Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

“ATRESIA DUODENUM”

OLEH :

MERY NASAH
(4006160010)

Mengetahui,
Pembimbing Akademik

Mona Yulianti, S. Kep., Ners., M. Kep

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XI


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
STIKES DHARMA HUSADA BANDUNG
2016
LAPORAN PENDAHULUAN

ATRESIA DUODENUM

A. DEFINISI
Atresia duodenum adalah suatu kondisi dimana duodenum (bagian
pertama dari usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak
berupa saluran terbuka dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan
makanan dari lambung ke usus. Pada kondisi ini duodenum bisa mengalami
penyempitan secara komplit sehingga menghalangi jalannya makanan dari
lambung menuju usus untuk mengalami proses absorbs. Apabila penyempitan
usus terjadi secara parsial, maka kondisi ini disebut dengan duodenal stenosis
(Price , 2005).

B. ETIOLOGI
Meskipun penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum masih
belum diketahui, patofisologinya telah dapat diterangkan dengan baik.
Seringnya ditemukan keterkaitan atresia atau stenosis duodenum dengan
malformasi neonatal lainnya menunjukkan bahwa anomali ini disebabkan
oleh gangguan perkembangan pada masa awal kehamilan. Atresia
duodenum berbeda dari atresia usus lainnya, yang merupakan anomali
terisolasi disebabkan oleh gangguan pembuluh darah mesenterik pada
perkembangan selanjutnya. Tidak ada faktor resiko maternal sebagai
predisposisi yang ditemukan hingga saat ini. Meskipun hingga sepertiga
pasien dengan atresia duodenum menderita pula trisomi 21 (sindrom Down),
namun hal ini bukanlah faktor resiko independen dalam perkembangan atresia
duodenum.

C. PATOFISIOLOGI
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi
endodermal yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi
proliferasinya) atau kegagalan rekanalisasi pita padat epithelial (kegagalan
proses vakuolisasi). Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa epitel
duodenum berproliferasi dalam usia kehamilan 30-60 hari lalu akan
terhubung ke lumen duodenal secara sempurna. Proses selanjutnya yang
dinamakan vakuolisasi terjadi saat duodenum padat mengalami rekanalisasi.
Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses apoptosis, atau kematian sel
terprogram, yang timbul selama perkembangan normal di antara lumen
duodenum. Kadang-kadang, atresia duodenum berkaitan dengan pankreas
anular (jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini
sepertinya lebih akibat gangguan perkembangan duodenal daripada suatu
perkembangan dan/atau berlebihan dari pancreatic buds. Pada tingkat seluler,
traktus digestivus berkembang dari embryonic gut, yang tersusun atas epitel
yang merupakan perkembangan dari endoderm, dikelilingi sel yang berasal
dari mesoderm. Pensinyalan sel antara kedua lapisan embrionik ini
tampaknya memainkan peranan sangat penting dalam mengkoordinasikan
pembentukan pola dan organogenesis dari duodenum.
D. PATHWAY

Idiopatik, Gangguan masa awal kehamilan.

Proliferasi endodermal tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi proliferasi)

Kegagalan proses vakuolisasi (kegagalan rekanalisasi epitel duodenum)

Penyempitan / tersumbatnya saluran duodenum

Bendungan
Duodenoduedenoktomy
makanan/cairan dilambung Atresia Duodenum

Insisi Pada abdomen


Distensi Abdomen Adanya luka post op

Merangsang saraf vagus Resiko Infeksi Terputusnya konyinuitas


jaringan
Mual muntah Kekurangan volume
cairan
Nyeri akut

Intake Adekuat

Gangguan nutrisi kurang


dari kebutuhan tubuh
E. MANIFESTASI KLINIK

Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus. Gejala


akan nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat
timbul gejala dalam beberapa jam hingga beberapa hari setelah kelahiran.
Muntah yang terus menerus merupakan gejala yang paling sering terjadi pada
neonatus dengan atresia duodenal. Muntah yang terus-menerus ditemukan
pada 85% pasien. Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah
mengandung cairan empedu (biliosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah
yang timbul yaitu non-biliosaapabila atresia terjadi pada proksimal dari
ampula veteri. Muntah neonatus akan semakin sering dan progresif setelah
neonatus mendapat ASI. Karakteristik dari muntah tergantung pada lokasi
obstruksi. Jika atresia diatas papila, maka jarang terjadi. Apabila obstruksi
pada bagian usus yang tinggi, maka muntah akan berwarna kuning atau
seperti susu yang mengental. Apabila pada usus yang lebih distal, maka
muntah akan berbau dan nampak adanya fekal. Apabila anak terus menerus
muntah pada hari pertama kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah yang
cukup sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti
roentgen dan harus dicurigai mengalami obstruksi usus. Ukuran feses juga
dapat digunakan sebagai gejala penting untuk menegakkan diagnosis. Pada
anak dengan atresia, biasanya akan memiliki mekonium yang jumlahnya
lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-abu
dibandingkan mekonium yang normal. Pada beberapa kasus, anak memiliki
mekonium yang nampak seperti normal (Kessel et al, 2011)
Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak
terganggu. Akan tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila
kondisi anak tidak ditangani dengan cepat, maka anak akan mengalami
dehidrasi, penurunan berat badan, gangguan keseimbangan elektrolit. Jika
dehidrasi tidak ditangani, dapat terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau
hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik akan mengalirkan cairan berwarna
empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna. Anak dengan atresi duodenum
juga akan mengalami aspirasi gastrik dengan ukuran lebih dari 30 ml.
Padaneonatus sehat, biasanya aspirasi gastrik berukuran kurang dari 5 ml.
Aspirasi gastrik ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada jalan
nafas anak. Pada beberapa anak, mengalami demam. Kondisi ini disebabkan
karena pasien mengalami dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103º F maka
kemungkinan pasien mengalami ruptur intestinal atau peritonitis (Kessel et al,
2011).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi
distensi ini tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien
tidak dirawat. Jika obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada
epigastrium. Distensi dapat tidak terlihat jika pasien terus menerus muntah.
Pada beberapa neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai
hari ke empat, kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus sehingga
cairan berpindah ke kavum peritoneal. Neonatus dengan atresia duodenum
memiliki gejala khas perut yang berbentuk skafoid (Kessel et al, 2011).
Saat auskultasi, terdengar gelombang peristaltik gastrik yang melewati
epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada
kuadran kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum maupun kolon,
maka gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut
(Kessel et al, 2011)

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto Polos Abdomen
Pada pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam keadaan posisi
tegak akan terlihat gambaran 2 bayangan gelembung udara (double
bubble), gelembung lambung dan duodenum proksimal atresia. Bila 1
gelembung mungkin duodenum terisi penuh cairan, atau terdapat atresia
pylorus atau membrane prapilorik. Atresia pilorik sangat jarang terdapat
dan harus ditunjang muntah tidak hijau. Bila 2 gelembung disertai
gelembung udara kecil kecil di distal, mungkin stenosis duodenum,
diafgrama membrane mukosa, atau malrotasi dengan atau tanpa volvulus.
b. USG Abdomen
Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan
obstruksi duodenum teridentifikasi sebelum kelahiran. Pada penelitian
cohort besar untuk 18 macam malformasi kongenital di 11 negara Eropa,
52% bayi dengan obstruksi duodenum diidentifikasi sejak in utero.
Obstruksi duodenum ditandai khas oleh gambaran double-bubble
(gelembung ganda) pada USG prenatal. Gelembung pertama mengacu
pada lambung, dan gelembung kedua mengacu pada loop duodenal
postpilorik dan prestenotik yang terdilatasi. Diagnosis prenatal
memungkinkan ibu mendapat konseling prenatal dan mempertimbangkan
untuk melahirkan di sarana kesehaan yang memiliki fasilitas yang mampu
merawat bayi dengan anomali saluran cerna.
G. PENATALAKSANAAN
a. Pre Operasi
Tindakan dekompresi dengan pemasangan sonde lambung (NGT) dan
lakukan pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini untuk mencegah
muntah dan aspirasi. Resusitasi cairan dan elektrolit, koreksi asam basa,
hiponatremia dan hipokalemia perlu mendapat perhatian khusus.
Pembedahan elektif pada pagi hari berikutnya
b. Post Operasi
Penggunaan selang transanastomik berada dalam di jejunum, pemberian
makan dapat diberikan setelah 48 jam paska operasi. Nutrisi parenteral
via central atau perifer dimasukan kateter dapat sangat efektif untuk
menjaga nutrisi waktu yang lama jika transanastomik enteral tidak cukup
atau tidak dapat ditolenrasi oleh tubuh pasien (Millar, 2005).

H. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
 Identitas Pasien : Nama, Tempat tgl lahir, umur , Jenis Kelamin,
Alamat, Agama, Suku Bangsa, Pendidikan, Pekerjaan , No. CM,
Tanggal Masuk RS, Diagnosa Medis
 Keluhan Utama : biasanya muntah terus menerus
 Riwayat keperawatan
Riwayat Kesehatan Sekarang : Muntah, Pada beberapa neonatus,
distensi bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai hari ke empat,
kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus sehingga cairan
berpindah ke kavum peritoneal.
Riwayat Keperawatan Dahulu : biasanya akan memiliki mekonium
yang jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan
berwarna lebih abu-abu dibandingkan mekonium yang normal
Riwayat Keperawatan Keluarga : Merupakan kelainan kongenital
bukan kelainan/ penyakit menurun sehingga belum tentu dialami oleh
anggota keluarga yang lain
 Pola Fungsi
- Pola persepsi terhadap kesehatan : Klien belum bisa
mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa yang dirasakan
dan apa yang diinginkan
- Pola aktifitas kesehatan/latihan : Pasien belum bisa melakukan
aktifitas apapun secara mandiri karena masih bayi.
- Pola istirahat/tidur : Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau
kelurga yang lain
- Pola nutrisi metabolik : Klien hanya minum ASI atau susu kaleng
- Pola eliminasi : Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada
mekonium
- Pola kognitif perseptual : Klien belum mampu berkomunikasi,
berespon, dan berorientasi dengan baik pada orang lain.
- Pola konsep diri (Identitas diri :, Ideal diri , Gambaran diri, Peran
diri, Harga diri.
- Pola seksual Reproduksi : Klien masih bayi dan belum menikah
- Pola nilai dan kepercayaan : belum mengerti tentang kepercayaan
- Pola peran hubungan : belum mampu berinteraksi dengan orang
lain secara mandiri
b. Diagnosa Keperawatan
Pre Op :
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
inadekuat akibat mual muntah.
Post Op :
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
2. Resiko Infeksi berhubungan dengan adanya luka post op.

c. Intervensi
NO Diagnosa Tujuan Intervensi
Keperawatan
1. Kekurangan Volume Kebutuhan  Pertahankan cairan
Cairan berhubungan cairan tubuh intravena
dengan mual muntah terpenuhi R: Untuk meningkatkan
dengan kriteria hidrasi dan mencegah
tidak mengalami dehidrasi
dehidrasi, turgir  Pantau hasil laboratorium
kulit normal. R : Untuk menentukan
adanya ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit.
 Pantau tanda-tanda vital
dan berat badan harian
R : Untuk mengetahui
keadaan umum dan untyk
mengkaji hidrasi.
 Pantau intake dan output.
R : Untuk menentukan
status hidrasi.
 Kaji turgor kulit dan
membran mukosa.
R: sebagai indikator hidrasi
yang adekuat.
2. Nutrisi kurang dari Kebutuhan  Observasi dan catat respon
kebutuhan tubuh nutrisi terpenuhi bayi terhadap pemberian
berhubungan dengan dengan kriteria makan.
intake inadekuat akibat dapat R: Untuk mencegah
muak muntah. mentoleransi muntah
diet sesuai  Mulai dengan pemberian
kebutuhan makan sedikit tapi sering.
secara parenteral R : meningkatkan nafsu
atau oral, makan serta meminimalisir
dengan KH : terjadinya muntah.
 Intake  Kolaborasi pemberian
adekuat antiemetik.
tanpa mual R : Antiemetik mengatasi
muntah adanya mual.
 Peningkatan
BB

Post Op :
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
1. Nyeri akut berhubungan Kebutuhan rasa  Observasi atau monitoring
dengan terputusnya nyaman skala nyeri dengan face
kontinuitas jaringan. terpenuhi scale.
dengan kriteria R : Mengetahui tingkat
tanda-tnda vital nyeri dan menentukan
dalam batas langkah selanjutnya.
normal, nyeri  Lakukan teknik
tidak dirasakan pengurangan nyeri seperti
(bayi tenang). pijat punggung (back rub),
sentuhan.
R : Upaya distraksi dapat
mengurangi rasa nyeri.
 Pertahankan posisi yang
nyaman bagi klien/bayi
R : Memberikan
kenyamanan pada klien/
bayi serta meminimalisir
nyeri.
 Kolaborasi pemberian
analgesik apabila
memungkinkan.
R : Mengurangi nyeri
2. Resiko Infeksi Infeksi tidak  Observasi luka post op.
berhubungan dengan terjadi dengan R : untuk melihat ada
adanya luka post op. kriteria tidak tidaknya tanda-tand infeksi.
terdapat tanda-  Pantau adanya peningkatan
tanda infeksi. suhu tubuh.
R : Peningkatan suhu tubuh
menunjukan adanya infeksi
 Ganti popok yang kering
untuk menghindari
kontaminasi feses.
R : Mencegah terjainya
iritasi akibat feses
 Pantau hasil lab khususnya
lekosit.
R : Peningkatan lekosit
menunjukan adanya
infeksi.
 Kolaborasi pemberian
antibiotik.
R : Mencegah infeksi
dengan memunuh
mikroorganisme.
DAFTAR PUSTAKA

Wong, Donna L. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik alih bahasa


Monica Ester editor Sari Kurnianingsih edisi 4. Jakarta: EGC

Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi


6. Jakarta: EGC.

Wilkinson, Judith M & Nancy R. Ahern., 2015. Buku Saku Diagnosa


Keperawatan dengan NIC dan NOC. Edisi 9. Jakarta : EGC

Ganong. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi: 17. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai