Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

SISTEM PEWARISAN ADAT

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perkawinan dan Kewarisan Adat

Dosen Pengampu :
Moh. Faizur Rohman, M.HI

Kelompok 7 :
Haykal Diaz Maulana
NIM. 05010121013

Poetri Lailatuz Zuhroh


NIM. 05010121031

Vionita Sakinah
NIM. 05010121038

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2022
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .....................................................................................................

DAFTAR ISI .................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii

BAB I ............................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1

A. Latar Belakang....................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................... 1
BAB II .............................................................................................................................. 3

PEMBAHASAN .............................................................................................................. 3

A. Pengertian Umum dan Sistem Keturunan Adat ..................................................... 3


B. Sistem Pewarisan Individual ................................................................................. 6
C. Sistem Pewarisan Kolektif..................................................................................... 8
D. Sistem Pewarisan Mayorat .................................................................................. 10
E. Sistem Pewarisan Islam ....................................................................................... 11
F. Sistem Pewarisan Barat ....................................................................................... 18
BAB III .......................................................................................................................... 23

PENUTUP ..................................................................................................................... 23

Kesimpulan ................................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 24

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji atas kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat, taufik,
serta hidayahnya, sehingga Penyusun dapat menyelesaikan Makalah tentang “SISTEM
PEWARISAN ADAT” dengan semaksimal mungkin. Adapun tujuan dari penyusunan
makalah ini yaitu untuk memenuhi kebutuhan tugas serta untuk berbagi informasi
mengenai Sistem Pewarisan Adat. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada para
pihak yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini, sehingga dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Penyusun menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh dari kata
sempurna,karena kesempurnaan pada hakikatnya hanya milik Allah SWT. Untuk itu
segala macam saran dan kritik sangat kami harapkan kepada para pembaca demi
perbaikan serta pengembangan makalah yang lebih baik lagi.
Demikian makalah ini dibuat, semoga bisa menjadi manfaat bagi penyusun
khususnya serta pembaca umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surabaya, 12 November 2022

Penyusun

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di samping hukum perkawinan, hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum
keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan
mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal
ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup
kehidupan manusia. Di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku
bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem
garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari sistem suku-suku bangsa
atau kelompok-kelompok etnik.

Hukum Waris adat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh susunan masyarakat
kekerabatannya yang berbeda. Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari
alam pikiran masyarakat yang tradisiional dengan bentuk kekerabatan yang sistem
keturunannya patrilineal, matrilineal dan parental atau bilateral. Pada bentuk
kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama.

Dalam system pewarisan adat sendiri ada beberapa system pewarisan yang
berbeda-beda yaitu dibedakan menjadi 3 jenis diantaranya adalah sistem pewarisan
Individual, Kolektif dan Mayorat. Adapun masalah yang dapat diambil yaitu
bagaimana perbedaan pemahaman antara system pewarisan adat dengan system
pewarisan dalam Islam dan Barat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Sistem Pewarisan dan Keturunan Adat?


2. Apa yang dimaksud dengan Sistem Pewarisan Individual?
3. Apa yang dimaksud dengan Sistem Pewarisan Kolektif?
4. Apa yang dimaksud dengan Sistem Pewarisan Mayorat?
5. Apa yang dimaksud dengan Sistem Pewarisan Islam?
6. Apa yang dimaksud dengan Sistem Pewarisan Barat

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui dan memahami Sistem Pewarisan dan Keturunan Adat

1
2. Mengetahui dan memahami Sistem Pewarisan Individual
3. Mengetahui dan memahami Sistem Pewarisan Kolektif
4. Mengetahui dan memahami Sistem Pewarisan Mayorat
5. Mengetahui dan memahami Sistem Pewarisan Islam
6. Mengetahui dan memahami Sistem Pewarisan Barat

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Umum dan Sistem Keturunan Adat
1. Pengertian Sistem Waris Adat
Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana
dari penerusan dan peralihan dan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari
generasi ke generasi. hukum waris adat adalah yang memuat garis-garis ketentuan tentang
sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara
bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaannya dan pemilikannya dari pewaris
kepada waris.1 Jika diperhatikan sifat hukum waris adat, tampak jelas menunjukkan
corak-corak yang memang khas yang mencerminkan cara berpikir maupun semangat dan
jiwa dari pikiran tradisional Indonesia yang didasarkan atas pikiran kolektif/komunal,
kebersamaan serta kongkret bangsa Indonesia. Rasa mementingkan serta mengutamakan
keluarga, kebersamaan, kegotongroyongan, musyawarah dan mufakat dalam membagi
warisan, benar-benar mewarnai dari hukum waris adat.

Hukum waris adat ini mempunyai corak dan sifat tersendiri yang memiliki ciri
khas bangsa Indonesia dan tentu saja hal ini membedakannya dari hukum Islam maupun
hukum waris perdata. Perbedaan terutama terletak pada latar belakang alam pikiran
bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang berBhineka
Tunggal Ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat
kekeluargaan, saling tolong menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan, dan
kedamaian di dalam hidup.

Hukum waris adat menunjukkan corak-corak yang khas dari alam pikiran
tradisional bangsa Indonesia. Hukum waris adat ini bersendi atas prinsip yang timbul dari
alam pikiran komunal serta kongkret bangsa Indonesia. Aliran pikiran komunal yang
dimaksud adalah bahwa manusia yang satu dengan yang lainnya saling bergantung,
sehingga dalam kehidupannya selalu memikirkan masyarakat atau individu yang terikat
di dalam suatu masyarakat.

1
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama
Hindu, Islam. ( P.T. Aditya Bhakti, Bandung 1991.)

3
Selain itu, aliran pikiran yang kongkret artinya alam pikiran tertentu dalam pola
pikiran, selalu diberi bentuk benda atau tandatanda yang kelihatan secara langsung
ataupun tidak langsung. Hal ini tampak dalam peristiwa misalnya pemberian tanah
kepada anak lakilaki yang telah dewasa sebelum si pewaris meninggal dunia atau
pemberian perhiasan kepada anak perempuan yang sudah mentas.2

2. Sistem Keturunan Adat

Dalam hal pewarisan adat, tidak lepas dari sistem kekerabatan, karena sistem
kekerabatan menentukan penarikan garis keturunan dalam keluarga yaitu dari pihak laki-
laki atau dari pihak perempuan yang akan melanjutkan keturunan keluarga tersebut,
sehingga pembagian harta warisan didasarkan pada penarikan garis keturunan dalam
keluarga tersebut. Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat mengatur kedudukan
seseorang sebagai anggota keluarga, kedudukan anak dihadapan orang tua begitu juga
sebaliknya, kedudukan anak dihadapan kerabat begitu sebaliknya, pada intinya hukum
adat kekerabatan mengatur berkaitan dengan pertalian sanak famili, baik melalui darah,
perkawinan maupun pertalian kekerabatan Adat.

Menurut Soerojo Wignjodipoero hukum adat kekerabatan, apabila dilihat dari


keberadaan keturunan, maka sifat dan kedudukan keturunan dapat bersifat:3

a. Lurus, apabila orang yang satu itu merupakan langsung keturunan yang lain, misalnya
antara bapak dan anak, antara kakek, bapak dan anak, disebut lurus ke bawah kalau
rangkaiannya dilihat dari kakek, bapak ke anak, sedangkan dilihat lurus ke atas kalau
rangkaiannya dilihat dari anak, bapak, dan kakek.

b. Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau le- bih itu terdapat
adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak-ibu- nya sama sekandung (saudara
sekandung), sekakek dan senenek dan sebagainya.

Sistem kekerabatan tersebut tetap dipertahankan sehingga prinsip kekerabatan


memiliki fungsi yang berkaitan dengan perkawinan yaitu keadaan untuk dapat

3
Ellyne Dwi Poespasari, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat Di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2018), Hlm, 12.

4
melanjutkan keturunan, mengeksistensikan silsilah dan kedudukan keluarga.4 Sistem
Keturunan dalam hukum adat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu:

a. Sistem Kekerabatan Patrilineal

Sistem kekerabatan patrilineal yaitu sistem kekerabatan yang garis


keturunan dari pihak ayah atau dari pihak laki-laki.5 Anak laki-laki berfungsi
untuk meneruskan keturunan orang tuanya sedangkan anak perempuan untuk
menjadi anak keluarga lain dalam kekerabatan yang sama sehingga kedudukannya
menghasilkan keturunan keluarga lain, sedangkan apabila tidak mempunyai anak
laki-laki maka dianggap putus keturunan. sehingga apabila dikaitkan dengan
pewarisan, anak laki-laki yang berhak mendapatkan harta warisan dari orang
tuanya. contohnya adalah masyarakat Lampung, Batak, dan Bali.

b. Sistem Kekerabatan Matrilineal

Sistem kekerabatan matrilineal yaitu sistem kekerabatan garis keturunan


dari pihak perempuan, sehingga keturunan perempuan berfungsi melanjutkan
keturunan keluarganya, sedangkan keturunan lakilaki hanya berfungsi
memberikan keturunan pada keluarga perempuannya. Serta laki-laki sebagai
suami melepaskan warga adatnya dan memasuki warga adat istrinya. Namun
pelepasan warga adat matrilineal juga tergantung pada sistem perkawinan yang
dilaksanakan, tidak selalu melepaskan adat tetapi juga dapat terikat pada adat
masingmasing, contohnya adalah Minangkabau dan Semendo.

Dalam kekerabatan matrilineal, kebalikan dari patrilineal yaitu hak dan


kedudukan yang dimiliki suami lebih rendah daripada hak dan kedudukan istri,
suami bertugas membantu istri. Apabila istri sebagai anak tertua dalam
keluarganya, maka memiliki tugas tambahan untuk menjaga harta warisan tidak
terbagi orang tuanya. Harta ini disebut harta pusaka keluarga, menjaga harta
warisan tersebut disertai dengan pemanfaatan dan pengelolaannya dengan
memperhatikan kepentingan saudara-saudaranya.

4
Ellyne Dwi Poespasari, Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Pewarisan Ditinjau Dari Sistem Hukum
Kekerabatan Adat, Jurnal Perspektif, Vol. Xix No. 3, 2014, Hlm. 212-222.
5
Bambang Danu Nugroho, Hukum Adat, (Bandung: Refika Aditama, 2015), Hlm. 78.

5
Berkaitan dengan penguasaan harta, tidaklah kebalikan dari patrilineal
yang mana semua harta dikuasai oleh suami, melainkan memiliki pola sendiri
yaitu apabila terjadi perceraian, suami tetap berhak atas sebagian harta bersama
dan tetap menguasai harta asal dan harta permberian yang dimilikinya. Namun
dalam pewarisan apabila suami meninggal maka harta akan kembali kepada
keluarga asalnya, sedangkan apabila istri yang meninggal maka akan diwariskan
kepada anak perempuannya. Dalam kekerebatan ini, yang berhak mendapatkan
harta warisan adalah anak perempuan.

3. Sistem Kekerabatan Parental

Sistem kekerabatan Parental adalah sistem kekerabatan menarik garis


keturunan dari orang tua baik dari pihak perempuan dan dari pihak laki-laki secara
bersamasama dan seimbang, contohnya adalah masyarakat pada suku Jawa dan
Aceh. Sistem kekerabatan ini memberi bagian pada masing-masing anak baik
laki-laki maupun perempuan untuk memperoleh harta warisan dari orang tuanya,
namun besaran bagian tersebut tergantung dari adat masing-masing. Dalam
perkawinan pun kedudukan suami dan istri berimbang.

Dalam kekerabatan parental, tidak dikenal adanya pembayaran jujur dan


pembayaran semenda, dalam memilih tempat kediaman pun dibebaskan untuk
menetap di tempat suami atau istri bahkan di rumah tersendiri yang terpisah dari
pengaruh orang tuanya dan mendirikan kehidupan baru. Berkaitan dengan harta
yaitu harta perkawinan, harta asal, dan harta pemberian yang ada, tidak dikuasai
secara masing-masing oleh suami dan istri melainkan dikuasai secara bersama-
sama, sehingga suami atau istri berhak untuk melakukan perbuatan hukum baik
bersama-sama atau sendiri-sendiri baik di luar maupun di dalam pengadilan.

B. Sistem Pewarisan Individual


Sistem pewarisan individual adalah sistem pewarisan dimana semua ahli waris
mendapatkan bagian untuk dapat menguasai dan memiliki harta warisan. Sehingga
masing-masing ahli waris memiliki hak untuk menggunakan, mengolah, dan menikmati
hasilnya atau juga hak untuk mentransaksikan, terutama apabila pewaris telah meninggal
dunia, hal ini merupakan suatu kelebihan dari penerapan sistem pewarisan individual.
Sistem pewarisan individual banyak berlaku dikalangan masyarakat yang sistem

6
kekerabatannya Parental yang memberi bagian harta warisan kepada semua anak.58
Sehingga sistem pewarisan individual dapat meminimalisir terjadi persengketaan harta
warisan antar saudara karena sudah terbagi dan memiliki bagian masing-masing.

Dalam sistem pewarisan individual yang terjadi pada kekerabatan parental, di


dalamnya terdapat ketentuan adat mengenai bagian-bagian dari ahli waris, contoh dalam
masyarakat Jawa, yang menempatkan semua anak sebagai ahli waris dengan porsi yang
sama yaitu anak laki-laki dan perempuan mempunyai bagian yang sama (1:1), namun
juga ada yang menggunakan asas sepikul segendongan dalam pewarisan, yang diartikan
anak laki-laki dan anak perempuan mendapat bagian memiliki bagian yang berbeda yaitu
(2:1). Pewarisan dalam adat Jawa juga tidak terbatas pada semua anak sebagai ahli waris
tetapi janda atau duda mendapat harta warisan. Apabila terdapat anak angkat maka berhak
memperoleh harta warisan terhadap harta bersama (gono-gini) orang tua angkatnya
namun tidak berhak untuk harta asal atau bawaan. Harta asal atau harta bawaan hanya
boleh diwariskan kepada anak kandung, saudara kandung atau keluarga asalnya.

Pada masyarakat dengan sistem kekerabatan matrilineal yaitu masyarakat


Minangkabau yang menggunakan sistem pewarisan kolektif, berlaku pewarisan
individual terhadap harta pusaka rendah karena adanya pengaruh dari hukum Islam,
namun tidak hanya anak perempuan yang memperoleh harta warisan, anak laki-laki pun
berhak atas harta pusaka rendah tersebut.6

Kelebihan dari sistem pewarisan individual, yaitu setelah harta peninggalan atau
harta warisan dibagi secara individual atau perseorangan, maka para ahli waris dapat
bebas menguasai dan memiliki harta warisan berdasarkan bagiannya untuk digunakan
sebagai modal atau dasar materiel kehidupannya lebih lanjut tanpa digunakan anggota-
anggota keluarga lain. Para ahli waris dapat mentransaksikan bagian warisannya kepada
orang lain untuk digunakan menurut kebutuhannya sendiri atau menurut kebutuhan
keluarga tanggungannya. Bagi keluarga-keluarga yang telah maju, di mana rasa
kekerabatannya sudah mengecil, di mana tempat kediaman anggota kerabat sudah
terpencar-pencar jauh dan tidak begitu terikat bagi untuk bertempat kediaman di daerah

6
Yelia Nathassa Winstar, Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau,
Jurnal Hukum Dan Pembangunan, Vol. 37, No. 2, 2007, Hlm. 3.

7
asal, apalagi jika telah melakukan perkawinan campuran, maka sistem individual ini
tampak besar pengaruhnya.

Kelemahan dari sistem pewarisan individual, yaitu terpecahnya harta warisan dan
meregangnya tali kekerabatan, hal ini dapat berakibat timbulnya hasrat ingin memiliki
kebendaan secara pribadi dan mementingkan diri sendiri. Sistem pewarisan secara
individual ini berlaku di lingkungan masyarakat adat Lampung, Jawa, Kalimantan, dan
Aceh.7

C. Sistem Pewarisan Kolektif


Sistem pewarisan kolektif yakni di mana harta peninggalan diteruskan dan
dialihkan pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-
bagi penguasaannya dan pemilikannya. Oleh sebab itu, ahli waris berhak untuk
mengusahakan menggunakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan tersebut. Cara
pemakaian harta peninggalannya untuk kepentingan dan kebutuhan masing-masing ahli
waris diatur bersama-sama atas dasar musyawarah mufakat oleh semua anggota kerabat
yang berhak atas harta peninggalan di bawah bimbingan kerabatnya.

Pada sistem pewarisan kolektif ini terdapat misalnya di masyarakat Minangkabau.


Di Minangkabau, harta yang dikuasai oleh kaum secara kolektif, sedangkan ahli waris
adalah anggota kaum secara kolektif juga, maka kematian seseorang dalam kaum tidak
banyak menimbulkan masalah. Harta tetap tinggal pada rumah yang ditempati oleh kaum
untuk dimanfaatkan bersama oleh seluruh anggota kaum itu. Di Minangkabau sistem
kolektif berlaku atas tanah pusaka yang diurus bersama di bawah pimpinan atau
pengurusan mamakkepala waris,di mana para anggota family hanya mempunyai hak
pakai. Di Minahasa berlaku sistem pewarisan kolektif atas barang (tanah kalakeran) yang
merupakan tanah sekerabat yang tidak dibagi-bagi, akan tetapi boleh dipakai untuk para
anggota famili. Status hak pakai anggota famili dibatasi dengan tidak boleh menanam
tanaman keras.

Oleh karena itu, yang mengatur dan mengatasi tanah kalakeran adalah tua-tua
kerabat yang Tua Untaranak, Haka Umbana, atau Paki Itenan tanah-tanah dan jika tua-
tua dari kerabat lain disebut Mapontol. Di masa sekarang sudah ada tanah kalakeran yang

7
Ellyne Dwi Poespasari, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat Di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2018), Hlm, 40.

8
dibagibagi.8 Di daerah Lampung apa yang disebut tanah menyanak atau tanah repong
merupakan bidang tanah milik sekerabat bersama yang tidak dibagi-bagi pemiliknya.
Biasanya tanah menyanak ini telah berisi tanaman tumbuhan keras seperti durian, duku,
pohon aren, dan bamboo yang boleh dinikmati para anggota kerabat kerabat bersangkutan
secara bersama-sama. Ada kalanya di antara para anggota kerabat yang menggunakan
dan mengolah tanah itu menanaminya dengan tanaman keras baru, maka dengan
demikian ia mempunyai hak atas pohon saja.9

Ciri dari sistem pewarisan kolektif ini adalah, harta warisan itu diwarisi dan
tempatnya dikuasai oleh sekelompok ahli waris dalam keadaan tidak terbagi-bagi, yang
seolah-olah merupakan suatu badan hukum keluarga atau kerabat. Harta peninggalan
seperti ini disebut harta pusaka di Minangkabau dan harta menyanak di Lampung.
Kelebihan dari sistem pewarisan kolektif tersebut yang masih tampak apabila fungsi harta
kekayaan itu di peruntukkan buata kelangsungan hidup keluarga besar tersebut, untuk di
masa sekarang dan masa seterusnya masih tetap berperan tolong menolong antara yang
satu dan yang lain di bawah pimpinan kepala kerabat yang Di daerah Lampung apa yang
disebut tanah menyanak atau tanah repong merupakan bidang tanah milik sekerabat
bersama yang tidak dibagi-bagi pemiliknya.

Biasanya tanah menyanak ini telah berisi tanaman tumbuhan keras seperti durian,
duku, pohon aren, dan bamboo yang boleh dinikmati para anggota kerabat kerabat
bersangkutan secara bersama-sama. Ada kalanya di antara para anggota kerabat yang
menggunakan dan mengolah tanah itu menanaminya dengan tanaman keras baru, maka
dengan demikian ia mempunyai hak atas pohon saja. Ciri dari sistem pewarisan kolektif
ini adalah, harta warisan itu diwarisi dan tempatnya dikuasai oleh sekelompok ahli waris
dalam keadaan tidak terbagi-bagi, yang seolah-olah merupakan suatu badan hukum
keluarga atau kerabat. Harta peninggalan seperti ini disebut harta pusaka di Minangkabau
dan harta menyanak di Lampung. Kelebihan dari sistem pewarisan kolektif tersebut yang
masih tampak apabila fungsi harta kekayaan itu di peruntukkan buata kelangsungan hidup
keluarga besar tersebut, untuk di masa sekarang dan masa seterusnya masih tetap berperan
tolong menolong antara yang satu dan yang lain di bawah pimpinan kepala kerabat yang

8
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Kekerabatan Adat (Fajar Agung, 1993). Hal 25
9
Hilman Hadi Kusuma. Hal 27

9
penuh tanggung jawab masih tetap dapat dipelihara, dibina dan dikembangkan. Pada
beberapa kerabat yang masih punya pimpinan yang berpengaruh, sistem pewarisan
kolektif atas harta pusaka (tanah kerabat dan rumah kerabat) yang terletak pada daerah
yang produktif masih dapat meningkatkannya ke dalam bentuk usahausaha kolektif yang
terbentuk usaha bersama koperasi pertanian kerabat dan koperasi peternakan kerabat.

Oleh sebab itu, rumah kerabat difungsikan sebagai pusat tempat berkumpul bagi
semua anggota kerabat yang bersangkutan. Namun pada kenyataannya, keadaan
demikian di Lampung tidak ada yang dapat bertahan lama. Kelemahan dari sistem
pewarisan kolektif, yaitu menumbuhkan cara berpikir yang terlalu sempit dan kurang
terbuka bagi orang luar. Oleh karena itu, tidak selamanya suatu kerabat mempunyai
kepemimpinan yang dapat diandalkan dan aktivitas hidup yang kian luas bagi anggota
kerabat, maka rasa setia kerabat bertambah luntur. Sistem pewarisan kolektif ini berlaku
di lingkungan masyarakat adat Minangkabau, di Lampung, di Minahasa, dan Ambon
(tanah dati).10

D. Sistem Pewarisan Mayorat


Sistem pewarisan mayorat ini sebenarnya juga merupakan sistem pewarisan
kolektif, hanya saja pengalihan dan penguasaan atas yang tidak terbagi-bagi itu
dilimpahkan kepada anak tertua (dari sistem mayorat laki-laki atau sistem mayorat
perempuan) yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga
menggantikan kedudukanya sebagai orangtua (ayah atau ibu) sebagai kepala keluarga.
Anak tertua dalam kedudukanya sebagai penerus tanggung jawab orang tua yang
meninggal dunia berkewajiban mengurus dan memelihara saudara-saudara yang lain,
terutama bertanggung jawab atas harta warisan dari orang tuanya dan kehidupan saudara-
saudaranya (adik-adiknya) yang masih kecil sampai mereka berumah tanggadan berdiri
sendiri dalam suatu kekerabatan mereka yang turun-temurun.

Sistem mayorat ini ada 2 (dua) macam dikarenakan perbedaan sistem keturunan
yang dianut yaitu11 : a. Mayorat laki-laki, seperti berlaku di lingkungan masyarakat adat
Lampung dan masyarakat Bali; b. Mayorat perempuan, seperti ini berlaku di lingkungan

10
Bravo Nangka, “Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Hukum Waris Adat Berdasarkan Sistem
Kekerabatan,” Lex Privatum 7, No. 3 (October 21, 2019),
Https://Ejournal.Unsrat.Ac.Id/Index.Php/Lexprivatum/Article/View/25923.
11
Nangka. Hal 148

10
masyarakat adat Semendo Sumatra Selatan. Di Lampung yang memimpin, mengurus dan
mengatur penguasaan harta peninggalan adalah anak punyimbang, yaitu anak laki-laki
tertua dari istri tertua. Di daerah masyarakat Semendo Sumatra Selatan yang memimpin,
mengurus, dan menguasai harta peninggalan adalah tunggu tubing, yaitu anak tertua
perempuan sebagai penunggu harta orangtuanya.12

Ciri dari sistem pewarisan mayorat ini adalah harta peninggalan orangtua (pusaka
rendah) atau harta peninggalan leluhur kerabat (pusaka tinggi) tetap utuh dan tidak dibagi-
bagikan kepada masing-masing ahli waris tetapi dikuasai oleh anak laki-laki sulung
(mayorat laki-laki) di lingkungan masyarakat Bali dan Lampung, atau tetap dikuasai oleh
anak sulung perempuan (mayorat perempuan) di lingkungan masyarakat matrilineal
semendo di Sumatra Selatan dan Lampung.

Kelemahan dan keuntungan sistem pewarisan mayorat ini terletak pada


kepemimpinan anak tertua yang menggantikan kedudukan orangtuanya yang telah
meninggal dunia untuk mengurus harta kekayaan dan memanfaatkannya untuk
kepentingan seluruh anggota keluarga. Anak tertua harus bertanggung jawab penuh dan
harus dapat mempertahankan keutuhan. Kerukunan dalam keluarga sampai semua ahli
waris menjadi dewasa dan dapat berdiri sendiri mengatur rumah tangga sendiri. Namun,
bilamana anak tertua yang tidak bertanggungjawab dan tidak mampu mengendalikan diri
terhadap harta peninggalan orangtuanya (disebut dengan pemboros), maka harta
peninggalan orangtuanya dapat diurus oleh anggota keluarga yang lainnya.

E. Sistem Pewarisan Islam


1. Konsep Waris dalam Islam
Dalam hukum Islam dikenal adanya ketentuan-ketentuan tentang siapa yang
termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan, dan ahli waris yang tidak berhak
menerima dengan adanya perpindahan kepemilikan kepada orang lain. Istilah fiqh
mawaris dimaksudkan ilmu fikih yang mempelajari siapa saja ahli waris yang berhak
menerima waris, siapa yang tidak berhak menerima, serta berapa banyak bagian-
bagian yang diterimanya. Fikih mawaris juga disebut ilmu faraiḍ bentuk jamak dari
kata tunggal fariḍah artinya ketentuan-ketentuan bagian ahli waris yang diatur secara
rinci dalam al-Quran, lebih banyak membicarakan bagian ahli waris terhadap harta

12
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Kekerabatan Adat. Hal 27

11
warisan setelah pewaris meninggal dunia. Oleh karena itu, hukum ini dinamai dengan
faraiḍ.13
Sistem hukum warisan Islam sebagai bagian dari sistem syari’at merupakan dalam
aspek sistem hukum mu’amalah atau juga dalam lingkungan hukum perdata. Dalam
ajaran Islam hukum warisan ini tidak dapat dipisahkan dengan hukum Islam dan
ibadah Karenanya dalam penyusunan kaidah-kaidah hukum warisan harus
berdasarkan sumber-sumber hukum Islam seperti hukum-hukum Islam yang lainnya.
Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum
perkawinan, maka hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan
yang memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan dan mencerminkan
sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini, disebabkan hukum
kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia bahwa
setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum
yang lazim yang disebut meninggal dunia. Wujud warisan atau harta peninggalan
menurut Hukum Islam sangat berbeda dengan wujud warisan menurut hukum barat
sebagai mana diatur dalam BW maupun hukum waris adat.Warisan atau harta
peninggalan menurut hukum Islam yaitu “sejumlah harta benda serta segala hak dari
yang meninggal dunia dalam keadaan bersih”.Artinya harta peninggalan yang diwarisi
oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak, “setelah dikurangi
dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang
diakibatkan oleh wafatnya sipeninggal waris”.14 Pada dasarnya hukum kewarisan
dalam Islam berlaku untuk seluruh umat Islam di seluruh dunia. Sungguhpun
demikian, corak suatu negara Islam dan kehidupan di negara atau daerah tersebut
memberi pengaruh berbeda atas hukum kewarisan, hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor, di antaranya:
Pertama: meskipun pada dasarnya Islam telah mengatur dasar hukum kewarisan
secara terperinci dalam Al-Qur’an, jika terdapat kemuskilan pengertian telah
dijelaskan oleh Nabi. Namun demikian, dalam hal pelaksanaan praktis terdapat

13
Fadlih Rifenta And Tonny Ilham Prayogo, “Nilai Keadilan Dalam Sistem Kewarisan Islam,” Al-
Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam 13, No. 1 (June 25, 2019): 113,
Https://Doi.Org/10.24090/Mnh.V0i1.2117.
14
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, Dan Bw (Bandung: Pt Refika
Aditama, 2007), 13.

12
masalah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan belum sempat dijelaskan oleh Nabi,
sehingga hukum menjadi terbuka.
Kedua: bahwa ilmu hukum termasuk hukum Islam, di mana hukum waris ada di
dalamnya, adalah tergolong ilmu sosial dan bukan ilmu eksakta. Oleh karena itu,
hukum waris tempat kemungkinan terjadinya perbedaan-perbedaan pendapat di antara
para ahli hukum itu sendiri, terutama mengenai ayat-ayat yang memungkinkan adanya
penafsira lebih dari itu.
2. Dasar Kewarisan Islam
Al-Quran sendiri sudah menyebutkan secara detail tentang pembagian waris
menurut hukum Islam. Khusus di surat al-Nisa’ saja ada tiga ayat, yaitu 11, 12, dan
176. Selain itu juga ada di dalam surat al-Anfal ayat terakhir, yaitu ayat 75.15

ۚ ‫يب ِِّّمَّا تَ َرَك ٱلْ ََٰولِّ َد ِّان َو ْٱْلَقْ َربُو َن ِّّمَّا قَ َّل ِّمْنهُ أ َْو َكثَُر‬ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ‫ص‬ ِّ ِّ ِّ
ٌ َ‫لِ ِِّلر َجال ن‬
ٌ ‫يب ِّمَّا تَ َرَك ٱلْ ََٰول َدان َو ْٱْلَقْ َربُو َن َوللنِ َسآء نَص‬
‫وضا‬ ِّ
ً ‫نَصيبًا َّم ْف ُر‬
Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan”. (QS. An-Nisa’ ayat 7)
ِّ ْ َ‫ْي ۚ فَِّإن ُك َّن نِّسآء فَو َق ٱثْنَ ت‬
‫ْي فَلَ ُه َّن ثُلُثَا َما تَ َرَك ۖ َوإِّن‬ ِّ ْ َ‫ْٱْلُنثَي‬ ‫ظ‬ َّ ِّ‫ِف أ َْوَٰلَ ِّد ُكم ۖ ل‬
ِِّ ‫لذ َك ِّر ِّمثْ ُل َح‬ ٓ ِّ ُ‫ٱَّلل‬
ِّ ‫ي‬
َّ ‫وصي ُك ُم‬ ُ
ْ ًَ ْ
‫س ِّّمَّا تَ َرَك إِّن َكا َن لَهُۥ َولَ ٌد ۚ فَِّإن ََّّلْ يَ ُكن لَّهُۥ‬ ُّ ‫ف ۚ َوِّْلَبَ َويِّْه لِّ ُك ِِّل ََٰو ِّح ٍد ِِّمْن ُه َما‬
ُ ‫ٱلس ُد‬ ُ ‫ص‬
ِّ ِّ َ‫َكان‬
ْ ِ‫ت ََٰوح َد ًة فَلَ َها ٱلن‬
ْ
ِّ ‫ٱلس ُدس ۚ ِّم ۢن ب ع ِّد و ِّصيَّ ٍة ي‬
‫وصى ِِّبَآ أ َْو َديْ ٍن ۗ ءَ َاَبُٓؤُك ْم‬ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ُ ُ‫ولَ ٌد ووِّرثَٓهُۥ أَب واهُ فَِِّل ُِِّم ِّه ٱلثُّل‬
ُ َ َْ ُ ُّ ‫ث ۚ فَإن َكا َن لَٓهُۥ إ ْخ َوةٌ فَِل ُِمه‬ ََ َ َ َ
‫يما‬ ِّ ِّ َِّّ ‫وأَب نآُؤُكم ََل تَ ْدرو َن أَيُّهم أَقْ رب لَ ُكم نَ ْفعا ۚ فَ ِّريضةً ِّمن‬
َّ ‫ٱَّلل ۗ إِّ َّن‬
ً ‫يما َحك‬
ً ‫ٱَّللَ َكا َن َعل‬ َِ َ ً ْ ُ َ ُْ ُ ْ َْ َ
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka
ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya

15
Dwi Putra Jaya, Hukum Kewarisan Di Indonesia, 1st Ed. (Bengkulu: Zara Abadi, 2020), 40.

13
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang”.16 (QS. An-Nisa’ ayat 11).
Sedangkan dari hadiṡ nabi Muhammad SAW yang menunjukkan pensyariatan
hukum waris diantaranya :
Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa Rasullullah SAW bersabda “bagikanlah
harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak
laki-laki yang paling utama. (HR. alBukhari).
3. Asas-asas hukum dalam kewarisan islam
Hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas, dan memiliki karakteristik
yang berbeda dengan hukum waris-waris yang lain. Hukum waris Islam menempatkan
al-Quran sebagai landasan utama dan penjelasan tambahan yang diberikan oleh Nabi
Muhammad SAW.17 Ada beberapa bentuk asas-asas yang terkandung di dalam hukum
waris Islam antara lain :
• Asas Ijbari
Dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang telah meninggal
kepada ahli waris berlaku dengan sendirinya. Tanpa usaha dari si mayit sebelum
meninggal atau kehendak dari ahli waris. Cara peralihan ini disebut dengan ijbari.
Kata ijbāri secara leksikal mengandung arti paksaan (melakukan perbuatan diluar
kehendak sendiri). Dalam hukum waris Islam, ijbāri mengandung arti peralihan
harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan
sendirinya menurut kehendak Allah SWT. Tanpa tergantung kepada kehendak
dari pewaris atau permintaan dari ahli warisnya. Dan bukan juga diartikan sebagai
pengalihan harta, karena pengalihan harta bermakna adanya usaha orang lain
untuk memindahkan kepemilikan. Asas ijbari dalam hukum waris Islam dapat
dilihat dalam surah al-Nisā’ ayat 7. Ayat ini menjelaskan bahwa bagi seorang laki-

16
“Surat An-Nisa Ayat 11 Arab, Latin, Terjemah Dan Tafsir | Baca Di Tafsirweb,” Accessed November
11, 2022, Https://Tafsirweb.Com/1543-Surat-An-Nisa-Ayat-11.Html.
17
Rifenta And Prayogo, “Nilai Keadilan Dalam Sistem Kewarisan Islam,” 114.

14
laki maupun perempuan ada ‘naṣīb’ (Bagian) dari harta peninggalan orang tua dan
karib kerabat. Kata naṣīb berarti bagian, saham, atau jatah dalam bentuk sesuatu
yang diterima dari pihak lain. Sehingga pewaris tidak perlu menjanjikan sesuatu
sebelum ia meninggal, dan ahli waris tidak perlu memintanya haknya. Karena
seluruhnya sudah ditentukan langsung oleh Allah SWT.
• Asas Bilateral
Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam
adalah seseorang menerima hak kewarisan bersumber dari kedua belah pihak
kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki. Asas
kebilateralan itu mempunyai 2 (dua) dimensi saling mewarisi dalam alQur’an
surah An-Nisa/4 ayat 7, 11, 12, dan 176, yaitu: (1) antara anak dengan orang
tuanya, dan (2) antara orang yang bersaudara bila pewaris tidak mempunyai anak
dan orang tua.
• Asas Individual
Asas individual adalah setiap ahli waris (secara individu) berhak atas
bagian yang didapatkannya tanpa terikat kepada ahli waris lainnya (sebagaimana
halnya dengan pewaris kolektif yang dijumpai di dalam ketentuan hukum adat).
Seperti adat masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Dengan demikian,
bagian yang diperoleh ahli waris dari harta pewaris dimiliki secara perorangan,
dan ahli waris yang lainnya tidak ada sangkut paut sama sekali dengan bagian
yang diperolehnya tersebut, sehingga individu masing-masing ahli waris bebas
menentukan (berhak penuh) atas bagian yang diperolehnya.
• Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan yang dimaksud harus ada keseimbangan antara hak yang
diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya
kehidupan yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya,
mendapat bagian yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya
masingmasing (kelak) dalam kehidupan kelurga dan masyarakat. Seorang laki-
laki menjadi penanggung jawab dalam kehidupn keluarga, mencukupi keperluan
hidup anak dan istrinya sesuai (QS. 2: 233) dengan kemampuannya.Tanggung
jawab merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, terlepas dari persoalan
apakah istrinya mampu atau tidak, anak-anaknya memerlukan bantun atau tidak.

15
• Asas Semata Akibat Kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang
lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang
mempunyai harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak
dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta
masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang
masih hidup baik secara langsung, maupun terlaksana setelah mati, tidak termasuk
kedalam istilah waris menurut hukum Islam. Dengan demikian hukum waris
dalam Islam hanya mengenal satu bentuk hukum waris yaitu waris akibat
kematian semata.18
4. Sebab Pewarisan dalam Islam
Menurut jumhur ulama bahwa sebab-sebab seseorang mewarisi harta seseorang
yang meninggal dunia ada 3 macam; yaitu kekerabatan, pernikahan, dan wala’. Para
ulama Malikiyah dan Syafiyah memberi tambahan sebab, untuk memperoleh hak
waris yaitu jalur keislaman (hubungan Islam).
Pertama; pernikahan yang sah menurut hukum Islam merupakan suatu ikatan
yang sentosa untuk mempertemukan seorang laki-laki dengan wanita, selama ikatan
pernikahan itu masih abadi. Apabila diantara keduanya ada yang meninggal dunia pada
waktu perkawinannya masih utuh atau dianggap utuh (talak raj’ī yang masih dalam
iddah), maka pernikahan antara suami dan istri. Dan keduanya akan mendapatkan
furāḍah muqaddarah yang telah ditetapkan oleh Shara’ yakni ½, ¼, atau 1/8.
Sebagaimana firman Allah Surat al-Nisā’: “dan bagimu (suami) seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak.”
Kedua; Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan
orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Pertalian hubungan darah ini
merupakan sebab seseorang memperoleh hak mewarisi yang terkuat, dikarenakan
kekerabatan itu termasuk unsur yang tidak dapat dihilangkan. Kekerabatan yang
mendapatkan harta waris seperti, pertalian uṣūl yaitu pertalian lurus keatas dari si
mayyit seperti ibu, nenek, ayah, kakek, dan seterusnya. Pertalian furū’, yaitu pertalian
lurus kebawah anak dari mayyit, cucu, cicit dan seterusnya. Pertalian hawashi, yaitu

18
“Sistem Waris Dalam Perspektif Islam Dan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia | Wahyuni |
Salam: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I,” 155, Accessed November 11, 2022,
Https://Journal.Uinjkt.Ac.Id/Index.Php/Salam/Article/View/9412.

16
pertalian menyamping dari sisi si mayyit seperti saudara, paman, keponakan, dan
seterusnya.
Ketiga; Wala’ adalah kekerabatan menurut hukum yang disebabkan karena
membebaskan budak. Apabila seorang pemilik budak telah membebaskan budanya,
berarti ia telah merubah status hukum orang yang semula tidak termasuk memiliki
kepada memiliki dan mengelola harta bendanya sendiri.19 Sebagaimana disabdakan
Nabi Muhammad SAW “Sesungguhnya hak wala’ itu bagi orang yang
memerdekakan” (HR. Al Hakim)
5. Hukum kewarisan menurut Kompilasi Hulum Islam (KHI)
Hukum kewarisan menurut KHI menganut salah satu asas bilateral, yakni seorang
menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu dari garis
keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki. Asas ini secara tegas
tercantum dalam QS. an-Nisa ayat: 7, 11, 12, dan 176. Hukum kewarisan baru terjadi
apabila memenuhi beberapa unsur yang harus dipenuhi, yakni: Pertama, pewaris yaitu
orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggla berdasarkan
putusan Peradilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
Kedua, ahli waris yaitu orang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewarsi, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris. Ketiga, harta peninggalan yaitu harta yang
ditinggalkan oleh pewaris baik harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-
haknya. Ahli waris memiliki kewajiban setalh pewaris meninggal sebelum harta
dibagikan antara lain:
• Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
• Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk
kewajiban pewaris maupun menagih hutang.
• Menyelesaikan wasiat pewaris.
• Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
Hal di atas sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal
175.
Ahli waris dan bagian masing-masing. Pembagian ahli waris yang terdiri dari
beberapa pengelompokan, yaitu:

19
Rifenta And Prayogo, “Nilai Keadilan Dalam Sistem Kewarisan Islam,” 117.

17
❖ Berdasarkan hubungan darah. terdiri dari dua golongan, Pertama, golongan
laki-laki: ayah, anak laki-laki, paman, dan kakek. Kedua, golongan perempuan:
ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
❖ Berdasarkan hubungan perkawinan terdiri dari duda dan janda. Apabila semua
ahli waris ada, maka yang berhak menerima warisan hanya: anak, ayah, ibu,
janda atau duda.20

F. Sistem Pewarisan Barat


1. Memahami Waris dalam KUH Perdata
Hukum waris menurut BW berlaku asas: “apabila seseorang meninggal dunia,
maka seketika itu juga segala hak dan kewajiban beralih kepada ahli warisnya”. Hak-
hak dan kewajiban dimaksud, yang beralih kepada ahli waris adalam termasuk ruang
lingkup harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
Ciri khas hukum waris perdata Barat atau BW antara lain: adanya hak mutlak dari para
ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta
warisan. Hal itu berarti bila seseorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan
di pengadilan, maka tuntutan dimaksud, tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang
lainnya. Hal ini berdasarkan ketentuan pasal 1066 BW sebagai berikut.
a) Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak
dapat dipaksa untuk membiarkan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak
terbagi-bagi di antara para ahli waris yang ada.
b) Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada
perjanjian yang melarang hal itu.
c) Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dpat saja dilakukan
hanya beberapa waktu tertentu.
d) Perjanjian penangguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima
tahun, namun dapat diperbaruhi jika masih dikehendaki oleh para pihak.
Dalam kitab undang-undang hukum perdata di Indonesia ada dua cara untuk
mendapatkan harta warisan, yaitu :
▪ Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang (ab intestato)
▪ Karena seorang ditunjuk dalam surat wasiat (testamentair)

20
Jaya, Hukum Kewarisan Di Indonesia, 118.

18
Pasal 834 BW mengungkapkan bahwa seorang ahli waris berhak untuk menuntut
segala apa saja yang termasuk harta peninggalan agar diserahkan kepadanya,
berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Pemilik hak dimaksud mirip dengan hak
seorang pemilik benda. Hak menuntut ahli waris dimaksud, hanya sebatas pada
seseorang yang menguasai suatu harta warisan dengan maksud untuk memilikinya.
Jadi, penuntutan ini tidak dapat dilakukan terhadap pelaksanaan wasiat (executeur
testamentair), seorang kurator atas harta peninggalan yang tidak terurus dan penyewa
dari benda warisan.

2. Dasar Hukum Kewarisan Barat


Dasar Hukum Kewarisan Barat. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW),
terutama Pasal 528, berbunyi “Atas suatu kebendaan, seseorang dapat mempunyai
baik suatu kedudukan berkuasa, baik hak milik, baik hak waris, baik hak pakai, baik
hak pengabdian tanah, baik hak gadai, atau hipotek” Dari pasal tersebut menunjukan
tentang hak waris diidentikan dengan hak kebendaan. Sedangkan ketentuan Pasal 584
menyangkut hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan. Oleh
karenanya ditempatkan dalam Buku II BW (tentang kebendaan).21
3. Asas-asas Hukum Kewarisan Barat
Dalam hukum waris menurut BW memiliki asas-asas antara lain:
a) Hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan
harta benda saja yang dapat diwariskan.
b) Apabila seseorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan
kewajibannya beralih pada ahli warisnya.
Menurut Pasal 830 BW diseutkan adanya asas kematian artinya hanya karena
kematian kewarisan dapat tejadi. Selanjutnya dalam hukum waris BW dikenal 3 (tiga)
sifat yang dianut, antara lain:

❖ Sifat individual adalah suatu asas dimana yang menjadi ahli waris adalah
perorangan bukan kelompok ahli, waris dan kelompok klan, suku atau keluarga.
❖ Sifat bilateral artinya bahwa seseorang tidak hanya mewarisi dari bapak saja,
tetapi juga dari ibu, demikian juga saudara laki-laki mewarisi dari saudara laki-
lakinya, mapun saudara perempuan

21
Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, Dan Bw, 42.

19
❖ Sifat perderajatan artinya ahli waris yang derajatnya dekat denga sipewaris
menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya, maka untuk memermudah
perhitungan diadakan penggolongan-penggolongan ahli waris.
Permasalahan Seputar Sistem Kewarisan Adat

Permasalahan pertama seputar system kewarisan adat yaitu Mengapa hukum


waris di Indonesia masih bersifat pluralisme. Hal ini dikarenakan Pluralism waris di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat Indonesia yang sangat plural
dan beragam. Munculnya pluralisme hukum waris di Indonesia disebabkan karena faktor
historis bangsa indonesia yang mempunyai perbedaan suku, bahasa, budaya, agama dan
ras. Pengaruh dari teori receptie pada zaman Belanda di Indonesia di mana sampai saat
ini hukum waris masih bersifat pluralisme, setidaknya terdapat tiga sistem hukum yang
hidup dan berkembang serta diakui keberadaannya, yakni sistem Hukum Adat, sistem
Hukum Islam dan sistem Hukum Barat.

Pada prinsipnya ketiga hukum waris ini sama yaitu sama-sama mengatur
peralihan hak atas harta benda pewaris kepada ahli waris dari si-pewaris. Walaupun dalam
prakteknya terjadi perbedaan karena hukum Islam dan hukum waris barat (BW)
menentukan syarat adanya kematian, sedangkan hukum adat berdasarkan sistem
keturunan. Dalam hukum Islam dan hukum waris barat (BW) pembagian harta warisan
dapat dilakukan setelah pewaris meninggal dunia, sedangkan hukum adat, pembagian
harta warisan dapat dilakukan selagi pewaris masih hidup.

Permasalahan kedua yakni biasanya Dalam hukum adat Batak dikatakan bahwa
janda bukanlah ahli waris suaminya, kenapa bisa demikian dan sebenarnya bagaimana
kedudukan janda dalam sistem waris hukum adat Batak. Masyarakat Batak merupakan
masyarakat patrilineal murni, yang berarti setiap orang yang dalam masyarakat itu
menarik garis keturunan ke atas hanya melalui penghubung laki-laki saja, Menurut
hukum adat Batak, bahwa janda bukanlah ahli waris dari suaminya. Hal ini berdasarkan
pertimbangan bahwa janda tidak mempunyai hubungan darah dengan suaminya, sehingga
janda tidak mempunyai hak untuk mewaris, karena yang menjadi ahli waris pada
masyarakat Batak hanya anak laki-laki.

Didalam hukum adat Batak yang tradi- sional, menempatkan kedudukan suami
lebih kuat daripada istri didalam kehidupan rumah tangga. Kedudukan janda dalam

20
hukum waris adat Batak menurut kaidah adat masyarakat Batak, tidak memberi peluang
kepada janda untuk mewarisi harta peninggalan suaminya. Meskipun masyarakat Batak
menganut sistem kewarisan individual, dimana dalam sistem ini harta peninggalan akan
dibagi kepada ahli waris sesuai dengan bagian masing- masing, tetapi hanya anak laki-
laki yang berhak mendapatkan bagian dari harta peninggalan tersebut.

Permasalahan Ketiga memunculkan sebuah pertanyaan yakni, Apakah sistem


pewarisan adat dan sistem pewarisan Islam memiliki kesamaan dalam mengatur harta
waris? Mencakup jumlah harta pembagian. Jika iya memiliki persamaan sebutkan
persamaan tersebut dan jika terdapat perbedaan jelaskan perbedaannya. Persamaan antara
hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat adalah sama-sama membicarakan
tentang : Pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli
waris yang masih hidup; Asas bilateral dan asas individual; Sistem individual;
Kedudukan dan menempatkan anak dan keturunannya sebagai ahli waris utama; Harta
benda pewaris yang akan diwariskan kepada ahli waris, baik itu harta asal maupun harta
bersama.

Adapun Perbedaan antara hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat
adalah : Dalam hukum kewarisan Islam, suatu kewarisan mengandung arti proses
pewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Sedangkan
dalam hukum kewarisan adat, proses peralihan harta ini tidak terikat terhadap
meninggalnya pewaris; Dalam hukum kewarisan Islam dikenal asas ijibari dan asas
kematian, sedangkan dalam hukum kewarisan adat, seorang pewaris berhak untuk
memberikan sesuatu harta kepada ahli warisnya ketika pewaris masih hidup; Di dalam
hukum kewarisan Islam dikenal sistem kewarisan secara individual bilateral. Sedangkan
dalam hukum kewarisan adat, selain sistem pewarisan individual, juga dikenal sistem
kolektif dan mayorat.

Pembagian warisan dalam hukum Islam sudah diatur secara rinci berdasarkan Al-
Qur’an, Hadis, dan Ijtihad Ulama mengenai bagian-bagian yang didapat oleh ahli waris.
Pembagian warisan dalam hukum adat tidak memakai perhitungan matematika seperti
dalam hukum waris Islam. Tetapi dengan cara muswarah keluarga dan selalu didasarkan
atas pertimbangan mengingat wujud benda dan kebutuhan ahli waris bersangkutan. Dan

21
pembagian warisan menurut hukum adat berbeda-beda tergantung hukum adat daerah
masing-masing.

22
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum waris adat menunjukkan corak-corak yang khas dari alam pikiran
tradisional bangsa Indonesia. Hukum waris adat ini bersendi atas prinsip yang timbul
dari alam pikiran komunal serta kongkret bangsa Indonesia. Dalam hukum pewarisan
adat terdapat system keturunan patrilineal, matrilineal dan parental. Sistem pewarisan
individual adalah sistem pewarisan dimana semua ahli waris mendapatkan bagian
untuk dapat menguasai dan memiliki harta warisan. Sehingga masing-masing ahli
waris memiliki hak untuk menggunakan, mengolah, dan menikmati hasilnya atau juga
hak untuk mentransaksikan.

Sistem pewarisan kolektif yakni di mana harta peninggalan diteruskan dan


dialihkan pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan yang tidak
terbagi-bagi penguasaannya dan pemilikannya. Oleh sebab itu, ahli waris berhak untuk
mengusahakan menggunakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan tersebut.

Sistem pewarisan mayorat ini sebenarnya juga merupakan sistem pewarisan


kolektif, hanya saja pengalihan dan penguasaan atas yang tidak terbagi-bagi itu
dilimpahkan kepada anak tertua (dari sistem mayorat laki-laki atau sistem mayorat
perempuan) yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga
menggantikan kedudukanya sebagai orangtua (ayah atau ibu) sebagai kepala keluarga.

Sistem hukum warisan Islam sebagai bagian dari sistem syari’at merupakan
dalam aspek sistem hukum mu’amalah atau juga dalam lingkungan hukum perdata.
Dalam ajaran Islam hukum warisan ini tidak dapat dipisahkan dengan hukum Islam
dan ibadah. Hukum waris menurut BW berlaku asas: “apabila seseorang meninggal
dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajiban beralih kepada ahli
warisnya”. Hak-hak dan kewajiban dimaksud, yang beralih kepada ahli waris

23
DAFTAR PUSTAKA
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama Hindu, Islam. ( P.T. Aditya Bhakti, Bandung 1991).
Ellyne Dwi Poespasari, Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Pewarisan Ditinjau Dari
Sistem Hukum Kekerabatan Adat, Jurnal Perspektif, Vol. Xix No. 3, 2014, Hlm.
212-222.
Bambang Danu Nugroho, Hukum Adat, (Bandung: Refika Aditama, 2015).
Yelia Nathassa Winstar, Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat
Minangkabau, Jurnal Hukum Dan Pembangunan, Vol. 37, No. 2, 2007.
Ellyne Dwi Poespasari, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat Di Indonesia, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018).
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Kekerabatan Adat (Fajar Agung, 1993).
Bravo Nangka, “Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Hukum Waris Adat Berdasarkan
Sistem Kekerabatan,” Lex Privatum 7, No. 3 (October 21, 2019),
Https://Ejournal.Unsrat.Ac.Id/Index.Php/Lexprivatum/Article/View/25923.
Fadlih Rifenta And Tonny Ilham Prayogo, “Nilai Keadilan Dalam Sistem Kewarisan
Islam,” Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam 13, No. 1 (June 25, 2019): 113,
Https://Doi.Org/10.24090/Mnh.V0i1.2117.
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, Dan Bw
(Bandung: Pt Refika Aditama, 2007).
Dwi Putra Jaya, Hukum Kewarisan Di Indonesia, 1st Ed. (Bengkulu: Zara Abadi, 2020),.
“Sistem Waris Dalam Perspektif Islam Dan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia
| Wahyuni | Salam: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I,” 155, Accessed November
11, 2022, Https://Journal.Uinjkt.Ac.Id/Index.Php/Salam/Article/View/9412.
Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, Dan Bw.

24

Anda mungkin juga menyukai