Anda di halaman 1dari 17

Obstruksi Saluran Cerna Pada Anak

Obstruksi usus adalah keadaan darurat bedah yang paling umum pada periode

neonatal. Diagnosis dini dan akurat pada kasus obstruksi usus sangat penting untuk

manajemen pasien yang tepat (Desoky et al., 2018). Untuk evaluasi dan diagnosis, obstruksi

usus pada neonatus dapat dibagi menjadi obstruksi letak tinggi atau rendah berdasarkan

jumlah dilated bowel loops yang ada pada foto radiologi abdomen awal. Jumlah dilated bowel

loops sekitar tiga atau lebih sedikit umumnya terlihat pada obstruksi usus letak tinggi,

sedangkan lebih dari tiga dilated bowel loops terlihat pada obstruksi usus letak rendah yang

terjadi pada neonatus. Obstruksi usus letak tinggi terjadi pada proksimal ileum, yang

mengakibatkan berbagai kombinasi dilatasi gaster, duodenum, dan jejunum (sesuai dengan

tingkat obstruksi) (Tabel 1) (Vinocur et al., 2012). Sebaliknya, obstruksi usus letak rendah

melibatkan distal ileum atau colon dan biasanya mengakibatkan dilatasi difus beberapa small-

bowel loops (Tabel 1) (Vinocur et al., 2012). Walaupun neonatus dengan temuan radiografi

klasik obstruksi usus letak tinggi, seperti atresia duodenum dapat langsung menjalani operasi

tanpa pencitraan tambahan, rangkaian upper gastrointestinal tetap dilakukan untuk evaluasi

lebih lanjut. Demikian pula, pemeriksaan enema digunakan untuk penyelidikan lebih lanjut

pada neonatus dengan obstruksi usus letak rendah (Vinocur et al., 2012).

Tabel 1. Penyebab Obstruksi Usus pada Neonatal (Vinocur et al., 2012)


Obstruksi Usus Letak Tinggi Obstruksi Usus Letak Rendah
Gastric atresia Small bowel involvement
Hypertrophic pyloric stenosis • Ileal atresia
Duodenal atresia • Meconium ileus
Duodenal stenosis (dengan annular pancreas) Large bowel involvement
Duodenal web • Functional immaturity of the colon
Malrotation • Hirschsprung disease
Jejunal atresia and stenosis • Intussusception
• Colonic atresia
• Anal atresia and anorectal
malformations
A. Obstruksi Usus Letak Tinggi

1. Gastric Atresia

Complete gastric agenesis hampir tidak pernah terjadi. Kejadian kongenital

microgastria jarang terjadi. Kelainan ini dapat hadir sebagai isolated malformasi atau dengan

anomali lain, terutama dengan sindrom heterotaxia (abnormal left-right asymmetry) dengan

asplenia. Karakteristik temuan pencitraan microgastria termasuk distended esofagus dan

small midline stomach. Gastric atresia, yang biasanya terlokalisasi pada daerah antrum atau

pilorus, juga jarang terjadi, terhitung <1% dari semua obstruksi usus kongenital. Penyebab

gastric atresia mungkin terkait dengan oklusi vaskular intrauterin terlokalisasi daripada

kegagalan perkembangan kanalisasi usus. Bayi baru lahir dengan gastric atresia biasanya

hadir dengan muntah nonbilious dan distensi abdomen dalam beberapa jam pertama setelah

kelahiran. Foto polos abdomen pada neonatus dengan distal gastric atresia ditandai oleh

lambung yang terisi penuh gas tanpa udara usus distal. Temuan pencitraan ini dikenal sebagai

"single bubble sign" (Vinocur et al., 2012).

2. Hypertrophic pyloric stenosis

Hypertrophic pyloric stenosis (HPS) relatif sering terjadi dengan insidensi 2,4 per 1.000

Kaukasia, dan lebih sering terjadi pada pria. Patologi yang didapat ini dapat dilihat mulai usia

2 minggu kehidupan, tetapi umumnya diperkirakan terjadi antara 3 dan 12 minggu. Penyebab

pastinya masih belum diketahui, tetapi komponen genetik merupakan faktor yang terlibat. Otot

circumferential dan mukosa pilorus menjadi hipertrofi.16 Pasien dengan HPS mengalami

muntah proyektil yang nonbilious, jika tidak ditangani, dapat menyebabkan dehidrasi dan

ketidakseimbangan elektrolit (Desoky et al., 2018).

Ultrasonografi abdominal merupakan tes diagnostik awal dan optimal. Otot pilorus

yang abnormal akan menebal dan memanjang, mengukur ketebalan lebih dari 3-4 mm dan

panjangnya lebih besar dari 12-16 mm, tergantung pada referensi (Gambar 1A). Ahli sonografi

harus mengamati pilorus hingga 10 menit untuk mengidentifikasi passage lambung melalui

saluran pilorik untuk membedakan antara spasme pilorik, yang merupakan fenomena
sementara, dan stenosis pilorus. Memberi makan bayi selama evaluasi ultrasound dapat

berguna untuk membantu visualisasi pengosongan lambung. Hal ini juga bermanfaat untuk

secara simultan mengevaluasi hubungan antara superior mesenteric artery (SMA) dan

superior mesenteric vein (SMV), karena diagnosis banding untuk bayi yang muntah termasuk

malrotasi usus (Gambar 1B). Jika hubungan SMA-SMV terbalik, studi kontras upper

gastrointestinal segera harus dilakukan untuk mengevaluasi malrotasi usus dan midgut

volvulus (Desoky et al., 2018).

Tanda-tanda HPS pada pemeriksaan fluoroskopi berupa caterpillar sign di mana

terdapat peristaltik lambung yang abnormal, serta penyempitan kanal pilorus yang tidak

normal yang dibuktikan dengan tanda-tanda string, teat, dan mushroom signs (Desoky et al.,

2018). Tatalaksana untuk HPS adalah dekompresi lambung dengan nasogastric tube dan

resusitasi cairan, diikuti dengan open/laparoscopic surgical release dari otot pilorus hipertrofi

(Desoky et al., 2018).

3. Duodenal Atresia

Obstruksi duodenum lengkap pada neonatus biasanya disebabkan oleh atresia

duodenum, yang merupakan hasil dari kegagalan kongenital rekanalisasi yang biasanya

terjadi pada usia kehamilan 9-11 minggu (Juang & Snyder, 2012). Berbeda dengan atresia

usus kecil yang lebih distal, atresia duodenum tampaknya tidak berhubungan dengan

gangguan vaskular intrauterin. Atresia duodenum sering dikaitkan dengan anomali kongenital

lainnya, seperti atresia usus tambahan, penyakit jantung bawaan, atau sebagai bagian dari

asosiasi VACTERL (vertebral, anorectal, cardiac, tracheoesophageal, renal, dan limb

anomalies) (Juang & Snyder, 2012; Adams & Stanton, 2014). Sekitar 30% kasus terjadi pada

pasien dengan sindrom Down. Bayi baru lahir dengan atresia duodenum biasanya mengalami

muntah selama beberapa jam pertama kehidupan. Pada sekitar 80% dari neonatus dengan

atresia duodenum, lokasi atresia duodenum berada di bagian postampular, sehingga pasien

dapat mengalami emesis bilateral (Desoky et al., 2018). Hasil foto polos abdomen atresia

duodenum berupa lambung yang dilatasi berisi gas dan duodenum bulb, yang dikenal sebagai
"double bubble sign" (Gambar 2) (Vinocur et al., 2012). Pada kasus komplit atresia duodenum,

terdapat kekurangan gas usus distal ke proksimal duodenum (Vinocur et al., 2012).

Gambar 2. Atresia duodenum pada bayi baru lahir dengan muntah dan distensi
abdomen. A, Foto polos abdomen menunjukkan distended lambung yang berisi gas (S) dan
duodenum bulb (D), menghasilkan “double bubble sign”. B, Gambar ultrasonografi transverse prenatal
menunjukkan distended lambung yang berisi cairan (S) dan duodenum bulb (D), menghasilkan double
bubble sign USG prenatal (Vinocur et al., 2012).

4. Duodenal Stenosis (dengan Annular Pancreas)

Obstruksi duodenum parsial pada neonatus biasanya disebabkan oleh stenosis

duodenum, dengan atau tanpa annular pankreas. Seperti pada neonatus dengan atresia

duodenum, terdapat distensi gastroduodenal, tetapi pada stenosis duodenum juga terdapat

gas usus yang terlihat distal ke proksimal duodenum. Pada studi upper gastrointestinal,

duodenum bulb mengalami distended dan terdapat transit lambat dari bahan kontras oral

melalui segmen stenotik duodenum ke distal usus (Gambar 3). Pada anak dengan stenosis

duodenum, keluhan mungkin hadir di kemudian hari dibandingkan mereka yang mengalami

atresia duodenum, akibat obstruksi duodenum yang terjadi adalah parsial (Gambar 4)

(Vinocur et al., 2012).


Gambar 3. Stenosis duodenum pada anak berusia 4 hari dengan muntah dan distensi
abdomen. A, Foto polos abdomen menunjukkan distensi lambung yang parah (S) dan duodenum bulb
(D). B, Rontgen abdomen dari studi upper gastrointestinal menunjukkan lambung berisi barium (S) dan
duodenum distended (D). Trickles of barium (panah) perlahan-lahan mengisi bagian usus yang lebih
distal (Vinocur et al., 2012).

Gambar 4. Stenosis duodenum pada anak berusia 3 bulan dengan muntah yang
progresif dan distensi abdomen. Gambar dari studi upper gastrointestinal menunjukkan
duodenum bulb terisi penuh barium (D). Barium melewati segmen stenotik duodenum (panah) ke
bagian usus yang lebih distal (Vinocur et al., 2012).

5. Duodenal Web

Duodenal web merupakan small congenital obstructing membrane dengan central

pinhole aperture yang membentuk jaring fungsional. Tekanan jangka panjang dari peristaltik

terhadap segmen stenotik pada duodenum dapat menyebabkan peregangan distal jaringan,

membentuk pseudodivertikulum intraluminal (windsock diverticulum). Karakteristik temuan

upper gastrointestinal adalah membran radiolusen samar, yang mewakili dengan barium

mengisi lumen dan di sekitar diafragma (Gambar 5) (Vinocur et al., 2012).


Gambar 5. Duodenal web pada anak berusia 3 hari dengan muntah dan distensi
abdomen. Gambar dari studi upper gastrointestinal menunjukkan membran obstruksi radiolusen
samar (panah) dengan lumen duodenum yang terisi barium. D = duodenum bulb (Vinocur et al., 2012).

6. Malrotasi

Malrotasi mengacu pada rotasi usus yang abnormal atau tidak lengkap selama

perkembangan embrionik (Juang & Snyder, 2012). Normalnya, rotasi usus fisiologis (270°

disekitar axis arteri mesenterika superior) mengarah ke persimpangan duodenal-jejunal dan

ileocecal yang secara tepat terletak di kuadran kiri atas dan kanan bawah (Applegate et al.,

2006). Rotasi usus fisiologis yang normal ini menghasilkan perlekatan usus ke mesenterium,

yang mencegah usus melilit di sekitar mesenterium. Pada malrotasi, derajat yang berbeda

dari lokasi abnormal dari dua segmen usus utama ini menghasilkan perlekatan mesenterika

yang lebih sempit, yang menempatkan small bowel beresiko memuntir di sekitar pedikelnya,

suatu kondisi yang dikenal sebagai "midgut volvulus" (Juang & Snyder, 2012). Midgut volvulus

menyebabkan kedua obstruksi mekanis dan arteri. oklusi pembuluh mesenterika. Jika tidak

diobati, midgut volvulus akan berkembang menjadi iskemia usus dan akhirnya terjadi infark.

Selain itu, sebagian usus yang mengalami malposisi sering dikaitkan dengan abnormal

peritoneal fibrous bands (Ladd bands), yang merupakan koneksi fibrosa anomali yang

biasanya meluas dari sekum malposisi melintasi duodenum untuk melekat pada peritoneum

dan hati. Pita fibrosa anomali ini juga berkontribusi pada kejadian obstruksi usus (Vinocur et

al., 2012).

Meskipun bayi baru lahir dengan isolated malrotasi mungkin tanpa gejala,

perkembangan midgut volvulus biasanya menghasilkan emesis bilious. Radiografi abdomen

neonatus dengan malrotasi umumnya tidak spesifik. Hal ini mungkin normal, menunjukkan
pola obstruksi usus proksimal, atau menunjukkan dilatasi beberapa loop usus (Gambar 6A).

Evaluasi lebih lanjut memerlukan studi upper gastrointestinal sebagai prosedur pencitraan

berikutnya. Penampilan klasik upper gastrointestinal pada malrotasi dengan volvulus terdiri

dari perjalanan duodenum yang abnormal yang gagal melewati garis tengah yang

dikombinasikan dengan konfigurasi duodenum sirkular (corkscrew appearance) (Gambar 6B)

(Vinocur et al., 2012).

Gambar 6. Malrotasi dengan volvulus pada anak berusia 11 hari dengan muntah bilious
selama 1 hari. A, Foto polos abdomen menunjukkan dilatasi nonspesifik beberapa loop usus. B,
Gambar dari studi gastrointestinal atas menunjukkan perjalanan duodenum yang abnormal (panah),
yang gagal melintasi garis tengah dan memiliki penampilan spiral (corkscrew appearance), konsisten
dengan malrotasi dengan volvulus. S = lambung (Vinocur et al., 2012).

7. Jejunal Atresia dan Stenosis

Obstruksi jejunum pada neonatus hampir selalu karena atresia atau stenosis.

Penyebab mendasar dari atresia jejunal dan ileum adalah iskemik intrauterin, yang dapat

menjadi penyebab vaskular primer atau sekunder akibat volvulus. Bayi baru lahir dengan

atresia jejunal biasanya hadir dengan emesis bilateral dan distensi abdomen. Hasil foto polos

abdomen biasanya menunjukkan beberapa loop usus distensi, lebih dari double bubble

atresia duodenum tetapi lebih sedikit dari pola obstruksi rendah (Vinocur et al., 2012).

Karakteristik dilatasi dari lambung, duodenum, dan proksimal jejunum dikenal sebagai

"triple bubble sign" (Gambar 7A). Studi upper gastrointestinal menunjukkan duodenum dan

proksimal jejunum melebar, yang keduanya diisi dengan bahan kontras. Sebuah studi kontras

enema juga sering dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan atresia usus distal bersamaan

sebelum perbaikan bedah (Gambar 7B) (Vinocur et al., 2012).


Gambar 7. Jejunal atresia pada bayi baru lahir dengan diagnosis prenatal obstruksi
usus dan muntah. A, Foto polos abdomen menunjukkan dilatasi lambung yang parah (S), duodenum
(D), dan jejunum (J), menghasilkan "triple bubble sign", disertai kurangnya udara usus bagian distal. B,
Gambar dari kontras enema menunjukkan mikrokolon (panah lurus) dan ileum (panah melengkung),
serta dilatasi jejunum yang parah (J) (Vinocur et al., 2012).

B. Obstruksi Usus Letak Rendah

1. Keterlibatan Usus Kecil

a. Ileal atresia

Ileal atresia adalah penyebab umum obstruksi usus letak rendah pada neonatus,

dengan perkiraan kejadian 1 dari 5000 kelahiran hidup (Juang & Snyder, 2012). Penyebabnya

diduga terkait dengan iskemik intrauterin. Bagian distal ileum paling sering terlibat. Bayi baru

lahir dengan atresia ileum memiliki lebih sedikit anomali kongenital dibandingkan dengan

atresia duodenum (Reid, 2012). Pasien dengan ileal atresia biasanya datang dengan muntah-

muntah dan distensi abdomen. Hasil foto polos abdomen menunjukkan banyak loop usus

yang melebar (Gambar 8) (Vinocur et al., 2012).

Gambar 8. Ileal atresia pada anak berusia 2 hari dengan muntah yang progresif dan
distensi abdomen. A, Foto polos abdomen menunjukkan beberapa loop usus distended (panah),
disertai kurangnya udara usus bagian distal. B, Gambar dari studi enema kontras menunjukkan colon
berisi kontras berakhir di dekat distal ileum (panah lurus). Terdapat multiple distended loops usus kecil
yang berisi udara (panah melengkung) (Vinocur et al., 2012).
b. Ileus mekonium

Ileus mekonium menyumbang sekitar 20% dari kasus obstruksi usus neonatal

(Vinocur et al., 2012). Disebabkan oleh obstruksi intraluminal usus besar dan distal usus kecil

oleh konsentrasi mekonium yang abnormal, kondisi ini hampir selalu merupakan manifestasi

klinis awal dari fibrosis kistik. Oklusi usus halus bagian distal menyebabkan obstruksi mekanis

dengan distensi berikutnya dari loop usus yang lebih proksimal. Ileus mekonium dapat

dipersulit oleh volvulus, perforasi, atau peritonitis (Karimi et al., 2011). Perforasi intrauterin

dapat menyebabkan meconium peritonitis (jenis kimia), dan kalsifikasi peritoneum yang dapat

terlihat setelah kelahiran (Gambar 9). Foto polos abdomen pada neonatus dengan meconium

ileus menunjukkan pola obstruksi usus letak rendah yang ditandai dengan multiple bowel loop

dilatations (Gambar 10) (Vinocur et al., 2012).

Gambar 9. Peritonitis mekonium pada anak berusia 2 hari dengan perforasi mekonium
intrauterin yang disertai pembesaran skrotum dan perut kaku. Foto polos abdomen
menunjukkan beberapa kalsifikasi peritoneum (panah lurus), disertai kalsifikasi pada skrotum (panah
melengkung) (Vinocur et al., 2012).
Gambar 10. Ileus meconium pada anak berusia 3 hari yang gagal mengeluarkan
mekonium. A, Foto polos abdomen menunjukkan beberapa dilatasi usus. B, Gambar dari kontras
enema menunjukkan sejumlah besar konsentrasi mekonium di distended terminal ileum (panah lurus)
dan colon (panah melengkung) (Vinocur et al., 2012).

2. Keterlibatan Usus Besar

a. Ketidakmatangan fungsional dari usus besar (meconium plugs atau small left colon

syndrome)

Ketidakmatangan fungsional usus besar (functional immaturity of colon), juga dikenal

sebagai meconium plugs atau small left colon syndrome, adalah obstruksi kolon fungsional

transien fungsional jinak dan terbatas pada neonatus. Penyebab yang mendasarinya diduga

terkait dengan ketidakmatangan sel-sel ganglion kolon (pleksus saraf mienterik) (Juang &

Snyder, 2012; Vinocur et al., 2012). Ketidakmatangan fungsional dari usus besar adalah

diagnosis paling umum pada neonatus yang gagal mengeluarkan feses meconium selama

lebih dari 48 jam (Al-Salem, 2014). Peningkatan insiden ketidakmatangan fungsional usus

besar telah dilaporkan pada bayi dari ibu diabetes dan ibu yang menerima magnesium sulfat

untuk preeklampsia selama kehamilan (Vinocur et al., 2012).

Foto polos abdomen pada neonatus dengan ketidakmatangan fungsional kolon

biasanya menunjukkan beberapa loop usus melebar, suatu penampilan yang merupakan

karakteristik dari obstruksi usus letak rendah (Gambar 11A). Pada studi enema kontras,

beberapa kelainan pengisian (meconium plugs) dapat terlihat. Bagian ascending dan

transverse dari usus besar biasanya lebih dilatasi daripada bagain descending (small left

colon syndrome), sedangkan rektum dalam ukuran normal (Gambar 11B). Neonatus dengan

dugaan diagnosis ketidakmatangan fungsional usus besar yang gejalanya tidak sembuh
setelah enema terapeutik harus dipertimbangkan untuk biopsi kolon untuk memastikan

diagnosis (Vinocur et al., 2012).

Gambar 11. Ketidakmatangan fungsional usus besar pada anak yang baru lahir yang
gagal mengeluarkan mekonium disertai distensi abdomen. A, Foto polos abdomen
menunjukkan beberapa dilatasi usus. B, Kontras enema menunjukkan bahwa kolon kiri kecil (panah),
sedangkan kolon yang tersisa (C) dan rektum (R) berukuran normal (Vinocur et al., 2012).

b. Penyakit Hirschsprung

Penyakit Hirschsprung disebabkan oleh terhambatnya migrasi sel neuron (ganglion)

ke usus distal sebelum usia kehamilan 12 minggu (Juang & Snyder, 2012; Vinocur et al.,

2012). Karena sel-sel ganglion usus bermigrasi ke arah craniocaudad, area aganglionosis

selalu meluas dari titik henti saraf ke anus. Segmen aganglionosis biasanya kontinu dan paling

sering melibatkan rektum dan sebagian dari kolon sigmoid (short segment disease, yang

menyumbang sekitar 75% kasus) (Das & Mohanty, 2017).

Terkadang, kelainan migrasi sel ganglion lebih luas dan segmen aganglionik meluas

untuk jarak variabel proksimal ke kolon sigmoid (long segment disease, yang menyumbang

sekitar 25% kasus) (Gosain, 2016). Proses ini juga dapat mempengaruhi seluruh usus besar

(total colonic aganglionosis) dan, sedikit bagian dari usus kecil. Segmen aganglionik tidak

dapat distend secara normal, menghasilkan obstruksi fungsional dengan dilatasi usus

proksimal dan defekasi yang tidak normal. Sebagian besar kasus muncul secara klinis pada

periode bayi baru lahir dengan tertundanya mekonium dan distensi abdomen (Duess et al.,

2014).

Hasil foto polos abdomen pada neonatus dengan penyakit Hirschsprung biasanya

menunjukkan pola obstruksi usus letak rendah dengan dilatasi banyak loop usus (Gambar

12A). Penampilan ini menunjukkan obstruksi usus letak rendah tetapi tidak spesifik. Oleh
karena itu, studi kontras enema diperlukan untuk evaluasi lebih lanjut. Temuan radiologis

karakteristik penyakit Hirschsprung pada studi enema meliputi rasio rectosigmoid yang

abnormal (<1) (Gambar 12B), zona transisi penyempitan dubur (Gambar 12B), kontraksi

dubur tidak teratur (Gambar 12C), dan mempertahankan bahan kontras pada radiografi yang

delayed (Gambar 11D) (Vinocur et al., 2012). Studi kontras enema biasanya abnormal pada

neonatus dengan penyakit Hirschsprung, namun bisa normal (Vinocur et al., 2012). Oleh

karena itu, kemungkinan penyakit Hirschsprung masih harus dicurigai kuat, dan biopsi rektal

biasanya diperlukan untuk diagnosis definitif pada neonatus dengan tanda-tanda klinis dan

gejala obstruksi usus letak rendah yang persisten tetapi hasil enema kontras normal (Das &

Mohanty, 2017).

Gambar 12. Penyakit Hirschsprung pada anak berusia 2 hari. A, Foto polos abdomen
menunjukkan beberapa loop usus melebar dan kurangnya udara di daerah rektum. B, Gambar dari
kontras enema menunjukkan area penyempitan dubur (panah), disertai ukuran kolon sigmoid (SC) lebih
besar dari ukuran dubur (R). C, Gambar dari studi enema kontras menunjukkan kontraksi dubur tidak
teratur (panah lurus), disertai beberapa distended loops dari usus kecil (panah melengkung). SC =
sigmoid colon. D, Rontgen abdomen delayed diperoleh 24 jam setelah studi enema kontras
menunjukkan bahan kontras yang tertahan pada beberapa loop usus yang melebar (panah) (Vinocur
et al., 2012).

c. Intussusception

Intususepsi adalah telescoping usus atau masuknya saah satu bagian

(intussusceptum) ke dalam bagian yang lain (intussuscipiens) atau invaginasi dari salah satu

bagian usus ke dalam lumen dan bergabung dengan bagian tersebut (Slam & Teitelbaum,

2007). Hal ini paling sering terjadi di persimpangan ileocolic, tanpa lead point yang dapat

diidentifikasi, pada anak-anak antara usia 6 dan 18 bulan. Intususepsi jarang terjadi pada

periode neonatal pada bayi cukup bulan, dengan insidensi 0,3% -1,3%, dan sangat jarang

terjadi pada bayi prematur. Patogenesis intususepsi neonatal masih belum jelas; namun, pada
bayi cukup bulan, lebih sering dikaitkan dengan lead point patologis dan lebih sering

melibatkan usus besar (Desoky et al., 2018).

Presentasi klinis neonatus dengan intususepsi berbeda dari bayi yang lebih tua, yang

biasanya mengalami nyeri perut intermiten, massa yang teraba, dan feses berdarah (Slam &

Teitelbaum, 2007). Neonatus full-term dengan intususepsi memiliki presentasi yang

menyerupai obstruksi usus, dengan distensi abdomen dan muntah bilious dalam beberapa

jam setelah kelahiran. Bayi prematur dengan intususepsi memiliki presentasi yang

menyerupai necrotizing enterocolitis, dengan distensi abdomen, emesis bilious, intoleransi

makan, dan terkadang pendarahan rektum. Karena itu, intususepsi jarang dicari sebagai

diagnosis pada neonatus (Desoky et al., 2018).

Pada neonatus yang dievaluasi terkait obstruksi usus atau enterokolitis nekrotikans,

didapatkan dilatasi loop usus kecil pada foto polos abdomen. Temuan patognomonik untuk

nekrotikan enterokolitis seperti pneumatosis intestinalis dan gas vena porta tidak ada, karena

mereka berada di lebih dari setengah dari kasus-kasus enterokolitis nekrotikan. Foto polos

abdomen tidak peka dan tidak spesifik untuk mendiagnosis intususepsi. Pada pasien dengan

dugaan obstruksi usus letak rendah, dilakukan kontras enema dan akan menunjukkan

intususepsi jika ada komponen kolon; namun, tidak ada komponen kolon pada 25%-50%

kasus intususepsi neonatal. USG perut tidak dilakukan secara rutin pada neonatus untuk

mendiagnosis intususepsi seperti pada bayi yang lebih tua karena diagnosisnya jarang

dipertimbangkan. Telah disarankan untuk evaluasi lebih lanjut dari neonatus di mana

intususepsi merupakan pertimbangan diagnostik (Slam & Teitelbaum, 2007; Desoky et al.,

2018).

Pada neonatus dengan obstruksi usus lengkap akibat intususepsi, eksplorasi bedah

bersifat kuratif dan biasanya tidak ditunda. Pada neonatus prematur yang diduga sebagai

enterokolitis nekrotikans, eksplorasi bedah biasanya tertunda, dengan peningkatan morbiditas

dan mortalitas yang terkait (Desoky et al., 2018).


d. Atresia kolon

Kolon adalah tempat yang relatif tidak umum untuk atresia usus, dengan perkiraan

insiden 5-15% dari semua atresi usus pada neonatus. Neonatus dengan atresia kolon

umumnya hadir dengan distensi abdomen (Juang & Snyder, 2012; Reid, 2012). Hasil foto

polos abdomen menunjukkan beberapa loop usus melebar, beberapa level cairan udara, dan

tidak adanya udara di rektum. Terkadang, terdapat distended loop yang tidak proporsional

yang mewakili aspek paling distal dari atresia kolon (Gambar 13A). Studi kontras enema

menunjukkan usus besar yang tidak digunakan di bagian distal (mikrocolon) (Gambar 13B)

(Vinocur et al., 2012).

Gambar 13. Atresia kolon pada bayi baru lahir dengan distensi abdomen. A, Foto polos
abdomen menunjukkan beberapa loop usus distended dengan satu bagian usus distended yang tidak
proporsional (C). B, Gambar dari studi enema kontras menunjukkan distal colon kecil (panah) dan loop
usus distended yang tidak proporsional (C), yang mewakili aspek paling distal dari atresia kolon. C,
Foto intraoperatif menunjukkan distended blind-ending bowel loop yang parah (panah), yang mewakili
aspek paling distal dari atresia kolon (Vinocur et al., 2012).

e. Atresia Anal dan Malformasi Anorektal

Atresia anal, juga dikenal sebagai “imperforate anus”, adalah kondisi yang

penyebabnya tidak diketahui, di mana tidak ada pembukaan anal normal (Juang & Snyder,

2012). Dengan perkiraan kejadian 1 dari 5000 kelahiran hidup, atresia anal memengaruhi

anak laki-laki dan perempuan dengan frekuensi yang sama. Atresia anal dikaitkan dengan

anomali kongenital lainnya, termasuk anomali vertebral, jantung, ginjal, dan anggota gerak

(Vinocur et al., 2012; Sloan & Wagener, 2016).

Meskipun saat ini ada banyak skema klasifikasi untuk atresia anal, secara tradisional

dibagi menjadi lesi tinggi dan rendah, tergantung pada apakah rektum berakhir di atas atau di
bawah puborectalis sling. Pada atresia anal rendah dengan rektum berakhir di bawah sling

puborectalis, rektum tetap dekat dengan kulit dalam blind pouch (anus mungkin stenotik atau

bahkan tidak ada pada pemeriksaan fisik). Pada atresia anal tinggi dengan rektum yang

berakhir di atas sling puborectalis, rektum terletak tinggi di panggul dan mungkin ada

hubungan fistulous dengan kandung kemih, uretra, atau vagina (Holschneider et al., 2005;

Levitt & Pena, 2007; Vinocur et al., 2012).

Bayi baru lahir dengan atresia anal biasanya hadir dengan tanda-tanda obstruksi usus

letak bawah seperti kegagalan untuk mengeluarkan mekonium dan distensi abdomen.

Meskipun diagnosis atresia anal dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik saja, foto polos

abdomen dapat bermanfaat untuk menentukan apakah bayi memiliki atresia anal tinggi atau

rendah, informasi yang bermanfaat untuk perencanaan bedah. Sedangkan perbaikan bedah

untuk atresia anal rendah biasanya melibatkan anoplasti sederhana atau dilatasi, atresia anal

tinggi biasanya memerlukan kolostomi sementara dengan perbaikan bedah selanjutnya. Hasil

foto polos abdomen menunjukkan pola obstruksi usus letak rendah (Gambar 14A).

Pandangan lateral yang diperoleh pada posisi prone berharga untuk menunjukkan tingkat

penurunan dubur. Ultrasonografi perineum dapat menentukan jarak antara perineum dan

ujung rektum (Gambar 14B). Pemeriksaan pencitraan lebih lanjut untuk atresia anal meliputi

kistografi untuk menilai fistula terkait dengan saluran kemih dan MRI untuk

mengkarakteristikkan struktur anatomi pelvis (Vinocur et al., 2012).

Gambar 14. Atresia anal pada bayi baru lahir dengan distensi abdomen. A, Foto polos
abdomen menunjukkan beberapa loop usus distended. B, Gambar ultrasonografi longitudinal melalui
perineum menunjukkan fluid-filled blind-ending rectal pouch (panah). BL = kandung kemih (Vinocur et
al., 2012).
Kesimpulan

Obstruksi usus adalah keadaan darurat bedah yang paling umum dijumpai pada bayi

baru lahir, yang membutuhkan diagnosis dini dan akurat. Pemahaman tentang penampilan

pencitraan yang khas dari berbagai penyebab obstruksi usus neonatal pada radiografi

abdomen dapat mengarah pada diagnosis yang benar atau menjadi panduan untuk langkah

selanjutnya dalam evaluasi radiologis tambahan. Setelah radiologi abdomen menunjukkan

adanya obstruksi usus letak tinggi pada neonatal, serangkaian pemeriksaan upper

gastrointestinal dilakukan untuk evaluasi lebih lanjut. Namun, neonatus dengan temuan

radiografi klasik obstruksi usus letak tinggi, seperti atresia duodenum, dapat langsung

menjalani operasi tanpa evaluasi pencitraan tambahan. Pemeriksaan enema digunakan untuk

evaluasi lebih lanjut pada neonatus yang dicurigai obstruksi usus letak rendah.
DAFTAR PUSTAKA

Adams SD, Stanton MP. Malrotation and intestinal atresias. Early Hum Dev. 2014;90(12):921–
925.

Al-Salem AH. Meconium plug syndrome. In: Al-Salem AH, editor. An Illustrated Guide to
Pediatric Surgery. Cham: Springer International Publishing; 2014:195–197.

Applegate KE, Anderson JM, Klatte EC. Intestinal malrotation in children: a problem-solving
approach to the upper gastrointestinal series. Radiographics. 2006;26(5):1485–1500.

Das K, Mohanty S. Hirschsprung disease – current diagnosis and management. Indian J


Pediatr. 2017;84(8):618–623.

Desoky SM, Kylat RI, Udayasankar U, Gilbertson-Dahdal D. Managing neonatal bowel


obstruction: clinical perspectives. Research and Reports in Neonatology 2018; 8: 19-
32

Duess JW, Hofmann AD, Puri P. Prevalence of Hirschsprung’s disease in premature infants:
a systematic review. Pediatr Surg Int. 2014;30(8):791–795.

Gosain A. Established and emerging concepts in Hirschsprung’sassociated enterocolitis.


Pediatr Surg Int. 2016;32(4):313–320.

Holschneider A, Hutson J, Peña A, et al. Preliminary report on the International Conference


for the Development of Standards for the Treatment of Anorectal Malformations. J
Pediatr Surg. 2005;40(10): 1521–1526.

Juang D, Snyder CL. Neonatal bowel obstruction. Surg Clin North Am. 2012;92(3):685–711.

Levitt MA, Peña A. Anorectal malformations. Orphanet J Rare Dis. 2007;2:33.

Reid JR. Practical imaging approach to bowel obstruction in neonates: a review and update.
Semin Roentgenol. 2012;47(1):21–31.

Slam KD, Teitelbaum DH. Multiple sequential intussusceptions causing bowel obstruction in
a preterm neonate. J Pediatr Surg. 2007;42(7):1279–1281.

Sloan K, Wagener S. Updates in: Hirschsprung’s disease and anorectal malformations. J


Pediatr Surg Specialties. 2016;10(3):43–51.

Vinocur DN, Lee EY, Eisenberg RL. Neonatal Intestinal Obstruction. American Journal of
Roentgenology 2012; 198: W1-W10

Anda mungkin juga menyukai