Anda di halaman 1dari 12

BACA PUSTAKA

DIVISI INFEKSI

EBOLA VIRUS DISEASE (EVD)

Oleh:
Utari Prasetyaningrum
No. Pokok: C105 181 007

Pembimbing:
dr. Herry D. Nawing, Sp.A

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Ebola virus disease (EVD) juga dikenal dengan istilah Ebola hemorrhagic fever
atau demam berdarah Ebola. Belum lama ini dunia kembali digemparkan dengan
munculnya wabah EVD di daerah Afrika Barat terutama di Liberia, Guinea, dan Sierra
Leone yang berlangsung sejak tahun 2014 sampai sekarang. Wabah ini merupakan wabah
EVD terbesar dan paling kompleks sejak virus ini pertama kali diidentifikasi pada tahun
1976 di Sudan dan Zaire.1,2

Di Indonesia, sampai saat ini belum ada laporan kasus positif EVD. Pada tahun
2014, 2 orang tenaga kerja Indonesia asal Kediri, Jawa Timur, dilaporkan diduga
terjangkit EVD setelah pulang dari Liberia, dan setelah dilakukan pemeriksaan medis
menunjukkan keduanya tidak tertular virus Ebola.3

Virus ini sangat mudah menular dan sangat mematikan, serta belum ditemukan
vaksin yang terbukti efektif dan efisien untuk manusia. Untuk itu, diperlukan usaha
pencegahan yang adekuat, sehingga mengurangi risiko tertular virus. Sampai saat ini
penelitian terhadap virus Ebola terus berlangsung secara progresif. Pengenalan penyakit
pada fase awal, rehidrasi cairan, dan pengobatan simptomatik yang adekuat dapat
meningkatkan kelangsungan hidup.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Ebola virus disease (EVD) atau penyakit virus Ebola adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus Ebola yang menyerang manusia dan beberapa hewan primata
lainnya. Ebola virus disease (EVD) juga dikenal dengan istilah Ebola hemorrhagic fever
atau demam berdarah Ebola. Ebola hemorrhagic fever merupakan penyakit berbahaya
dan dapat menyebabkan kematian.1,5,6
Pasien yang terinfeksi akan mengalami risiko kematian yang tinggi, yaitu antara
25-90% dengan rata-rata sekitar 50%. Kematian sering kali terjadi 6-16 hari sejakgejala
awal muncul terutama karena penurunan tekanan darah akibat kehilangan cairan atau
perdarahan.5

EPIDEMIOLOGI
Virus Ebola pertama kali diidentifikasi di Sudan dan di wilayah yang berdekatan
dengan Zaire (saat itu dikenal sebagai Republik Congo) pada tahun 1976, setelah terjadi
epidemi di Yambuku, daerah Utara Republik Congo dan Nzara, daerah Selatan Sudan.
Dari data wabah Ebola di daerah Afrika Barat sampai Januari 2016 terdapat 28.616 kasus
2,4,5,6
yang sudah dikonfirmasi positif virus Ebola dengan 11.310 kasus kematian. Pasien
EVD anak tercatat sekitar 20% dari total pasien konfirmasi EVD.5
Gambar 1. Epidemiologi virus Ebola.2
ETIOLOGI
Virus Ebola berasal dari genus Ebolavirus, famili Filoviridae. Virus ebola
memiliki RNA rantai negatif nonsegmental yang terdiri dari 7 gen struktural dan gen-gen
regulator.5,6

Gambar 2. Bentuk virus Ebola.1,6

Genus Ebolavirus terdiri dari 5 spesies yang berbeda, yaitu:


1. Bundibugyo ebolavirus (BDBV)
2. Zaire ebolavirus (EBOV)
3. Sudan ebolavirus (SUDV)
4. Taï Forest ebolavirus (TAFV)
5. Reston ebolavirus (RESTV)
Keempat virus pertama diketahui menyebabkan penyakit pada manusia dan dapat
menimbulkan gejala yang berat. Sementara Reston ebolavirus (RESTV) menyebabkan
penyakit pada primata, namun tidak pada manusia.5,6

PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI


Seperti filovirus lainnya, setelah terjadai infeksi virus Ebola akan menyebar dan
bereplikasi sangat efisien di banyak sel serta memproduksi sejumlah besar virus di dalam
sel monosit, makrofag dan sel dendrit menuju kelenjar getah bening., selanjutnya melalui
aliran darah dan system limfatik akan menyebar ke seluruh tubuh menuju limpa, hati,
kelenjar adrenal, dan tulang. Makrofag merupakan sel pertama yang terinfeksi virus yang
kemudian menyebabkan kematian sel, keadaan ini juga terjadi pada limfosit sehingga
mengakibatkan penurunan kadar limfosit darah. Kondisi tersebut berhubungan dengan
kelemahan respons imun terhadap infeksi virus Ebola. Replikasi virus menstimulasi
pelepasan inflammatory chemical signals dalam kadar tinggi sehingga terjadi kondisi
sepsis.5
Adanya partikel virus dan sel rusak akibat pelepasan virus baru menyebabkan
dilepaskannya sejumlah sinyal kimiawi seperti TNF-a, IL-6 dan IL-8, yang merupakan
sinyal molekuler untuk demam dan inflamasi.5
Setelah terpapar virus, 3 hari kemudian sel endotel akan terinfeksi, dan
menyebabkan kerusakan dan disfungsi sel endotel sehubungan dengan sintesis
glycoproteins (GP) virus, yang menurunkan persediaan integrins spesifik dalam
fungsinya untuk adesi sel pada struktur interseluler sehingga menyebabkan vasodilatasi,
peningkatan permeabilitas vaskular serta kerusakan hati dan gangguan pembekuan darah.
Perdarahan yang meluas dapat mengakibatkan pembengkakan dan syok akibat
kehilangan volume darah. Disfungsi perdarahan dan pembekuan dapat juga terjadi karena
peningkatan aktivasi extrinsic pathway pada kaskade koagulasi akibat produksi tissue
factor yang berlebihan oleh makrofag dan monosit. Telah terbukti bahwa pasien yang
dapatmenghasilkan antibody dalam minggu kedua infeksi memperlihatkan bebas viremia
dan perbaikan gejala klinis. 5
Gambar 3. Patofisiologi EBV.2

CARA PENULARAN
Orang yang terinfeksi Ebola hanya dapat menularkan pada saat gejala telah
muncul. Virus Ebola menular melalui kontak langsung pada kulit dan mukosa. Entry
point bagi virus adalah hidung, mulut, mata, luka terbuka, luka sayat, dan lecet. Kontak
yang terjadi dapat melalui5 :
 Cairan tubuh pasien atau jenazah EVD, seperti darah, saliva, mucus, air mata,
muntahan, urin, feses, keringat, semen dan ASI. Virus Ebola dilaporkan dapat
bertahan lebih dari 9 bulan di dalam semen, ASI dan mata pasien yang telah
sembuh.
 Objek yang terkontaminasi dengan virus, misalnya jarum atau peralatan medis.
Virus ini mampu bertahan pada objek selama beberapa jam dalam keadaan kering,
dan dapat bertahan selama beberapa hari dalam cairan di luar tubuh seseorang.
 Binatang yang terinfeksi atau dijadikan tempat perindukan, misalnya kelelawar
pemakan buah, monyet, simpanse, gorilla, dan babi.
MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi virus Ebola terjadi dalam 2-21 hari setelah terpapar virus Ebola,
namun umumnya dalam 4-10 hari. Perlu ditanyakan adanya riwayat tinggal atau
berkunjung pada area terkontaminasi Ebola dan riwayat kontak langsung dengan pasien
atau jenazah EVD, benda yang terkontaminasi, hewan yang terinfeksi atau hewan yang
menjadi reservoir virus Ebola. 5,7,8

Manifestasi klinis EVD sangat tidak khas dan menyerupai banyak penyakit
infeksi tropis lain seperti flu, demam tifus, demam berdarah dengue, atau malaria.
Keluhan pada anak dan dewasa untuk infeksi virus ini serupa, namun pada bayi atau anak
malnutrisi keluhan dapat menjadi lebih kabur. Gejala terjadi secara mendadak seperti
merasa lelah, demam, lemah, nafsu makan menurun, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala,
dan sakit tenggorok. Demam umumnya lebih tinggi dari 38.3 C serta sering kali diikuti
dengen muntah, diare, sakit perut, sesak, nyeri dada, edema, dan konfus. Pada kulit dapat
timbul erupsi makulopapular, petekia atau ekimosis. Perdarahan juga terjadia di mukosa
mata, hidung, mulut, saluran napas, saluran kemih, saluran cerna dan pada bekas tusukan
jarum yang umumnya terjadi pada stadium lanjut setelah 5-7 hari. Perdarahan hanya
terjadi pada kurang dari 50% penderita.5,7,8

Gejala EVD dapat berkembang secara progresif dalam beberapa hari sehingga
menjadi sakit berat, syok, koma, dan menyebabkan kematian dalam 6-16 hari karena
kegagalan multiogan.17 Sebagian kasus berhasil sembuh dalam 7-14 hari setelah awitan
dan memiliki antibodi terhadap Ebola sedikitnya selama 10 tahun tetapi belum jelas
apakah akan kebal terhadap infeksi virus Ebola berikutnya.2,5
Gambar 4. Tanda dan gejala EBV.2

MANIFESTASI LABORATORIUM
Hasil laboratorium tidak spesifik, yaitu ditemukannya trombositopenia,
leukopenia yang diikuti dengan leukositosis, peningkatan kadar alanine
aminotransferase (ALT) dan aspartate aminotransferase (AST) disertai prothrombin
time, partial thromboplastin time, dan bleeding time memanjang, pembekuan darah
abnormal sesuai dengan kejadian DIC. 5,8,9

DIAGNOSIS
Diagnosis pada orang yang baru terinfeksi virus Ebola cukup sulit karena gejala
awal, seperti demam, tidak spesifik. Namun, jika seseorang memiliki gejala awal EVD
dan memiliki riwayat kontak dengan darah atau cairan tubuh penderita EVD, kontak
dengan benda-benda yang telah terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh dari
penderita EVD, atau kontak dengan hewan terinfeksi, mereka harus diisolasi dan petugas
kesehatan masyarakat diinformasikan. Sampel pasien dikumpulkan dan diuji untuk
konfirmasi infeksi virus Ebola.4,5
Sebagian besar pasien EVD memiliki konsentrasi virus tinggi di dalam darah.
Teknik deteksi antigen ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) sensitif mendeteksi
virus di dalam darah. Pemeriksaan dengan cara isolasi virus dan RT – PCR (reverse
transcription polymerase chain reaction) juga efektif dan sensitif untuk mendeteksi virus
Ebola pada beberapa kasus. Pasien dalam masa pemulihan menghasilkan antibodi IgM
dan IgG yang dapat dideteksi menggunakan ELISA dan beberapa tes antibodi lain. Biopsi
kulit sangat bermanfaat untuk menegakkan diagnosis postmortem karena terdapat antigen
dalam jumlah besar di kulit.5,8

Tabel. Pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis EBV.1

TATALAKSANA
Pasien EVD harus diisolasi dan umumnya memerlukan perawatan intensif dengan
melaksanakan pengendalian dan pencegahan infeksi yang ketat untuk mencegah
penularan. Sampai saat ini belum ada terapi yang spesifik untuk EVD. 5

1. Terapi suportif.
Terapi awal dengan mengatasi demam dan nyeri, menjaga keseimbangan
cairan tubuh dan elektrolit, mempertahankan kadar O2 darah, serta memenuhi
kebutuhan nutrisi untuk mempertahankan kelangsungan hidup pasien. World
Health Organization (WHO) merekomendasikan untuk menghindari penggunaan
aspirin atau ibuprofen karena risiko perdarahan.
2. Mengatasi perdarahan.
Dianjurkan pemberian produk darah seperti packed red cell, trombosit,
fresh frozen plasma, serta untuk mengatur koagulasi diberikan heparin dalam
upaya mencegah disseminated intravascular coagulation dan faktor pembekuan.
3. Antimikroba.
Sebagian besar pasien EVD mengalami koinfeksi bacterial, viral, dan
parasit. Sebelum diagnosis terkonfirmasi tegak dapat dipertimbangkan pemberian
antibiotic dan antimalarial bila tinggal di daerah endemis malaria. Antibiotik juga
diperlukan untuk mengatasi adanya infeksi sekunder bacterial. Selain itu, perlu
dipertimbangkan koinfeksi jamur dan parasite. Beberapa antivirus Ebola yang saat
ini masih dalam penelitian, yaitu TKM-Ebola, T-705 (Favipirapir), CMX001
(Brincidofovir), JK-05, BCX4430, AVI-6002, anti-Ebola hyper-immune globulin,
dan ZMapp.
4. Mengatasi kegagalan fungsi organ.
Pada kasus berat sering terjadi syok hipovolemia, sepsis, perdarahan berat,
DIC, koma, dan kegagalan fungsi organ yang memerlukan tindakan dialysis pada
gagal ginjal, penggunaan alat ventilasi mekanis atau extracorporeal membrane
oxygenation pda disfungsi paru.

PROGNOSIS
Pasien EVD memiliki prognosis yang buruk dengan kematian yang cukup tinggi.
Kematian dilaporkan terutama akibat hipotensi dan syok daripada akibat kehilangan
darah. Sangat jarang pasien sembuh total dalam waktu yang singkat, umumnya
mengalami berbagai penyulit dalam waktu yang lama.5
BAB III
KESIMPULAN

EVD diakibatkan oleh virus genus Ebolavirus, famili Filoviridae. Virus ini
pertama kali ditemukan di Afrika, daerah selatan Sudan dan Zaire pada tahun 1976.
Penyebaran virus Ebola dalam skala global masih terbatas, berkaitan dengan transmisinya
melalui kontak langsung dan tidak melalui udara. Gejalanya antara lain demam, nyeri
kepala, sakit sendi dan otot, sakit tenggorokan, dan tubuh lemah. Gejala ini diikuti
dengan diare, sakit perut, dan muntah-muntah; ditemukan ruam, mata memerah, tersedak,
serta perdarahan luar dan dalam. Deteksi virus Ebola dapat dilakukan dengan uji antigen-
capture enzyme- linked immunosorbent assay (ELISA), IgM ELISA, polymerase chain
reaction (PCR), isolasi virus, antibodi IgM-IgG, imunohistokimia.

Sampai saat ini belum ditemukan pengobatan spesifik dan vaksin yang efektif
untuk mencegah infeksi virus Ebola. Upaya pencegahan dengan menghindari area yang
terkena serangan virus Ebola, tidak melakukan kontak dengan pasien atau mayat yang
terjangkit virus Ebola.
DAFTAR PUSTAKA

1. National Center for Emerging and Zoonotic Infectious Disease. Ebola fact sheet:
Ebola hemorrhagic fever. Center for Disease Control. 2014
2. World Health Organization. Ebola virus disease outbreak situation report. 2015
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Perkembangan Ebola di
Indonesia. 2014
4. WHO BDP/EPR. Interim infection control recommendations for care of patients
with suspected or confirmed Filovirus (Ebola, Marburg) hemorrhagic fever.
Geneva; 2008.
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Infeksi Dan Penyakit Tropis. Edisi 4.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2018.
6. Aditya, Muhammad. Ebola Hemorrhagic Fever: Clinical Management And
Prevention. JuKe Unila 2014; 4(8):245-253
7. Vyas JM. Ebola hemorrhagic fever. National Library of Medicine National
Institutes of Health. 2013
8. Kortepeter MG, Bausch, DG, Bray, M. Basic clinical and laboratory features of
filoviral hemorrhagic fever. J Infect Dis. 2011;204: 810-6
9. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL.
Harrison’s internal medicine. McGraw-Hill. 16th ed. USA; 2008; 1174-5.

Anda mungkin juga menyukai