Anda di halaman 1dari 11

Makalah Pencatatan dan Pendaftaran Harta Wakaf

Disusun guna untuk memenuhi tugas Mata kuliah Ekonomi Wakaf

Dosen Pengampu: Irfani

Disusun Oleh :

Nama : Ahmad Imam Maliki

NIM: 183011482

STAI KHOZINATUL ULUM BLORA

TAHUN 2020

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga
disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya,
seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah
membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah pada Program Studi Ekonomi Syari’ah
Khozinatul Ulum dengan ini penulis mengangkat judul “Pencatatan Dan Pendaftaran Harta
Wakaf”
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tanggal 10 Juni 1991, Presiden Republik Indonesia; Soeharto telah
mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia dengan Nomor 1 Tahun 1991 yang inti dari
isi INPRES tersebut adalah menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari
tiga (3) buku, yaitu hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.
Selanjutnya KHI ini dijadikan sebagai pedoman di dalam menetapkan perkara-
perkara yang berhubungan dengan tiga masalah yang terkandung di dalam KHI tersebut yang
dialami oleh orang Islam. Ini telah ditetapkan oleh Menteri Agama di dalam keputusannya
tentang pelaksanaan INPRES Nomor 1 Tahun 1991 tersebut.
Oleh karena itu, KHI menjadi bagian penting di dalam kehidupan maysarakat muslim
di Indonesia. Ia dapat diibaratkan sebagai kitab fiqh produk rakyat Indonesia.
Sebagaimana yang telah diterangkan, KHI mengandung tiga (3)
pembahasan.Masalah yang sering timbul dalam sistem perwakafan di Indonesia adalah masih
banyaknya harta wakaf yang belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Hal
ini banyak disebabkan karena kurangnya kesadaran masyarakat akan legalitas hukum
pendaftaran harta wakaf.
Maka dari itu setiap waqif wajib mendaftarkan harta wakaf nya sesuai dengan aturan
tertentu sebagai pengamanan harta wakaf tersebut dari masalah sengketa. Dan agar wakaf
tersebut dapat dikelola untuk mensejahterakan masyarakat setempat, terutama umat Muslim.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah
sebagai berikut:
1.Apa Pengertian Wakaf ?
2. Bagaimana Kajian KHI Pasal 223 tentang tata cara perwakafan dan perbandingan fiqh.
3. Bagaiman Perkembangan tata cara melakukan wakaf secara praktek.
4. Bagaimana Kajian KHI Pasal 224 tentang pendaftaran wakaf dan perbandingan fiqh.

C. Tujuan

1.Mengetahui Pengertian Wakaf ?


2. Mengetahui Kajian KHI Pasal 223 tentang tata cara perwakafan dan perbandingan fiqh.
3.Mengetahui Perkembangan tata cara melakukan wakaf secara praktek.
4.Mengetahui Kajian KHI Pasal 224 tentang pendaftaran wakaf dan perbandingan fiqh.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wakaf

Definsi wakaf adalah “menahan atau menyedekahkan harta atau benda milik yang
dapat dimanfaatkan untuk kebaikan dan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah
Swt.”
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, pengertian wakaf adalah
perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta
kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya
untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran
islam.1
Dalam pengertian syara’secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksanaanya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli),lalu
menjadikan manfaatnya berlaku umum. Tahbisul ashliadalah menahan barang yang
diwakafkan agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan, dan
sejenisnya. Cara pemanfaatannya dengan menggunakan sesuai kehendak wakiftanpa
imbalan.2
Sehingga ada baiknya bahwa harta yang diwakafkan adalah harta yang dapat
dinikmati manfaatnya oleh seluruh kalangan umat manusia tidak tertentu atau bisa
disebut dengan wakaf Am’ atau wakaf umum.

B. Kajian KHI Pasal 223 Tentang Tata Cara Perwakafan dan Fiqh

Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 menjalaskan tentang tata cara
perwakafan. Pasal 223 angka (1) tertulis sebagai berikut:
Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.
Pada dasarnya, ketika rukun-rukun wakaf telah tercukupi, maka jadilah wakaf. Ini
adalah menurut fiqhklasik.Sedangkan rukun-rukun wakaf menurut mayoritas ulama
selain Hanafi adalah orang yang mewakafkan (‫)واقف‬, tujuan diwakafkan (‫)موقوف عليه‬,
barang wakafan (‫)موقوف‬, dan sîghat.

[1] K.N Sofyan Hasan, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf,(Surabaya: Al Ikhlas, 1995), hlm 71.

[2 ]M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah,(Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hlm 407

4
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, rukun wakaf itu hanya ada satu,
yaitu shîghat. Shîghat di sini adalah lafaz-lafaz yang menunjukkan kepada makna wakaf.
Seperti contoh kata seseorang “tanahku ini diwakafkan selamanya terhadap orang-orang
miskin”.
Akan tetapi, KHI dalam hal ini menetapkan beda. Dalam hal ini, dasar yang
dijadikan KHI dapat diambil dari pernyataan Syaikh Wahbah al-Zuhailî di dalam
kitab al-Fiqh al-`Islâmî wa `Adillatuh. Beliau berkata:
،‫ بيان الوقف ولو كان قديما‬:‫ ويشترط في ادعاء الوقف‬،‫المقرر شرعا أن الشهادة إحدى طرق إثبات الوقفية‬
‫ والشهادة بالشهرة والتسامع بأن يقول‬،‫ وشهادة النساء مع الرجال‬،‫ويقبل في إثباته الشهادة على الشهادة‬
‫ وال‬،‫ ولبيان مستحقين‬،‫ كقولهم على مسجد كذا‬،‫ أشهد بالتسامع وتقبل شهادة التسامع لبيان المصرف‬:‫الشاهد‬
‫ واشتراط تحديد‬.‫ أما صك الكتابة فال يصلح حجة؛ ألن الخط يشبه الخط‬.‫تقبل إلثبات شرائطه في األصح‬
[6]
. ‫العقار الموقوف ال يطلب لصحة الوقف ألن الشرط كونه معلوما وإنما هو شرط لقبول الشهادة الوقفية‬
Terjemahan: Ketetapan secara syariat, persaksian adalah salah satu dari cara-
cara menetapkan wakaf. Disyaratkan di dalam pengakuan wakaf; adalah
menjelaskan wakaf walaupun telah lewat. Wakaf diterima ketetapannya dengan
cara persaksian terhadap persaksian; dan persaksian perempuan berserta lelaki,
persaksian dengan cara kemasyhuran dan perbicaraan orang banyak dengan
perkataan orang yang bersaksi: “Aku bersaksi dengan perbicaraan orang
banyak”. Persaksian dengan perbicaraan orang banyak itu diterima untuk
menjelaskan tempat tasarrufnya; seperti ucapan mereka terhadap masjid yang
ini. Dan juga diterima untuk menjelaskan orang-orang yang berhak. Persaksian
tidak diterima untuk menetapkan syarat-syarat wakaf menurut pendapat yang
lebih sah. Adapun akte tulisan (akte notaris) itu tidak patut menjadi hujjah,
karena tulisan itu menyamai tulisan. Dan pensyaratan membatasi perkarangan
wakaf tidak menjadi syarat untuk sahnya wakaf, karena syarat adanya wakaf itu
haruslah diketahui. Hanya saja pembatasan itu adalah syarat untuk diterimanya
persaksian wakaf.[3]
Oleh karena ini, Mahkamah Syariah Mesir dan Syiria menetapkan secara hukum
positif (‫ )قانون‬agar mensyaratkan sahnya wakaf dengan bersaksi secara resmi dari
orang yang akan mewakafkan di depan salah satu dari mahkamah-mahkamah
syariah yang bertempat di daerah barang wakafan tersebut kesemuanya atau
kebanyakannya. Ini bertujuan menutup kemungkinan adanya pendakwaan yang
batil untuk menetapkan kewakafan dengan persaksian yang palsu (‫)شهادة الزور‬.
Ketetapan ini sesuai dengan hukum positif yang mana mensyaratkan adanya
pendaftaran resmi dalam hal sertifikat tanah bagi segala tasarruf yang dilakukan
terhadap tanah, di manapun ia berada, dan kapanpun tasarruf itu terjadi.4

[3 ]Pernyataan Wahbah ini menunjukkan bahwa luasnya kemungkinan terjadi persaksian-persaksian dari siapa saja
yang dapat dianggap sah secara syariat. Adanya kenyataan ini dapat menimbulkan claim-claim yang nantinya
disebut oleh beliau sebagai persaksian palsu.
4 al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 10, 7667.

5
Lalu Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 angka (2) tertulis sebagai berikut:
Isi dan bentuk ikrar wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
Seperti yang telah diterangkan di atas tadi, bahwa wakaf itu bisa jadi ketika telah
menetapi rukun-rukunnya. Salah satu yang disepakati oleh semua ulama, adalah
adanya shîghat.
Syarat-syarat shîghat di dalam fiqh serta beberapa perbedaan pendapat di dalamnya
itu ada empat:
1. Sifat Ta`bîd (selamanya): menurut mayoritas ulama kecuali mazhab Maliki, itu
mensyaratkan adanya sifat selamanya, bukan terbatas waktu. Hanya saja ia tidak
perlu dilafazkan. Akan tetapi, sifat ini akan tercacati ketika shîghatnya mengandung
isi sifat terbatas waktu (ta`qît). Seperti contoh “aku mewakafkan tanah ini sebulan”.
Maka menurut mayoritas ulama dalam hal ini, wakaf tidak sah.
2. Sifat Tanjîz: yaitu tidak digantungkan dengan sesuatu yang lain, dan ia jadi secara
langsung, dan tidak menanti sebuah syarat untuk berlaku. Contoh shîghat yang
tidak Tanjîz adalah “Ketika Zaid datang, maka aku mewakafkannya”. Ini adalah
syarat menurut mayoritas ulama kecuali Maliki.
3. Sifat al-`Ilzâm: yaitu sebuah sifat yang tidak terdapat di dalamnya sebuah ketentuan
untuk khiyâr seperi contoh: “aku mewakafkan tanah ini dengan syarat aku dapat
menariknya kembali atau si fulan dapat menariknya kembali kapanpun ia mau”. Ini
juga adalah syarat menurut mayoritas ulama kecuali Maliki.
4. Sifat menjelaskan tempat pegunaannya: yaitu sebuah sifat di mana ia menunjukkan
tujuan penggunaan dari barang wakafan tersebut. Seperti contoh: “aku mewakafkan
tanah ini untuk dibangun masjid”. Ketika tidak ada sifat ini semisal “sku
mewakafkan tanah ini (secara mutlak)”, maka menrut pendapat yang `azhar di dalam
mazhab Syafi’I tidak sah. Syarat ini hanya diletakkan oleh mazhab Syafi’I melalui
pendapatnya yang`azhar.
Melihat kanyataan ini, shîghat wakaf terjadi khilâf di kalangan ulama. Oleh karena
ini, sesuai kaidah “‫ ;”حكم الحاكم يرفع الخالف‬maka pemerintah dapat menetapkan ketentuan
ikrar melalui Menteri Agama.
Perlu juga diketahui, pada dasarnya pemerintah tidak sepenuhnya menafikan sebuah
wakaf yang sudah memenuhi syarat. Oleh karena itu, redaksi di dalam KHI adalah ikrar
wakaf, bukan shîghat wakaf. Ini dikarenakan tidak menutup kemungkinan sudah terjadi
wakaf di luar prosedur yang secara syariat sudah sah, akan tetapi ditetapkan wakaf
tersebut secara resmi melalui proses ikrar ini. Hujjah ini hampir senada dengan
pernyataan Wahbah al-Zuhailî seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Ketentuan lain dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 angka (3) tertulis sebagai
berikut:

6
Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah
jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Ketentuan yang ditetapkan oleh KHI bagi pasal ini adalah agar ikrar perwakafan ini
dikuatkan dengan pembuktian yang berupa persaksian (‫)الشهادة‬. Secara fiqh, persaksian ini
dapat menguatkan sebuah hukum. Dalam ketentuan mazhab Syafi’i, persaksian untuk
hal-hal yang berkaitan dengan harta itu memerlukan minimal satu orang saksi dengan
disumpah. Ia juga bisa dengan satu lelaki dan dua orang perempuan.
Menurut penulis, faedah diwajibkannya persaksian ini oleh KHI adalah agar menolak
kemungkinan terjadi claim dari orang lain akan harta wakafan tersebut. Juga dapat
menghilangkan keraguan atau pertentangan seumpama ada yang meragukan terjadi
pemalsuan akte perwakafan. Hal ini bisa termasuk di dalam koridor al-mashlahah al-
mursalah yang disepakati oleh beberapa ulama seperti Mâlikiyyah dan Imam al-
Ghazâlî.[5]
Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 angka (4) tertulis sebagai berikut:
Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan
diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6),
surat-surat sebagai berikut:
a. tanda bukti pemilikan harta benda;
b. jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus
disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat
setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud;
c. surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak
bergerak yang bersangkutan.
Tujuan dari penyerahan tanda bukti pemilikan harta adalah karena KHI mengadopsi
pendapat mazhab Syafi’I yang berpegangan bahwa wakaf menyebabkan si pewakaf akan
kehilangan haknya terhadap harta wakafan tersebut. Jadi secara logikanya, tanda
kepemilikan harta (seperti sertifikat tanah) tersebut harus juga diserahkan kepada Pejabat
yang berwenang.
Sedangkan untuk angka (b) dan (c) adalah bagian dari antisipasi seperti yang telah
diterangkan oleh penulis. Secara metodelogis Islam ia adalah bagian dari penerapan al-
mashlahah al-mursalah yang juga sesuai dengan ruh-ruh syariat Islam.
B. Tata Cara Formal Perwakafan di Indonesia
Menurut Dr. Abdul Ghofur Anshori, SH. MH.; secara penerapan, maka tata cara
perwakafan adalah sebagai berikut:
1. Perorangan atau badan hukum yang akan mewakafkan tanah miliknya (sebagai calon wakif)
datang sendiri di hadapan PPAIW untuk melaksanakan ikrar wakaf. Bila calon wakif tidak
dapat datang ke hadapan PPAIW karena suatu sebab, seperti sakit, sudah sangat tua dan
lain-lain dapat membuat ikrar wakaf secara tertulis dengan persetujuan Kepala Kantor

[5] Ibid., 93.

7
Departemen Agama Kabupaten letak tanah yang bersangkutan di hadapan dua orang saksi.
Ikrar wakaf itu kemudian dibacakan pada nazhir di hadapan PPAIW.
2. Pada waktu menghadap PPAIW tersebut, wakif harus membawa surat-surat sebagai berikut:
a. Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya seperti surat IPEDA
(girik, petok, ketitir dan sebagainya).
b. Surat Keterangan Kepada Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat
yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak termasuk sengketa.
c. Surat keterangan pendaftaran tanah.
d. Izin dari Bupati/Kotamadya Kepada Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria
Setempat.
3. PPAIW kemudian meneliti surat-surat dan syarat-syarat tersebut, apakah sudah memenuhi
untuk pelepasan hak atas tanah (untuk diwakafkan), meneliti saksi-saksi dan mengesahkan
susunan nazhir.
4. Menurut Dr. Abdul Ghofur, wakif mengikrarkan kehendak wakif itu kepada nazir yang
telah disahkan. Ikrar tersebut harus diucapkan dengan jelas dan tegas dan dituangkan
dalam bentuk tertulis. Bagi wakif yang tidak dapat mengucapkan ikrarnya, karena bisu
misalnya, ia dapat menyatakan kehendaknya itu dengan isyarat, kemudian mengisi
formulir ikrar wakaf. Kemudian semua yang hadir menandatangani blanko ikrar wakaf.
Tentang bentuk dan isi ikrar wakaf tersebut telah ditentukan di dalam peraturan Direktoral
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tanggal 18 April 1978 No. Kep/D/75/78.
5. PPAIW segera membuat Akta Ikrar Wakaf rangkap tiga dengan dibubuhi materai dan
Salinan Akta Ikrar wakaf rangkap empat. Akta Ikrar Wakaf tersebut paling sedikit
memuat: nama dan identitas wakif, nama dan identitas nadzhir, data dan keterangan harta
benda wakaf, peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf. Selanjutnya
selambat-lambatnya satu bulan sejak dibuatnya akta, akta tersebut wajib disampaikan
kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Disamping membuat akta, PPAIW membukukan
semua itu dalam Daftar Akta Ikrar Wakaf dan menyimpannya dengan baik bersama
aktanya.

C. Kajian KHI Pasal 224 Tentang Pendaftaran Benda Wakaf

Kompilasi Hukum Islam Pasal 224 telah mengatur tata cara pendaftaran benda
wakaf, sebagai berikut:
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 223 ayat
(3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang
bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan
perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestarian
Yang dimaksud dalam pasal ini, menurut Dr. Abdul Ghofur Anshori, SH. MH.;
dilakukan pendaftaran tanah wakaf di Agraria. PPAIW atas nama nadzir mendaftarkan
harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 hari kerja sejak akta
ikrar wakaf ditandatangani.

8
Dalam pendaftaran tersebut, PPAIW haruslah melampirkan sertifikat yang
bersangkutan atau bila tidak ada boleh menggunakan surat-surat bukti kepemilikan tanah
yang ada, salinan Akta Ikrar Wakaf yang dibuat PPAIW dan surat pengesahan nazhir.
Jika nazhir terdiri dari kelompok orang, maka yang ditulis dalam buku tanah dan
sertifikatnya adalah nama orang-orang dari kelompok tersebut disertai kedudukannya di
dalam kepengurusan. Bila kelak ada nazhiryang meninggal dunia, mengundurkan diri
atau diganti, maka diadakan penyesuaian seperlunya, berdasarkan pengesahan
susunan nazhir yang dilakukan PPAIW. Jika nazhir itu adalah badan hukum, maka yang
ditulis dalam buku tanah dan sertifikatnya adalah nama badan hukum tersebut.

9
BAB III
KESIMPULAN

Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah


sebagai berikut:

1. Definsi wakaf adalah “menahan atau menyedekahkan harta atau benda milik yang dapat
dimanfaatkan untuk kebaikan dan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
2. Kajian Pasal 223 Kompilasi Hukum Islam menghasilkan kesimpulan bahwa pada
dasarnya selagi syarat dan rukun wakaf itu telah terpenuhi, maka secara fiqh wakaf itu
sudah berlaku. Akan tetapi, dikarenakan melihat kenyataan zaman yang jelas sudah
berubah, maka beberapa konsep pengesahan wakaf tersebut diatur beda dalam KHI demi
menjaga maslahat yang lebih sesuai dengan ruh-ruh syariah Islam.
3. Dalam tata cara formal untuk melakukan wakaf memiliki lima (5) tahap yang harus
dilakukan. 1) Waqifdatang ke PPAIW untuk ikrar wakaf; 2) Ketika si waqif datang
tersebut ia harus sudah melengkapi dokumen-dokumennya; 3) PPAIW harus meneliti
semua dokumen dan juga saksi-saksi; 4) Waqif harus melakukan ikrar di depan 2 saksi
dengan ikrar yang jelas; 5) PPAIW mengeluarkan Akta Ikrar Wakaf resmi.
4. Setelah diterbitkan Akta Ikrar Wakaf, maka PPAIW atas nama nadzir mendaftarkan harta
benda wakaf kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 hari kerja sejak akta ikrar
wakaf ditandatangani.

10
DAFTAR PUSAKA

https://www.kompasiana.com/hafizhprita/5848ffa7f77e61ce10f14833/pengelolaan-dan-legalitas-
wakaf?page=all diakses pada tanggal 17 Januari 2020 20;18
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/66767/Chapter%20I.pdf?sequence=4&is
Allowed=y diakses pada tanggal 17 Januari 2020 20;30

[1] K.N Sofyan Hasan, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf,(Surabaya: Al Ikhlas, 1995), hlm 71.

[2] M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah,(Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hlm
407
[3] Pernyataan Wahbah ini menunjukkan bahwa luasnya kemungkinan terjadi persaksian-
persaksian dari siapa saja yang dapat dianggap sah secara syariat. Adanya kenyataan ini
dapat menimbulkan claim-claim yang nantinya disebut oleh beliau sebagai persaksian palsu.
[4 ] al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 10, 7667.
[5] Ibid., 93.

11

Anda mungkin juga menyukai