Obstruksi usus adalah keadaan darurat bedah yang paling umum pada periode
neonatal. Diagnosis dini dan akurat pada kasus obstruksi usus sangat penting untuk
manajemen pasien yang tepat (Desoky et al., 2018). Untuk evaluasi dan diagnosis, obstruksi
usus pada neonatus dapat dibagi menjadi obstruksi letak tinggi atau rendah berdasarkan
jumlah dilated bowel loops yang ada pada foto radiologi abdomen awal. Jumlah dilated bowel
loops sekitar tiga atau lebih sedikit umumnya terlihat pada obstruksi usus letak tinggi,
sedangkan lebih dari tiga dilated bowel loops terlihat pada obstruksi usus letak rendah yang
terjadi pada neonatus. Obstruksi usus letak tinggi terjadi pada proksimal ileum, yang
mengakibatkan berbagai kombinasi dilatasi gaster, duodenum, dan jejunum (sesuai dengan
tingkat obstruksi) (Tabel 1) (Vinocur et al., 2012). Sebaliknya, obstruksi usus letak rendah
melibatkan distal ileum atau colon dan biasanya mengakibatkan dilatasi difus beberapa small-
bowel loops (Tabel 1) (Vinocur et al., 2012). Walaupun neonatus dengan temuan radiografi
klasik obstruksi usus letak tinggi, seperti atresia duodenum dapat langsung menjalani operasi
tanpa pencitraan tambahan, rangkaian upper gastrointestinal tetap dilakukan untuk evaluasi
lebih lanjut. Demikian pula, pemeriksaan enema digunakan untuk penyelidikan lebih lanjut
pada neonatus dengan obstruksi usus letak rendah (Vinocur et al., 2012).
1. Gastric Atresia
microgastria jarang terjadi. Kelainan ini dapat hadir sebagai isolated malformasi atau dengan
anomali lain, terutama dengan sindrom heterotaxia (abnormal left-right asymmetry) dengan
small midline stomach. Gastric atresia, yang biasanya terlokalisasi pada daerah antrum atau
pilorus, juga jarang terjadi, terhitung <1% dari semua obstruksi usus kongenital. Penyebab
gastric atresia mungkin terkait dengan oklusi vaskular intrauterin terlokalisasi daripada
kegagalan perkembangan kanalisasi usus. Bayi baru lahir dengan gastric atresia biasanya
hadir dengan muntah nonbilious dan distensi abdomen dalam beberapa jam pertama setelah
kelahiran. Foto polos abdomen pada neonatus dengan distal gastric atresia ditandai oleh
lambung yang terisi penuh gas tanpa udara usus distal. Temuan pencitraan ini dikenal sebagai
Hypertrophic pyloric stenosis (HPS) relatif sering terjadi dengan insidensi 2,4 per 1.000
Kaukasia, dan lebih sering terjadi pada pria. Patologi yang didapat ini dapat dilihat mulai usia
2 minggu kehidupan, tetapi umumnya diperkirakan terjadi antara 3 dan 12 minggu. Penyebab
pastinya masih belum diketahui, tetapi komponen genetik merupakan faktor yang terlibat. Otot
circumferential dan mukosa pilorus menjadi hipertrofi.16 Pasien dengan HPS mengalami
muntah proyektil yang nonbilious, jika tidak ditangani, dapat menyebabkan dehidrasi dan
Ultrasonografi abdominal merupakan tes diagnostik awal dan optimal. Otot pilorus
yang abnormal akan menebal dan memanjang, mengukur ketebalan lebih dari 3-4 mm dan
panjangnya lebih besar dari 12-16 mm, tergantung pada referensi (Gambar 1A). Ahli sonografi
harus mengamati pilorus hingga 10 menit untuk mengidentifikasi passage lambung melalui
saluran pilorik untuk membedakan antara spasme pilorik, yang merupakan fenomena
sementara, dan stenosis pilorus. Memberi makan bayi selama evaluasi ultrasound dapat
berguna untuk membantu visualisasi pengosongan lambung. Hal ini juga bermanfaat untuk
secara simultan mengevaluasi hubungan antara superior mesenteric artery (SMA) dan
superior mesenteric vein (SMV), karena diagnosis banding untuk bayi yang muntah termasuk
malrotasi usus (Gambar 1B). Jika hubungan SMA-SMV terbalik, studi kontras upper
gastrointestinal segera harus dilakukan untuk mengevaluasi malrotasi usus dan midgut
terdapat peristaltik lambung yang abnormal, serta penyempitan kanal pilorus yang tidak
normal yang dibuktikan dengan tanda-tanda string, teat, dan mushroom signs (Desoky et al.,
2018). Tatalaksana untuk HPS adalah dekompresi lambung dengan nasogastric tube dan
resusitasi cairan, diikuti dengan open/laparoscopic surgical release dari otot pilorus hipertrofi
3. Duodenal Atresia
duodenum, yang merupakan hasil dari kegagalan kongenital rekanalisasi yang biasanya
terjadi pada usia kehamilan 9-11 minggu (Juang & Snyder, 2012). Berbeda dengan atresia
usus kecil yang lebih distal, atresia duodenum tampaknya tidak berhubungan dengan
gangguan vaskular intrauterin. Atresia duodenum sering dikaitkan dengan anomali kongenital
lainnya, seperti atresia usus tambahan, penyakit jantung bawaan, atau sebagai bagian dari
anomalies) (Juang & Snyder, 2012; Adams & Stanton, 2014). Sekitar 30% kasus terjadi pada
pasien dengan sindrom Down. Bayi baru lahir dengan atresia duodenum biasanya mengalami
muntah selama beberapa jam pertama kehidupan. Pada sekitar 80% dari neonatus dengan
atresia duodenum, lokasi atresia duodenum berada di bagian postampular, sehingga pasien
dapat mengalami emesis bilateral (Desoky et al., 2018). Hasil foto polos abdomen atresia
duodenum berupa lambung yang dilatasi berisi gas dan duodenum bulb, yang dikenal sebagai
"double bubble sign" (Gambar 2) (Vinocur et al., 2012). Pada kasus komplit atresia duodenum,
terdapat kekurangan gas usus distal ke proksimal duodenum (Vinocur et al., 2012).
Gambar 2. Atresia duodenum pada bayi baru lahir dengan muntah dan distensi
abdomen. A, Foto polos abdomen menunjukkan distended lambung yang berisi gas (S) dan
duodenum bulb (D), menghasilkan “double bubble sign”. B, Gambar ultrasonografi transverse prenatal
menunjukkan distended lambung yang berisi cairan (S) dan duodenum bulb (D), menghasilkan double
bubble sign USG prenatal (Vinocur et al., 2012).
duodenum, dengan atau tanpa annular pankreas. Seperti pada neonatus dengan atresia
duodenum, terdapat distensi gastroduodenal, tetapi pada stenosis duodenum juga terdapat
gas usus yang terlihat distal ke proksimal duodenum. Pada studi upper gastrointestinal,
duodenum bulb mengalami distended dan terdapat transit lambat dari bahan kontras oral
melalui segmen stenotik duodenum ke distal usus (Gambar 3). Pada anak dengan stenosis
duodenum, keluhan mungkin hadir di kemudian hari dibandingkan mereka yang mengalami
atresia duodenum, akibat obstruksi duodenum yang terjadi adalah parsial (Gambar 4)
Gambar 4. Stenosis duodenum pada anak berusia 3 bulan dengan muntah yang
progresif dan distensi abdomen. Gambar dari studi upper gastrointestinal menunjukkan
duodenum bulb terisi penuh barium (D). Barium melewati segmen stenotik duodenum (panah) ke
bagian usus yang lebih distal (Vinocur et al., 2012).
5. Duodenal Web
pinhole aperture yang membentuk jaring fungsional. Tekanan jangka panjang dari peristaltik
terhadap segmen stenotik pada duodenum dapat menyebabkan peregangan distal jaringan,
upper gastrointestinal adalah membran radiolusen samar, yang mewakili dengan barium
6. Malrotasi
Malrotasi mengacu pada rotasi usus yang abnormal atau tidak lengkap selama
perkembangan embrionik (Juang & Snyder, 2012). Normalnya, rotasi usus fisiologis (270°
ileocecal yang secara tepat terletak di kuadran kiri atas dan kanan bawah (Applegate et al.,
2006). Rotasi usus fisiologis yang normal ini menghasilkan perlekatan usus ke mesenterium,
yang mencegah usus melilit di sekitar mesenterium. Pada malrotasi, derajat yang berbeda
dari lokasi abnormal dari dua segmen usus utama ini menghasilkan perlekatan mesenterika
yang lebih sempit, yang menempatkan small bowel beresiko memuntir di sekitar pedikelnya,
suatu kondisi yang dikenal sebagai "midgut volvulus" (Juang & Snyder, 2012). Midgut volvulus
menyebabkan kedua obstruksi mekanis dan arteri. oklusi pembuluh mesenterika. Jika tidak
diobati, midgut volvulus akan berkembang menjadi iskemia usus dan akhirnya terjadi infark.
Selain itu, sebagian usus yang mengalami malposisi sering dikaitkan dengan abnormal
peritoneal fibrous bands (Ladd bands), yang merupakan koneksi fibrosa anomali yang
biasanya meluas dari sekum malposisi melintasi duodenum untuk melekat pada peritoneum
dan hati. Pita fibrosa anomali ini juga berkontribusi pada kejadian obstruksi usus (Vinocur et
al., 2012).
Meskipun bayi baru lahir dengan isolated malrotasi mungkin tanpa gejala,
neonatus dengan malrotasi umumnya tidak spesifik. Hal ini mungkin normal, menunjukkan
pola obstruksi usus proksimal, atau menunjukkan dilatasi beberapa loop usus (Gambar 6A).
Evaluasi lebih lanjut memerlukan studi upper gastrointestinal sebagai prosedur pencitraan
berikutnya. Penampilan klasik upper gastrointestinal pada malrotasi dengan volvulus terdiri
dari perjalanan duodenum yang abnormal yang gagal melewati garis tengah yang
Gambar 6. Malrotasi dengan volvulus pada anak berusia 11 hari dengan muntah bilious
selama 1 hari. A, Foto polos abdomen menunjukkan dilatasi nonspesifik beberapa loop usus. B,
Gambar dari studi gastrointestinal atas menunjukkan perjalanan duodenum yang abnormal (panah),
yang gagal melintasi garis tengah dan memiliki penampilan spiral (corkscrew appearance), konsisten
dengan malrotasi dengan volvulus. S = lambung (Vinocur et al., 2012).
Obstruksi jejunum pada neonatus hampir selalu karena atresia atau stenosis.
Penyebab mendasar dari atresia jejunal dan ileum adalah iskemik intrauterin, yang dapat
menjadi penyebab vaskular primer atau sekunder akibat volvulus. Bayi baru lahir dengan
atresia jejunal biasanya hadir dengan emesis bilateral dan distensi abdomen. Hasil foto polos
abdomen biasanya menunjukkan beberapa loop usus distensi, lebih dari double bubble
atresia duodenum tetapi lebih sedikit dari pola obstruksi rendah (Vinocur et al., 2012).
Karakteristik dilatasi dari lambung, duodenum, dan proksimal jejunum dikenal sebagai
"triple bubble sign" (Gambar 7A). Studi upper gastrointestinal menunjukkan duodenum dan
proksimal jejunum melebar, yang keduanya diisi dengan bahan kontras. Sebuah studi kontras
enema juga sering dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan atresia usus distal bersamaan
a. Ileal atresia
Ileal atresia adalah penyebab umum obstruksi usus letak rendah pada neonatus,
dengan perkiraan kejadian 1 dari 5000 kelahiran hidup (Juang & Snyder, 2012). Penyebabnya
diduga terkait dengan iskemik intrauterin. Bagian distal ileum paling sering terlibat. Bayi baru
lahir dengan atresia ileum memiliki lebih sedikit anomali kongenital dibandingkan dengan
atresia duodenum (Reid, 2012). Pasien dengan ileal atresia biasanya datang dengan muntah-
muntah dan distensi abdomen. Hasil foto polos abdomen menunjukkan banyak loop usus
Gambar 8. Ileal atresia pada anak berusia 2 hari dengan muntah yang progresif dan
distensi abdomen. A, Foto polos abdomen menunjukkan beberapa loop usus distended (panah),
disertai kurangnya udara usus bagian distal. B, Gambar dari studi enema kontras menunjukkan colon
berisi kontras berakhir di dekat distal ileum (panah lurus). Terdapat multiple distended loops usus kecil
yang berisi udara (panah melengkung) (Vinocur et al., 2012).
b. Ileus mekonium
Ileus mekonium menyumbang sekitar 20% dari kasus obstruksi usus neonatal
(Vinocur et al., 2012). Disebabkan oleh obstruksi intraluminal usus besar dan distal usus kecil
oleh konsentrasi mekonium yang abnormal, kondisi ini hampir selalu merupakan manifestasi
klinis awal dari fibrosis kistik. Oklusi usus halus bagian distal menyebabkan obstruksi mekanis
dengan distensi berikutnya dari loop usus yang lebih proksimal. Ileus mekonium dapat
dipersulit oleh volvulus, perforasi, atau peritonitis (Karimi et al., 2011). Perforasi intrauterin
dapat menyebabkan meconium peritonitis (jenis kimia), dan kalsifikasi peritoneum yang dapat
terlihat setelah kelahiran (Gambar 9). Foto polos abdomen pada neonatus dengan meconium
ileus menunjukkan pola obstruksi usus letak rendah yang ditandai dengan multiple bowel loop
Gambar 9. Peritonitis mekonium pada anak berusia 2 hari dengan perforasi mekonium
intrauterin yang disertai pembesaran skrotum dan perut kaku. Foto polos abdomen
menunjukkan beberapa kalsifikasi peritoneum (panah lurus), disertai kalsifikasi pada skrotum (panah
melengkung) (Vinocur et al., 2012).
Gambar 10. Ileus meconium pada anak berusia 3 hari yang gagal mengeluarkan
mekonium. A, Foto polos abdomen menunjukkan beberapa dilatasi usus. B, Gambar dari kontras
enema menunjukkan sejumlah besar konsentrasi mekonium di distended terminal ileum (panah lurus)
dan colon (panah melengkung) (Vinocur et al., 2012).
a. Ketidakmatangan fungsional dari usus besar (meconium plugs atau small left colon
syndrome)
sebagai meconium plugs atau small left colon syndrome, adalah obstruksi kolon fungsional
transien fungsional jinak dan terbatas pada neonatus. Penyebab yang mendasarinya diduga
terkait dengan ketidakmatangan sel-sel ganglion kolon (pleksus saraf mienterik) (Juang &
Snyder, 2012; Vinocur et al., 2012). Ketidakmatangan fungsional dari usus besar adalah
diagnosis paling umum pada neonatus yang gagal mengeluarkan feses meconium selama
lebih dari 48 jam (Al-Salem, 2014). Peningkatan insiden ketidakmatangan fungsional usus
besar telah dilaporkan pada bayi dari ibu diabetes dan ibu yang menerima magnesium sulfat
biasanya menunjukkan beberapa loop usus melebar, suatu penampilan yang merupakan
karakteristik dari obstruksi usus letak rendah (Gambar 11A). Pada studi enema kontras,
beberapa kelainan pengisian (meconium plugs) dapat terlihat. Bagian ascending dan
transverse dari usus besar biasanya lebih dilatasi daripada bagain descending (small left
colon syndrome), sedangkan rektum dalam ukuran normal (Gambar 11B). Neonatus dengan
dugaan diagnosis ketidakmatangan fungsional usus besar yang gejalanya tidak sembuh
setelah enema terapeutik harus dipertimbangkan untuk biopsi kolon untuk memastikan
Gambar 11. Ketidakmatangan fungsional usus besar pada anak yang baru lahir yang
gagal mengeluarkan mekonium disertai distensi abdomen. A, Foto polos abdomen
menunjukkan beberapa dilatasi usus. B, Kontras enema menunjukkan bahwa kolon kiri kecil (panah),
sedangkan kolon yang tersisa (C) dan rektum (R) berukuran normal (Vinocur et al., 2012).
b. Penyakit Hirschsprung
ke usus distal sebelum usia kehamilan 12 minggu (Juang & Snyder, 2012; Vinocur et al.,
2012). Karena sel-sel ganglion usus bermigrasi ke arah craniocaudad, area aganglionosis
selalu meluas dari titik henti saraf ke anus. Segmen aganglionosis biasanya kontinu dan paling
sering melibatkan rektum dan sebagian dari kolon sigmoid (short segment disease, yang
Terkadang, kelainan migrasi sel ganglion lebih luas dan segmen aganglionik meluas
untuk jarak variabel proksimal ke kolon sigmoid (long segment disease, yang menyumbang
sekitar 25% kasus) (Gosain, 2016). Proses ini juga dapat mempengaruhi seluruh usus besar
(total colonic aganglionosis) dan, sedikit bagian dari usus kecil. Segmen aganglionik tidak
dapat distend secara normal, menghasilkan obstruksi fungsional dengan dilatasi usus
proksimal dan defekasi yang tidak normal. Sebagian besar kasus muncul secara klinis pada
periode bayi baru lahir dengan tertundanya mekonium dan distensi abdomen (Duess et al.,
2014).
Hasil foto polos abdomen pada neonatus dengan penyakit Hirschsprung biasanya
menunjukkan pola obstruksi usus letak rendah dengan dilatasi banyak loop usus (Gambar
12A). Penampilan ini menunjukkan obstruksi usus letak rendah tetapi tidak spesifik. Oleh
karena itu, studi kontras enema diperlukan untuk evaluasi lebih lanjut. Temuan radiologis
karakteristik penyakit Hirschsprung pada studi enema meliputi rasio rectosigmoid yang
abnormal (<1) (Gambar 12B), zona transisi penyempitan dubur (Gambar 12B), kontraksi
dubur tidak teratur (Gambar 12C), dan mempertahankan bahan kontras pada radiografi yang
delayed (Gambar 11D) (Vinocur et al., 2012). Studi kontras enema biasanya abnormal pada
neonatus dengan penyakit Hirschsprung, namun bisa normal (Vinocur et al., 2012). Oleh
karena itu, kemungkinan penyakit Hirschsprung masih harus dicurigai kuat, dan biopsi rektal
biasanya diperlukan untuk diagnosis definitif pada neonatus dengan tanda-tanda klinis dan
gejala obstruksi usus letak rendah yang persisten tetapi hasil enema kontras normal (Das &
Mohanty, 2017).
Gambar 12. Penyakit Hirschsprung pada anak berusia 2 hari. A, Foto polos abdomen
menunjukkan beberapa loop usus melebar dan kurangnya udara di daerah rektum. B, Gambar dari
kontras enema menunjukkan area penyempitan dubur (panah), disertai ukuran kolon sigmoid (SC) lebih
besar dari ukuran dubur (R). C, Gambar dari studi enema kontras menunjukkan kontraksi dubur tidak
teratur (panah lurus), disertai beberapa distended loops dari usus kecil (panah melengkung). SC =
sigmoid colon. D, Rontgen abdomen delayed diperoleh 24 jam setelah studi enema kontras
menunjukkan bahan kontras yang tertahan pada beberapa loop usus yang melebar (panah) (Vinocur
et al., 2012).
c. Intussusception
(intussusceptum) ke dalam bagian yang lain (intussuscipiens) atau invaginasi dari salah satu
bagian usus ke dalam lumen dan bergabung dengan bagian tersebut (Slam & Teitelbaum,
2007). Hal ini paling sering terjadi di persimpangan ileocolic, tanpa lead point yang dapat
diidentifikasi, pada anak-anak antara usia 6 dan 18 bulan. Intususepsi jarang terjadi pada
periode neonatal pada bayi cukup bulan, dengan insidensi 0,3% -1,3%, dan sangat jarang
terjadi pada bayi prematur. Patogenesis intususepsi neonatal masih belum jelas; namun, pada
bayi cukup bulan, lebih sering dikaitkan dengan lead point patologis dan lebih sering
Presentasi klinis neonatus dengan intususepsi berbeda dari bayi yang lebih tua, yang
biasanya mengalami nyeri perut intermiten, massa yang teraba, dan feses berdarah (Slam &
menyerupai obstruksi usus, dengan distensi abdomen dan muntah bilious dalam beberapa
jam setelah kelahiran. Bayi prematur dengan intususepsi memiliki presentasi yang
makan, dan terkadang pendarahan rektum. Karena itu, intususepsi jarang dicari sebagai
Pada neonatus yang dievaluasi terkait obstruksi usus atau enterokolitis nekrotikans,
didapatkan dilatasi loop usus kecil pada foto polos abdomen. Temuan patognomonik untuk
nekrotikan enterokolitis seperti pneumatosis intestinalis dan gas vena porta tidak ada, karena
mereka berada di lebih dari setengah dari kasus-kasus enterokolitis nekrotikan. Foto polos
abdomen tidak peka dan tidak spesifik untuk mendiagnosis intususepsi. Pada pasien dengan
dugaan obstruksi usus letak rendah, dilakukan kontras enema dan akan menunjukkan
intususepsi jika ada komponen kolon; namun, tidak ada komponen kolon pada 25%-50%
kasus intususepsi neonatal. USG perut tidak dilakukan secara rutin pada neonatus untuk
mendiagnosis intususepsi seperti pada bayi yang lebih tua karena diagnosisnya jarang
dipertimbangkan. Telah disarankan untuk evaluasi lebih lanjut dari neonatus di mana
intususepsi merupakan pertimbangan diagnostik (Slam & Teitelbaum, 2007; Desoky et al.,
2018).
Pada neonatus dengan obstruksi usus lengkap akibat intususepsi, eksplorasi bedah
bersifat kuratif dan biasanya tidak ditunda. Pada neonatus prematur yang diduga sebagai
Kolon adalah tempat yang relatif tidak umum untuk atresia usus, dengan perkiraan
insiden 5-15% dari semua atresi usus pada neonatus. Neonatus dengan atresia kolon
umumnya hadir dengan distensi abdomen (Juang & Snyder, 2012; Reid, 2012). Hasil foto
polos abdomen menunjukkan beberapa loop usus melebar, beberapa level cairan udara, dan
tidak adanya udara di rektum. Terkadang, terdapat distended loop yang tidak proporsional
yang mewakili aspek paling distal dari atresia kolon (Gambar 13A). Studi kontras enema
menunjukkan usus besar yang tidak digunakan di bagian distal (mikrocolon) (Gambar 13B)
Gambar 13. Atresia kolon pada bayi baru lahir dengan distensi abdomen. A, Foto polos
abdomen menunjukkan beberapa loop usus distended dengan satu bagian usus distended yang tidak
proporsional (C). B, Gambar dari studi enema kontras menunjukkan distal colon kecil (panah) dan loop
usus distended yang tidak proporsional (C), yang mewakili aspek paling distal dari atresia kolon. C,
Foto intraoperatif menunjukkan distended blind-ending bowel loop yang parah (panah), yang mewakili
aspek paling distal dari atresia kolon (Vinocur et al., 2012).
Atresia anal, juga dikenal sebagai “imperforate anus”, adalah kondisi yang
penyebabnya tidak diketahui, di mana tidak ada pembukaan anal normal (Juang & Snyder,
2012). Dengan perkiraan kejadian 1 dari 5000 kelahiran hidup, atresia anal memengaruhi
anak laki-laki dan perempuan dengan frekuensi yang sama. Atresia anal dikaitkan dengan
anomali kongenital lainnya, termasuk anomali vertebral, jantung, ginjal, dan anggota gerak
Meskipun saat ini ada banyak skema klasifikasi untuk atresia anal, secara tradisional
dibagi menjadi lesi tinggi dan rendah, tergantung pada apakah rektum berakhir di atas atau di
bawah puborectalis sling. Pada atresia anal rendah dengan rektum berakhir di bawah sling
puborectalis, rektum tetap dekat dengan kulit dalam blind pouch (anus mungkin stenotik atau
bahkan tidak ada pada pemeriksaan fisik). Pada atresia anal tinggi dengan rektum yang
berakhir di atas sling puborectalis, rektum terletak tinggi di panggul dan mungkin ada
hubungan fistulous dengan kandung kemih, uretra, atau vagina (Holschneider et al., 2005;
Bayi baru lahir dengan atresia anal biasanya hadir dengan tanda-tanda obstruksi usus
letak bawah seperti kegagalan untuk mengeluarkan mekonium dan distensi abdomen.
Meskipun diagnosis atresia anal dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik saja, foto polos
abdomen dapat bermanfaat untuk menentukan apakah bayi memiliki atresia anal tinggi atau
rendah, informasi yang bermanfaat untuk perencanaan bedah. Sedangkan perbaikan bedah
untuk atresia anal rendah biasanya melibatkan anoplasti sederhana atau dilatasi, atresia anal
tinggi biasanya memerlukan kolostomi sementara dengan perbaikan bedah selanjutnya. Hasil
foto polos abdomen menunjukkan pola obstruksi usus letak rendah (Gambar 14A).
Pandangan lateral yang diperoleh pada posisi prone berharga untuk menunjukkan tingkat
penurunan dubur. Ultrasonografi perineum dapat menentukan jarak antara perineum dan
ujung rektum (Gambar 14B). Pemeriksaan pencitraan lebih lanjut untuk atresia anal meliputi
kistografi untuk menilai fistula terkait dengan saluran kemih dan MRI untuk
Gambar 14. Atresia anal pada bayi baru lahir dengan distensi abdomen. A, Foto polos
abdomen menunjukkan beberapa loop usus distended. B, Gambar ultrasonografi longitudinal melalui
perineum menunjukkan fluid-filled blind-ending rectal pouch (panah). BL = kandung kemih (Vinocur et
al., 2012).
Kesimpulan
Obstruksi usus adalah keadaan darurat bedah yang paling umum dijumpai pada bayi
baru lahir, yang membutuhkan diagnosis dini dan akurat. Pemahaman tentang penampilan
pencitraan yang khas dari berbagai penyebab obstruksi usus neonatal pada radiografi
abdomen dapat mengarah pada diagnosis yang benar atau menjadi panduan untuk langkah
adanya obstruksi usus letak tinggi pada neonatal, serangkaian pemeriksaan upper
gastrointestinal dilakukan untuk evaluasi lebih lanjut. Namun, neonatus dengan temuan
radiografi klasik obstruksi usus letak tinggi, seperti atresia duodenum, dapat langsung
menjalani operasi tanpa evaluasi pencitraan tambahan. Pemeriksaan enema digunakan untuk
evaluasi lebih lanjut pada neonatus yang dicurigai obstruksi usus letak rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Adams SD, Stanton MP. Malrotation and intestinal atresias. Early Hum Dev. 2014;90(12):921–
925.
Al-Salem AH. Meconium plug syndrome. In: Al-Salem AH, editor. An Illustrated Guide to
Pediatric Surgery. Cham: Springer International Publishing; 2014:195–197.
Applegate KE, Anderson JM, Klatte EC. Intestinal malrotation in children: a problem-solving
approach to the upper gastrointestinal series. Radiographics. 2006;26(5):1485–1500.
Duess JW, Hofmann AD, Puri P. Prevalence of Hirschsprung’s disease in premature infants:
a systematic review. Pediatr Surg Int. 2014;30(8):791–795.
Juang D, Snyder CL. Neonatal bowel obstruction. Surg Clin North Am. 2012;92(3):685–711.
Reid JR. Practical imaging approach to bowel obstruction in neonates: a review and update.
Semin Roentgenol. 2012;47(1):21–31.
Slam KD, Teitelbaum DH. Multiple sequential intussusceptions causing bowel obstruction in
a preterm neonate. J Pediatr Surg. 2007;42(7):1279–1281.
Vinocur DN, Lee EY, Eisenberg RL. Neonatal Intestinal Obstruction. American Journal of
Roentgenology 2012; 198: W1-W10