Anda di halaman 1dari 4

Kehamilan dalam Kaca Mata Syariat Islam

Pembahasan mengenai bagaimana pandangan Islam mengenai kehamilan dirasa sangat perlu sekali
untuk kita pahami bersama karena topik ini merupakan salah satu topik yang sering dibahas di dalam
Al-Qur’an. Sehingga ini menjadi petunjuk bagi kita semua bahwa kita harus memahami akan hal ini.
Selain itu, beberapa hal yang terjadi pada ibu yang sedang hamil juga erat kaitannya dengan
bagaimana dalam pelaksanaan syariat. Oleh karenanya setiap ibu hamil dan tenaga kesehatan pun
penting untuk mengetahui hal-hal dasar yang berhubungan dengan kesehatan wanita. Khususnya
kehamilan dalam kaca mata syariat.

Berikut akan dibahas beberapa hal dasar yang perlu untuk diketahui dan ini berkaitan langsung
dengan kehidupan seorang perempuan terutama yang sedang hamil. Apa saja itu? Check these out!

1. Jika telah keluar bloody show, apakah masih boleh untuk


melakukan HB dengan suami untuk induksi alami persalinan?
Seperti yang telah dibahas pada materi sebelumnya bahwa salah satu tanda yang menunjukkan
bahwa ibu telah mendekati proses persalinan ialah keluarnya lendir darah (bloody show) dari
kemaluan (See Materi ke 7 tentang Persalinan). Lalu bagaimana status darah ini, darah yang keluar
satu atau dua hari sebelum kelahiran bayi? Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.
Namun pendapat yang terkuat mengatakan bahwa darah tersebut termasuk darah nifas. Mari kita
simak salah satu penjelasan dari ulama kita.
Masalah ini pernah ditanyakan pula kepada Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
rahimahullah, dan berikut jawaban beliau :

“Ada dua kondisi terkait hal ini. Pertama: jika wanita hamil yang melihat darah satu atau dua
hari sebelum kelahiran si bayi merasakan nyeri seperti saat ketika akan melahirkan, maka dia
meninggalkan shalat dan puasa (sebab sudah masuk nifas). Kedua, jika keluarnya darah tersebut
tidak disertai rasa sakit atau nyeri, maka dianggap sebagai darah rusak (istihadah), maka tidaklah
kejadian ini mencegah dirinya dari shalat dan puasa.” (dikutip dari Buku Fikih Kesehatan Wanita
Kontemporer yang ditulis oleh dr. Raehanul Bahrain)

Jadi, jika darah (bloody show) yang keluar itu disertai dengan nyeri/ kontraksi persalinan, maka
darah tersebut sudah tergolong darah nifas, sehingga hukum darah nifas pun berlaku bahwa seorang
ibu tidak diperbolehkan untuk sholat dan puasa serta melakukan hubungan suami istri. Dan
sebaliknya jika pengeluaran bloody show tersebut tidak disertai rasa nyeri maka ia tergolong darah
penyakit (istihadah) sehingga ibu masih diwajibkan untuk shalat dan puasa serta diperbolehkan HB
untuk induksi persalinan. Wallahu a’lam

2. Dari kemaluan terlihat ada rembesan air ketuban, apakah


masih diwajibkan untuk sholat?
Keluarnya rembesan air ketuban selama kehamilan bisa saja terjadi pada sebagian ibu karena
beberapa faktor. Normalnya, seperti telah dibahas pada meteri kita sebelumnya (See Materi ke 7
tentang Persalinan), cairan ketuban akan keluar saat proses persalinan. Namun jika air ketuban telah
keluar sebelum waktu tersebut, bagaimana pandangan Islam terkait air ketuban?
Sebelumnya perlu diketahui bahwa para ulama kita berbeda pendapat, ada yang mengatakan
bahwa air ketuban tidak najis. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa air ketuban itu najis. Dan
pendapat ulama yang mengatakan air ketuban itu najis, inilah pendapat yang lebih kuat.
Meski air ketuban itu najis, namun keluarnya air ketuban tidak menyebabkan seorang ibu boleh
meninggalkan shalat ataupun puasa (Pembahasan mengenai puasa bagi ibu hamil akan dibahas lebih
lanjut pada poinnya). Seorang ibu tetap diwajibkan untuk sholat dan puasa semampunya. Karena kita
tahu ketika seorang ibu mengalami pecah ketuban sebelum waktunya/keluar rembesan air ketuban
ibu dianjurkan untuk bedrest, maka lakukanlah ibadah wajib semampunya. Lebih jauh mengenai
pembahasan ini ibu dapat merujuk fatwa yang dikeluarkan oleh al-Lajnah ad-Daimah (majelis/tempat
rujukan para ulama Arab Saudi berada). Wallahu’alam.

3. Jika telah memasuki 40 hari lebih masa nifas, namun flek


darah masih keluar, apakah itu masih darah nifas?
Dalam dunia kebidanan, masa nifas akan berlangsung hingga 40 hari di mana diperkirakan dalam
rentang waktu tersebut alat-alat reproduksi ibu telah kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa
nifas ditandai dengan keluarnya darah merah kehitaman yang kemudian akan berubah warna hingga
putih kekuningan. Masa nifas ini faktanya tidak semua ibu akan mengalami persis 40 hari lalu selesai.
Ada yang bahkan kurang dari 40 hari, masa nifasnya pun telah selesai. Dan ini dalam pandangan Islam
dibenarkan bahwa tidak ada batasan minimal dari masa nifas, kapanpun darah telah berhenti meski
belum mencapai 40 hari. Akan tetapi, para ulama kita berbeda pendapat tentang batasan
maksimalnya. Pendapat yang terkuat mengatakan bahwa masa nifas itu berlangsung maksimal 40 hari
dan tidak ada batasan minimalnya, Wallahu’alam. Lalu bagaimana jika darah masih keluar setelah 40
hari? Bisa jadi ini merupakan darah haid (nifas yang bersambung dengan haid) atau bisa juga
merupakan darah istihadah. Wallahu’alam

4. Bolehkah meminta SC (Operasi) tanpa ada indikasi medis?


Perlu kita ketahui bahwa di dalam dunia kedokteran melakukan operasi caesar tanpa adanya
indikasi medis itu dilarang. Sehingga seorang dokter dianggap telah melanggar kode etik ilmu
kedokteran jika melakukannya tanpa alasan tersebut (dikutip dari buku Fikih Kesehatan Wanita
Kontemporer yang ditulis oleh dr. Raehanul Bahrain).
Dari sisi medis, telah jelas bahwa tindakan SC (operasi) itu hanya akan dilakukan oleh seorang
dokter jika terdapat masalah-masalah medis yang jika tidak dilakukan justru akan berdampak
membahayakan nyawa sang ibu dan janin seperti fetal distress, gagal induksi, panggul ibu yang sempit
sehingga tidak memungkinkan bayi lahir melalui vagina, dan lainnya. Dan para ulama kita pun telah
membahas dan mengeluarkan fatwa terkait tindakan SC (operasi) ini sebagaimana yang dituliskan
dalam buku Fiqih Kesehatan Wanita Kontemporer, pada intinya dibolehkan menjalani operasi (SC)
dengan indikasi medis dari dokter yang ahli di bidangnya atau atas saran tenaga medis yang
terpercaya. Maka demikian, bisa disimpulkan bahwa meminta SC tanpa ada indikasi medis tidak
dibenarkan dalam syari’at kita, Wallahu’alam.

5. Bagaimana penggunaan alat kontrasepsi lain untuk tujuan


mengatur jarak kehamilan?
Di antara kita mungkin ada yang belum begitu sepenuhnya memahami, karena kurangnya informasi
atau penyampaian informasi yang tidak tepat sehingga didapati bahwa program Keluarga Berencana
semata untuk membatasi jumlah anak. Tentu jika pembahasan program Keluarga Berencana itu hanya
terbatas pada pembatasan jumlah kelahiran, maka ini bertentangan dengan syariat Islam. Namun
sejatinya program Keluraga Berencana itu bermaksud untuk memberikan penekanan pada
perencanaan dan pengaturan jarak kelahiran anak. Maka mengenai hukum Keluarga Berencana (KB)
ini telah dijelaskan oleh para ulama kita berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu :

- Untuk membatasi kelahiran


Hukumnya tidak boleh karena bertentangan dengan ajaran Islam, di mana kita dianjurkan untuk
memperbanyak keturunan

- Untuk mengatur kelahiran

Melakukan program KB dengan tujuan untuk mengatur kelahiran dibolehkan. Hal ini juga harus
didukung oleh saran dan hasil pemeriksaan dari tenaga medis yang terpercaya bahwa jika ibu
melahirkan dalam waktu yang berdekatan dapat membahayakan kondisi kesehatan ibu di kemudian
hari, maka diperlukan adanyanya jarak antara kehamilan yang satu dengan yang berikutnya.
Mengenai jenis-jenis alat kontrasepsi sendiri ada begitu banyak yang bisa ibu gunakan (see
materi ke 8 tentang Paska persalinan), namun di sini ada penekanan dalam Islam terhadap beberapa
alat kontrasepsi berikut, seperti :
- Metode IUD/ AKDR
Penggunaan metode ini boleh saja (hukumnya mubah) namun yang perlu diperhatikan terutama
oleh suami yaitu tentang pemasangan alat kontrasepsi ini. Karena pemasang IUD mengharuskan ibu
untuk membuka aurat, maka ibu dan suami harus memilih dokter perempuan atau bidan untuk
melakukan pemasangannya (meski perempuan tidak boleh saling melihat aurat, kecuali dalam
keadaan darurat). Jika pemasangan alat kontrasepsi ini dilakukan oleh dokter laki-laki maka
hukumnya haram, jika masih ada dokter perempuan atau bidan. Wallahu’alam

- Metode Vasektomi dan Tubektomi


Vasektomi dan Tubektomi di dalam Islam hukumnya haram karena dua hal ini menyebabkan
suami maupun istri tidak bisa lagi memiliki keturunan selamanya, di mana tindakan ini termasuk
dalam upaya tindakan mengubah ciptaan Allah.

Fatwa Majma Fiqh al-Islami mengenai KB steril (Vasektomi dan Tubektomi)


1. Tidak boleh mengeluarkan undang-undang secara umum guna membatasi kebebasan suami-istri dalam
memperoleh keturunan atau anak
2. Haram menghilangkan secara total kemampuan laki-laki maupun perempuan untuk memiliki keturunan,
yaitu yang dikenal dengan istilah medisnya sterilisasi. Yakni selama dilakukan bukan untuk darurat, yang
ditetapkan berdasarkan aturan-aturan syariat
3. Boleh mengatur tempo melahirkan demi memberi jarak kehamilan (antara yang satu dengan yang
selanjutnya) atau berniat menghentikan hingga waktu tertentu. Hal ini boleh dilakukan jika ada
kebutuhan yang sesuai dengan tolak ukur syariat, dan jangka waktu ditetapkan atas dasar musyawarah
serta kerelaan keduanya, selama tidak menimbulkan bahaya. Di samping sarannya pun harus sesuai
dengan syariat dan tidak ada tindakan yang akan membahayakan kehamilan (dikutip dari buku FIqih
kesehatan Wanita Kontemporer yang ditulis oleh dr. Rahenul Bahrain hal.136-137)

Maka jika memang terdapat indikasi medis dari dokter spesialis kandungan yang mengharuskan
seorang istri melakukan tubektomi (keadaan darurat), ini termasuk dalam pengecualian. Sedangkan
untuk suami, vasektomi tidak dibolehkan dalan syariat Islam. Wallahu’alam

6. Bolehkan tetap menyusui bayi/balita saat sedang hamil?


Keadaan ini mungkin saja akan ibu alami. Ketika si buah hati yang baru saja tumbuh belum genap 2
tahun, yang masih dalam tahapan menyusui, Allah telah menitipkan kembali amanah ke dua di dalam
rahim ibu. Banyak di antara ibu yang agak dibingungkan dengan kondisi ini antara menyapih si kakak
atau justru menggenapkan proses penyusuan hingga 2 tahun dalam keadaan ibu yang sedang hamil.
Dalam pandangan syariat Islam jika ibu memilih untuk tetap melanjutkan proses menyusui, maka
hukumnya boleh sebagaimana hal ini pernah ditanyakan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah dan berikut jawaban beliau,

Dalam hal ini terserah si wanita dan suaminya. Jika mereka berdua ridha menyapihnya, maka tidak
mengapa; begitu pun jika mereka berdua ridha untuk tetap menyusuinya, silahkan saja diteruskan.
Tetap menyusui di sini tidak berbahaya bagi si bayi. Intinya, seorang istri hendaklah mendiskusikan
hal tersebut dengan suaminya. Selama mereka berdua ridha atas dua pilihan tadi, inilah yang utama.
Demikian yang sesuai dengan firman Allah ta’ala ,
“... Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya,
maka tidak ada dosa atas keduanya …” (QS. Al-baqarah [2]: 233).
Maka solusi urusan ini terserah kepada pasangan suami-istri, apakah mereka akan menyapih si bayi
atau tidak (dikutip dari buku FIqih kesehatan Wanita Kontemporer yang ditulis oleh dr. Rahenul
Bahrain hal.157).
Di dalam dunia kesehatan sendiri, menyusui ketika hamil itu dibolehkan dengan syarat ibu mesti
memperhatikan beberapa hal berikut di antaranya yaitu : kondisi asupan nutrisi harus mencukupi,
tidak terjadi kontraksi rahim yang berlebihan sehingga mengancam kondisi janin yang ada di dalam,
kondisi fisik dan psikis ibu terjaga, dan senantiasa berkonsultasi dengan dokter atau yang ahli dalam
bidangnya.

7. Bolehkah ibu hamil dan menyusui berpuasa?


Puasa merupakan ibadah wajib yang mesti dikerjakan oleh setiap muslimin. Namun ada beberapa
keadaan di mana kewajiban ini diberikan atasnya sebuah keringan, termasuk keadaan ibu yang
tengah hamil dan menyusui, sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda,

“Sungguh, Allah memberikan keringanan separuh shalat dan puasa bagi musafir, dan juga wanita
hamil dan menysusi HR. An-Nasa’I (no.2274 dan Ahmad (v/29). Syaikh Al-Albani dan Syaikh SYu’ab
Al-Alnauth mengatakan bahwa hasits ini hasan.

Maka bagi seorang ibu yang tengah hamil diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan jika ibu ingin
berpuasa pun tidak mengapa dengan syarat tidak mengganggu kesehatan ibu dan bayi yang ada di
dalam kandungan. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai puasa bagi ibu hamil sudah pernah
dibahas bit.ly/RamadhanBumil, silahkan dibaca penjelasan lengkapnya melalui link tersebut ibu.

~*~

Tiada syariat yang sempurna di muka bumi ini melainkan Islam yang telah mengatur berbagai hal
dalam kehidupan ini dengan begitu detail, termasuk dalam urusan kesehatan perempuan. Maka kita
patut bersyukur atas nikmat Islam serta nikmat kehamilan yang dianugerahkan oleh Allah.

Mengenai pembahasan kehamilan dalam Islam kami sangat merekomendasikan ibu untuk merujuk
salah satu buku fikih kesehatan wanita kontemporer yang ditulis oleh dr. Raehanul Bahrain yang
menjadi rujukan dalam penulisan materi ini. Selain itu kami juga sangat merekomendasikan agar
ibu-ibu bertanya kepada para ustadz atau ahli ilmu yang memiliki kapasitas untuk menjelaskan lebih
detail mengenai masalah kesehatan wanita dalam sudut pandang Islam

Referensi :
Buku Fikih Kesehatan Wanita Kontomprer yang ditulis oleh dr. Raehanul Bahrain

Anda mungkin juga menyukai