Anda di halaman 1dari 4

A.

WAKAF DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM


Peraturan hukum wakaf yang diberlakukan untuk umat Islam di Indonesia ini
dapat ditemui dalam buku III Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selain mengatur aspek
teknis secara procedural, buku III Kompilasi Hukum Islam juga memperdalam aspek
substantif mengenai wakaf secara umum. Kemudian dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf juga menerangkan wakaf baik dari
pengertian maupun ketentuan atau syarat untuk nadzir.
Dalam rumusan yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal
215 ayat 1, yang mana disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang
atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan Sebagian dari benda
miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepetingan umum
lainnya sesuai dengan ajaran islam.1 Benda milik yang dimaksud disini bukan hanya
benda sekali pakai, namun benda yang juga bernilai menurut ajaran islam. Ketentuan
benda wakaf yang terdapat dalam Pasal 215 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
ialah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan
yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.2
Sedangkan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Pasal 1
ayat 1 menyebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan
dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.3
Tata cara perwakafan menurut Pasal 223 Hompilasi Hukum Islam, dinyatakan
sebagai berikut :
1. Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar di hadapan
Pegawai Pencatat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar
wakaf.
2. Isi dan bentuk ikrar wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
3. Pelaksanaan ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf (AIW)
dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua
orang saksi.

1
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 215 ayat 1.
2
Rahmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 65.
3
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Pasal 1 ayat 1.
4. Dalam melaksanakan ikrar seperti dimaksud ayat 1, pihak yang
mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada pejabat yang tersebut dalam
pasal 215 ayat 6, surat-surat sebagai berikut :
a. Tanda bukti pemilikan harta benda.
b. Jika benda yang diwakfakan berupa benda tidak bergerak, maka harus
disertai surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Camat
setempat yang menerangkan pemilikan benda wakaf tidak bergerak
dimaksud.
c. Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda
tidak bergerak yang bersangkutan.
Kemudian, pengelolaan benda wakaf yang ditentukan dalam Pasal 227
Kompilasi Hukum Islam (KHI), bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab nadzir dilaksanakan secara bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan Agama yang
mewilayahinya. ini berarti pemantauan atau pengawasan benda wakaf tidak hanya
dilakukan oleh pihak eksekutif saja, namun juga bersama-sama dengan pihak
yudikatif.4
Seperti pendapat Sayyid Sabiq yang dikutip oleh Rahmadi Usman dalam
bukunya yang berjudul Hukum Perwakafan di Indonesia, menyebutkan bahwa apabila
wakaf telah terjadi maka tidak boleh dijual, dihibahkan dan diperlakukan dengan
sesuatu yang membuat wakaf tersebut menghilang. Jika orang yang berwakaf
meninggal, maka wakaf tersebut tidak akan diwariskan. Seperti ucapan Rasulullah
SAW dalam hadits :

‫ ف أىَت الن َّيب َص ىَّل ُهللا علي ه وسَمَّل‬، ‫عن ابن َمُع َر ق ال أن َمُع َر بَن اَخلَّط اِب أصاَب أْر ًض ا َخبْي َرَب‬
‫ َفام‬،‫ إ يِّن أَص ْبُت أْر ًض ا َخبْي َرَب َلْم ُأِص ْب م ااًل َق ُّط أْنَفَس ِع ن ِد ي من ه‬، ‫ اي َر سوَل اِهَّلل‬: ‫ فقاَل‬،‫َيْس َتْأِم ُر ُه فهيا‬
‫ أَّنه ال ُيب اُع وال ُي وَه ُب‬، ‫ َفَتَص َّد َق هبا َمُع ُر‬: ‫ وَتَص َّد ْقَت هبا قاَل‬،‫ إ ْن ِش ْئَت َحَبْس َت أْص َلها‬: ‫َتْأُم ُر بِه ؟ قاَل‬
، ‫ واْبِن الَّس ِبيِل‬، ‫ ويف َس بيِل اِهَّلل‬، ‫ ويف الُق ْر ىَب ويف الِّرقاِب‬، ‫ وَتَص َّد َق هبا يف الُفَق راِء‬، ‫وال ُي وَر ُث‬
‫ َفَح َّد ْثُت ب ه اْبَن‬: ‫ وُيْط ِع َم غَري ُم َتَم ِّو ٍل ق اَل‬، ‫والَّض ْي ِف ال ُج ن اَح عىَل َم ن وِلهَي ا أْن َيْأَلُك ِم هْن ا ابَملعروِف‬
‫ غَري ُم َتَأِّثٍل مااًل‬: ‫ فقاَل‬، ‫ِس ِرييَن‬
4
Rahmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 71.
(‫)رواه البخاري و مسمل‬5
Artinya : “Dari Ibnu Umar ra. berkata, Umar telah menguasai tanah di
Khaibar, kemudian ia datang kepada Nabi SAW guna meminta instruksi
sehubungan tanah tersebut. Ia berkata: “Ya Rasulullah, aku telah memperoleh
sebidang tanah di Khaibar, yang aku tidak menyenanginya seperti padanya,
apa yang engkau perintahkan kepadaku dengannya?” Beliau bersabda: “Jika
kamu menginginkan, tahanlah aslinya dan sadaqahkan hasilnya. Maka
bersadaqahlah ‘Umar, tanah tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan, dan tidak
diwariskan. Ia mensadaqahkannya kepada orang-orang fakir, budak-budak,
pejuang di jalan Allah, ibnu sabil dan tamu-tamu. Tidak berdosa orang yang
mengelolanya memakan dari hasil tanah tersebut dengan cara yang ma’ruf dan
memakannya tanpa maksud memperkaya diri”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada hakekatnya benda wakat tidak dapat diubah ataupun dialihkan. Dalam
Pasal 225 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tertulis bahwasannya benda yang telah
diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan ataupun penggunaan lain, seperti yang
dimaksud dalam ikrar wakaf. Penyimpangan dari ketentuan yang dimaksud diatas
hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan tertuls dari Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan berdasarkan
saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan :
1. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti yang telah diikrarkan
oleh wakif.
2. Karena kepentingan umum.
Namun meskipun demikian, perubahan tersebut dapat dilakukan asalkan tidak
bertentangan dengan syari’at agama Islam. Hal tersebut diperkuat dengan aturan
Perundang-Undangan No. 41 Tahun 2004, Pasal 41 yang berbunyi :
“(1) Bahwa harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk
kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
syari’at.”
“(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hanya
dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Mentri atas persetujuan
Badan Wakaf Indonesia.”

5
Al-Bukhari, Syarah Sahih al-Bukhari, Bairut: Dar Fikr, Tt, hlm. 91.
“(3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan
pengecualian sebagai mana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar dengan harta
benda yang manfa’at dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta
benda wakaf semula.6”

6
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004, Pasal 1.

Anda mungkin juga menyukai