Anda di halaman 1dari 10

1

PENYAKIT DENGAN GEJALA MUNTAH HIJAU


Karena empuda dapat masuk kedalam usus kecil pada bagian kedua dari duodenum,
obstruksi usus dibawah bagian ini dapat menyebabkan masuknya empedu pada muntahan
atau aspirasi gaster.
Muntahan empedu pada neonatus adalah kondisi urgen yang membutuhkan penangan
team bedah anak dan spesial anak untuk management pembedahan. Muntah bilier, dengan
atau tanpa disertai distensi andomen, merupakan tanda awal obstruksi intestinal pada
neonatus. Naso orogastrik tube harus dipasang untuk usaha dekompresi. Pemeriksaan fisik
harus diikuti dengan foto pada daerah abdomen. Dilatasi usus dan air-fluid levels
menandakan adanya suatu obstruksi yang membutuhkan pembedahan. Radiologi dengan
kontras mungkin dibutuhkan. Atresia duodenal, malrotasi midgut dan volvulus, atresi jejunal,
ileus meconium dan necrotizing enterocolitis merupakan penyebab tersering dari obstruksi
intestinal pada neonatal.1
Duodenal Atresia

Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum tidak berkembang baik. Pada
kondisi ini deodenum bisa mengalami penyempitan secara komplit sehingga menghalangi
jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk mengalami proses absorbsi. Apabila
penyempitan usus terjadi secara parsial, maka kondisi ini disebut dengan doudenal stenosis.
Etiologi duodenal Atresia

Penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenal sampai saat ini belum
diketahui. Atresia duodenal sering ditemukan bersamaan dengan malformasi pada neonatus
lainnya, yang menunjukkan kemungkinan bahwa anomali ini disebabkan karena gangguan
yang dialami pada awal kehamilan. Pada beberapa penelitian, anomali ini diduga karena
karena gangguan pembuluh darah masenterika. Gangguan ini bisa disebabkan karena
volvulus, malrotasi, gastrokisis maupun penyebab yang lainnya. Pada atresia duodenum, juga
diduga disebabkan karena kegagalan proses rekanalisasi. Faktor risiko maternal sampai saat
ini tidak ditemukan sebagai penyebab signifikan terjadinya anomali ini. Pada sepertiga pasien
dengan atresia duodenal menderita pula trisomi 21 (sindrom down), akan tetapi ini bukanlah
faktor risiko yang signifikan menyebabkan terjadinya atresia duodenal. Beberapa penelitian

2

menyebutkan bahwa 12-13% kasus atresis duodenal disebabkan karena polihidramnion.
Disamping itu, beberapa penelitian menyebutkan bahwa annular pankreas berhubungan
dengan terjadinya atresia duodenal.
Patogenesis dan Klasifikasi
Ada faktor ekstrinsik serta ekstrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya
atresia duodenal. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya anomali ini karena
kegagalan rekanalisasi lumen usus. Duodenum dibentuk dari bagian akhir foregut dan bagian
sefalik midgut. Selama minggu ke 5-6 lumen tersumbat oleh proliferasi sel dindingnya dan
segera mengalami rekanalisasi pada minggu ke 8- 10. Kegagalan rekanalisasi ini disebut
dengan atresia duodenum. Perkembangan duodenum terjadi karena proses ploriferasi
endoderm yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi ploriferasinya atau disebabkan
kegagalan rekanalisasi epitelial (kegagalan proses vakuolisasi). Banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa epitel duodenum berploriferasi dalam usia kehamilan 30-60 hari
ataupada kehamilan minggu ke 5 atau minggu ke 6, kemudian akan menyumbat lumen
duodenum secara sempurna. Kemudian akan terjadi proses vakuolisasi. Pada proses ini sel
akan mengalami proses apoptosis yang timbul pada lumen duodenum. Apoptosis akan
menyebabkan terjadinya degenerasi sel epitel, kejadian ini terjadi pada minggu ke 11
kehamilan. Proses ini mengakibatkan terjadinya rekanalisasi pada lumen duodenum. Apabila
proses ini mengalami kegagalan, maka lumen duodenum akan mengalami penyempitan.
Pada beberapa kondisi, atresia duodenum dapat disebabkan karena faktor ekstrinsik.
Kondisi ini disebabkan karena gangguan perkembangan struktur tetangga, seperti pankreas.
Atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular. Pankreas anular merupakan jaringan
pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum, terutama deodenum bagian desenden.
Kondisi ini akan mengakibatkan gangguan perkembangan duodenum.
Atresia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe morfologi. Atresia tipe I terjadi pada
lebih dari 90 % kasus dari semua obstruksi duodenum. Kandungan lumen diafragma meliputi
mukosa dan submukosa. Terdapar windsock deformity, dimana bagian duodenum yang
terdilatasi terdapat pada bagian distal dari duodenum yang obstruksi. Pada tipe I ini, tidak ada
fibrous cord dan duodenum masih kontinu. Atresia tipe II, dikarakteristikan dengan dilatasi
proksimal dan kolaps pada segmen area distal yand terhubung oleh fibrous cord. Atresia tipe
III memiliki gap pemisah yang nyata antara duodenal segmen distal dan segmen proksimal.

3

Gejala Klinis
Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus. Gejala akan nampak
dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat timbul gejala dalam beberapa
jam hingga beberapa hari setelah kelahiran. Muntah yang terus menerus merupakan gejala
yang paling sering terjadi pada neonatus dengan atresia duodenal. Muntah yang terus-
menerus ditemukan pada 85% pasien.. Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah
mengandung cairan empedu (biliosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah yang timbul yaitu
non-biliosa apabila atresia terjadi pada proksimal dari ampula veteri.
Muntah neonatus akan semakin sering dan progresif setelah neonatus mendapat ASI.
Karakteristik dari muntah tergantung pada lokasi obstruksi. Jika atresia diatas papila, maka
jarang terjadi. Apabila obstruksi pada bagian usus yang tinggi, maka muntah akan berwarna
kuning atau seperti susu yang mengental. Apabila pada usus yang lebih distal, maka muntah
akan berbau dan nampak adanya fekal. Apabila anak terus menerus muntah pada hari pertama
kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup sebaiknya dikonfirmasi dengan
pemeriksaan penunjang lain seperti roentgen dan harus dicurigai mengalami obstruksi usus.
Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk menegakkan
diagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya akan memiliki mekonium yang jumlahnya
lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-abu dibandingkan
mekonium yang normal. Pada beberapa kasus, anak memiliki mekonium yang nampak
seperti normal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak terganggu.
Akan tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila kondisi anak tidak
ditangani dengan cepat, maka anak akan mengalami dehidrasi, penurunan berat badan,
gangguan keseimbangan elektrolit. Jika dehidrasi tidak ditangani, dapat terjadi alkalosis
metabolik hipokalemia atau hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik akan mengalirkan
cairan berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna. Anak dengan atresi duodenum
juga akan mengalami aspirasi gastrik dengan ukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat,
biasanya aspirasi gastrik berukuran kurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik ini dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan pada jalan nafas anak. Pada beberapa anak, mengalami
demam. Kondisi ini disebabkan karena pasien mengalami dehidrasi. Apabila temperatur
diatas 103 F, maka kemungkinan pasien mengalami ruptur intestinal atau peritonitis.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi distensi ini tidak
selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien tidak dirawat. Jika obstruksi pada

4

duodenum, distensi terbatas pada epigastrium. Distensi dapat tidak terlihat jika pasien terus
menerus muntah. Pada kasus lain, distensi tidak nampak sampai neonatus berusia 24-48 jam,
tergantung pada jumlah susu yang dikonsumsi neonatus dan muntah yang dapat
menyebabkan traktus alimentari menjadi kosong. Pada beberapa neonatus, distensi bisa
sangat besar setelah hari ke tiga sampai hari ke empat, kondisi ini terjadi karena ruptur
lambung atau usus sehingga cairan berpindah ke kavum peritoneal. Neonatus dengan atresia
duodenum memiliki gejala khas perut yang berbentuk skafoid. Saat auskultasi, terlihat
gelombang peristaltik gastrik yang melewati epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang
peristaltik duodenum pada kuadran kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum
maupun kolon, maka gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut.
Pemeriksaan penunjang dan Managemen pasien
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan meliputi pemeriksaan USG saat prenatal, saat
postnatal meliputi pemeriksaan foto polos abdomen yang menunjukkan gambaran double
bubble. Managemen pasien dilakukan melalui operasi side-to-side duodenoduodenostomi,
diamnond shape duodenoduodenostomi, partial web resection with heineke mikulick type
duodenoplasty, dan tapering duodenoplasty.2
Malrotasi dan Volvulus
Definisi
Malrotasi merupakan anomali kongenital berupa gagalnya suatu rotasi/perputaran dan
fiksasi normal pada organ, terutama usus selama perkembangan embriologik.1,2 Malrotasi
dapat terjadi disertai atau tanpa volvulus.1,2 Volvulus merupakan kelainan berupa puntiran
dari segmen usus terhadap usus itu sendiri, mengelilingi mesenterium dari usus tersebut
dimana mesenterium itu sebagai aksis longitudinal sehingga menyebabkan obstruksi saluran
cerna. Keadaan ini disebabkan karena adanya rotasi gelung usus di sekeliling cabang arteri
mesenterika superior. Normalnya gelung usus primer berotasi 270 berlawanan dengan arah
jarum jam. Akan tetapi kadang-kadang putaran hanya 90 saja. Apabila hal ini terjadi, kolon
dan sekum adalah bagian usus pertama yang kembali dari tali pusat, dan menempati sisi kiri
rongga perut. Gelung usus yang kembali belakangan makin terletak di kanan, sehingga
mengakibatkan kolon letak kiri. Apabila volvulus mengenai seluruh bagian usus maka
keadaan ini disebut volvulus midgut.
Malrotasi dan volvulus merupakan kasus gawat darurat dibidang bedah anak yang
memerlukan intervensi segera. Malrotasi dan volvulus kebanyakan terjadi pada periode

5

neonatus walaupun pada beberapa kasus dilaporkan terjadi pada usia anak besar bahkan
dewasa. Manifestasi klinis berupa muntah hijau dengan atau tanpa distensi abdomen yang
berhubungan dengan obstruksi duodenum atau volvulus midgut. Keterlambatan diagnosis dan
talaksana dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis intestinal, short bowel syndrome, dan
ketergantungan pada nutrisi parenteral total. Mortalitas pada neonatus diperkirakan mencapai
angka 30% pada sekitar tahun 1950, namun angka mortalitas tersebut semakin menurun
mencapai 3% - 5%. Penanganan operatif yang darurat seringkali dibutuhkan untuk mencegah
iskemia intestinal atau untuk melakukan reseksi pada lengkung usus yang telah mengalami
infark.

Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik malrotasi usus dan volvulus sangat bervariasi, mulai dari tanpa
gejala sampai gejala akibat nekrosis usus yang mengancam jiwa. Neonatus dengan malrotasi
usus mengalami nuntah berwarna hijau (muntah bilier), akibat obstruksi setinggi duodenum
oleh pita kongenital dan merupakan gejala utama adanya obstruksi usus pada bayi dan anak.
Apabila gejala ini terdapat pada anak berusia kurang dari 1 tahun maka harus dipikirkan
adanya malrotasi dan volvulus midgut sampai terbukti akibat kelainan lain.
Manifestasi klinis malrotasi usus pada bayi
- Muntah (akut atau kronik)
- Nyeri perut, biasanya berat, akut, kronik, dengan atau tanpa muntah
- Diare kronik
- Konstipasi
- Mual
- Irritabilitas atau letargi
- BAB darah
- Gagal tumbuh
Manifestasi klinis lain pada bayi dengan malrotasi adalah dehidrasi akibat muntah
yang sering dengan gejala bayi tampak gelisah, tidak tenang, BAK yang berkurang, letargi,
UUB cekung dan mukosa bibir kering. Apabila terjadi volvulus, aliran darah usus dapat
berkurang sehingga menimbulkan nekrosis usus dan bayi dapat menunjukkan gejala
peritonitis atau syok septik berupa hipotensi, gagal nafas, hematemesis atau melena.
Volvulus midgut dapat terjadi tidak sempurna atau intermitten tetapi biasanya terjadi
pada anak yang lebih besar dan memiliki gejala dan tanda nyeri perut non spesifik kronik,

6

muntah yang bersifat intermitten (kadang tidak berwarna hijau), rasa cepat kenyang,
penurunan berat badan, gagal tumbuh, diare dan malabsorbsi.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan penunjang laboratorium tidak banyak membantu
diagnosis volvulus, namun berguna untuk persiapan operasi. Pemeriksaan penunjang
laboratorium juga dapat mengkonfirmasi adanya komplikasi dari volvulus. Pada tahap awal,
ditemukan hasil laboratorium yang normal. Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi,
leukositosis dan nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amilase sering didapatkan
pada obstruksi saluran cerna. Leukositosis menunjukkan adanya iskemik atau strangulasi.
Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada dehidrasi. Selain itu dapat ditemukan adanya
gangguan elektrolit. Analisa gas darah menunjukkan abnormalitas pada pasien dengan
alkalosis metabolik bila muntah berat, dan asidosis metabolik bila ada tanda - tanda syok dan
dehidrasi.
2. Pemeriksaan Radiologis Untuk mendapatkan diagnosis pasti, pemeriksaan imaging atau
radiologis diperlukan. Secara umum, pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan adalah : a.
Foto polos Abdomen. Foto polos abdomen anterior-posterior dan lateral dapat menunjukan
adanya obstruksi usus, dengan adanya pelebaran loop, dilatasi lambung dan duodenum,
dengan atau tanpa gas usus serta batas antara udara dengan cairan (air-fluid level ). Foto
dengan kontras dapat menunjukan adanya obstruksi, baik bagian proksimal maupun distal.
Malrotasi dengan volvulus midgut patut dicurigai bila duodenojejunal junction berada di
lokasi yang tidak normal atau ditunjukan dengan letak akhir dari kontras berada. Foto dengan
kontras juga dapat menunjukan obstruksi bagian bawah, dilakukan juga pada pasien dengan
gejala bilious vomiting untuk mencurigai adanya penyakit Hirschsprung, meconium plug
syndrome dan atresia.

Diagnosis
Penegakan diagnosis malrotasi dilakukan dengan memperhatikan temuan tanda dan
gejala dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan dapat disertai pemeriksaan penunjang.

Penatalaksanaan
Prioritas utama penyelamatan pasien adalah dengan mendiagnosis adanya volvulus,
letak volvulus dan kemudian mencegah adanya nekrosis jaringan dan syok hipovolemik
akibat muntah dan kehilangan cairan di abdomen. SIRS juga dapat menyertai komplikasi dari

7

volvulus, sehingga perlu untuk dilakukan tatalaksana resusitasi yang cepat jika ada tanda-
tanda komplikasi. Prinsip resusitasi adalah dengan mengurangi kehilangan cairan dan
mencegah terjadinya inkarserasi dan strangulasi. Lakukan resusitasi cairan segera, sementara
menunggu untuk dilakukan tindakan operatif. Pipa nasogastrik direkomendasikan untuk
mengurangi muntah serta pipa rectal untuk dekompresi volvulus usus besar serta untuk
mengurangi obstruksi akibat feses dan gas. Persiapan pra-bedah harus cepat, karena harus
segera menyelamatkan usus halus yang terancam nekrosis. Tata laksana bayi dan anak
dengan malrotasi dan volvulus adakah dengan tindakan bedah menggunakan prosedur Ladd.
Prosedur Ladd merupakan suatu prosedur bedah yang terdiri dari tindakan distorsi volvulus
midgut, membebaskan pita peritoneal, vertikalisasi duodenum, apendiktomi dan
mengembalikan posisi kolon dan sekum pada tempatnya di kiri abdomen.3

Atresia Jejunoileal
Atresia jejunoileal disebabkan oleh accident vaskular mesenterik pada fetal. Secara
anatomi diklasifikasikan ke dalam 4 tipe: (1) membranous, (2) interrupted, (3) apple-peel and
(4) multiple. Distensi abdomen dengan muntah empedu terjadi dalam waktu 24 jam setelah
lahir. Foto Abdominal menunjukkan air-fluid levels pada bagian proximal dari letak lesi,
yang menegaskan diagnosis adanya obstruksi usus. Pemeriksaan barium enema, merupakan
penegakkan diagnosi untuk jejunoileal atresia, tetapi saat ini sudak tidak dibutuhkan untuk
karena hasil barium enema dapat nenunjukkan vaskular mesenterik yang hampir sama seperti
pada orang normal.
Preoperatif, dekompresi lambung, hidrasi intravena dan koreksi gangguan elektrolit
harus dilakukan. Pada saat operasi, strategi pembedahan yang berbeda tergangtung pada tiap
tipe dari lesi. Umumnya, rekonstruksi dilakukan dengan end-to-end (atau end-to-side)
anastomosis (atau anastomoses in multiple atresias). Meconium peritonitis adalah peritonitis
aseptik yang disebabkan oleh penyumbatan mekonium kedalam rongga abdominal selama
perkembangan atresia jejunoileal. Extravasasi mekonium akan menyebabkan peritonitis
kemikal yang inten dan adanya reaksi benda asing dengan karakteristik berupa kalsifikasi,
proliferasi fibrosis vaskular dan pembentukan kista. Meconium peritonitis sering terjadi dan
berhubungan dengan ileus mekonium.
Meconium Ileus
Meconium ileus ditunjukkan dengan adanya retensi mekonium yang tebal pada usus
(ileum, jejunum atau colon), sehingga menyebabkan terjadinya obstruksi pada usus.

8

Meconium ileus terjadi pada 15% dari neonatus dengan fibrosis kistik, dan hanya 5 sampai
10 % dari pasien dengan mekonium ileus yang tidak menderita fibrosis kistik.
Setelah beberapa jam kehidupan setelah lahir, terjadinya distensi abdomen yang
diakibatkan oleh ikut tertelannya udara dan muntah empedu. Pada pemeriksaan
fisik,ditemukan distensi abdominal, dan eritema kulit abdomen mengindikasikan adanya
perforasi, yang membutuhkan pembedahan yang segera. Pasien dengan ileus mekonium
inkomplite dapat berhasil disembuhkan dengan pengobatan dengan diatrizoate maglumine
(Gastrografin) enema. Terapi ini sukses pada sekita 16 sampai 50% dari semua pasien.
Namun ketika Gastrografin enema tidak berhasil, laparatomi diindikasikan untuk
mengevaluasi obstruksi mekonium dengan cara mengirigasi mekonium.
Necrotizing Enterocolitis
Enterokolitis nekrotikans (EKN) merupakan salah satu penyakit yang sangat serius
dan berat pada saluran pencernaan neonatus.Sampai saat ini etiologi yang jelas mengenai
EKN belum diketahui secara pasti, beberapa teori berusaha menjelaskan timbulnya nekrosis
dan perforasi yang terjadi pada saluran pencernaan neonatus yang menderita EKN. Beberapa
teori tersebut antara lain teori gangguan sirkulasi pada saluran pencernaan, pengaruh hipoksia
serta iskemia, terjadinya proses infl amasi, pengaruh jenis dan volume pemberian minum,
pengaruh flora kuman dan kolonisasi kuman, maturitas dan imunitas saluran cerna serta
peranan
Prematuritas masih merupakan faktor utama yang berperanan terhadap kejadian faktor
genetik pada neonatus EKN pada neonatus. Imaturitas fungsi saluran cerna dalam motilitas,
absorpsi, digesti, imunitas, fungsi barier mukosa, dan regulasi sirkulasi adalah predisposisi
terjadinya EKN pada bayi kurang bulan.Sekresi asam lambung, mukus, peristaltik saluran
cerna, dan secretory IgA yang dibentuk oleh dinding usus masih terbatas pada bayi kurang
bulan. Disamping itu, fungsi tight junctions untuk menjaga barrier epitel usus masih kurang,
sehingga risiko kolonisasi kuman patogen enterik sangat tinggi. Peningkatan permeabilitas
saluran cerna terhadap protein dan karbohidrat memungkinkan lewatnya toksin bakteri
melalui mukosa ke dalam kelenjar getah bening dan sirkulasi darah. Sepsis ditemukan
sebagai prediktor komorbid terbanyak pada penelitian kami (96%) karena infeksi memainkan
peranan yang penting pada terjadinya EKN. Adanya peranan bakteri pada kejadian EKN
dikuatkan dengan diketahuinya bahwa pneumatosis yang ditemukan pada penderita EKN
terdiri dari sejumlah gelembung gas hidrogen yang biasanya merupakan produk dari

9

metabolisme bakteri usus. Kolonisasi oleh bakteri komensal membuat fl ora usus yang stabil
dan sangat penting bagi perkembangan struktur intestinal. Bakteri komensal mampu
meningkatkan dan menjaga kesatuan sebagai mukoprotektor, memperkuat intestinal tight
junction dan menurunkan pH intralumen.
Gejala klinis Tanda umum EKN: Distensi perut atau nyeri-tekan, toleransi minum
buruk, muntah kehijauan atau cairan kehijauan keluar melalui pipa lambung, darah pada
feses.4 Pada tahap lanjut gejala klinis EKN sangat bervariasi tergantung stadiumnya. Pada
penelitian kami didapatkan gejala klinis yang menonjol adalah distensi abdomen 87%,
adanya residu lambung 96%, letargi 92%,dan demam 83%. Diagnosis pasti dari EKN adalah
pemeriksaan patologi anatomi. Modifi kasi kriteria Bells sampai saat ini masih dipakai di
tempat tempat pelayanan kesehatan. Usaha pencegahan ataupun penanganan EKN sampai
saat ini masih belum memberikan hasil yang memuaskan karena perjalanan penyakitnya
cepat dan sulit diprediksikan.
Tatalaksana
Hentikan minum enteral, pasang pipa lambung untuk drainase, mulailah infus glukosa
atau garam normal (lihat halaman 62 untuk kecepatan infus), mulailah antibiotik: Beri
ampisilin (atau penisilin) dan gentamisin ditambah metronidazol (jika tersedia) selama 10
hari.Jika bayi mengalami apnu atau mempunyai tanda bahaya lainnya, berikan oksigen
melalui pipa nasal. Jika apnu berlanjut, beri aminofilin. Jika bayi pucat, cek hemoglobin dan
berikan transfusi jika hemoglobin < 10 g/dL.Lakukan pemeriksaan foto abdomen pada posisi
A-P supinasi dan lateral sinar horizontal. Jika terdapat gas dalam rongga perut di luar usus,
mungkin sudah terjadi perforasi usus. Mintalah dokter bedah untuk segera melihat bayi.
Periksalah bayi dengan seksama setiap hari. Mulai lagi pemberian ASI melalui pipa lambung
jika abdomen lembut dan tidak nyeri-tekan, BAB normal tanpa ada darah dan tidak muntah
kehijauan. Mulailah memberi ASI pelan-pelan dan tingkatkan perlahan-lahan sebanyak 1-2
mL/minum setiap hari.






10

Anda mungkin juga menyukai