Anda di halaman 1dari 18

HAK NAFKAH BAGI ISTRI JIKA TERJADI KEMATIAN SUAMI

DALAM KEKERABATAN PATRILINEAL

Dosen Pengampu : Dr. Idha Aprilyana Sembiring, S.H., M. Hum

NIP : 197604142002122003

Disusun Oleh :

Nama : Juliana Elsa Fitri Br Banjar Nahor

NIM : 220200423

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah tentang "Hak Nafkah

Bagi Istri Jika Terjadi Kematian Suami dalam Kekerabatan Patrilineal".

Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan

bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari

penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu,

penulis dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar penulis

dapat memperbaiki makalah ini.

Penulis berharap semoga makalah yang penulis susun ini memberikan manfaat dan

juga inspirasi untuk pembaca.

Medan, 10 Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................ Error! Bookmark not defined.


DAFTAR ISI ............................................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB I PENDAHULUAN ........................................................... Error! Bookmark not defined.
1.1 Latar Belakang ................................................................. Error! Bookmark not defined.
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................................4
2.1 Kedudukan Janda dalam Sistem Kekerabatan Patrilineal ........................................4
2.2 Sumber Pemenuhan Hak Nafkah Bagi Istri Jika Terjadi Kematian Suami
dalam Kekerabatan Patrilineal ............................................. Error! Bookmark not defined.
2.3 Norma-Norma Sosial dalam Masyarakat yang Menganut Sistem
Kekerabatan Patrilineal Memengaruhi Hak Nafkah Bagi Istri dalam
kematian Suami ....................................................................................................................9
BAB III PENUTUP ................................................................................................................12
3.1 Kesimpulan dan Saran .................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................15
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum adat merupakan salah satu sumber hukum yang penting dalam rangka

pembangunan hukum nasional yang menuju kea rah peraturan perundang-

undangan. Unsur-unsur kejiwaan hukum adat yang berisikan kepribadian bangsa

Indonesia perlu dimasukkan ke dalam peraturan hukum baru agar hukum yang

baru itu sesuai dengan dasar keadilan dan perasaan hukum masyarakat Indonesia.

Beragam permasalahan yang timbul dalam kehidupan masyarakat tersebut sudah

pasti menghendaki pemecahan atau solusi yang secepat dan segera mungkin

dalam rangka menjaga kenyamanan dan ketenteraman itu sendiri.

Indonesia belum mempunyai UndangUndang Hukum Waris Nasional yang

berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehubungan dengan belum adanya

undang-undang tersebut, di Indonesia masih diberlakukan 3 (tiga) sistem hukum

kewarisan yakni hukum kewarisan Perdata Barat, Islam dan Adat. Hal ini

disebabkan sifat pluralisme suku bangsa dan warga negara Indonesia.

Hukum waris suatu golongan masyarakat sangat dipengaruhi oleh bentuk

kekerabatan dari masyarakat itu sendiri, setiap hukum waris adat dipengaruhi oleh

adanya sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan di Indonesia dapat dibedakan

menjadi 3 (tiga), yaitu sistem patrilinial, sistem matrilineal, dan sistem parental

atau parental. Sistem kekerabatan ini berpengaruh dan sekaligus membedakan


masalah hukum pewarisan, disamping itu juga antara sistem kekerabatan yang

satu dengan yang lain dalam hal perkawinan.1

Hukum waris adat terkait erat dengan hukum kekerabatan dan hukum

perkawinan. Pembentukan hukum waris adat suatu masyarakat tidak terlepas dari

pengaruh hukum kekerabatan dan hukum perkawinan. Menurut Soerojo

Wignjodipuro menyatakan, bahwa hukum waris adat sangatlah erat hubungannya

dengan sifat-sifat kekeluargaan dari masyarakat hukum yang bersangkutan, serta

berpengaruh pada harta kekayaan yang ditinggalkan dalam masyarakat tersebut.

Oleh sebab itu, dalam membicarakan masalah pewarisan harus dibahas pula

tentang hukum kekerabatan dan hukum perkawinan masyarakat.2

Dalam hal sistem kekeluargaan tersebut Hilman Hadikusuma menyebutkannya

dengan istilah sistem keturunan. Di Indonesia sistem keturunan sudah berlaku

sejak dahulu kala sebelum masuknya ajaran Hindu, Islam, dan Kristen. Sistem

keturunan yang berbeda-beda tampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan

hukum adat. Secara teoritis sistem keturunan dapat dibedakan dalam 3 (tiga)

corak, yaitu : 3

1. Sistem patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik mulai garis bapak,

dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan

perempuan di dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru,

Seram, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya);

1
Hilman Hadikusuma, Op-cit, hal 23
2
Soerojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masaagung,
Jakarta, 1994, hal 165.
3
Hilman Hadikusuma, Op-cit, hal 8
2. Sistem matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu.

dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan laki-

laki di dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano, dan Timor);

3. Sistem parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik melalui

garis orangtua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan

laki-laki dan perempuan tidak dibedakan di dalam pewarisan.

Kedudukan janda dalam hukum waris adat dengan sistem patrilinial seperti didaerah

Batak, Lampung dan Bali hanya mengenal bahwa anak laki-laki atau keturunan laki-

laki yang berhak menjadi ahli waris, sehingga janda bukan merupakan ahli waris dari

almarhum suaminya, namun janda merupakan penghubung atau jembatan pewarisan

dari bapak kepada anak-anaknya yang laki-laki.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana kedudukan janda dalam sistem kekerabatan patrilineal?

2. Apa saja sumber pemenuhan hak nafkah bagi istri jika terjadi kematian suami

dalam kekerabatan patrilineal?

3. Apakah norma-norma sosial dalam masyarakat yang menganut sistem

kekerabatan patrilineal memengaruhi hak nafkah bagi istri dalam konteks

kematian suami
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kedudukan Janda dalam Sistem Kekerabatan Patrilineal

Sistem kekerabatan patrilinial yang ditarik menurut garis keturunan laki-laki

(kebapakan), dimana kedudukan laki-laki lebih menonjol pengaruhnya dari pada

kedudukan perempuan. Oleh karena itu, keturunan laki-laki dianggap sebagai ahli

waris, sebagai penerus keturunan, sebagai penerus marga (Batak). Sistem kekerabatan

ini terdapat di Gayo, Alas, Batak Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara dan

Papua.

Masyarakat yang bertipe patrilinial, yang berarti setiap orang menarik garis keturunan

ke atas hanya melalui penghubung laki-laki saja, sampai kepada seorang laki-laki

yang merupakan moyang asal mereka. Pada masyarakat patrilinial menganut sistem

perkawinan jujur, dimana pihak kerabat laki-laki memberikan barang/uang jujur.

Sehubungan dengan itu, belum tentu benda jujur itu selalu barang yang mahal dan

bernilai tinggi, akan tetapi yang pasti benda itu harus dapat mengimbangi kedudukan

perempuan itu di dalam keluarganya.4

Kedudukan janda dalam hukum waris adat mempunyai kedudukan yang bervariasi,

hal ini disebabkan karena hukum adat sebagai hukum asli Indonesia tersebut

mengenal beberapa stelsel kekeluargaan yang berbeda satu dengan yang lainnya

4
Ellyne Dwi Poespasari, Op-cit, hal. 51
sehingga menempatkan janda dan duda dengan peran yang berbeda-beda pula.

Misalnya, dalam kehidupan kekerabatan yang berstelsel patrilinial seperti di daerah

Batak, Lampung dan Bali. Mereka hanya mengenal, bahwa anak laki-laki atau

keturunan laki-lakilah yang berhak menjadi ahli waris, sehingga janda dalam sistem

kekerabatan tersebut bukan merupakan ahli waris dari almarhum suaminya, namun

janda merupakan penghubung atau jembatan pewarisan dari bapak kepada

anakanaknya yang laki-laki.5

Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang

menyatakan, bahwa perkawinan dapat putus karena kematian atau perceraian, dan

atas putusan Pengadilan. Undang-Undang tersebut tidak menjelaskan bagaimana

akibat putusnya perkawinan karena kematian, yang ditetapkan adalah apabila

perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama yang diperoleh selama

perkawinan diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37) dan baik ibu

maupun bapak tetap berkewajiban, memelihara dan mendidik anak-anaknya.

Putusnya perkawinan , maka akan menjadikan kedudukan suami menjadi duda dan

kedudukan istri menjadi janda.6

Kedudukan janda dalam hukum adat dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu pertama,

kedudukan janda karena kematian suami; dan kedua kedudukan janda karena

perceraian (putusan Hakim). Perkawinan antara suami dan istri tersebut dapat putus

karena kematian, namun hubungan sebagai akibat perkawinan di antara kerabat para

5
Ellyne Dwi Poespasari, Ibid, hal. 52.
6
Lihat Pasal 37 dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
pihak bersangkutan tidak putus, apalagi jika dari perkawinan tersebut mempunyai

keturunan.

Kedudukan janda di masyarakat adat Batak, Lampung dan Bali bentuk

perkawinannya memakai jujur, setelah suaminya meninggal dunia, istri (janda) tetap

berkedudukan di tempat kerabat suaminya, walaupun janda bukan ahli waris dari

almarhum suaminya. Kedudukan janda baik yang mempunyai keturunan sama saja, ia

tidak boleh kembali lagi pada kerabat asalnya dan janda tidak bebas melakukan sikap

tindakannya, oleh karena segala sesuatunya harus mendapat persetujuan dari pihak

kerabat almarhum suaminya.

2.2 Sumber Pemenuhan Hak Nafkah Bagi Istri Jika Terjadi Kematian Suami

dalam Kekerabatan Patrilineal

Soerjono Soekanto menyatakan, bahwa janda tidak mendapat bagian dari harta

peninggalan suami, tetapi janda berhak menarik penghasilan dari harta tersebut, jika

perlu seumur hidup janda. Apabila untuk nafkahnya janda itu dapat pula diberi bagian

sekaligus dari harta peninggalan suaminya. Oleh sebab itu, untuk nafkah ini

disediakan harta gono-gini, jika barang-barang tersebut tidak mencukupi untuk

nafkah, maka ahli waris dapat menunjuk supaya barang-barang harta asal dari

peninggalan harta diterimakan kepada mereka.7

7
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hal. 30
Jika barang gono-gini tidak mencukupi untuk nafkah, maka barang asal dari suami

dapat dipakai untuk keperluan hidup janda. Harta peninggalan dibagi-bagi asal janda

terpelihara dalam hidupnya, misalnya janda sudah dapat pewarisan atau nafkah

dijamin oleh beberapa waris. Apabila janda kawin lagi, ia keluar dari rumah tangga

almarhum suami dan ia masuk dalam rumah tangga baru. Dalam hal ini barang gono-

gini dapat dibagi-bagi antara janda yang kawin lagi. Dengan demikian, kedudukan

janda adalah kuat walaupun janda bukan sebagai ahli waris, karena janda terjamin

hak-haknya.

Pada masyarakat adat Batak yang bersifat patrilinial dengan bentuk perkawinan jujur,

apabila seorang suami meninggal dunia, maka istrinya tidak diperbolehkan kembali

pada kerabat asalnya, istri tetap bertempat tinggal di rumah kerabat suami atau

dirumahnya sendiri, apabila dalam perkawinannya mempunyai sebuah rumah.

Kerabat mendiang suaminya tidak boleh memperlakukan janda dan anakanaknya

semaunya sendiri, kerabat mendiang suaminya harus bertanggung jawab atas

kehidupan janda dan anak-anaknya, sehingga dengan adanya pengaruh pada waktu

perkawinannya dengan memberi uang jujur, maka dilepaskannya dari kelompoknya

sendiri, sehingga apabila suaminya meninggal dunia, janda tetap berada di bawah

kuasa suaminya, janda tidak diperbolehkan kembali kepada kerabat asal, karena

kedudukan istri atau janda bukan lagi warga adat dari kekerabatan asalnya.

Sepeninggal suami, janda berada di bawah kuasa kelompok kerabat mendiang

suaminya, dan janda tidak boleh mengundurkan diri. Oleh sebab itu, janda dianjurkan

kawin dengan kerabat mendiang atau almarhum suaminya (Batak Toba: Paraekhon).
Dalam bentuk perkawinan ganti suami, biasanya terjadi karena suaminya meninggal

dunia atau hilang, maka setelah perkawinan dengan suaminya yang baru

menggantikan kedudukan suaminya yang meninggal dunia atau hilang.

M. Yahya Harahap8 menyatakan bahwa janda bukan ahli waris, oleh karena itu dia

tidak mempunyai hak dan kedudukan untuk mewaris harta peninggalan suami

maupun harta peninggalan bapaknya. Meskipun hukum memberikan harta

peninggalan kepada anak perempuan atau janda, mereka berstatus bukan ahli waris:

1. Janda dengan atau tanpa anak laki-laki, tidak dapat mewaris.

2. Janda dengan anak perempuan hanya diberi hak mengelola.

3. Dalam stelsel patrilinial tidak dikenal harta bersama.

Masyarakat Batak merupakan salah satu masyarakat yang mendasarkan garis

keturunan melalui faktor genealogis, tentu saja hal ini membawa pengaruh terhadap

adat yang ada dalam masyarakat tersebut. Menurut hukum waris adat, janda tidak

dapat mewaris karena janda tidak mempunyai hubungan darah dengan suaminya.

Masyarakat Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang

berbeda-beda mempunyai bentuk kekerabatan dengan sistem kekerabatan yang

berbeda pula. Sistem kekerabatan ini sudah berlaku sejak dahulu sebelum masuknya

ajaran agama Hindu, Islam, Kristen dan Budha, sehingga membawa pengaruh dalam

sistem pewarisan hukum adat. Pada masyarakat Batak yang merupakan masyarakat

patrilinial murni, apabila putusnya perkawinan disebabkan karena perceraian, maka

8
M Yahya Harahap, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam Hukum Adat, Citra Aditya Bakti ,
Bandung, 1993, hal. 100.
sebelumnya akan diadakan suatu rapat, yaitu rapat hasirangan. Rapat ini bertujuan

untuk menentukan siapa yang bersalah dan akan dibicarakan mengenai harta bersama.

Akan tetapi, apabila putusnya perkawinan disebabkan oleh kematian maka timbullah

persoalan waris dan pemeliharaan atas anak.

2.3 Norma-Norma Sosial dalam Masyarakat yang Menganut Sistem

Kekerabatan Patrilineal Memengaruhi Hak Nafkah Bagi Istri dalam kematian

Suami

Dalam masyarakat patrilineal, laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga dan

bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarga. Hal ini dapat menyebabkan istri yang

ditinggal mati oleh suami merasa tidak berhak atas nafkah dari harta peninggalan

suami.

Selain itu, norma-norma sosial dalam masyarakat patrilineal juga dapat memandang

istri sebagai tanggung jawab keluarga suami. Hal ini dapat menyebabkan istri yang

ditinggal mati oleh suami harus kembali ke keluarga asalnya dan bergantung pada

mereka.

Berikut adalah beberapa contoh norma-norma sosial dalam masyarakat patrilineal

yang dapat memengaruhi hak nafkah bagi istri dalam konteks kematian suami:
Norma bahwa laki-laki adalah kepala keluarga

Dalam masyarakat patrilineal, laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga dan

bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarga. Hal ini dapat menyebabkan istri yang

ditinggal mati oleh suami merasa tidak berhak atas nafkah dari harta peninggalan

suami.

Hal ini terjadi karena istri dianggap sebagai bagian dari keluarga suami dan tanggung

jawab suami. Dengan meninggalnya suami, maka tanggung jawab tersebut beralih ke

keluarga suami. Akibatnya, istri merasa bahwa dia tidak berhak untuk menuntut

nafkah dari harta peninggalan suami.

Norma bahwa istri adalah tanggung jawab keluarga suami

Dalam masyarakat patrilineal, istri juga dianggap sebagai tanggung jawab keluarga

suami. Hal ini dapat menyebabkan istri yang ditinggal mati oleh suami harus kembali

ke keluarga asalnya dan bergantung pada mereka.

Hal ini terjadi karena istri dianggap sebagai bagian dari keluarga suami dan tanggung

jawab keluarga suami. Dengan meninggalnya suami, maka tanggung jawab tersebut

beralih ke keluarga suami. Akibatnya, istri harus kembali ke keluarga asalnya untuk

mendapatkan dukungan dan perlindungan.


Norma bahwa perempuan harus bergantung pada laki-laki

Norma ini dapat menyebabkan istri yang ditinggal mati oleh suami merasa tidak

mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Akibatnya, istri mungkin akan

menerima nafkah dari keluarga suami atau kembali ke keluarga asalnya.

Norma ini juga dapat menyebabkan istri merasa malu untuk menuntut nafkah dari

harta peninggalan suami. Istri mungkin akan merasa bahwa dia tidak pantas untuk

mendapatkan nafkah dari suami yang telah meninggal.

Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk mengubah norma-norma sosial yang

diskriminatif terhadap perempuan, termasuk norma-norma sosial yang dapat

memengaruhi hak nafkah bagi istri dalam konteks kematian suami.


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pada awalnya kedudukan janda atau duda tidak mewaris harta dalam

perkawinannya, tetapi dalam perkembangannya janda dan duda dapat mewaris

akibat perkembangan zaman dari hukum adat itu sendiri. Kedudukan janda

dan duda dapat dilihat dari sistem kekerabatannya, yaitu sistem kekerabatan

patrilinial, matrilineal dan parental atau bilateral. Sistem kekerabatan

patrilinial yang ditarik menurut garis keturunan laki-laki. Kedudukan janda

dalam hukum waris adat dengan sistem patrilinial seperti didaerah Batak,

Lampung dan Bali hanya mengenal bahwa anak laki-laki atau keturunan laki-

laki yang berhak menjadi ahli waris, sehingga janda bukan merupakan ahli

waris dari almarhum suaminya, namun janda merupakan penghubung atau

jembatan pewarisan dari bapak kepada anak-anaknya yang laki-laki.

3.2 Saran

Kedudukan janda dan duda dalam hukum adat bukan ahli waris dari harta

peninggalan suami atau istri yang meninggal, akan tetapi mereka berhak

mendapat bagian dari harta peninggalan suami atau istri bersama-sama dengan

ahli waris lainnya atau menahan pembagian harta peninggalan itu bagi biaya

hidupnya seterusnya, peraturan ini hendaknya tetap dipertahankan untuk


menghindari perselisihan dalam keluarga karena pada prinsipnya hukum adat

mempunyai corak musyawarah dan mufakat secara kekeluargaan dalam

menyelesaikan suatu masalah terutama masalah warisan.

Berikut adalah beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengubah norma-

norma sosial tersebut:

Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu upaya yang penting untuk mengubah

norma-norma sosial. Pendidikan dapat memberikan pemahaman kepada

masyarakat tentang kesetaraan gender dan hak-hak perempuan.

Pemberdayaan Perempuan

Pemberdayaan perempuan juga merupakan upaya yang penting untuk

mengubah norma-norma sosial. Pemberdayaan perempuan dapat

meningkatkan kemampuan perempuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

sendiri.

Perubahan Kebijakan

Perubahan kebijakan juga dapat dilakukan untuk mendukung hak-hak

perempuan, termasuk hak nafkah bagi istri dalam konteks kematian suami.
Dengan mengubah norma-norma sosial yang diskriminatif terhadap

perempuan, maka hak nafkah bagi istri dalam konteks kematian suami dapat

terlindungi dengan lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Ali Zainudin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1992.

Hadikusuma Hilman, Hukum Waris Adat, Citra Aditya, Bandung, 1999.

Poespasari Dwi Ellyne, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat Di Indonesia,

Prenada Media Group Jakarta,2018.

Sudiyat Imam, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1990.

Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983. dan

Tjitrosudibio, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Terjemahan Burgelijk

Wetboek, Pradnya Paramita.

Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.

Soekanto S dan Mamudji S, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT

RajaGrafindo Persada, 1995.

Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K,Ng Soebakti

Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999.

Thalib Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI Press, Jakarta,1986.

Vollmar, Hukum Keluarga Menurut KUH Perdata, Tarsito, Bandung, 1990.

Vollmar, Hukum Keluarga Menurut KUH Perdata, Tarsito, Bandung, 1990.

Anda mungkin juga menyukai