Anda di halaman 1dari 24

Laboratorium Ilmu Bedah Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran Umum


Universitas Mulawarman

BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA

Oleh :
Akhmad Fahrozy
Erviani Maulidya
Febry Prayugo
Fitria Rimadhanty S
Ghea Ananta
Hatfina Ranida
Rifa Fahdianata

Pembimbing : dr. Syaiful Muchtar, Sp. B, (K) BD

LABORATORIUM/SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
RSUD A.W SJAHRANIE
SAMARINDA
2015

1
BAB I
PENDAHULUAN

Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang paling sering mengalami
pembesaran, baik jinak maupun ganas. Pembesaran prostat jinak (PPJ) merupakan
penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih.
Penyakit ini juga dikenal sebagai benign prostatic hyperplasia (BPH), di mana
kelenjar periuretra mengalami hiperplasia, sedangkan jaringan prostat asli
terdesak ke perifer menjadi kapsul bedah
BPH ditandai oleh pelebaran kelenjar prostat progressive sehingga
terjadilah obstruksi saluran kemih yang mengakibatkan sulitnya pengosongan
kandung kemih

BAB II

2
STATUS PASIEN

Pasien datang pada tanggal 5 Januari 2015 melalui poli urologi.


Identitas pasien :
 Nama : Tn. S
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Umur : 67 tahun
 Alamat : Jl. Merbabu
 Pekerjaan : Petani

Keluhan utama
Tidak bisa buang air kecil.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poli Bedah Urologi RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda dengan keluhan air kencing tidak dapat keluar, sejak sekitar 2 bulan
yang lalu. Keluhan ini dirasakan tiba-tiba saat pasien Sedang kencing pada pagi
hari. Awalnya air kencing bisa keluar selama sebentar, dan kemudian berhenti.
Pasien merasa tidak puas karena kencing tidak tuntas. Air kencing tetap tidak
keluar sama sekali walaupun sudah dipaksa dengan mengedan. Pada hari yang
sama, pasien langsung memeriksakan diri ke Puskesmas. Oleh dokter puskesmas
pasien diperiksa dan diberitahu bahwa pasien mengalami pembesaran prostat,
pasien disarankan untuk dipasang selang kencing agar air kencing dapat keluar.
Selang kencing hanya dipasang sementara saja, sebelum pulang selang dilepas.
Setelah di rumah, pasien kembali tidak bisa kencing sama sekali. Pasien lalu
dipasang selang kencing kembali, dan dirujuk ke RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda. Di Samarinda pasien menjalani pemeriksaan dan didiagnosa dengan
pembesaran prostat serta disarankan untuk menjalani operasi. Selama 2 bulan ini
sembari menunggu jadwal operasi, pasien terus memakai selang kencing. Selang
kencing diganti setiap 1 hingga 2 minggu sekali. Keluhan lainnya yang dirasakan
pasien adalah, pasien terkadang merasakan nyeri pada kemaluannya dan keluar
darah sedikit-sedikit dari selang kencing.

3
Riwayat penyakit terdahulu
Selama 2 tahun sebelumnya, pasien memang terkadang mengalami kencing yang
agak tersendat, namun pasien tidak berobat karena hal ini tidak sering terjadi.
Riwayat pernah kencing mengeluarkan butiran seperti pasir atau baru disangkal
oleh pasien. Riwayat pernah nyeri buang air kecil disertai perbahan warna air
kencing seperti warna kemerahan disangkal oleh pasien. Riwayat Hipertensi,
Diabetes mellitus, dan penyakit jantung disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga


Ayah kandung pasien pernah mengalami hal serupa dengan pasien, namun hanya
berobat tradisional. Tidak ada keluarga kandung pasien yang memiliki riwayat
tumor atau keganasan saluran kemih.

Riwayat kebiasaan
Pasien sehari-sehari bekerja sebagai petani. Pasien tidak pernah merokok maupun
mengkonsumsi minuman beralkohol.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan


Kesadaran : Compos mentis, GCS E4 V5 M6
Tanda Vital
• Tekanan Darah : 130/80 mmHg :
• Nadi : 76 x/menit (reguler, isi cukup, kuat angkat)
• Frekuensi napas : 20 x/menit, reguler
• Suhu aksiler : 36,5⁰C

Status Generalisata
 Kepala / leher :konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), sianosis (-),
pembesaran KGB (-/-)

4
 Thorax
o Pulmo
 Bentuk dada dan gerakan simetris, retraksi intercostal (-),
sonor di kedua lapang paru, tidak ada suara tambahan
Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-),
o Jantung
 Batas jantung normal, S1S2 tunggal reguler, murmur (-),
gallop (-)

 Abdomen
 Inspeksi : Perut datar simetris, massa (-), jejas (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
 Palpasi : Nyeri tekan (-), defens muscular (-), organomegali (-),
asites (-)
 Perkusi : timpani

 Status Lokalis
Regio Costotervebra
 Inspeksi : Bentuk pinggang simetris, benjolan (-)
 Palpasi : pemeriksaan bimmanual ginjal (-)
 Perkusi : Nyeri ketok ginjal (-)
Regio Supra Pubis
 Inspeksi : Terdapat rambut pubis tercukur pendek, tidak ada benjolan
 Palpasi : Nyeri tekan (-), Nyeri tekan lepas (-), Defans muscular (-),
blas tidak teraba.
 Perkusi : Timpani
 Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal

Regio Genitalia Eksterna


 Inspeksi : Terpasang urinary catether, orifisium uretra eksterna baik,
discharge (-)

5
 Palpasi : testis teraba 2 buah, kanan dan kiri, konsistensi kenyal,
tidak ada nyeri pada penis, discharge (-).
Regio Anal
 Inspeksi : Bentuk normal, benjolan (-)
 Rectal Toucher :
 Handscoon :
 Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 3 detik, udema (-)

Rectal touché
 Spingter ani menjepit kuat
 Nyeri (-)
 Mukosa licin
 Massa nodul (-)
 Pole atas tidak teraba
 Sulkus medianus (-)
 Handscone : darah (-) feses (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap
 Hb :14,7 %
 Ht :34,0%
 Trombosit :178.000
 Leukosit :6.900
 Eritrosit : 5.420.000
 GDS :111
 BT : 2’
 CT : 8’
 Asam urat : 5,0
 Ur : 20,0
 Cr : 0,8
 PSA : 26,43
Elektrolit :
 Na : 132
 K : 3,6
 Cl : 103

Foto polos abdomen

6
Kesimpulan:
 Besar dan contour kedua ginjal tidak membesar
 Tidak Nampak gambaran batu radiopaque sepanjang tract urinaria

Diagnosis Kerja :
- Retensio Urin e.c Benign prostate hyperplasia
Penatalaksanaan :
- Pasien di puasakan dari jam 03.00

7
- Cukur bulu pubis
- Siapkan PRC 2 kolf
- Rencana operasi pada tanggal 6 januari 2015

Follow Up
5 Januari S : Sulit BAK P : Pro TUR-P
2015 O : CM TD 130/80 mmHg HR TAO
88x/menit RR 20x/menit
Flank mass (-/-) Flank Pain (-/-)
Bulging (-)
A : BPH
6 Januari S : Sulit BAK P:
2015 O : CM TD 130/70 mmHg HR Pro TUR-P
82x/menit RR 20x/menit TAO
Flank mass (-/-) Flank Pain (-/-) Hornal 0.4 mg 3x1
Bulging (-) Asam mefenamat 500mg 3x1
A : BPH
7 Januari S : Sulit BAK P:
2015 O : CM TD 120/80 mmHg HR Pro TUR-P tanggal 9/1/15
88x/menit RR 20x/menit TAO
Flank mass (-/-) Flank Pain (-/-) Hornal 0.4 mg 3x1
Bulging (-) Asam mefenamat 500mg 3x1
A : BPH
8 Januari S : Sulit BAK P:
2015 O : CM TD 130/80 mmHg HR Pro TUR-P tanggal 9/1/15
82x/menit RR 20x/menit TAO
Flank mass (-/-) Flank Pain (-/-) Hornal 0.4 mg 3x1
Bulging (-) Asam mefenamat 500mg 3x1
A : BPH

Laporan Operasi :
TUR-P :

 Setelah dilakukan anestesi regional penderita diletakkan dalam posisi


lithotomi.

 Dilakukan desinfeksi dengan povidone jodine didaerah penis scrotum dan


sebagian dari kedua paha dan perut sebatas umbilicus

 Persempit lapangan operasi dengan memasang sarung kaki dan doek panjang
berlubang untuk bagian supra pubis ke kranial.

 Dilatasi uretra dengan bougie roser 25 F sampai 29 F

8
 Sheath 24F / 27F dengan obturator dimasukkan lewat uretra sampai masuk
buli-buli.

 Obturator dilepas, diganti optik 30 dan cutting loop sesuai dengan ukuran
sheatnya.

 Evaluasi buli-buli apakah ada tumor, batu, trabekulasi dan divertikel buli

 Working element ditarik keluar untuk mengevaluasi prostat ( panjangnya


prostat yang menutup uretra, leher buli dan verumontanum )

 Selanjutnya dilakukan reseksi prostat sambil merawat perdarahan.

 Chips prostat dikeluarkan dengan menggunakan ellik evakuator sampai bersih,


selanjutnya dilakukan perawatan perdarahan.

 Setelah selesai, dipasang three way kateter 24F dan dipasang Spoel NaCl
0,9% atau Aquades

Terapi Post Operatif :


 Infus Futrolit 30 tetes per menit

 Cefotaxime 3x1gr

 Antrain 3x1 amp

 Ranitidin 3x1 amp

 Asam Traneksamat 3x1 amp

 Furosemide 3x1 amp

 Irigasi dengan Nacl 0.9% tetesan cepat hingga jernih

BAB II

9
I. DEFINISI
Hipertrofi prostat merupakan kelainan yang sering ditemukan. Istilah
hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi sebenarnya ialah
hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang asli keperifer
dan menjadi simpai bedah.(2)

II. ANATOMI
Prostat merupakan organ fibromuskular yang mengelilingi leher vesika
dan bagian proksimal uretra pada pria. Beratnya sekitar 20 gram pada pria dewasa
dan terdiri dari bagian anterior dan bagian posterior. Secara embriologi, prostat
berasal dari lima evaginasi epitel urethra posterior. Suplai darah prostat diberikan
oleh arteri vesikalis inferior dan masuk pada sisi posterolateral leher vesika.
Drainase vena prostat bersifat difus dan bermuara kedalam pleksus santorini.
Persarafan prostat terutama bersasal dari nervus sakralis ketiga dan keempat
melalui pleksus hipogastrikus dan serabut yang berasal dari nervus sakralis ketiga
dan keempat melalui pleksus sakralis. Drainase limfe prostat ke nodi limfatisi
obturatoria, iliaka interna, iliaka eksterna dan presakralis, serta sangat penting
dalam mengevaluasi luas penyebaran penyakit dari prostat.
Fungsi prostat yang normal tergantung pada testosteron, yang dihasilkan
oleh sel leydig testis dalam respon terhadap rangsangan oleh hormon luteinisasi
(LH) dari hipofisis. Testosteron dimetabolisme menjadi dehidrotestoteron oleh 5
alfa - reduktase didalam prostat dan vesikula seminalis.
Walaupun prostat dibagi menjadi lima lobus (lobus posterior, medius,
anterior dan dua lateralis), prostat terpisah secara fungsional kedalam dua struktur
terpisah. Jaringan kelenjar periuretra inferior menimbulkan hiperplasia dan
bertanggung jawab untuk pembesaran jinak prostat yang terlihat pada pria usia
lanjut. Segmen luarnya merupakan struktur muskuloglandula, dari sini muncul
keganasan prostat. Secara histology prostat terdiri dari jaringan ikat, serabut otot
polos dan kelenjar epitel yang dilapisi oleh sel toraks tinggi dan lapisan sel basal.
(4)

10
III. ETIOLOGI
Penyebab PPJ belum jelas. Beberapa teori telah dikemukakan berdasarkan
faktor histologi, hormon, dan faktor perubahan usia, di antaranya:
1. Teori DHT (dihidrotestosteron): testosteron dengan bantuan enzim 5-alfa
reduktase dikonversi menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan
kelenjar prostat.
2. Teori Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk
merangsang pertumbuhan epitel. Menurut Mc Neal, seperti pada embrio,
lesi primer PPJ adalah penonjolan kelenjar yang kemudian bercabang
menghasilkan kelenjar-kelenjar baru di sekitar prostat. Ia menyimpulkan
bahwa hal ini merupakan reawakening dari induksi stroma yang terjadi
pada usia dewasa.
3. Teori stem cell hypotesis. Isaac dan Coffey mengajukan teori ini
berdasarkan asumsi bahwa pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya
dengan stroma dan epitel, juga ada hubungan antara jenis-jenis sel epitel
yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel
aplifying. Keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel aplifying akan
berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada

11
androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi
dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.
4. Teori growth factors. Teori ini berdasarkan adanya hubungan interaksi
antara unsur stroma dan unsur epitel prostat yang berakibat PPJ. Faktor
pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh androgen.
Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau
fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi
transforming growth factor- Beta (TGF - Beta, akan menyebabkan
terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan
pembesaran prostat.
Namun demikian, diyakini ada 2 faktor penting untuk terjadinya PPJ, yaitu
adanya dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Pada pasien dengan
kelainan kongenital berupa defisiensi 5-alfa reduktase, yaitu enzim yang
mengkonversi testosteron ke DHT, kadar serum DHT-nya rendah, sehingga
prostat tidak membesar. Sedangkan pada proses penuaan, kadar testosteron serum
menurun disertai meningkatnya konversi testosteron menjadi estrogen pada
jaringan periperal. Pada anjing, estrogen menginduksi reseptor androgen. Peran
androgen dan estrogen dalam PPJ adalah kompleks dan belum jelas benar.
Tindakan kastrasi sebelum masa pubertas dapat mencegah PPJ. Pasien dengan
kelainan genetik pada fungsi androgen juga mempunyai gangguan pertumbuhan
prostat. Dalam hal ini, barangkali androgen diperlukan untuk memulai proses PPJ,
tetapi tidak dalam hal proses pemeliharaan. Estrogen berperan dalam proses
hiperplasia stroma yang selanjutnya merangsang hiperplasia epitel.(1)

IV. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI


BPH adalah sejenis tumor pada pria yang paling banyak ditemukan
dibandingkan dengan tumor-tumor lainnya. Pada usia di atas 60 tahun
kejadiannya berkisar 70 % dan meningkat pada usia di atas 80 tahun menjadi 90
%. Di Indonesia, data dari RSUP.Cipto Mangunkusumo dan RS sumber Waras
memperlihatkan bahwa 30-40 % pria di atas 70 tahun menderita BPH. Tingginya
kejadian BPH tersebut di Indonesia telah menempatkan BPH sebagai penyebab
angka kesakitan nomor 2 terbanyak setelah penyakit batu pada saluran kemih di
Klinik Urologi.(5)

12
V. PATOLOGI
Perubahan paling awal pada PPJ adalah di kelenjar periuretra sekitar
verumontanum.
 Perubahan hiperplasia pada stroma berupa nodul fibromuskuler, nodul
asinar atau nodul campuran fibroadenomatosa.
 Hiperplasia glandular terjadi berupa nodul asinar atau campuran dengan
hiperplasia stroma. Kelenjar-kelenjar biasanya besar dan terdiri atas tall
columnar cells. Inti sel-sel kelenjar tidak menunjukkan proses keganasan.
Sekitar 10—60% sel epitel kelenjar ada yang berbentuk cribiform pada
sepertiga spesimen penderita PPJ. Ini tampak pada kanker prostat
walaupun inti selnya tidak menunjukkan perubahan keganasan.
Sel epitel PPJ serupa dengan prostat normal, yaitu sel yang aktif bersekresi.
Dengan teknik histokimia, tampak aktivitas yang tinggi dari prostat specific
antigen (PSA), asam fosfatase, enzim proteolitik dan enzim lainnya, serta sitrat
dan seng dalam kelenjar.(1)

VI. PATOFISIOLOGI
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan
tanda obstruksi saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan
miksi. Miksi terputus, menetes pada akhir miksi. Pancaran miksi menjadi lemah,
dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot
detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi. Nokturia, miksi sulit ditahan, dan
disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala
iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih sehingga
vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini diberi
skor untuk menentukan berat keluhan klinis.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga
pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam kandung kemih, dan timbul
rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut. Pada suatu saat akan

13
terjadi kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi menampung urin
sehingga tekanan intra vesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi
lebih tinggi dari pada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia
paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter,
hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan kerusakan ginjal dipercepat bila
terjadi infeksi. Pada waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga lama-
kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam
kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batu tersendat dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks,
dapat terjadi pielonefritis.(2)

VII. GEJALA KLINIS


Gejala pembesaran prostat jinak dibedakan menjadi dua kelompok.
Pertama, gejala iritatif, terdiri dari sering buang air kecil (frequency), tergesa-gesa
untuk buang air kecil (urgency), buang air kecil malam hari lebih dari satu kali
(nocturia), dan sulit menahan buang air kecil (urge incontinence). Kedua, gejala
obstruksi, terdiri dari pancaran melemah, akhir buang air kecil belum terasa
kosong (Incomplete emptying), menunggu lama pada permulaan buang air kecil
(hesitancy), harus mengedan saat buang air kecil (straining), buang air kecil
terputus-putus (intermittency), dan waktu buang air kecil memanjang yang
akhirnya menjadi retensi urin dan terjadi inkontinen karena overflow.(1)
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk
menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHO Prostate
Symptom Score). Skor ini dihitung berdasarkan jawaban penderita atas delapan
pertanyaan mengenai miksi.(1,2)

Pertanyaan Jawaban dan skor


Keluhan Pada bulan terakhir Tidak ada <20% <50% 50% >50% Hampir
sama sekali Selalu
a. Adakah anda merasa buli-buli
tidak kosong setelah BAK ? 0 1 2 3 4 5
b. Berapa kali anda hendak BAK 0 1 2 3 4 5
lagi dalam waktu 2 jam setelah

14
BAK ?
c. Berapa kali terjadi bahwa arus 0 1 2 3 4 5
kemih berhenti sewaktu BAK ?
d. Berapa kali terjadi anda tidak 0 1 2 3 4 5
dapat menahan kemih ?
e. Berapa kali terjadi arus lemah 0 1 2 3 4 5
sekali waktu BAK ?
f. Berapa kali terjadi anda menga- 0 1 2 3 4 5
lami kesulitan memulai BAK ?

Bangun tidur untuk Bak Tidak 1x 2x 3x 4x 5x


pernah
g. Berapa kali anda bangun untuk
BAK diwaktu malam ? 0 1 2 3 4 5

h. Andaikata cara BAK seperti anda


alami sekarang ini akan seumur hi-
dup tetap seperti ini, bagaimanakah
perasaan anda ?

Jumlah skor
0 = Baik sekali.
1 = Baik.
2 = Kurang baik.
3 = Kurang.
4 = Buruk.
5 = Buruk sekali.

VIII. GAMBARAN KLINIS


Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter
anus, mukosa rectum, kelainan lain seperti benjolan didalam rectum dan prostat.
Pada perabaan melalui colok dubur, harus diperhatikan konsistensi prostat (pada
pembesaran prostat jinak konsistensinya kenyal), adalah asimetris, adakah nodul

15
pada prostat, apakah batas atas dapat diraba. Pada karsinoma prostat, prostat
teraba keras atau teraba benjolan yang konsistensinya lebih keras dari sekitarnya
atau ada prostat asimetri dengan bagian yang lebih keras. Dengan colok dubur
dapat pula diketahui batu prostat bila teraba krepitasi.
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin
setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih
dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan melakukan
ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya
dianggap sebagai batas untuk indikasi melakukan intervensi pada hipertrofi
prostat.
Derajat berat gejala klinis dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan
pada colok dubur dan sisa volume urin.(2)

Derajat berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinis

Derajat Colok dubur Sisa volume urin


I Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba. < 50 ml

II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai. 50 – 100 ml

III Batas atas prostat tidak dapat diraba. > 100 ml

IV retensi urin total

Dengan uroflowmetri dapat diukur :


1. Pancaran urin maksimal (maksimal flow rate Q max).
2. Volume urin yang keluar (Voided volume).
Pengukuran sisa urin yang tertinggal dalam buli-buli setelah buang air
kecil diukur dengan memasang kateter setelah buang air kecil atau dengan
menggunakan TAUS (Trans Abdominal ultrasonography) yang tidak
invasive.(1)
Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran
maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran menurun

16
antara 6-8 ml/detik, sedangkan maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau
kurang. Kelemahan detrusor dan obstruksi intravesikel tidak dapat dibedakan
dengan pengukuran pancaran kemih.
Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu
faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolitiasis. Tindakan
untuk menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan secara teratur.(2)

Pemeriksaan Laboratorium Terdapat Dua Pemeriksaan Yang Terpenting


Pencitraan yang sering digunakan dalam penatalaksanaan BPH adalah
Trans Rectal Ultrasonography (TRUS). Dengan Trus dapat diketahui volume
prostat dan dapat mendeteksi kemungkinan keganasan, dengan ditemukannya
daerah hypoechoic. Selain itu, dengan TRUS dapat ditemukan adanya bendungan
vesika seminalis yang tampak merupakan gambaran kista di sebelah bawah
prostat. Pelebaran vena periprostat yang sering ditemukan pada penderita
prostatitis juga dapat diidentifikasi.
Ukuran prostat juga dapat dinilai dengan Trans Abdominal
Ultrasonography (TAUS). Taus dapat digunakan untuk mendeteksi bagian prostat
yang menonjol ke buli-buli, yang dapat dipakai untuk meramalkan derajat berat
obstruksi, selain tentu saja dapat mendeteksi apabila terdapat batu di dalam
vesika.
Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan pencitraan saluran kemih bagian
atas, terutama bila ditemukan tanda-tanda hematuria, infeksi saluran kemih,
penurunan fungsi ginjal, riwayat batu saluran kemih, dan operasi saluran kemih
bagian atas. Pemeriksaan pencitraan saluran kemih bagian atas tersebut ialah foto
polos abdomen atau disebut Kiney Ureter Bladder Films (KUB films), intravena
pyelography (IVP), sistogram bila dicurigai adanya divertikel, compated
tomography scanning (CT Scan) atau untuk maksud penelitian ada yang
menggunakan magnetic resonance imaging (MRI).
Sistoskopi tidak direkomendasikan untuk menentukan jenis terapi, namun
dapat membantu untuk menentukan jenis operasi pada pasien yang direncanakan
untuk operasi terbuka.

17
Pemeriksaan urodinamik diperlukan pada pasien yang dicurigai dengan
kelainan neurologis atau pada pasien yang telah mengalami kegagalan terapi
dengan bedah.(1)

IX. DIAGNOSIS BANDING


1. Carcinoma kandung kemih.
2. Infeksi (cystitis atau prostatitis).
3. batu kandung kemih.
4. Neurogenik (penyakit Parkinson, stroke, demensia, multiple sclerosis,
trauma tulang belakang).
5. Carcinoma prostat.
6. Kontraktur leher buli-buli atau striktura uretra.
7. Obat-obatan (antikolinergik, antidepresi, dekongestan, dan lain-lain).(3)

X. PENATALAKSANAAN
Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15. untuk itu
dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah
dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.
Didalam Praktek pembagian besar prostat derajat I-IV digunakan untuk
menentukan cara penanganan penderita derajat satu biasanya belum memerlukan
tindakan bedah diberikan pengobatan konservatif, misalnya dengan penghambat
adrenoreseptor alfa seperti alfa-zosin, prazosin, dan terazosin. Keuntungan obat
penghambat adrenoreseptor alfa ialah efek positif segera terhadap keluhan , tetapi
tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikitpun. Kekurangannya ialah
obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya
dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (trans urethal resection = TUR).
Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%. Kadang derajat dua dapat
dicoba dengan pengobatan konservatif.
Pada derajat tiga, reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh pembedah yang cukup
berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi
tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.

18
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal, retropubik atau
perineal. Pada operasi melalui kandung kemih dibuat sayatan perut bagian bawah
menurut Planne-istiel, kemudian prostat dienukleasi dari dalam simpainya.
Keuntungan teknik ini adalah dapat sekaligus untuk mengangkat batu buli-buli
atau divertikelektomi apabila ada divertikulum yang cukup besar. Cara pemberian
retropubik menurut Millin dikerjakan melalui sayatan kulit pfannenstel dengan
membuka simpai prostat tanpa membuka kandung kemih. Kemudian prostat
dienukleasi. Cara ini mempunyai keunggulan, yatiu tanpa membuka kandung
kemih sehingga pemasangan kateter tidak lama seperti bila membuka vesika.
Kerugiannya cara ini tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang
harus dikerjakan dari dalam kandung kemih. Kedua cara pembedahan terbuka
tersebut masih kalah dibandingkan dengan cara Tur, yaitu morbiditasnya yang
lebih lama, tetapi dapat dikerjakan tanpa memerlukan alat endoskopi yang khusus.
Dengan alat bedah baku prostatektomi melalui sayatan perineal tidak dikerjakan
lagi.
Pada hipertrofi derajat empat, tindakan pertama yang harus segera
dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang
kateter atau sistostomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan tur atau pembedahan
terbuka.
Penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan untuk dilakukan
pembedahan, dapat diusahakan pengobatan konservatif dengan memberikan
penghambat adrenoreseptor alfa. Efek samping obat ini ialah gejala hipotensi,
seperti pusing, lemas, palpitasi, rasa lemah.
Pengobatan konservatif lain ialah dengan pemberian obat antiandrogen
yang menekan produksi LH. Kesulitan pengobatan konservatif ini ialah
menentukan berapa lama obat harus diberikan dan efek samping obat.

Pengobatan lain yang invasive minimal ialah pemanasan prostat dengan


gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang
dipasang pada ujung kateter. Dengan cara yang disebut transurethral microwave

19
thermotherapy (TUMT) ini, diperoleh hasil perbaikan kira-kira 75% untuk gejala
objektif.
Pada penanggulangan invasive minimal lain, yang disebut transurethal
ultrasound guided laser. Dengan ini, diperoleh juga hasil yang cukup memuaskan.
Uretra di daerah prostat dapat juga dilatasi dengan balon yang
dikembangkan didalamnya (trans urethral balloon dilatation = TUBD). TUBD ini
biasanya memberikan perbaikan yang bersifat sementara.
Indikasi untuk operasi :
1. Retensi urin.
2. Hidronefrosis (dengan atau tanpa kelainan dari fungsi ginjaL).
3. Infeksi saluran kemih kronik.
4. batu pada saluran kemih.
5. Gejala obstruktif (dengan atau tanpa ketidakstabilan dari kandung kemih).

XI. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien PPJ yang dibiarkan tanpa
pengobatan: Pertama, trabekulasi, yaitu terjadi penebalan serat-serat detrusor
akibat tekanan intra vesika yang selalu tinggi akibat obstruksi. Kedua, dapat
terjadi sakulasi, yaitu mukosa buli-buli menerobos di antara serat-serat detrusor.
Ketiga, bila sakulasi menjadi besar dapat menjadi divertikel.

Komplikasi lain adalah pembentukan batu vesika akibat selalu terdapat


sisa urin setelah buang air kecil, sehingga terjadi pengendapan batu. Bila tekanan
intra vesika yang selalu tinggi tersebut diteruskan ke ureter dan ginjal, akan terjadi
hidroureter dan hidronefrosis yang akan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.
Tahap akhir adalah tahap dekompensasi dari detrusor di mana buli-buli sama
sekali tidak dapat mengosongkan diri sehingga terjadi retensi urin total. Apabila
tidak segera ditolong, akan terjadi overflow incontinence.(1)

20
PEMBAHASAN
Anamnesis
Teori Fakta
 Prevalensi BPH adalah 50% pada  Laki-laki usia 67 tahun dengan
usia 51-60 tahun. keluhan utama sulit BAK.
 Dialami sejak 2 tahun yang lalu dan
Gejala LUTS: dirasa memburuk 2 bulan terakhir.
 Pancaran miksi melemah  Air kencing keluar sedikit-sedikit
 Intermitensi dengan dibantu mengedan.
 BAK tidak puas  Pasien merasa BAK nya tidak tuntas
 Terminal dribbling dan BAK menjadi lebih sering.

 Volume urine menurun

21
 Mengejan saat BAK

Pemeriksaan Fisik
Teori Fakta
Pemeriksaaan Rectal Toucher pada pasien  Pada pasien terpasang Foley catheter
BPH ditemukan :
 Ukuran prostat membesar. Pemeriksaan Rectal Toucher :
 Permukaan teraba licin.  Pole atas prostat tidak teraba.
 Konsistensi prostat kenyal.  Sulcus medianus prostat tidak teraba.
 Prostat teraba kenyal dan
permukaannya teraba licin/mulus.

Pemeriksaan Penunjang
Teori Fakta
 Urinalisis  GDS : 111
 BT : 2’
Mencari kemungkinan infeksi,
 CT : 8’
hematuria, atau inflamasi.  Ur : 20,0
 Faal Ginjal  Cr : 0,8
 PSA : 26,43
Menilai elektrolit serum, ureum
dan kreatinin untuk menilai fungsi
Elektrolit :
ginjal komplikasi BPH kronis.
 Na : 132
 Glukosa Darah  K : 3,6
Diabetes Mellitus  Neuropati  Cl : 103
saraf VU
 Prostat Spesific Antigen
Nilai acuan tiap center berbeda-
beda. Nilai PSA tinggi (>4 ng/mL)
menunjang hasil pemeriksaan fisik
(Rectal Toucher)
 Imaging
Foto Polos Abdomen  batu
radiopaque, tanda metastasis ke
tulang (bila Carcinoma Prostat)
Intravenous Pielography  Filling
defect pada dasar VU. Gambaran

22
Hidroureter atau Hidronefrosis.

Penatalaksanaan
Teori Fakta
 Watchful waiting Pada pasien dilaksanakan tindakan
 Medikamentosa (Golongan Transurethral Resection of Prostate
Adrenergic Alpha Blocker dan 5- tanggal 9 Januari 2015.
alpha-reduktase Inhibitor)
 Pembedahan
TURP
TUIP
Open prostatectomy (Suprapubic
transvesical approach atau Retropubic
Infravesical approach)

DAFTAR PUSTAKA

Bain, Bridge Sophie.Obesity and Diabetes Increase Risk For BPH. Atlanta, GA.
2006. URL :http://www.auanet.org.

Elsevier. 2013. Benign Prostatic Hyperplasia.


URL:https://www.clinicalkey.com/topics/urology/benign-prostatic-
hyperplasia.html

Gass R. 2002.BPH :The opposite effects of alcohol and coffe intake. BJU
Internasional. Vol 90. Pp 649-654

Gunawan, Sulistia. 2008. Farmakologi dan Terapi. FKUI : Jakarta.

Martini & Nath. 2008. Fundamentals of Anatomy & Physiology. Pearson : San
Francisco.

23
Miner M, Rosenbert MT, Perelman MA. 2006. Treatment of lower urinary tract
symptoms in benign prostatic hyperplasia and its impact on sexual function.
Clin Ther. Vol 28 :13-25

National Kidney and Urologic Diseases Informatioan Clearinghouse


(NKUDIC).Prostat Enlargement : Benign Prostatic Hiperplasia. NIH.
2006. URL : http://www.kidney.niddk.nih.sor.

24

Anda mungkin juga menyukai