Anda di halaman 1dari 8

PRINSIP-PRINSIP KEWARISAN DALAM HUKUM WARIS DI INDONESIA

Hukum adat dan hukum Islam dalam bidang kewarisan mempunyai prinsip-prinsip masing-
masing yang dapat membedakan antara keduanya, namun kadang sebagiannya dapat
dikompromi dengan yang lainnya. Hukum adat waris mempunyai prinsip-prinsip tertentu di
mana prinsip atau asas tersebut bersandar pada sistem kekerabatan dan ke harta bendaan, karena
hukum kewarisan adat sangat ditentukan oleh struktur kemasyarakatan dan pula pewarisan adat
yang didasarkan pada pengertian peralihan sesuatu dari satu generasi kepada generasi berikutnya,
maka kekeluargaan dan perkawinan menentukan bentuk sistem kemasyarakatan dan
mempengaruhi pada sistem kewarisan.

Secara keseluruhan hukum waris adat mempunyai prinsip religiositas dan pengendalian diri,
prinsip kesamaan dan kebersamaan hak, prinsip kerukunan dan kekeluargaan, prinsip
musyawarah dan mufakat dan prinsip keadilan.

1. Prinsip religiusitas dan pengendalian diri ( ketuhanan dan pengendalian diri) merupakan
prinsip yang mengandung pengertian adanya kesadaran para ahli waris bahwa rezeki
berupa harta kekayaan yang dapat dikuasai dan dimiliki merupakan karunia dan harus
bersyukur kepadanya agar mendapatkan ridha Allah, bila seorang meninggal dunia dan
meninggalkan harta warisan, maka para ahli waris harus menyadari dan menggunakan
dengan bersyukur kepadanya, tidak boleh ada perselisihan dan perebutan, bila mereka
tidak bersyukur, maka kemudharatan akan menimpanya dan juga karena perselisihan
antara ahli waris memberatkan perjalanan arwah pewaris dalam menghadapi persoalan
alam barzahnya, dalam hal ini bagi ahli waris terbagi atau tidak harta warisan bukan
tujuan, karena yang penting mereka tetap terjaganya kerukunan hidup antara para ahli
waris dan semua anggota keluarga si pewaris, dengan demikian dalam hukum waris adat
terdapat prinsip dasar untuk menahan nafsu kebendaan dan untuk dapat mengendalikan
diri dalam masalah kewarisan.
2. Prinsip kesamaan dan kebersamaan hak, yaitu setiap ahli waris mempunyai kedudukan
yang sama sebagai orang yang berhak untuk mewarisi harta peninggalan pewarisnya.
Dalam proses pewarisan, pertimbangan terhadap nilai kemanusiaan sangat diutamakan
sehingga terwujud sikap saling mencintai, dan tenggang rasa sesama ahli waris. Dalam
prinsip ini bukanlah penentuan banyaknya jumlah bagian dalam pembagian harta warisan

1
yang harus diutamakan, akan tetapi kepentingan dan kebutuhan para ahli waris yang
dapat dibantu oleh adanya harta warisan itu yang lebih diutamakan. Atas dasar prinsip
ini, maka kedudukan harta warisan dapat dipertimbangkan apakah perlu dilakukan
pembagian atau tidak, atau masih perlu diadakan penangguhan pembagiannya. Jika harta
warisan harus dibagikan, maka ahli waris laki-laki dan perempuan harus diperlakukan
secara berimbang dan diberikan hak yang sama. Praktek pembagian harta warisan dalam
masyarakat Islam secara berimbang atau bahkan lebih besar bagian anak perempuan dari
anak laki-laki berdasarkan prinsip kebersamaan hak dalam masyarakat adat dapat
ditempuh dengan menerapkan teori tashaluh dan takharuj yang di kemukakan Sayid
Sabiq. Teori ini untuk menetralisir ketegangan yang terjadi antara ketentuan bagian ahli
waris 2 banding 1 dalam hukum Islam dengan ketentuan pembagian berimbang 1:1 dalam
hukum adat. Lebih jelasnya tentang teori takharuj dan tashaluh ini akan diterangkan
tersendiri. Di samping itu, apabila terjadi kesepakatan para ahli waris maka harta warisan
bisa tidak dibagikan, sehingga akan tetap terpelihara sebagai satu kesatuan yang dapat
dinikmati oleh semua ahli waris secara bersama-sama di bawah pimpinan pengurus harta
warisan sebagaimana yang ditentukan berdasarkan hukum adat yang berlaku dalam
masyarakat. Namun bila salah seorang ahli waris menginginkan agar harta tersebut
dibagikan, maka upaya tidak membagikan harta warisan tidak dapat dipertahankan lagi.
3. Prinsip kerukunan dan kekeluargaan.
Prinsip ini menempatkan kepentingan keluarga dari kerabat di atas kepentingan individu,
sehingga akan membentuk kebersamaan sebagai kesatuan masyarakat kecil yang hidup
rukun. Dalam masyarakat adat mempertahankan kerukunan keluarga atau kekerabatan
selalu ditempatkan di atas kepentingan kebendaan perseorangan, bukanlah tuntutan atas
harta warisan yang harus segera diselesaikan, melainkan bagaimana memelihara
hubungan kekeluargaan supaya tetap rukun dan damai dengan adanya harta warisan
tersebut. Bahkan dalam masyarakat yang menganut sistem pewarisan kolektif atau
mayorat, akibat ketidak mampuan memelihara keutuhan dan kesatuan keluarga
menyebabkan timbulnya kecenderungan bagi para ahli waris untuk melaksanakan sistem
pewarisan individual, atau jika ada di antara ahli waris menuntut adanya pembagian
dalam harta warisan, berarti persatuan dan kesatuan keluarga yang bersangkutan sudah
mulai terancam pecah, kalau ini terjadi maka lahirlah sikap apatis yang tidak lagi saling

2
memperhatikan, sehingga antara ahli waris yang susah dan yang senang sudah tidak
ambil peduli lagi. Jadi dalam hukum waris adat prinsip kerukunan sangat dipertahankan
demi terpelihara hubungan kekeluargaan yang tentram dan damai dalam mengurus dan
menikmati harta warisan yang tidak terbagi-bagi atau dalam menyelesaikan masalah
pembagian harta warisan yang terbagi-bagi.
4. Prinsip musyawarah dan mufakat.
Prinsip ini mengandung makna setiap ahli waris selalu menempatkan musyawarah dan
mufakat sebagai dasar utama dalam mengatur dan menyelesaikan harta warisan pewaris.
Oleh karena itu dalam proses pewarisan tidak boleh terjadi hal-hal yang sifat memaksa
kehendak antara satu terhadap pihak lain dengan menuntut hak tanpa memikirkan
kepentingan para ahli waris lain. Musyawarah dalam menyelesaikan harta warisan
biasanya dipimpin oleh ahli waris yang dituakan, sehingga hasil kesepakatan ahli waris
harus ditaati dan dihormati. Walaupun terjadi kesepakatan bahwa warisan dibagi-bagi
menjadi milik perseorangan, namun kedudukan harta warisan yang sudah dimiliki itu
tetap berfungsi sosial, musyawarah ahli waris dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan
bersama dalam menyelesaikan warisan. Dalam masyarakat adat patrilineal musyawarah
selalu dipimpin oleh pihak pria yang tertua atau dituakan. Sedangkan masyarakat adat
matrilineal dipimpin oleh yang mewakili wanita, sedangkan masyarakat parental atau
bilateral musyawarah dipimpin oleh salah seorang yang dituakan dari salah satu dua
pihak atau orang tua.
5. Prinsip keadilan yaitu keadilan berdasarkan status, kedudukan dan jasa, sehingga setiap
keluarga pewaris mendapatkan harta warisan baik bagian sebagai ahli waris maupun
bagian sebagai bukan ahli waris, melainkan bagian jaminan harta sebagai anggota
keluarga pewaris bahkan hubungan kerabat tidak hanya semata-mata ditentukan adanya
hubungan darah, tapi termasuk hubungan jasa dan pengakuan sebagai anak angkat. Apa
yang dikatakan adil sangat ditentukan oleh alam pikiran dan sendi kehidupan masyarakat
setempat, agama dan keadaan lingkungan setempat. Prinsip keadilan dalam hukum waris
adat didasarkan pada prinsip kelayakan dan perhatian sebagai bentuk kasih sayang yang
didasarkan pada kedudukan, jasa, karya, dan sejarahnya, sehingga bukan ahli waris
sedarahpun wajar diperhitungkan untuk mendapat harta warisan seperti istilah Ujong
gafan dalam bahasa Aceh, seperti pembantu yang berjasa, anak angkat, anak tiri bahkan

3
kepada fakir miskin. Dengan demikian prinsip keadilan dalam hukum waris adat
mengandung asas keselarasan dan kasih sayang.

Setelah kita mendalami prinsip-prinsip yang terdapat pada hukum waris adat, sebagai sumber
utama berdasarkan akal dan pikiran manusia, maka perlu kita cermati bagaimana tuntutan dalam
hukum waris Islam sebagai hukum agama yang bersumber pada wahyu Allah yang disampaikan
oleh rasulnya nabi kita Muhammad SAW. Hukum waris Islam mengandung prinsip-prinsip yang
dalam beberapa hal berlaku dan sesuai dengan prinsip hukum yang bersumber dari akal dan
pikiran manusia, dan sebagai lainnya perlu dicermati dan diselaraskan dengan prinsip hukum
waris Islam.

Sebagaimana kita ketahui bahwa hukum kewarisan Islam digali dari keseluruhan ayat hukum
dalam Alquran dan penjelasan tambahan yang diberikan oleh Rasulullah dalam hadisnya serta
ijtihad para ulama untuk menemukan korelasi isyarat ayat dalam kasus-kasus yang belum jelas
dalam dua sumber tersebut. prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip ijbari, prinsip bilateral,
prinsip individual, keadilan berimbang dan prinsip semata-mata akibat kematian.

1. PRINSIP IJBARI
Kata ijbari secara harfiah bermakna paksaan, yaitu melakukan sesuatu di luar
kehendak sendiri. Asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa
peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku
dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari si
pewaris atau permintaan dari ahli warisnya. Hal ini berbeda dengan kewarisan hukum
perdata (BW) yang peralihan hak kewarisan tergantung kepada kemauan pewaris dan
kerelaan ahli waris. Dijalankannya prinsip ini mengandung pengertian bahwa peralihan
harta dari seorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya
menurut kehendak Allah tanpa tergantung pada kehendak si pewaris atau permintaan dari
ahli waris.
Adanya unsur ijbari tidak akan memberatkan orang yang akan menerima warisan, karena
ahli waris hanya berhak menerima harta warisan tidak berkewajiban memikul utang yang
ditinggalkan oleh pewaris, kewajibannya hanya sekedar menolong membayarkan hutang
si pewaris dengan harta yang ditinggalkannya dan tidak berkewajiban melunasi hutang
tersebut dengan hartanya sendiri. Hal ini beda dengan kewajiban dalam hukum waris

4
perdata (BW). Dengan adanya prinsip ijbari, makasih pewaris tidak dapat menolak
peralihan harta tersebut, hanya kemauan si pewaris dibatasi oleh ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Allah. Asas ijbari dalam hukum waris dalam dapat dilihat dari beberapa
sisi, yaitu peralihan harta, dari segi jumlah harta yang beralih dan dari segi kepada siapa
harta itu beralih.

2. PRINSIP BILATRAL.
Asas ini dalam kewarisan Islam mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada
dua arah garis kerabat yaitu kerabat garis keturunan laki-laki dan kerabat garis keturunan
perempuan. Prinsip bilatral dalam hukum waris Islam ini dapat dilihat dalam firman
Allah surat an-nisa ayat 7 ayat 11 12 dan 176. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa seorang
laki-laki berhak menerima warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya, begitu
juga seorang perempuan berhak menerima harta warisan dari pihak ayahnya dan dari
pihak ibunya, begitu juga di dalam ayat-ayat berikutnya. Dari tiga ayat tersebut di atas
terlihat secara jelas bahwa kewarisan itu beralih ke bawah (anak -anak), ke atas (ayah dan
ibu), dan ke samping (saudara-saudara) dari kedua belah pihak garis keluarga. Inilah yang
dinamakan kewarisan secara bilateral.

3. PRINSIP INDIVIDUAL.
Prinsip ini mengandung makna bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki
secara perorangan. Di mana masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara
tersendiri tanpa terikat dengan ahli waris yang lain, dan semua harta warisan dinyatakan
dalam nilai tertentu yang mungkin untuk dibagi-bagi, kemudian dibagikan kepada setiap
ahli waris menurut kadar bagian masing-masing. Islam mengakui bahwa setiap insan
sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan
kewajiban. Prinsip individual dalam kewarisan dapat dilihat dari aturan-aturan yang
dijelaskan oleh Alquran yang menyangkut pembagian harta warisan itu sendiri surat an-
nisa ayat 11 12 dan 176 menjelaskan terperinci hak masing-masing ahli waris secara
individu. Pembagian secara individual adalah ketentuan yang mengikat dan wajib
dijalankan oleh setiap muslim dengan sanksi berat di akhirat bagi yang melanggarnya
sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam surah an-nisa ayat 13 dan 14

5
‫ َو َذلِكَ ْالفَوْ ُز ْال َع ِظي ُم‬،‫ت تَجْ ِري ِم ْن تَحْ تِهَا اَأْل ْنهَا ُر خَ الِ ِدينَ فِيهَا‬
ٍ ‫ َو َم ْن يُ ِط ِع هللاَ َو َرسُولَهُ يُ ْد ِخ ْلهُ َجنَّا‬،ِ‫ك ُحدُو ُد هللا‬
َ ‫تِ ْل‬

ٌ ‫ْص هللاَ َو َرسُولَهُ َويَتَ َع َّد حُ دُو َدهُ يُ ْد ِخ ْلهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا َولَهُ َع َذابٌ ُم ِه‬
‫ين‬ ِ ‫َو َم ْن يَع‬

Artinya:
“Itulah batas-batas hukum Allah. Siapa saja taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya
Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.”
(Surah An-nisa ayat 13)
“Siapa saja mendurhakai Allah dan rasul-Nya, dan melanggar batas-batas hukum-
Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka, ia kekal di dalamnya
dan akan mendapat azab yang menghinakan.” (Surat An-Nisa ayat 14)

Bila telah terlaksana pembagian secara terpisah untuk setiap ahli waris, maka untuk
seterusnya ahli waris memiliki hak penuh untuk menggunakan harta tersebut, termasuk
untuk menghibahkan sebagian haknya kepada sebagian lainnya, dan solusi inilah sebagai
pijakan boleh membagi sama rata antara semua ahli waris. Namun seandainya ada ahli
waris yang belum ahli untuk bertindak dan menggunakan hartanya seperti anak yang
belum dewasa, maka warisan harus dikelola oleh walinya dan dipergunakan untuk
belanja kebutuhan sehari-hari anak tersebut.

Dengan memperhatikan bahwa satu sisi setiap ahli waris berhak secara penuh atas harta
yang diwarisinya, dan di sisi lain ada ahli waris yang belum cakap untuk menggunakan
hartanya karena belum dewasa, maka dalam hal ini bisa saja ahli waris yang sudah
dewasa untuk tidak memberikan secara individual kepada ahli waris yang belum dewasa,
dan saudara tertua menguasai bersama ibu harta itu secara bersama untuk sementara,
namun sifat individual tidak boleh hilang dan harus diperhatikan, memelihara harta orang
yang belum pantas menggunakannya lebih-lebih harta anak yatim mempunyai tanggung
jawab tersendiri dalam agama, dan harta itu harus dikembalikan dengan penuh rasa
tanggung jawab apabila anak tersebut sudah dewasa, hal ini yang diisyaratkan oleh Allah
dalam surah an-nisa ayat 10

‫ال ْاليَ ٰتمٰ ى ظُ ْل ًما اِنَّ َما يَْأ ُكلُوْ نَ فِ ْي بُطُوْ نِ ِه ْم نَارًا ۗ َو َسيَصْ لَوْ نَ َس ِع ْيرًا‬
َ ‫ࣖ اِ َّن الَّ ِذ ْينَ يَْأ ُكلُوْ نَ اَ ْم َو‬

6
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).

Oleh karena itu menghilangkan bentuk individual dengan jalan mencampur adukan harta
warisan tanpa perhitungan dan dengan sengaja menjadikan hak kewarisan itu secara kolektif
menyalahi ketentuan hukum waris Islam, walaupun dengan berbagai alasan yang dikemukakan
sebagai yang berkembang dalam sebagian adat muslim Indonesia.

4. PRINSIP KEADILAN BERIMBANG


Kata adil berasal dari bahasa Arab Al ‘adlu yang dipergunakan dalam konteks
yang berbeda-beda dan arah yang berbeda pula, sehingga akan memberikan definisi yang
berbeda sesuai dengan konteks dan tujuan penggunaannya. Dalam hubungannya dengan
yang menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan warisan, kata adil dapat
diartikan, keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang
diperoleh dengan keperluan dan kegunaan, Atas dasar pengertian tersebut di atas, asas
keadilan dalam pembagian warisan, dapat dikatakan bahwa perbedaan gender tidak
menentukan hak warisan dalam Islam, bahwa pria dan wanita mendapatkan hak dan bila
ditinjau dari jumlah bagian yang diperoleh saat menerima memang terdapat
ketidaksamaan, akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam
pandangan Islam tidak hanya diukur saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan pada
kegunaan dan kebutuhan. Hak warisan yang diterima oleh ahli waris pada hakikatnya
merupakan kontinuitas tanggung jawab pewaris terhadap ahli waris atau keluarganya,
sehingga jumlah bagian yang diterima ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung
jawab seseorang terhadap keluarganya.
Di samping itu, umur juga tidak menjadikan faktor yang membedakan hak ahli waris.
Bila dilihat dari kebutuhan sesaat bahwa kesamaan hak antara anak kecil dengan orang
dewasa, terasa tidak adil, namun peninjauan tentang kebutuhan bukan hanya bersifat
sementara yaitu pada saat menerima warisan, tetapi harus dilihat dalam jangka waktu
yang lama, maka anak kecil mempunyai kebutuhan yang lebih lama dibandingkan orang
dewasa. Maka bila dihubungkan besar keperluan orang dewasa dengan lamanya

7
keperluan bagi anak kecil dikaitkan pula dengan perolehan yang sama dalam hak
kewarisan, maka hasilnya kedua pihak akan mendapatkan kadar manfaat yang sama atas
apa yang mereka terima. Inilah keadilan hakiki dalam pandangan Islam yaitu keadilan
yang berimbang bukan keadilan yang merata.

5. PRINSIP HANYA AKIBAT KEMATIAN


Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain
dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah orang yang mempunyai
harta meninggal dunia. Prinsip ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih
kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup, juga
segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik langsung maupun
terlaksana setelah ia mati, tidaklah termasuk dalam istilah kewarisan. Misalnya wasiat,
dalam hukum Islam mempunyai lembaga tersendiri terpisah dari hukum kewarisan, dan
di dalam berbagai kitab fiqih masalah wasiat dibahas tersendiri dan termasuk dalam
lingkup fiqih muamalah.
Prinsip akibat kematian ini mempunyai kaitan erat dengan prinsip ijbari yang disebutkan
sebelumnya, di mana seseorang yang telah memenuhi syarat sebagai subjek hukum, iya
dapat menggunakan hartanya secara penuh untuk memenuhi keinginannya dan kebutuhan
sepanjang hayatnya, namun setelah meninggal dunia, iya tidak lagi memiliki kebebasan
tersebut. Kalaupun ada, maka pengaturan untuk tujuan penggunaan setelah kematian
terbatas dalam koridor maksimal sepertiga dari hartanya yang dilakukan setelah
kematiannya, dan ini tidak disebut dengan istilah kewarisan tetapi ada dalam istilah
wasiat.
Demikianlah prinsip hukum kewarisan Islam yang menunjukkan karakteristik dan
kewarisan dalam hukum Islam dan membedakan dari berbagai hukum kewarisan lainnya
sekalipun terlihat beberapa titik persamaan di sana-sini.

Anda mungkin juga menyukai