi pada saluran pencernaan, pengaruh hipoksia serta iskemia, terjadinya proses infl amasi, pengaruh jenis dan volume pemberian minum, pengaruh flora kuman dan kolonisasi kuman, maturitas dan imunitas saluran cerna serta peranan Prematuritas masih merupakan faktor utama yang berperanan terhadap kejadian faktor genetik pada neonatus EKN pada neonatus. Imaturitas fungsi saluran cerna dalam motilitas, absorpsi, digesti, imunitas, fungsi barier mukosa, dan regulasi sirkulasi adalah predisposisi terjadinya EKN pada bayi kurang bulan.Sekresi asam lambung, mukus, peristaltik saluran cerna, dan secretory IgA yang dibentuk oleh dinding usus masih terbatas pada bayi kurang bulan. Disamping itu, fungsi tight junctions untuk menjaga barrier epitel usus masih kurang, sehingga risiko kolonisasi kuman patogen enterik sangat tinggi. Peningkatan permeabilitas saluran cerna terhadap protein dan karbohidrat memungkinkan lewatnya toksin bakteri melalui mukosa ke dalam kelenjar getah bening dan sirkulasi darah. Sepsis ditemukan sebagai prediktor komorbid terbanyak pada penelitian kami (96%) karena infeksi memainkan peranan yang penting pada terjadinya EKN. Adanya peranan bakteri pada kejadian EKN dikuatkan dengan diketahuinya bahwa pneumatosis yang ditemukan pada penderita EKN terdiri dari sejumlah gelembung gas hidrogen yang biasanya merupakan produk dari
9
metabolisme bakteri usus. Kolonisasi oleh bakteri komensal membuat fl ora usus yang stabil dan sangat penting bagi perkembangan struktur intestinal. Bakteri komensal mampu meningkatkan dan menjaga kesatuan sebagai mukoprotektor, memperkuat intestinal tight junction dan menurunkan pH intralumen. Gejala klinis Tanda umum EKN: Distensi perut atau nyeri-tekan, toleransi minum buruk, muntah kehijauan atau cairan kehijauan keluar melalui pipa lambung, darah pada feses.4 Pada tahap lanjut gejala klinis EKN sangat bervariasi tergantung stadiumnya. Pada penelitian kami didapatkan gejala klinis yang menonjol adalah distensi abdomen 87%, adanya residu lambung 96%, letargi 92%,dan demam 83%. Diagnosis pasti dari EKN adalah pemeriksaan patologi anatomi. Modifi kasi kriteria Bells sampai saat ini masih dipakai di tempat tempat pelayanan kesehatan. Usaha pencegahan ataupun penanganan EKN sampai saat ini masih belum memberikan hasil yang memuaskan karena perjalanan penyakitnya cepat dan sulit diprediksikan. Tatalaksana Hentikan minum enteral, pasang pipa lambung untuk drainase, mulailah infus glukosa atau garam normal (lihat halaman 62 untuk kecepatan infus), mulailah antibiotik: Beri ampisilin (atau penisilin) dan gentamisin ditambah metronidazol (jika tersedia) selama 10 hari.Jika bayi mengalami apnu atau mempunyai tanda bahaya lainnya, berikan oksigen melalui pipa nasal. Jika apnu berlanjut, beri aminofilin. Jika bayi pucat, cek hemoglobin dan berikan transfusi jika hemoglobin < 10 g/dL.Lakukan pemeriksaan foto abdomen pada posisi A-P supinasi dan lateral sinar horizontal. Jika terdapat gas dalam rongga perut di luar usus, mungkin sudah terjadi perforasi usus. Mintalah dokter bedah untuk segera melihat bayi. Periksalah bayi dengan seksama setiap hari. Mulai lagi pemberian ASI melalui pipa lambung jika abdomen lembut dan tidak nyeri-tekan, BAB normal tanpa ada darah dan tidak muntah kehijauan. Mulailah memberi ASI pelan-pelan dan tingkatkan perlahan-lahan sebanyak 1-2 mL/minum setiap hari.