Anda di halaman 1dari 18

HARMONISASI KEADILAN DAN PEMENUHAN DALAM PEMBAGIAN HARTA

WARIS DI DESA WONOKERTO DENGAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Ahmad Dzulfikar Sayyidin Panatagama, Rahmiyati Suksin, Muhammad Thoyyib, Tri Leli
Rahmawati
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Email: dzulfikarsayyidin@gmail.com, rahmiyatisuksin30@gmail.com,
muhammadthoyib42443@gmail.com, trilelirahmawati@gmail.com

Abstract
Inheritance law, which regulates the division of a person's estate, is the focus in the event of
inheritance division in Wonokerto Village, Gresik Regency in 2021. This research aims to
provide a comprehensive overview of the factors that influence decisions in the inheritance
division process. In a descriptive qualitative approach, the first child plays a central role as the
leader, and his decisions reflect the principles of justice and mutual agreement within the family.
A total of 19 factors were identified that influence inheritance division decisions in the context of
Islamic families. This process not only includes formal legal aspects, but also prioritises the
values of balance and justice. In the division of inheritance, deliberation is the main method,
where economic conditions and the emotional closeness of the heirs to the testator are the main
considerations. This shows that the division of inheritance is not only a legal action, but also
involves aspects of togetherness and justice in the family context.

Keywords: Inheritance, Islamic Law, Justice, Family.


Abstrak
Hukum waris, yang mengatur pembagian harta peninggalan seseorang, menjadi fokus dalam
peristiwa pembagian warisan di Desa Wonokerto, Kabupaten Gresik pada tahun 2021. Penelitian
ini bertujuan memberikan gambaran komprehensif tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
keputusan dalam proses pembagian warisan. Dalam pendekatan deskriptif kualitatif, anak
pertama memegang peran sentral sebagai pemimpin, dan keputusannya mencerminkan prinsip
keadilan dan kesepakatan bersama di dalam keluarga. Teridentifikasi sebanyak 19 faktor yang
memengaruhi keputusan pembagian warisan dalam konteks keluarga Islam. Proses ini tidak
hanya mencakup aspek formal hukum, melainkan juga mengedepankan nilai-nilai keseimbangan
dan keadilan. Dalam pembagian waris, musyawarah menjadi metode utama, di mana kondisi
ekonomi dan kedekatan emosional ahli waris dengan pewaris menjadi pertimbangan utama. Ini
menunjukkan bahwa pembagian waris bukan hanya merupakan tindakan hukum, tetapi juga
melibatkan aspek kebersamaan dan keadilan dalam konteks keluarga.

Kata Kunci: Waris, Hukum Islam, Keadilan, Keluarga.

A. Pendahuluan

Hukum waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan seseorang yang telah
meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga yang berhak atau bisa juga
diartikan sebagai hukum yang mengatur pindahnya sesuatu dari seseorang pada seseorang yang
lain berupa harta maupun ilmu serta kehormatan. Ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh
Allah SWT tercantum dalam Al-Qur’an yaitu pada surat An-Nisa ayat 7,11, dan 12 dengan
adanya hukum waris ditambah dengan aturan-aturan penjelasan pelaksanaannya ada aturan
hukumnya. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki
maupun perempuan.

Waris dalam perspektif Islam adalah sejumlah harta benda serta segala hak dari yang
meninggal dalam keadaan bersih artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris
adalah sejumlah harta benda dan serta segala hak, “setelah dikurangi dengan pembayaran
hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si
peninggal waris”.

Pada tahun 2021, sebuah peristiwa pembagian warisan di Desa Wonokerto, Kecamatan
Dukun, Kabupaten Gresik, menjadi sorotan utama dalam konteks hukum waris. Kejadian ini
terjadi setelah meninggalnya seorang Ibu yang meninggalkan warisan berupa empat lahan sawah,
satu lahan tanah pekarangan, dan satu rumah. Desa Wonokerto menjadi saksi dari peristiwa ini,
yang tidak hanya melibatkan aspek hukum waris perbandingan namun juga aspek keagamaan,
khususnya dalam konteks hukum Islam.

Pewaris meninggalkan enam anak, empat laki-laki, dan dua perempuan. Proses
pembagian warisan dipimpin oleh ayah sebagai anak pertama, yang memiliki tanggung jawab
sebagai pemimpin keluarga. Keputusan mengenai pembagian harta warisan mencerminkan
berbagai pertimbangan, seperti hubungan emosional antaranggota keluarga dan kebutuhan
praktis masing-masing ahli waris.

Penting untuk memahami bahwa pembagian warisan bukanlah sekadar pembagian


materi, tetapi juga melibatkan aspek-aspek sosial, budaya, dan agama yang melingkupi
kehidupan keluarga. Dalam hal ini, hukum waris perbandingan menjadi landasan utama dalam
mengatur hak dan kewajiban ahli waris, sedangkan pengaruh hukum Islam turut memainkan
peran dalam membentuk keputusan pembagian warisan.

Desa Wonokerto sebagai latar peristiwa ini memberikan konteks yang menarik, di mana
tradisi dan nilai-nilai lokal turut memengaruhi dinamika pembagian warisan. Bagaimana
keadilan diwujudkan dalam pembagian warisan menjadi pertanyaan sentral dalam penelitian ini,
sejauh mana kebijakan hukum waris perbandingan diterapkan, dan sejauh mana pengaruh hukum
Islam meresap dalam keputusan pembagian warisan di tingkat keluarga.

Dengan merinci peristiwa pembagian warisan ini, penelitian ini bertujuan untuk
memberikan gambaran komprehensif tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan
pembagian warisan, serta untuk mengeksplorasi sejauh mana hukum Islam memainkan peran
dalam dinamika keluarga di Desa Wonokerto. Melalui pemahaman yang mendalam terhadap
konteks ini, diharapkan dapat memberikan wawasan baru terkait praktik-praktik pembagian
warisan dalam masyarakat pedesaan dan sejauh mana peran hukum Islam dalam melihat keadilan
dalam konteks hukum waris perbandingan.

B. Metode

Penelitian ini merupakan penelitian empiris dan menggunakan pendekatan deskriptif


kualitatif. Penelitian ini menghasilkan data deskriptif, sehingga tidak menitikberatkan pada
angka, tetapi lebih menekankan pada makna (data yang mendasari apa yang diamati). Lokasi
penelitian ini yaitu di Desa Wonokerto. Sumber data diambil dari wawancara dengan para ahli
waris, tahapan pengolahan data tulisan ini yaitu klasifikasi, verifikasi, analisis dan kesimpulan
yang di dapatkan dari tahapn-tahapan tersebut.

Hasil dan Pembahasan

A. Bagi Waris Keluarga di Indonesia

Keluarga adalah suatu unit sosial yang terdiri dari individu-individu yang saling terkait
satu sama lain melalui hubungan darah, pernikahan, atau adopsi.1 Keluarga merupakan kelompok
dasar dalam struktur masyarakat dan memainkan peran penting dalam perkembangan dan
pemeliharaan individu. Pengertian keluarga dapat mencakup berbagai bentuk, tergantung pada
konteks budaya, agama, dan nilai-nilai sosial.

Secara umum, keluarga dapat terdiri dari orang tua dan anak-anak mereka, namun juga
dapat mencakup anggota keluarga yang lebih luas seperti kakek, nenek, paman, bibi, saudara-

1
Evy Clara and Ajeng Agrita Dwikasih Wardani, Sosiologi Keluarga (Unj Press, 2020).
saudara, dan sebagainya. Hubungan dalam keluarga dapat bersifat emosional, ekonomi, dan
sosial.

Keluarga memiliki beberapa fungsi, antara lain:2

1. Reproduksi dan Pemeliharaan: Keluarga merupakan tempat bagi kelahiran dan


pemeliharaan generasi baru.
2. Pemberian Dukungan Emosional: Keluarga menyediakan lingkungan di mana
anggotanya dapat saling memberikan dukungan emosional dan psikologis.
3. Pemberian Keamanan dan Perlindungan: Keluarga memberikan rasa keamanan dan
perlindungan fisik serta emosional bagi anggotanya.
4. Sosialisasi: Keluarga berperan penting dalam membentuk nilai-nilai, norma, dan perilaku
sosial anggotanya.
5. Distribusi Sumber Daya Ekonomi: Keluarga juga berfungsi sebagai unit ekonomi di
mana sumber daya seperti uang, makanan, dan waktu didistribusikan.

Penting untuk diingat bahwa konsep dan bentuk keluarga dapat berbeda-beda di berbagai
budaya dan masyarakat. Keluarga juga dapat mengalami perubahan seiring waktu dan
perkembangan masyarakat.

Waris merujuk pada individu-individu yang menerima atau berhak menerima harta atau
kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia.3 Proses ini dikenal sebagai pewarisan atau
warisan. Waris dapat melibatkan hak-hak tertentu terkait harta benda, tanah, uang, atau aset
lainnya yang dimiliki oleh orang yang telah meninggal.

Waris dalam konteks adat Indonesia merujuk pada pewarisan harta atau hak-hak tertentu
dari seorang individu yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. 4 Adat waris di Indonesia
umumnya diatur berdasarkan sistem hukum adat yang berkembang di masyarakat setempat.
Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam konteks warisan adat Indonesia antara lain:

1. Sistem Pewarisan:

2
Wahyu Saefudin, Mengembalikan Fungsi Keluarga (Ide Publishing, 2019).
3
Zainuddin Ali, “Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia” (2008).
4
Muchamad Imron and Miftahul Huda, “Fungsionalisme Pembagian Waris Sebelum Pewaris Meninggal Dunia
Dalam Keberlanjutan Keluarga,” Sakina: Journal of Family Studies 7, no. 4 (2023): 514–529.
a. Matrilineal: Sistem ini mengakui garis keturunan ibu sebagai dasar pewarisan.
Contohnya, di masyarakat Minangkabau.5
b. Patrilineal: Sistem ini mengakui garis keturunan ayah sebagai dasar pewarisan.
Banyak masyarakat di Indonesia yang menerapkan sistem ini.
2. Hak Pewarisan:
a. Hak warisan dapat mencakup berbagai bentuk, termasuk tanah, harta benda, dan
hak-hak lainnya.
b. Pada beberapa masyarakat, adat waris dapat menentukan pembagian warisan
antara anak laki-laki dan perempuan atau antara anak-anak dari perkawinan yang
berbeda.6
3. Proses Pewarisan:
a. Adat waris juga mencakup proses formal atau seremonial yang perlu diikuti oleh
ahli waris untuk menerima hak warisan mereka.
b. Ada upacara-upacara tertentu yang dapat melibatkan keluarga dan komunitas
sebagai bagian dari proses pewarisan.
4. Peran Tetua Adat atau Pemimpin Adat:
Di beberapa daerah, pemimpin adat atau tokoh-tokoh masyarakat memiliki peran
dalam mengatur dan memfasilitasi proses pewarisan.7
5. Konsiderasi Budaya dan Agama:
Budaya dan agama juga dapat memainkan peran penting dalam menentukan
aturan dan norma-norma terkait warisan di suatu masyarakat.
6. Adat Istiadat Lokal:
Tiap daerah atau suku bangsa di Indonesia memiliki adat istiadat dan tradisi
masing-masing yang memengaruhi bagaimana waris diatur.8

Dalam beberapa kasus, aturan adat dapat beriringan atau tumpang tindih dengan hukum
nasional. Dalam konteks modern, terdapat upaya untuk menggabungkan aturan adat dengan

5
Adeb Davega Prasna, “Pewarisan Harta Di Minangkabau Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam,” Kordinat:
Jurnal Komunikasi antar Perguruan Tinggi Agama Islam 17, no. 1 (2018): 29–64.
6
Indah Sari, “Pembagian Hak Waris Kepada Ahli Waris Ab Intestato Dan Testamentair Menurut Hukum Perdata
Barat (BW),” Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 5, no. 1 (2018).
7
Ucha Hadi Putri, “Peran Majelis Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa Waris Terhadap Tanah Di Kecamatan
Tempuk Tengoh Kota Lhokseumawe,” JCH (Jurnal Cendekia Hukum) 5, no. 1 (2019): 145–159.
8
Ali, “Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia.”
hukum nasional agar mampu memberikan perlindungan hukum yang sesuai bagi semua pihak
yang terlibat.

Pada tahun 2021, terdapat pembagian waris keluarga di Desa Wonokerto, Kecamatan
Dukun, Kabupaten Gresik. Peristiwa pembagian waris dilaksanakan setelah meninggalnya Ibu
dalam keluarga tersebut. Pewaris meninggalkan warisan berupa empat lahan sawah. Di bagian
barat desa, dengan dua ukuran yang sama diberikan kepada dua anak laki-laki keempat dan
kelima. Satu lahan di bagian timur desa, yang ukurannya sedikit lebih kecil dari yang di barat
desa, diberikan kepada anak pertama.9

Selain itu, lahan sawah di utara desa dengan ukuran paling besar diberikan kepada anak
laki-laki kedua. Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan bahwa anak laki-laki kedua
pernah memberangkatkan Ibunya untuk melakukan Ibadah umroh semasa hidupnya. Selain lahan
sawah, satu lahan tanah pekarangan dan satu rumah juga termasuk dalam warisan tersebut.10

Pewaris meninggalkan enam anak, empat laki-laki, dan dua perempuan. Dalam proses
pembagian ini, Anak Pertama menjadi pemimpin dengan kesepakatan yang disetujui oleh semua
anak, sosok anak pertama membagi warisan dengan adil dan rata. Keempat lahan sawah dibagi
secara merata di antara saudara atau anak laki-laki yang masih tinggal di desa tersebut.

Adapun untuk anak perempuan, pembagian dilakukan dengan cermat. Anak perempuan
yang terakhir mendapatkan rumah sebagai bagian dari warisan karena saat ini sudah berkeluarga
dan bekerja di Depok, sementara satu anak perempuan yang lain menerima lahan tanah
pekarangan di sebelah rumah. Keputusan ini diambil karena anak perempuan yang mendapatkan
lahan tanah pekarangan sudah berkeluarga dan memiliki rumah di Jakarta.

Dalam konteks pembagian waris, harmonisasi antara keadilan dan pemenuhan kebutuhan
menjadi esensi dalam merancang sistem yang adil dan berdaya tahan. Prinsip-prinsip keadilan,
seperti pembagian yang sama rata atau pertimbangan kontribusi individu, seringkali bersanding
dengan kebutuhan ekonomi dan perlindungan terhadap ahli waris yang lebih rentan. 11 Aspek
budaya, agama, dan nilai-nilai keluarga juga memainkan peran penting, mempengaruhi cara

9
Wanwancara Bapak Zainul Arif Desa Wonokerto 10 November 2023
10
Wawancara 10 November 2023
11
Abdul Aziz, “Pembagian Waris Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Ahli Waris Dalam Tinjauan
Maqashid Shariah,” De Jure: Jurnal Hukum dan Syar‟iah 8, no. 1 (2016): 48–63.
masyarakat menyeimbangkan antara keadilan dan pemenuhan kebutuhan dalam warisan. Dengan
mempertimbangkan kondisi keluarga, jumlah anak, dan tanggung jawab terhadap anggota
keluarga yang lebih tua, pembagian waris dapat mencerminkan nilai-nilai lokal dan
menghasilkan keputusan yang memadukan prinsip-prinsip tersebut untuk keberlanjutan
kesejahteraan keluarga.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses pembagian warisan ini dilakukan
dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti hubungan emosional dan kebutuhan praktis
dari masing-masing ahli waris. Keputusan yang diambil anak pertama sebagai pemimpin
pembagian waris mencerminkan keadilan dan kesepakatan bersama dalam keluarga tersebut.

B. Faktor-Faktor Dalam Pembagian Waris

Dalam konteks hukum Islam, pembagian warisan merupakan suatu proses yang diatur
secara rinci dalam Al-Qur'an dan Hadis, yang memberikan pedoman tentang cara pembagian
harta warisan. Beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan pembagian waris dalam keluarga
dalam konteks hukum Islam antara lain:12

1. Hukum Syariah.

Hukum Islam yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadis menjadi faktor utama yang
memengaruhi keputusan pembagian waris. Ketentuan-ketentuan tersebut memberikan arahan
tentang bagaimana harta warisan harus dibagi, termasuk siapa saja yang berhak menerima
bagian warisan dan seberapa besar bagian masing-masing.

2. Kedudukan Keluarga dalam Warisan.

Hukum Islam menentukan tingkat kekerabatan dan kedudukan keluarga dalam


menentukan hak waris. Anak-anak memiliki hak waris, demikian pula suami atau istri, dan
ketentuan ini dapat bervariasi tergantung pada hubungan keluarga.

3. Jumlah Ahli Waris dan Ketergantungan Ekonomi.

12
Zulham Wahyunadi and Raihanah Hj Azahari, “Perubahan Sosial Dan Kaitannya Dengan Pembagian Harta
Warisan Dalam Perspektif Hukum Islam,” Jurnal Ilmiah Islam Futura 14, no. 2 (2015): 166–189.
Jumlah ahli waris dan tingkat ketergantungan ekonomi mereka dapat mempengaruhi
pembagian waris. Misalnya, anak-anak yang masih membutuhkan dukungan finansial
mungkin mendapatkan bagian yang lebih besar dibandingkan dengan anak-anak yang sudah
mandiri secara ekonomi.

4. Amanah dan Tanggung Jawab Keluarga.

Hukum Islam menekankan konsep amanah dan tanggung jawab terhadap harta warisan.
Keluarga diharapkan untuk membagi warisan dengan adil dan menghormati wasiat atau
instruksi yang mungkin ditinggalkan oleh pewaris.

5. Keadaan Ekonomi Keluarga dan Kebutuhan Mendesak.

Keadaan ekonomi keluarga dan kebutuhan mendesak anggota keluarga juga dapat
mempengaruhi pembagian waris. Misalnya, jika ada anggota keluarga yang mengalami
kesulitan keuangan atau memiliki kebutuhan mendesak, pembagian waris dapat disesuaikan
untuk mengakomodasi keadaan tersebut.

6. Keseimbangan dan Keadilan.

Prinsip keseimbangan dan keadilan diutamakan dalam hukum Islam. Pembagian waris
seharusnya adil dan memperhatikan hak-hak setiap ahli waris, tanpa diskriminasi
berdasarkan jenis kelamin atau faktor lainnya.

7. Wasiat dan Perjanjian.

Pewaris dapat meninggalkan wasiat atau perjanjian tertulis yang dapat memengaruhi
pembagian waris. Meskipun hukum Islam memberikan pedoman, wasiat tertulis dapat diakui
selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

8. Peran Ulama dan Konsultan Hukum Islam.

Pentingnya mendapatkan pandangan dan saran dari ulama atau konsultan hukum Islam
juga menjadi faktor signifikan. Mereka memiliki pengetahuan mendalam tentang hukum
Islam dan dapat memberikan bimbingan tentang bagaimana menerapkan prinsip-prinsip
syariah dalam pembagian waris.
9. Adat dan Budaya Lokal.

Beberapa masyarakat Islam juga mempertimbangkan adat dan budaya lokal dalam proses
pembagian waris. Meskipun hukum Islam memberikan pedoman, praktik-praktik adat
tertentu dapat memainkan peran dalam menentukan bagaimana warisan dibagi, terutama jika
adat tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

10. Pendidikan dan Kesadaran Hukum.

Tingkat pendidikan dan kesadaran hukum keluarga terhadap ketentuan hukum Islam
dapat memengaruhi proses pembagian waris. Semakin paham anggota keluarga terhadap hak
dan kewajiban mereka dalam konteks hukum Islam, semakin mungkin mereka akan
mencapai kesepakatan yang adil dan sesuai dengan ajaran agama.

11. Penerimaan Masyarakat terhadap Pembagian Waris.

Penerimaan masyarakat terhadap pembagian waris juga dapat memainkan peran penting.
Dalam beberapa kasus, masyarakat dapat memengaruhi atau menilai keluarga berdasarkan
sejauh mana pembagian waris dianggap adil dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

12. Kesiapan Psikologis Keluarga.

Aspek psikologis keluarga juga perlu diperhatikan. Proses pembagian waris dapat
menjadi momen emosional dan menantang. Kesiapan psikologis anggota keluarga untuk
menerima dan menghormati keputusan pembagian waris dapat membantu menciptakan
lingkungan yang kondusif untuk kedamaian dan persatuan keluarga.

13. Kondisi Ekonomi Keluarga Pewaris dan Ahli Waris.

Kondisi ekonomi keluarga pewaris dan ahli waris dapat mempengaruhi keputusan
pembagian waris. Jika keluarga memerlukan dukungan finansial atau memiliki tanggungan
ekonomi yang signifikan, pembagian waris mungkin disesuaikan untuk memastikan
keberlanjutan kehidupan keluarga dan pemenuhan kebutuhan dasar.

14. Kesehatan dan Keberlanjutan Usaha.


Jika ada usaha atau properti yang merupakan bagian dari warisan, kesehatan dan
keberlanjutan usaha dapat menjadi faktor penentu. Keputusan untuk meneruskan atau
menjual aset bisnis dapat mempengaruhi pembagian waris, dan ini dapat dipertimbangkan
untuk mencapai hasil yang adil dan berkelanjutan.

15. Pertimbangan Etika dalam Pengelolaan Harta Warisan.

Prinsip-prinsip etika dalam pengelolaan harta warisan juga memegang peran penting.
Ahli waris diharapkan untuk bertanggung jawab dalam pengelolaan harta yang mereka
terima, memastikan bahwa itu digunakan secara bijak dan sesuai dengan nilai-nilai moral dan
etika Islam.

16. Faktor-Faktor Lokal dan Regional.

Dalam beberapa kasus, faktor-faktor lokal dan regional, seperti peraturan hukum negara
tempat keluarga tinggal, dapat mempengaruhi pembagian waris. Pemahaman terhadap
hukum lokal dapat membantu keluarga menavigasi persyaratan hukum yang berlaku di
wilayah mereka.

17. Pemberdayaan Perempuan dalam Pembagian Waris.

Dalam konteks hukum Islam, pemberdayaan perempuan dalam pembagian waris menjadi
semakin diperhatikan. Upaya untuk memberikan hak-hak waris yang setara antara laki-laki
dan perempuan dapat menciptakan keadilan gender dan mendukung keberlanjutan
masyarakat secara keseluruhan.

18. Pengaruh Faktor Lingkungan Sosial dan Politik.

Lingkungan sosial dan politik di sekitar keluarga juga dapat memengaruhi pembagian
waris. Perubahan dalam norma sosial atau perubahan politik dapat menciptakan tekanan atau
peluang yang mempengaruhi keputusan pembagian waris.

19. Pentingnya Mediasi dan Penyelesaian Sengketa.

Ketika terdapat perbedaan pendapat atau potensi sengketa dalam pembagian waris,
penting untuk mempertimbangkan mediasi atau penyelesaian sengketa. Pendekatan ini dapat
membantu keluarga mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak dan
menghindari konflik yang lebih besar.

Dalam semua hal ini, keterbukaan komunikasi antaranggota keluarga, sikap adil, dan
kepatuhan terhadap nilai-nilai Islam akan membantu menciptakan pembagian waris yang sesuai
dengan prinsip-prinsip agama dan dapat memelihara kedamaian serta keharmonisan dalam
keluarga.

Dalam prakteknya, keputusan pembagian waris dalam keluarga Islam sebaiknya dilakukan
dengan mempertimbangkan semua faktor ini untuk mencapai keadilan dan keharmonisan dalam
keluarga. Penting untuk konsultasi dengan ahli waris dan ulama yang kompeten dalam hukum
Islam untuk memastikan kepatuhan terhadap ketentuan syariah.13

Secara keseluruhan, pembagian waris dalam konteks hukum Islam di dalam keluarga
melibatkan sejumlah faktor yang saling terkait dan kompleks. Hukum syariah, sebagai panduan
utama, memberikan kerangka kerja yang jelas dan prinsipal, memastikan bahwa proses ini
dilakukan sesuai dengan ajaran agama. Faktor-faktor seperti keseimbangan, keadilan, dan
tanggung jawab terhadap amanah menjadi landasan moral yang penting, sementara peran ulama
dan konsultan hukum Islam memberikan arahan yang diperlukan.

Dalam hal ini pentingnya memahami dan menghormati norma-norma adat, kebutuhan
ekonomi, dan kondisi kesehatan keluarga menjadi pertimbangan praktis. Demikian pula,
pemberdayaan perempuan dalam pembagian waris mencerminkan evolusi nilai-nilai gender
dalam masyarakat Islam.

Dalam menjalankan proses pembagian waris, penting untuk mendorong keseimbangan antara
ketentuan hukum Islam dan kondisi nyata keluarga. Kesadaran akan hak dan kewajiban masing-
masing anggota keluarga, penerimaan masyarakat, dan upaya untuk mencapai kesepakatan
melalui mediasi dapat membantu menghindari sengketa dan konflik.14

13
Fitrotin Jamilah, „Dampak Transisi Sosial Dengan Pembagian Harta Warisan Dalam Hukum Islam’, Usratuna:
Jurnal Hukum Keluarga Islam, 3.1 (2019), 68–90.
14
Aziz, “Pembagian Waris Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Ahli Waris Dalam Tinjauan Maqashid
Shariah.”
Dengan demikian, pembagian waris di dalam keluarga Islam bukan hanya sekadar tindakan
hukum formal, tetapi juga melibatkan dimensi-nilai, keseimbangan, dan keadilan. Proses ini
seharusnya menciptakan harmoni dan kedamaian di dalam keluarga, menjaga nilai-nilai moral,
dan membantu membangun fondasi keberlanjutan bagi generasi yang akan datang. Oleh karena
itu, penting untuk mengakomodasi faktor-faktor ini dengan bijaksana dan sensitif agar
pembagian waris tidak hanya sesuai dengan prinsip-prinsip agama, tetapi juga membawa dampak
positif bagi keseluruhan keluarga.

C. Konsep Keadilan Dalam Hukum Waris Islam

Hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas, dan memiliki karakteristik yang
berbeda dengan hukum waris-waris yang lain. Hukum waris Islam menempatkan Alquran
sebagai landasan utama dan penjelasan tambahan yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw.
Ada beberapa bentuk asas-asas yang terkandung di dalam hukum waris Islam antara lain:15
a. Asas ijbari
b. Asas bilateral
c. Asas Individu
d. Asas Keadilan Berimbang
e. Asas Semata Akibat Kematian
Keadilan dalam hukum waris islam dapat dilihat dari asas keadilan berimbang . Kata adil
merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata al- 'adlu. Di dalam Alquran kata al-
'adlu disebutkan lebih dari 28 kali. Sebagian diantaranya diturunkan Allah dalam bentuk kalimat
perintah dan sebagian dalam bentuk kalimat berita. Kata al-'adlu itu dikemukan dalam konteks
yang berbeda dan arah yang berbeda pula, sehingga akan memberikan definisi yang berbeda
sesuai dengan konteks dan tujuan penggunanya.16

Secara istilah keadilan diartikan bahwa menempatkan sesuatu pada tempatnya, waktunya,
kedudukannya, kadarnya tanpa adanya sikap mengurangi dan melebihi.17 Menurut al-Jurjani
keadilan adalah istiqomah dalam jalan kebenaran dan meninggalkan segala bentuk yang dapat

15
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan dalam Islam (Jakarta: Kencana, 2004), h. 17.
16
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan dalam Islam…, h. 19.
17
Abu Utsman al-Jahiz, Tahdzîb al-Akhlāk (Iskandariya: Darul Shahabah li Turats, 1989), h. 28
merusak agama. Abdurrahman Sa’di menyebutkan, “Keadilan Allah itu mencakup di dalam hak
Allah dan hamba-Nya, keadilan yang menunaikan hak-hak secara sempurna dengan cara
mengerjakan kewajiban Allah atas hamba-Nya dalam persoalan hak-hak terhadap harta, jiwa.
Menurut Wahbah Zuhaili, adil adalah mengamalkan setiap kewajiban baik itu dari aqidah dan
syariat, dan berinteraksi dengan manusia dengan memenuhi amanah, tidak berbuat zhalim,
berlaku seimbang, dan bersikap benar.

Keadilan dalam hukum Islam digantungkan pada keadilan yang telah ditentukan oleh Allah
swt., karena tidak mungkin manusia mengetahui keadilan itu secara benar dan tepat. Dalam
hukum Islam, keimanan mendahului pengertian, karena telah ditetapkan bahwa segala yang
ditetapkan Allah Swt pasti adil. Sehingga adil dalam perkara waris adalah menjalankan perintah
Allah dalam perkara warisan dengan cara membaginya sesuai dengan aturan yang sesuai dengan
Alquran dan Sunnah.

Keadilan dalam hukum waris erat kaitannya dengan hak dan kewajiban dan keseimbangan
antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Atas dasar pengertian tesebut terlihat
asas keadilan dalam pembagian harta warisan dalam hukum Islam. Secara mendasar dapat
dikatakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Artinya,
sebagaimana pria, wanita pun mendapatkan hak yang sama kuat untuk mendapatkan warisan.
Hal ini secara jelas disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 7 yang menyamakan kedudukan laki-
laki dan perempuan dalam hak mendapatkan warisan. Pada ayat 11-12, dan 176 surat an-
Nisa’ secara rinci diterangkan kesamaan kekuatan hak menerima warisan antara laki-laki dan
perempuan, ayah dan ibu (ayat 11), suami dan istri (ayat 12), saudara laki-laki dan perempuan
(ayat 12 dan 176).18

Tentang jumlah bagian yang didapat oleh laki-laki dan perempuan terdapat tiga bentuk.19
Pertama, Laki-laki mendapat jumlah yang sama banyak dengan perempuan: seperti ibu dan ayah
(sama-sama mendapatkan 1/6) dalam keadaan pewaris meninggalkan anak kandung. Begitu pula
saudara laki-laki dan saudara perempuan sama-sama mendapatkan 1/6 (dalam kasus pewaris
adalah seorang yang tidak memiliki ahli waris langsung).

18
Fahruddin ar-Razi, Mafâtîh al-Ghaib (Beirut: Darul Ihya' Turats al-'Ilmiyah, 1420 H), Vol. 9, h. 502.
Kedua, Laki-laki memperoleh bagian lebih banyak atau dua kali lipat dari yang didapat
oleh perempuan dalam kasus yang sama yaitu anak laki-laki dengan anak perempuan. Dalam
kasus yang terpisah duda mendapat dua kali bagian yang diperoleh oleh janda yaitu ½
berbanding ¼ bila pewaris tidak ada meninggalkan anak; dan ¼ banding 1/8 bila pewaris
meninggalkan anak. Ketiga, perempuan lebih besar dari pada laki-laki dan keadaan yang
perempuan mewarisi laki-laki tidak mewarisi.

Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak, memang terdapat
ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam
pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi
juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan. Secara umum, dapat dikatakan pria
membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan wanita.20 Hal tersebut dikarenakan pria dalam
ajaran Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya
termasuk wanita21 sebagaimana Allah jelaskan didalam Surat an- Nisa’ ayat 34; “Laki-laki
adalah pembimbing bagi perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas
sebagian yang lain dan karena mereka memberi nafkah dengan harta mereka.”

Jika dihubungkan jumlah yang diterima dengan kewajiban dan tanggungjawab seperti
disebutkan di atas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang akan dirasakan pria sama
dengan apa yang dirasakan oleh pihak wanita. Meskipun ada pada mulanya pria menerima dua
kali lipat dari perempuan, namun sebagian dari yang diterima akan diberikannya kedapa wanita
dalam kapasitasnya sebagai pembimbing yang bertangungjawab. Bagi seorang laki-laki,
tanggung jawab utamanya adalah istri dan anak-anaknya. Ini merupakan kewajiban dari Allah
yang harus dipikul sesuai QS. al-Baqarah [2]: 233 “…kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian untuk para ibu dan anak- anak secara makruf." Terhadap kerabat lain, tanggungjawab
seseorang hanya bersifat tambahan dan bukan utama. Tanggunjawab itu dipikulnya bila ia
mampu berbuat demikian di satu pihak, dan dipihak lain kerabat itu membutuhkan bantuan.
Tanggung jawab terhadap kerabat ini disebutkan Allah dalam QS. al-Baqarah [2]: 215; “Mereka

20
Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur'an al-Adzîm, Muhaqiq, Sami’ bin Muhammad Salamah, (Darul Thayibah, 1420 H), Vol
2, h. 226.
21
Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qur'an al-Hakîm (Tafsīr al-Manâr) (Mesir: Haiatu al- Misriyah al-A’mah, 1990), Vol.
5, h. 55-57.
bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan; jawablah: apa saja harta yang kamu
nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak dan karib kerabat...”

Persoalan yang juga harus diperhatikan bahwa waris dalam Islam melihat hubungan
kekerabatan, semakin dekat hubungan semakin berhak untuk mendapatkan warisan.22 Bukan
berdasarkan status sosial atau ekonomi. Jika hukum waris disandarkan kepada realita sosial, akan
berakibat tunduknya ajaran Islam kepada realita sosial yang senantiasa berubah. Dan hukum
waris Islam pada akhirnya berubah dari agama wahyu menjadi agama budaya yang melihat
status sosial masyarakat23 Para ulama telah menyatakan bahwa pembagian warisan harus tetap
merujuk kepada al-Qur'an dan Sunnah.24 Inilah bentuk keadilan hakiki dalam pandangan Islam
dalam persolan warisan, yaitu keadilan yang berimbang dan bukan keadilan yang merata.

Fleksibelitas Hukum Waris Islam

Tanazul dalam warisan sangat dikenal dalam ilmu fikih, di saat salah satu ahli waris tidak
menerima harta waris setelah ditentukan bagian sesuai dengan ketentuan Islam. Karena melihat
adanya ahli waris yang lain lebih membutuhkan harta. Sehingga status harta tersebut adalah
hibah, hal disebabkan karena adanya kebutuhan.25 Dengan adanya tanâzul menyebabkan
hukum waris menjadi fleksibel ditengah-tengah masyarakat. Tentu hal ini diperbolehkan disaat
setelah adanya penentuan bagian waris yang sesuai dengan Islam. Tanazul seorang istri dari hak
waris demi kemaslahatan syar’i ada dua bentuk;26 Pertama, dia mengundurkan diri dari hak
waris tanpa pergantian (imbalan). Misalnya, dia menyerahkan kepada suaminya untuk anak-
anaknya, karena melihat kebutuhan mereka. Kedua, dia mengundurkan diri dari hak waris
dengan imbalan (pergantian).

22
Menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Qayim bahwa asal pokok pembagian dalam warisan itu berdasarkan hubungan
kekerabatan baik dari laki-laki dan perempuan. Lihat Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatâwâ (Madinah: Majma’ al-Mulk
Fahd li Thabaah al- Mushaf as-Syarif, 1995), Vol. 31, h. 341. Ibn Qayim al-Jauzīyah, I‟lâmul Muwâqîn 'an Rabbil
'Alamīn (Beirut: Darul Kutub al-'Ilmiyah, 1991), Vol. 1., h. 284.
23
Hendri Sholahuddin, “Wacana Kesetaran Gender dalam Pemikiran Islam di Institusi Pengajian Tinggi Islam
Negeri di Indonesia: Kajian di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta”, Desertasi (Kuala Lumpur:
Akademi Pengajian Islam Malaya, 2016), h. 395.
24
Ibn Abdil Bar, Tamhîd li mâ fi al-Mu'atha‟ (Maroko: Waziratul Waqaf wa Syu- un al-Islamiyah, 1387 H), Vol.
11, h. 97.
25
Ibn Qudamah, al-Mughni (Kairo: Maktabah Kairo, 1968), Vol 7, h. 255.
26
Abu Nashr Muhammad, I‟lâmun Nubalâ‟ bi Ahkâm Mîrâts an-Nisa‟ (San’a: al- Mutakhasis, 2004), h. 72.
Masalah ini diperbolehkan dan masyhur di dalam pembahasan buku fikih, selama
dilakukan dengan suka rela (ridha). Istri mundur dari bagiannya dalam warisan dengan imbalan
sejumlah harta, mungkin dari warisan itu atau dari yang lain. Abdurrazaq, Sa'id bin Manshur,
dan Baihaqi dengan sanad sahih bahwa istri Abdurrahman bin Auf berdamai atas bagiannya ¼
menjadi 1/8 dengan ganti 80.000 dirham. Kisah ini terjadi diantara jamaah para sahabat, dan
tidak diketahui ada yang mengingkarinya.27
Proses pembagian warisan yang dilakukan sebuah keluarga di Desa Wonokerto,
Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik mempertimbangkan berbagai faktor seperti hubungan
emosional dan kebutuhan praktis dari masing-masing ahli waris yang mencerminkan keadilan
dan kesepakatan bersama dalam keluarga tersebut.
Dalam Islam keadilan tidak hanya bisa didapat apabila melaksanakan hitungan waris
menurut faraidl saja, tetapi juga bisa dengan cara tanazul. Faraidl mengatakan pembagian 2:1
adalah adil karena mempertimbangkan aspek tanggung jawab, faraidl menjadi adil sebab laki-
laki lebih banyak mengemban tanggung jawab dan memiliki kewajiban memberi nafkah. Hal
ini lebih mudah diterapkan pada keluarga-keluarga yang masih bersifat patriarki, keluarga-
keluarga yang harta nya sebanding diantara para ahli waris, seluruh ahli waris melaksanakan
kewajiban sesuai porsinya, serta tidak ada perdebatan diantara para ahli waris. Pada prakteknya
sebuah keluarga di Desa Wonokerto, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik tidak menerapkan
konsep hitungaan faraidl pada pembagian warisnya. Namun, masih meneladani aspek tanggung
jawab untuk diterapkan pada pembagiannya, terlihat dalam kesepakatan pembagian warisan
kepada anak laki-laki kedua berupa lahan sawah yang paling besar dibanding ahli waris lainnya
sebab anak laki-laki kedua ini dinilai sebagai ahli waris yang paling berbakti dan paling dekat
secara emosional semasa hidup pewaris (memberangkatkan umrah semasa hidup pewaris).
Konsep keadilan yang diterapkan dalam keluarga ini sejalan dengan konsep tanazul
yang dimaksud dalam hukum waris Islam yang telah dijelaskan diatas. Pembagian harta
warisan yang diptuskan melalui musyawarah seluruh ahli waris dengan membagi harta warisan
berdasarkan pada kondisi ekonomi tiap ahli waris dan berdasarkan pada kedekatan emosional
tiap ahli waris terhadap pewaris. Dalam prakteknya pembagian warisan keluarga di Desa
Wonokerto, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik melihat adanya unsur ekonomi dan unsur

27
Muhammad bin Abdullah Imam, Hukum Waris Wanita (Jakarta: Embun, 2008), h. 118.
sosial yang dijadikan acuan keadilan, dan yang paling penting disepakati seluruh ahli waris.
Sehingga meskipun tidak menerapkan hitungan faraidl pembagiannya sudah dirasa adil
menurut proporsi keluarga tersebut.

D. Kesimpulan
Proses pembagian warisan dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yaitu
hubungan emosional dan kebutuhan dari masing-masing ahli waris. Keputusan yang diambil
anak pertama sebagai pemimpin pembagian waris mencerminkan keadilan dan kesepakatan
bersama dalam keluarga tersebut.
Terdapat 19 faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembagian waris dalam
keluarga. Proses pembagian waris dalam keluarga Islam bukan sekedar tindakan hukum formal,
tetapi juga melibatkan nilai keseimbangan dan keadilan.
Makna keadilan yang diterapkan di keluarga ini sama dengan makna tanazul.
Pembagian waris yang diputuskan melalui musyawarah dengan membagi harta warisan
berdasarkan kondisi ekonomi tiap ahli waris dan pada kedekatan setiap ahli waris terhadap
pewaris.
Daftar Pustaka
Ali, Zainuddin. “Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia” (2008).
Aziz, Abdul. “Pembagian Waris Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Ahli Waris Dalam
Tinjauan Maqashid Shariah.” De Jure: Jurnal Hukum dan Syar‟iah 8, no. 1 (2016): 48–63.
Clara, Evy, and Ajeng Agrita Dwikasih Wardani. Sosiologi Keluarga. Unj Press, 2020.
Imron, Muchamad, and Miftahul Huda. “Fungsionalisme Pembagian Waris Sebelum Pewaris
Meninggal Dunia Dalam Keberlanjutan Keluarga.” Sakina: Journal of Family Studies 7, no.
4 (2023): 514–529.
Jamilah, Fitrotin. “DAMPAK TRANSISI SOSIAL DENGAN PEMBAGIAN HARTA
WARISAN DALAM HUKUM ISLAM.” Usratuna: Jurnal Hukum Keluarga Islam 3, no. 1
(2019): 68–90.
Prasna, Adeb Davega. “Pewarisan Harta Di Minangkabau Dalam Perspektif Kompilasi Hukum
Islam.” Kordinat: Jurnal Komunikasi antar Perguruan Tinggi Agama Islam 17, no. 1
(2018): 29–64.
Putri, Ucha Hadi. “Peran Majelis Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa Waris Terhadap
Tanah Di Kecamatan Tempuk Tengoh Kota Lhokseumawe.” JCH (Jurnal Cendekia
Hukum) 5, no. 1 (2019): 145–159.
Saefudin, Wahyu. Mengembalikan Fungsi Keluarga. Ide Publishing, 2019.
Sari, Indah. “Pembagian Hak Waris Kepada Ahli Waris Ab Intestato Dan Testamentair Menurut
Hukum Perdata Barat (BW).” Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 5, no. 1 (2018).
Wahyunadi, Zulham, and Raihanah Hj Azahari. “Perubahan Sosial Dan Kaitannya Dengan
Pembagian Harta Warisan Dalam Perspektif Hukum Islam.” Jurnal Ilmiah Islam Futura 14,
no. 2 (2015): 166–189.

Anda mungkin juga menyukai