NIP : 197604142002122003
Disusun Oleh :
NIM : 220200423
FAKULTAS HUKUM
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan
Sebagai penyusun, penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu,
penulis dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar penulis
Penulis berharap semoga makalah yang penulis susun ini memberikan manfaat dan
Penulis
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Hukum adat merupakan salah satu sumber hukum yang penting dalam rangka
Indonesia perlu dimasukkan ke dalam peraturan hukum baru agar hukum yang
baru itu sesuai dengan dasar keadilan dan perasaan hukum masyarakat Indonesia.
pasti menghendaki pemecahan atau solusi yang secepat dan segera mungkin
kewarisan yakni hukum kewarisan Perdata Barat, Islam dan Adat. Hal ini
kekerabatan dari masyarakat itu sendiri, setiap hukum waris adat dipengaruhi oleh
menjadi 3 (tiga), yaitu sistem patrilinial, sistem matrilineal, dan sistem parental
Hukum waris adat terkait erat dengan hukum kekerabatan dan hukum
perkawinan. Pembentukan hukum waris adat suatu masyarakat tidak terlepas dari
Oleh sebab itu, dalam membicarakan masalah pewarisan harus dibahas pula
sejak dahulu kala sebelum masuknya ajaran Hindu, Islam, dan Kristen. Sistem
hukum adat. Secara teoritis sistem keturunan dapat dibedakan dalam 3 (tiga)
corak, yaitu : 3
1. Sistem patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik mulai garis bapak,
1
Hilman Hadikusuma, Op-cit, hal 23
2
Soerojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masaagung,
Jakarta, 1994, hal 165.
3
Hilman Hadikusuma, Op-cit, hal 8
2. Sistem matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu.
3. Sistem parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik melalui
garis orangtua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan
Kedudukan janda dalam hukum waris adat dengan sistem patrilinial seperti didaerah
Batak, Lampung dan Bali hanya mengenal bahwa anak laki-laki atau keturunan laki-
laki yang berhak menjadi ahli waris, sehingga janda bukan merupakan ahli waris dari
2. Apa saja sumber pemenuhan hak nafkah bagi istri jika terjadi kematian suami
kematian suami
BAB II
PEMBAHASAN
kedudukan perempuan. Oleh karena itu, keturunan laki-laki dianggap sebagai ahli
waris, sebagai penerus keturunan, sebagai penerus marga (Batak). Sistem kekerabatan
ini terdapat di Gayo, Alas, Batak Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara dan
Papua.
Masyarakat yang bertipe patrilinial, yang berarti setiap orang menarik garis keturunan
ke atas hanya melalui penghubung laki-laki saja, sampai kepada seorang laki-laki
yang merupakan moyang asal mereka. Pada masyarakat patrilinial menganut sistem
Sehubungan dengan itu, belum tentu benda jujur itu selalu barang yang mahal dan
bernilai tinggi, akan tetapi yang pasti benda itu harus dapat mengimbangi kedudukan
Kedudukan janda dalam hukum waris adat mempunyai kedudukan yang bervariasi,
hal ini disebabkan karena hukum adat sebagai hukum asli Indonesia tersebut
mengenal beberapa stelsel kekeluargaan yang berbeda satu dengan yang lainnya
4
Ellyne Dwi Poespasari, Op-cit, hal. 51
sehingga menempatkan janda dan duda dengan peran yang berbeda-beda pula.
Batak, Lampung dan Bali. Mereka hanya mengenal, bahwa anak laki-laki atau
keturunan laki-lakilah yang berhak menjadi ahli waris, sehingga janda dalam sistem
kekerabatan tersebut bukan merupakan ahli waris dari almarhum suaminya, namun
menyatakan, bahwa perkawinan dapat putus karena kematian atau perceraian, dan
perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama yang diperoleh selama
perkawinan diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37) dan baik ibu
Putusnya perkawinan , maka akan menjadikan kedudukan suami menjadi duda dan
Kedudukan janda dalam hukum adat dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu pertama,
kedudukan janda karena kematian suami; dan kedua kedudukan janda karena
perceraian (putusan Hakim). Perkawinan antara suami dan istri tersebut dapat putus
karena kematian, namun hubungan sebagai akibat perkawinan di antara kerabat para
5
Ellyne Dwi Poespasari, Ibid, hal. 52.
6
Lihat Pasal 37 dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
pihak bersangkutan tidak putus, apalagi jika dari perkawinan tersebut mempunyai
keturunan.
perkawinannya memakai jujur, setelah suaminya meninggal dunia, istri (janda) tetap
berkedudukan di tempat kerabat suaminya, walaupun janda bukan ahli waris dari
almarhum suaminya. Kedudukan janda baik yang mempunyai keturunan sama saja, ia
tidak boleh kembali lagi pada kerabat asalnya dan janda tidak bebas melakukan sikap
tindakannya, oleh karena segala sesuatunya harus mendapat persetujuan dari pihak
2.2 Sumber Pemenuhan Hak Nafkah Bagi Istri Jika Terjadi Kematian Suami
Soerjono Soekanto menyatakan, bahwa janda tidak mendapat bagian dari harta
peninggalan suami, tetapi janda berhak menarik penghasilan dari harta tersebut, jika
perlu seumur hidup janda. Apabila untuk nafkahnya janda itu dapat pula diberi bagian
sekaligus dari harta peninggalan suaminya. Oleh sebab itu, untuk nafkah ini
nafkah, maka ahli waris dapat menunjuk supaya barang-barang harta asal dari
7
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hal. 30
Jika barang gono-gini tidak mencukupi untuk nafkah, maka barang asal dari suami
dapat dipakai untuk keperluan hidup janda. Harta peninggalan dibagi-bagi asal janda
terpelihara dalam hidupnya, misalnya janda sudah dapat pewarisan atau nafkah
dijamin oleh beberapa waris. Apabila janda kawin lagi, ia keluar dari rumah tangga
almarhum suami dan ia masuk dalam rumah tangga baru. Dalam hal ini barang gono-
gini dapat dibagi-bagi antara janda yang kawin lagi. Dengan demikian, kedudukan
janda adalah kuat walaupun janda bukan sebagai ahli waris, karena janda terjamin
hak-haknya.
Pada masyarakat adat Batak yang bersifat patrilinial dengan bentuk perkawinan jujur,
apabila seorang suami meninggal dunia, maka istrinya tidak diperbolehkan kembali
pada kerabat asalnya, istri tetap bertempat tinggal di rumah kerabat suami atau
kehidupan janda dan anak-anaknya, sehingga dengan adanya pengaruh pada waktu
sendiri, sehingga apabila suaminya meninggal dunia, janda tetap berada di bawah
kuasa suaminya, janda tidak diperbolehkan kembali kepada kerabat asal, karena
kedudukan istri atau janda bukan lagi warga adat dari kekerabatan asalnya.
suaminya, dan janda tidak boleh mengundurkan diri. Oleh sebab itu, janda dianjurkan
kawin dengan kerabat mendiang atau almarhum suaminya (Batak Toba: Paraekhon).
Dalam bentuk perkawinan ganti suami, biasanya terjadi karena suaminya meninggal
dunia atau hilang, maka setelah perkawinan dengan suaminya yang baru
M. Yahya Harahap8 menyatakan bahwa janda bukan ahli waris, oleh karena itu dia
tidak mempunyai hak dan kedudukan untuk mewaris harta peninggalan suami
peninggalan kepada anak perempuan atau janda, mereka berstatus bukan ahli waris:
keturunan melalui faktor genealogis, tentu saja hal ini membawa pengaruh terhadap
adat yang ada dalam masyarakat tersebut. Menurut hukum waris adat, janda tidak
dapat mewaris karena janda tidak mempunyai hubungan darah dengan suaminya.
Masyarakat Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang
berbeda pula. Sistem kekerabatan ini sudah berlaku sejak dahulu sebelum masuknya
ajaran agama Hindu, Islam, Kristen dan Budha, sehingga membawa pengaruh dalam
sistem pewarisan hukum adat. Pada masyarakat Batak yang merupakan masyarakat
8
M Yahya Harahap, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam Hukum Adat, Citra Aditya Bakti ,
Bandung, 1993, hal. 100.
sebelumnya akan diadakan suatu rapat, yaitu rapat hasirangan. Rapat ini bertujuan
untuk menentukan siapa yang bersalah dan akan dibicarakan mengenai harta bersama.
Akan tetapi, apabila putusnya perkawinan disebabkan oleh kematian maka timbullah
Suami
bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarga. Hal ini dapat menyebabkan istri yang
ditinggal mati oleh suami merasa tidak berhak atas nafkah dari harta peninggalan
suami.
Selain itu, norma-norma sosial dalam masyarakat patrilineal juga dapat memandang
istri sebagai tanggung jawab keluarga suami. Hal ini dapat menyebabkan istri yang
ditinggal mati oleh suami harus kembali ke keluarga asalnya dan bergantung pada
mereka.
yang dapat memengaruhi hak nafkah bagi istri dalam konteks kematian suami:
Norma bahwa laki-laki adalah kepala keluarga
bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarga. Hal ini dapat menyebabkan istri yang
ditinggal mati oleh suami merasa tidak berhak atas nafkah dari harta peninggalan
suami.
Hal ini terjadi karena istri dianggap sebagai bagian dari keluarga suami dan tanggung
jawab suami. Dengan meninggalnya suami, maka tanggung jawab tersebut beralih ke
keluarga suami. Akibatnya, istri merasa bahwa dia tidak berhak untuk menuntut
Dalam masyarakat patrilineal, istri juga dianggap sebagai tanggung jawab keluarga
suami. Hal ini dapat menyebabkan istri yang ditinggal mati oleh suami harus kembali
Hal ini terjadi karena istri dianggap sebagai bagian dari keluarga suami dan tanggung
jawab keluarga suami. Dengan meninggalnya suami, maka tanggung jawab tersebut
beralih ke keluarga suami. Akibatnya, istri harus kembali ke keluarga asalnya untuk
Norma ini dapat menyebabkan istri yang ditinggal mati oleh suami merasa tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Akibatnya, istri mungkin akan
Norma ini juga dapat menyebabkan istri merasa malu untuk menuntut nafkah dari
harta peninggalan suami. Istri mungkin akan merasa bahwa dia tidak pantas untuk
Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk mengubah norma-norma sosial yang
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada awalnya kedudukan janda atau duda tidak mewaris harta dalam
akibat perkembangan zaman dari hukum adat itu sendiri. Kedudukan janda
dan duda dapat dilihat dari sistem kekerabatannya, yaitu sistem kekerabatan
dalam hukum waris adat dengan sistem patrilinial seperti didaerah Batak,
Lampung dan Bali hanya mengenal bahwa anak laki-laki atau keturunan laki-
laki yang berhak menjadi ahli waris, sehingga janda bukan merupakan ahli
3.2 Saran
Kedudukan janda dan duda dalam hukum adat bukan ahli waris dari harta
peninggalan suami atau istri yang meninggal, akan tetapi mereka berhak
mendapat bagian dari harta peninggalan suami atau istri bersama-sama dengan
ahli waris lainnya atau menahan pembagian harta peninggalan itu bagi biaya
Berikut adalah beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengubah norma-
Pendidikan
Pemberdayaan Perempuan
sendiri.
Perubahan Kebijakan
perempuan, termasuk hak nafkah bagi istri dalam konteks kematian suami.
Dengan mengubah norma-norma sosial yang diskriminatif terhadap
perempuan, maka hak nafkah bagi istri dalam konteks kematian suami dapat
Ali Zainudin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1992.
Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983. dan
Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K,Ng Soebakti