Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

ATRESIA DUODENUM

A. DEFINISI

Atresia duodenum adalah suatu kondisi dimana duodenum (bagian pertama dari
usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka
dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke
usus. Pada kondisi ini duodenum bisa mengalami penyempitan secara komplit
sehingga menghalangi jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk
mengalami proses absorbsi. Apabila penyempitan usus terjadi secara parsial, maka
kondisi ini disebut dengan duodenal stenosis (Hayden et al , 2003).

Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum tidak berkembang baik.


Pada kondisi ini deodenum bisa mengalami penyempitan secara komplit
sehingga menghalangi jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk
mengalami proses absorbsi. Apabila penyempitan usus terjadi secara parsial,
maka kondisi ini disebut dengan doudenal stenosis

B. ETIOLOGI

Meskipun penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum masih belum


diketahui, patofisologinya telah dapat diterangkan dengan baik. Seringnya
ditemukan keterkaitan atresia atau stenosis duodenum dengan malformasi
neonatal lainnya menunjukkan bahwa anomali ini disebabkan oleh gangguan
perkembangan pada masa awal kehamilan. Atresia duodenum berbeda dari atresia
usus lainnya, yang merupakan anomali terisolasi disebabkan oleh gangguan
pembuluh darah mesenterik pada perkembangan selanjutnya. Tidak ada faktor
resiko maternal sebagai predisposisi yang ditemukan hingga saat ini. Meskipun
hingga sepertiga pasien dengan atresia duodenum menderita pula trisomi 21
(sindrom Down), namun hal ini bukanlah faktor resiko independen dalam
perkembangan atresia duodenum.

C. KLASIFIKASI

Gray dan Skandalakis membagi atresia duodenum menjadi tiga jenis, yaitu: 1.
Tipe I (92%) Mukosal web utuh atau intak yang terbentuk dari mukosa dan
submukosa tanpa lapisan muskularis. Lapisan ini dapat sangat tipis mulai dari satu
hingga beberapa millimeter. Dari luar tampak perbedaan diameter proksimal dan
distal. Lambung dan 2 duodenum proksimal atresia mengalami dilatasi (Mucosal
web Tipe I atresia). Arteri mesenterika superior intak. 2. Tipe II (1%) Dua ujung
buntu duodenum dihubungkan oleh pita jaringan ikat (Fibrous cord Tipe II
atresia). Arteri Mesenterika intak. 3. Tipe III (7%) Dua ujung buntu duodenum
terpisah tanpa hubungan pita jaringan ikat (Complete separation Tipe III atresia).

D. PATOFISIOLOGI

Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal yang


tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau kegagalan
rekanalisasi  pita padat epithelial (kegagalan proses vakuolisasi). Banyak peneliti
telah menunjukkan  bahwa epitel duodenum berproliferasi dalam usia kehamilan
30-60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal secara sempurna. Proses
selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat duodenum padat mengalami
rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses apoptosis, atau kematian
sel terprogram, yang timbul selama perkembangan normal di antara lumen
duodenum. Kadang-kadang, atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular
(jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini sepertinya
lebih akibat gangguan perkembangan duodenal daripada suatu perkembangan
dan/atau berlebihan dari  pancreatic buds. Pada tingkat seluler, traktus digestivus
berkembang dari embryonic gut, yang tersusun atas epitel yang merupakan
perkembangan dari endoderm, dikelilingi sel yang  berasal dari mesoderm.
Pensinyalan sel antara kedua lapisan embrionik ini tampaknya 3 memainkan
peranan sangat penting dalam mengkoordinasikan pembentukan pola dan
organogenesis dari duodenum.

E. MANIFESTASI KLINIS

Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus. Gejala akan
nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat timbul gejala
dalam beberapa  jam hingga beberapa hari setelah kelahiran. Muntah yang terus
menerus merupakan gejala yang paling sering terjadi pada neonatus dengan atresia
duodenal. Muntah yang terusmenerus ditemukan pada 85% pasien. Muntah akan
berwarna kehijauan karena muntah mengandung cairan empedu (biliosa). Akan
tetapi pada 15% kasus, muntah yang timbul yaitu non-biliosaapabila atresia terjadi
pada proksimal dari ampula veteri. Muntah neonatus akan semakin sering dan
progresif setelah neonates mendapat ASI. Karakteristik dari muntah Proliferasi
endodement tidak adekuat Muntah Gangguan Perkembangan Atresia Duodenum
Volume cairan ↓ Dehidrasi Resiko aspirasi Intake nutrisi ↓ Gangguan nutrisi
kurang dari kebutuhan Gangguan cairan dan elektrolit Kekurangan volume cairan
Resiko asidosis metabolik Ketidakseimbangan asam basa PRE OPERATIF POST
OPERATIF Insisi Bedah Terputusnya Kontuinitas Jaringan Resiko Infeksi
Gangguan rasa nyaman nyeri Ansietas Kurang pengetahuan 4 tergantung pada
lokasi obstruksi. Jika atresia diatas papila, maka jarang terjadi. Apabila obstruksi
pada bagian usus yang tinggi, maka muntah akan berwarna kuning atau seperti
susu yang mengental. Apabila pada usus yang lebih distal, maka muntah akan
berbau dan nampak adanya fekal. Apabila anak terus menerus muntah pada hari
pertama kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup sebaiknya
dikonfirmasi dengan pemeriksaan  penunjang lain seperti roentgen dan harus
dicurigai mengalami obstruksi usus. Ukuran feses  juga dapat digunakan sebagai
gejala penting untuk menegakkan diagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya
akan memiliki mekonium yang jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih
kering, dan berwarna lebih abu-abu dibandingkan mekonium yang normal. Pada
beberapa kasus, anak memiliki mekonium yang nampak seperti normal (Kessel et
al, 2011) Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak terganggu.
Akan tetapi,  pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila kondisi anak
tidak ditangani dengan cepat, maka anak akan mengalami dehidrasi, penurunan
berat badan, gangguan keseimbangan elektrolit. Jika dehidrasi tidak ditangani,
dapat terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau hipokloremia. Pemasangan
tuba orogastrik akan mengalirkan cairan  berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah
bermakna. Anak dengan atresi duodenum juga akan mengalami aspirasi gastrik
dengan ukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat, biasanya aspirasi gastrik
berukuran kurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik ini dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pada jalan nafas anak. Pada beberapa anak, mengalami demam. Kondisi
ini disebabkan karena pasien mengalami dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103º
F maka kemungkinan pasien mengalami ruptur intestinal atau peritonitis (Kessel
et al , 2011). Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi
distensi ini tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien tidak
dirawat. Jika obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada epigastrium.
Distensi dapat tidak terlihat jika pasien terus menerus muntah. Pada beberapa
neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai hari ke empat,
kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus sehingga cairan  berpindah ke
kavum peritoneal. Neonatus dengan atresia duodenum memiliki gejala khas  perut
yang berbentuk skafoid (Kessel et al , 2011). Saat auskultasi, terdengar gelombang
peristaltik gastrik yang melewati epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang
peristaltik duodenum pada kuadran kanan atas. Apabila 5 obstruksi pada jejunum,
ileum maupun kolon, maka gelombang peristaltik akan terdapat pada semua
bagian dinding perut (Kessel et al , 2011).

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Foto polos abdomen Pada pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam
keadaan posisi tegak akan terlihat gambaran 2 bayangan gelembung udara
(double bubble), gelembung lambung dan duodenum proksimal atresia. Bila 1
gelembung mungkin duodenum terisi penuh cairan, atau terdapat atresia
pylorus atau membrane prapilorik. Atresia pilorik sangat  jarang terdapat dan
harus ditunjang muntah tidak hijau. Bila 2 gelembung disertai gelembung
udara kecil kecil di distal, mungkin stenosis duodenum, diafgrama membrane
mukosa, atau malrotasi dengan atau tanpa volvulus.
2. USG Abdomen Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan
obstruksi duodenum teridentifikasi sebelum kelahiran. Pada penelitian cohort
besar untuk 18 macam malformasi kongenital di 11 negara Eropa, 52% bayi
dengan obstruksi duodenum diidentifikasi sejak in utero. Obstruksi duodenum
ditandai khas oleh gambaran double-bubble (gelembung ganda) pada USG
prenatal. Gelembung pertama mengacu  pada lambung, dan gelembung kedua
mengacu pada loop duodenal postpilorik dan  prestenotik yang terdilatasi.
Diagnosis prenatal memungkinkan ibu mendapat konseling prenatal dan
mempertimbangkan untuk melahirkan di sarana kesehaan yang memiliki
fasilitas yang mampu merawat bayi dengan anomali saluran cerna.

G. PENATALAKSANAAN

1. Pre operasi Tindakan dekompresi dengan pemasangan sonde lambung (NGT)


dan lakukan  pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini untuk mencegah
muntah dan aspirasi. Resusitasi cairan dan elektrolit, koreksi asam basa,
hiponatremia dan hipokalemia  perlu mendapat perhatian khusus.
Pembedahan elektif pada pagi hari berikutnya.
2. Intraoperasi Tindakan ini memerlukan anestesi general dengan intubasi
endotrakeal. Yang sering  banyak digunakan dengan insisi pemotongan otot,
transversal, insisi kuadran kanan atas. Namun, beberapa menggunakan
motode laparoskopi untuk memperbaiki (Blanco-Rodríguez, 2008). Menurut
Felicitass (2011), teknik pembedahan pada atresia duodenum :
a. Side to side anastomosis Dimulai dari bagian dorsal dari anastomosis,
sebuah duodenostomi melintang dibuat di segmen proksimal. Bagian
ujung dari lambung dan duodenum dilakukan duodenotomi. Insisi pararel
dibuat pada distal duodenum kemudian lapisan posterior anastomosis
dijahitkan.
b.  For diamond shape duodenostomi Diperlukan mobilisasi untuk
menempatkan dinding duodenum proksimal terlihat dengan jelas.
Kemudian dibuat sayatan melintang di proksimal membujur ke duodenum
bagian distal.
c. For a duodenal web Untuk web duodenum, membrane biasanya terletak
di kedua bagian duodenum, Lokasi membrane dapat dibantu oleh
pemasangan NGT ke dalam duodenum.
d. For membrane resection Untuk reseksi membrane, sayatan dibuat
memanjang. Kemudian mengidentifikasi ampula vater. Eksisi dimulai
dengan insisi radial di pusat ostium. Sebelum menutup duodenum secara
melintang, patensi duodenum  bagian distal diuji terlebih dahulu dengan
menggunakan kateter silicon kecil.
3. Post operasi Penggunaan selang transanastomik berada dalam di jejunum,
pemberian makan dapat diberikan setelah 48 jam paska operasi. Nutrisi
parenteral via central atau perifer dimasukan kateter dapat sangat efektif
untuk menjaga nutrisi waktu yang lama jika transanastomik enteral tidak
cukup atau tidak dapat ditolenrasi oleh tubuh pasien (Millar, 2005).

H.     PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan saat prenatal maupun saat postnatal.


a)   Prenatal : Diagnosis saat masa prenatal yakni dengan menggunakan
prenatal ultrasonografi. Sonografi dapat mengevaluasi adanya
polihidramnion dengan melihat adanya struktur yang terisi dua cairan
dengan gambaran double bubble pada 44% kasus. Sebagian besar
kasus atresia duodenum dideteksi antara bulan ke 7 dan 8 kehamilan,
akan tetapi pada beberapa penelitian bisa terdeteksi pada minggu ke
20.
b)    Postnatal : Pemeriksaan yang dilakukan pada neonatus yang baru
lahir dengan kecurigaan atresia duodenum, yakni pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan laboratorium
yang diperiksa yakni pemeriksaan serum, darah lengkap, serta fungsi
ginjal pasien. Pasien bisanya muntah yang semakin progresive
sehingga pasien akan mengalami gangguan elektrolit. Biasanya mutah
yang lama akan menyebabkan terjadinya metabolik alkalosis dengan
hipokalemia atau hipokloremia dengan paradoksikal aciduria. Oleh
karena itu, gangguan elektrolit harus lebih dulu dikoreksi sebelum
melakukan operasi. Disamping itu, dilakukan pemeriksaan darah
lengkap untuk mengetahui apakah pasien mengalami demam karena
peritonitis dan kondisi pasien secara umum.

Pemeriksaan roentgen yang pertama kali dilakukan yakni plain abdominal x-


ray. X-ray akan menujukkan gambaran double-bubble sign tanpa gas pada
distal dari usus. Pada sisi kiri proksimal dari usus nampak gambaran gambaran
lambung yang terisi cairan dan udara dan terdapat dilatasi dari duodenum
proksimal pada garis tengah agak kekanan. Apabila pada x-ray terdapat gas
distal, kondisi tersebut tidak mengekslusi atresia duodenum. Pada neonatus
yang mengalami dekompresi misalnya karena muntah, maka udara akan
berangsur-angsur masuk ke dalam lambung dan juga akan menyebabkan
gambaran double-bubble.

I.  KOMPLIKASI

Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah terjadi dehidrasi, terutama


bila tidak terpasang line intravena. Setelah pembedahan, dapat
terjadi beberapa komplikasi lanjut seperti pembengkakan duodenum
(megaduodenum), gangguan motilitas usus, atau refluks gastroesofageal.

J.  PENATALAKSANAAN

Tata laksana yang dilakukan meliputi tata laksana preoperatif, intraoperatif serta
post operatif :
a)  Preoperatif
Setelah diagnosis ditegakkan, maka resusitasi yang tepat diperlukan dengan
melakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan dan abnormalitas elektrolit
serta melakukan kompresi pada gastrik. Dilakukan pemasangan orogastrik
tube dan menjaga hidrasi IV. Managemen preoperatif ini dilakukan mulai dari
pasien lahir. Sebagian besar pasien dengan duodenal atresia merupakan pasien
premature dan kecil, sehingga perawatan khusus diperlukan untuk menjaga
panas tubuh bayi dan mencegah terjadinya hipoglikemia, terutama pada kasus
berat badan lahir yang sangat rendah, CHD, dan penyakit pada respirasi.
Sebaiknya pesien dirawat dalam inkubator.

b)  Intraoperatif
Sebelum tahun 1970, duodenojejunostomi merupakan teknik yang dipilih
untuk mengoreksi obstruksi yang disebabkan karena stenosis maupun atresia.
Kemudian, berdasarkan perkembangannya, ditemukan berbagai teknik yang
bervariasi, meliputi side-to-side duodenoduodenostomi, diamnond shape
duodenoduodenostomi, partial web resection with heineke mikulick type
duodenoplasty, dan tapering duodenoplasty. Side-to-side duodenoplasty yang
panjang, walaupun dianggap efektif, akan tetapi pada beberapa penelitian
teknik ini memyebabkan terjadinya disfungsi anatomi dan obstruksi yang
lama. Pada pasien dengan duodenoduodenostomi sering mengalami blind-loop
syndrome.

Saat ini, prosedur yang banyak dipakai yakni laparoskopi maupun open
duodenoduodenostomi. Teknik untuk anastomosisnya dilakukan pada bagian
proksimal secara melintang ke bagian distal secara longitudinal atau diamond
shape. Dilakukan anastomosis diamond-shape pada bagian proksimal secara
tranversal dan distal secara longitudinal. Melalui teknik ini akan didapatkan
diamater anatomosis yang lebih besar, dimana kondisi ini lebih baik untuk
mengosongkan duodenum bagian atas. Pada beberapa kasus,
duodenoduodenostomi dapat sebagai alternatif dan menyebabkan proses
perbaikan yang lebih mudah dengan cara proses pembedahan minimal. Untuk
open duodenoduodenostomi, dapat dilakukan insisi secara tranversal pada
kuadran kanan atas pada suprambilikal. Untuk membuka abdomen maka
diperlukan insisi pada kulit secara tranversal, dimulai kurang lebih 2 cm diatas
umbilikus dari garis tengah dan meluas kurang lebih 5 cm ke kuadran 11
kanan atas.
Setelah kita menggeser kolon ascending dan tranversum ke kiri, kemudian kita
akan melihat duodenal yang mengalami obstruksi. Disamping mengevaluasi
duodenal stresia, dapat dievaluasi adanya malrotasi karena 30% obstruksi
duodenal kongenital dihubungkan dengan adanya malrotasi. Kemudian
dilakukan duodenotomi secara tranversal pada dinding anterior bagian distal
dari duodenum proksimal yang terdilatasi serta duodenostomi yang sama
panjangnya dibuat secara vertikal pada batas antimesenterik pada duodenum
distal. Kemudian akan dilakukan anstomosis dengan menyatukan akhir dari
tiap insisi dengan bagian insisi yang lain. Disamping melakukan open
duodenoduodenostomi, pada negara maju dapat dilakukan teknik operasi
menggunakan laparoscopic. Teknik dimulai dengan memposisikan pasien
dalam posisi supinasi, kemudian akan diinsersikan dua instrument. Satu pada
kuadran kanan bayi, dan satu pada mid-epigastik kanan. Duodenum
dimobilisasi dan diidentifikasi regio yang mengalami obstruksi. Kemudian
dilakukan diamond shape anastomosis. Beberapa ahli bedah melakukan
laparoscopik anatomosis dengan jahitan secara interrupted, akan tetapi
teknik ini memerlukan banyak jahitan. Metode terbaru yang dilaporkan,
kondisi ini dapat diselesaikan dengan menggunakan nitinol U-clips untuk
membuat duodenoduodenostomi tanpa adanya kebocoran dan bayi akan lebih
untuk dapat segera menyusui dibandingkan open duodenoduodenostomi
secara konvensional. Untuk duodenal obstruksi yang disebabkan annular
pankreas, maka dilakukan duodenoduodenostomi antara segmen duodenum
diatas dan dibawah area cincin pankreas. Operator tidak boleh melakukan
pembedahan pada pankreas karena akan menyebabkan pankreatik fistula,
kondisi demikian menyebabkan stenosis atau atresia duodenum akan menetap.

c)  Post Operasi
Pada periode postoperatif, maka infus intravena tetap dilanjutkan. Pasien
menggunakan transanastomotic tube pada jejunum, dan pasien dapat mulai
menyusui setelah 48 jam pasca operasi. Untuk mendukung nutrisi jangka
panjang, maka dapat dipasang kateter intravena baik sentral maupun perifer
apabila transanastomotic enteral tidak adekuat untuk memberi suplai nutrisi
serta tidak ditoleransi oleh pasien. Semua pasien memiliki periode aspirasi
asam lambung yang berwarna empedu. Kondisi ini terjadi karena peristaltik
yang tidak efektif atau distensi pada duodenum bagian atas. Permulaan awal
memberi makanan oral tergantung pada penurunan volume gastrik yang
diaspirasi.

K. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien : Nama, Tempat tgl lahir, umur , Jenis Kelamin,
Alamat, Agama, Suku Bangsa, Pendidikan, Pekerjaan , No. CM,
Tanggal Masuk RS, Diagnosa Medis.
2. Keluhan Utama : Muntah terus menerus.
3. Riwayat keperawatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang : Muntah, Pada beberapa
neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai
hari ke empat, kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau
usus sehingga cairan berpindah ke kavum peritoneal.
 b. Riwayat Keperawatan Dahulu : biasanya akan memiliki
mekonium yang  jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih
kering, dan berwarna lebih abu-abu dibandingkan mekonium
yang normal.
c. Riwayat Keperawatan Keluarga : Merupakan kelainan
kongenital bukan kelainan/ penyakit menurun sehingga belum
tentu dialami oleh angota keluarga yang lain.

4. Pola Fungsi

a. Pola persepsi terhadap kesehatan : Klien belum bisa


mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa yang
dirasakan dan apa yang diinginkan.

 b. Pola aktifitas kesehatan/latihan : Klien belum bisa melakukan


aktifitas apapun secara mandiri karena masih bayi.

c. Pola istirahat/tidur : Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi


atau kelurga yang lain.

d. Pola nutrisi metabolik Klien hanya minum ASI atau susu


kaleng.

e. Pola eliminasi Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin
ada mekonium.

f. Pola kognitif perseptual Klien belum mampu berkomunikasi,


berespon, dan  berorientasi dengan baik pada orang lain.

g. Pola konsep diri (Identitas diri : Ideal diri , gambaran diri,


peran diri, harga diri.

h. Pola seksual Reproduksi : Klien masih bayi dan belum


menikah.

i. Pola nilai dan kepercayaan : belum mengerti tentang


kepercayaan.

 j. Pola peran hubungan : belum mampu berinteraksi dengan


orang lain secara mandiri.
k. Pola koping : respon terhadap adanya suatu masalah dengan
isyarat.

L. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Ansietas (orang tua) yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit,
pemeriksaan diagnostic, dan terapi.
Hasil yang diharapkan: orang tua akan mengalami penurunan rasa cemas yang ditandai oleh
ungkapan pemahaman tentang gangguan tersebut dan kebutuhan tentang uji diagnostic dan
terapi.
Intervensi Rasional
1.   Jelaskan kepada orang tua anatomi1.  Dengan memahami sistem saluran
dan proses pengeluaran makanan cerna dapat membantu orang tua
melalui traktus gastrointestinal atas memahami dengan lebih baik
norma. gangguan menjalani pemeriksaan dan
2.   Beri orang tua jadwal uji diagnostic terapi.
yang diprogramkan 2.  Memiliki jadwal pemeriksaan
3.   Ajarkan orang tua tentang setiap uji diagnostic, membantu orang tua
diagnostik (rangkaian pemeriksaan mengantisipasi peristiwa yang akan
saluran cernah atas, pemeriksaan terjadi.
penunjang) 3.  Mengetahui informasi ini membantu
4.   Beri orang tua tentang peristiwa pra mengurangi rasa cemas orang tua dan
dan pasca bedah. Jelaskan juga meningkatkan kerja sama, dukungan
perincian tentang menahan pemberian dan keterlibatan mereka dalam
makanan per oral, pemeriksaan pemeriksaan diagnostic.
laboratorium, radiologi dan intubasi4.  Mengetahui apa yang akan terjadi
nasogastric. membantu mengurangi rasa cemas,
serta meningkatkan keterlibatan
mereka dalam perawatan bayi.

2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan muntah proyektil
yang sering.
Hasil yang diharapkan: bayi akan mempertahankan status nutrisi yang adekuat, ditandai
dengan bayi dapat menerima makanan dan muntah berkurang.

Intervensi Rasional
1.  Beri bayi makanan dalam posisi1.  Memberikan makan dan
tegak, sendawakan setiap kali menyendawakan bayi dengan cara ini,
menelan sebanyak 15-30 ml cairan mencega aerofagia dan memastikan
makanan. Ciptakan suasana bayi menerima makanan dalam
lingkungan yang tenang dan nyaman. jumlah yang optimal.
2.  Tawarkan porsi makan dalam jumlah2.  Pemberian makan porsi sedikit
sedikit dengan frekuensi sering, setiap dengan frekuensi sering, mengurangi
1-2 jam. Beri lagi setiap kali muntah. volume cairan total di dalam lambung
3.  Tawarkan makanan oral berupa untuk sekali waktu, yang dapat
larutan elektrolit selama pemeriksaan mengurangi resiko muntah dan
diagnostic. memberikan hidrasi yang optimal.
4.  Kaji bayi untuk mendeteksi3.  Larutan elektrolit menggantikan
perburukan dehidrasi, termasuk elektrolit yang hilang akibat muntah
penurunan haluaran urine, kulit berulang.
kering. Laporkan tanda ini segera. 4.  Dokter dapat memprogramkan
5.  Atur posisi bayi supaya tegak setiap pemberian cairan intravena, untuk
kali selesai pemberian makan. mengganti cairan dan mencegah syok.
5.  Posisi tegak membantu mencegah
aspirasi.

3. Kekurangan colume cairan berhubungan dengan dehidrasi atau syok.


Hasil yang diharapkan: bayi akan mempartahankan keseimbangan cairan dan elektrolit yang
normal yang dibuktikan oleh haluaran urine normal.

Intervensi Rasional
1.     Rehidrasi bayi sesuai indikasi1.     Larutan elektrolit peroral dan cairan
dengan larutan elektrolit oral atau intravena menggantikan cairan dan
cairan intravena. elektrolit yang hilang akibat muntah
2.     Pantau hasil uji laboratorium untuk dan dehidrasi.
hitung darah, berat jenis, eletrolit,2.     Dehidrasi menyebabkan peningkatan
nitrogen urea darah, dan kadar gas nilai hemoglobin dan hematocrit.
darah arteri. Muntah menyebabkan penurunan
3.     Pantau bayi setiap 2-4 jam untuk kadar kalium dan natrium,
deteksi tanda-tanda syok, termasuk peningkatan berat jenis.
peningkatan frekuensi napas dan3.     Pemantauan yang sering
jantung. memungkinkan deteksi dini dan terapi
4.     Kaji kulit bayi untuk deteksi tanda- syok, yang dapat terjadi akibat muntah
tanda dehidrasi termasuk kulit keabu- dan hipovolemik pasca operasi.
abuan, kulit kering, dan fontanel4.     Tanda ini mengindikasikan perlunya
cekung. peningkatan asupan cairan.
5.     Timbang berat badan bayi setiap hari5.     Menimbang berat badan setiap hari
dan pantau asupan serta haluaran serta pemantauan asupan dan haluaran
cairanya setiap jam. Termasuk asupan yang sering, memastikan pengkajian
melalui intra vena dan oral. terus-menerus status cairan bayi.

4. Post Operatif : Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan terputusnya kontuinitas
jaringan ditandai dengan adanya insisi bedah.
Nyeri bisa berkurang atau hilang dalam 3 x 24 jam perawatan
Kriteria Hasil :
Tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi Rasional
1.      Kaji nyeri, catat lokasi,
1.        Berguna dalam proses
karakteristik, beratnya (skala 0-5), pengawasan, keefektifan obat,
selidiki dan laporkan perubahan kemajuan penyembuhan,
nyeri dengan tepat perubahan pada karakteristik
2.      Pertahankan istirahat dengan nyeri menunjukan terjadinya
posisi yang nyaman peritonitis atau anses yang
3.      Pertahankan puasa atau memerlukan upaya evaluasi
penghisapan NGT pada awal medik dan intervensi
setelah operasi 2.        Gravitasi melokalisasi eksudat
4.      Berikan analgesik sesuai inflamasi dalam abdomen bawah
indikasi atau pelvis, menghilangkan
5.      Berikan kantong es pada daerah tegangan abdomen yang
abdomen bertambah dengan posisi
terlentang
3.        Menurunkan ketidaknyamanan
pada peristaltik usus dini dan
iritasi gaster
4.        Menghilangkan nyeri serta
mempermudah kerja sama dengan
intervensi terapi lain
5.        Menghilangkan dan
mengurangi nyeri melalui
penghilangan rasa ujung baal
(efek baal)

5. Post Operatif  : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama
ditandai dengan adanya prosedur infasif insisi bedah
Seteah dilakukan perawatan pasien terbebas dari resiko infeksi selama proses perawatan
Kriteria hasil :
1. Tanda-tanda vital dalam batas normal
2. Meningkatkan penyembuhan luka dengan benar
3. Terbebas terhadap tanda-tanda infeksi/ inflamasi
4. Terhindar dari Drainase purulen, eritema dari demam

Intervensi Rasional
1.      Awasi tanda-tanda vital,
1.      Dugaan adanya intervensi
perhatikan demam, mengigil, terjadinya sepsis, abses,
berkeringat, perubahan mental, peritonitis
meningkatkan nyeri abdomen 2.      Memberikan deteksi dini
2.      Lihat insisi dan balutan, catat terjadinya proses infeksi, dan atau
karakteristik drainase luka/drain, pengawasan penyembuhan
adatu adanya eritema peritonitis yang telah ada
3.      Lakukan pencucian tangan yang sebelumnya
baik dan perawatan luka aseptik 3.      Menurunkan resiko penyebaran
4.      Berikan informasi yang tepat, infeksi
jujur dan jelas pada pasien atau 4.      Pengetahuan tentang kemajuan
orang terdekat situasi memberikan dukungan
5.      Ambil contoh drainase bila emosi, membantu menurunkan
diindikasikan ansietas
6.      Berikan antibiotik yang sesuai 5.      Kultur pewarnaan gram dan
7.      Bantu dalam irigasi dan sensitivitas berguna untuk
drainase bila diindikasikan mengidentifikasikan organisme
penyebab dan pilihan terapi
6.      Dilakukan secara profilaktik
atau menurunkan jumlah
mikroorganisme
7.      Dapat diperlukan untuk
mengalirkan isi abses terlokalisir
DAFTAR PUSTAKA

Daengaoes, Maryllin E.1999. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta : EGC Ngastiyah.1995.


perawatan anak sakit . Jakarta :EGC
Syamsuhidajat, R. 2004.Buku ajar Ilmu bedah. Jakatra:EGC
Wong, Dona L. 2004. pedoman klinis keperawatan pediatric. Jakatra : EGC

Anda mungkin juga menyukai