Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH SOSIOLOGI KELUARGA

KELUARGA BERDASARKAN GARIS KETURUNAN


MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KELOMPOK 5
MATA KULIAH : SOSIOLOGI KELUARGA
DOSEN PENGAMPU : Faiz Isfahani, M.H.I.

DISUSUN OLEH :
Khairunnisa 0201191012
Nurhidayah Hasibuan 0201191023
Nurul Afifah Salsabila 0201191010

PROGRAM STUDI SI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
TA 2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur khadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dengan karunia-Nya kita masih diberikan nikmat, hidayah serta inayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah kami yang berjudul " keluarga berdasarkan garis keturunan"
selesai dengan tepat waktu.

Penulis juga mengungkapkan terimakasih kepada semua pihak, khususnya Kepada Ibu
Faiz Isfahani, M.H.I. selaku Dosen mata kuliah Sosiologi Keluarga yang telah memberikan arahan
kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini. Tanpa bimbingan dari beliau mungkin kami tidak
dapat menyelesaikan tugas ini sesuai kepenulisan yang benar.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran
dari pembaca untuk makalah ini, agar makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik
lagi kedepannya. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Demikianlah makalah ini kami buat, semoga makalah ini dapat memberi manfaat untuk
pembaca, terimakasih.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Medan, 13 Oktober 2022

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................................................. ii

BAB I ..............................................................................................................................................1

PENDAHULUAN ..........................................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG MASALAH............................................................................................1

B. RUMUSAN MASALAH ...........................................................................................................1

C. TUJUAN PEMBAHASAN ........................................................................................................2

BAB II..............................................................................................................................................3

PEMBAHASAN .............................................................................................................................3

A. PATRILINEAL ...........................................................................................................................3

B. MATRILINEAL..........................................................................................................................4

C. MARGA ......................................................................................................................................5

D. KERABAT ..................................................................................................................................7

E. KELOMPOK DALAM KELUARGA ......................................................................................14

BAB III ..........................................................................................................................................16

PENUTUP .....................................................................................................................................16

A.KESIMPULAN ..........................................................................................................................16

B. SARAN ....................................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Keluarga utamanya terdiri dari hubungan sukarela yang penuh ikatan emosional, nasihat, serta
cerita-cerita tentang kebahagiaan dan kesedihan. Masing-masing dari anggota keluarga saling
berkomunikasi dan bersosialisasi dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk keluarga dalam setiap
masyarakat berbeda antara satu dengan yang lain tergantung dimana keluarga tersebut berada.
Bentuk keluarga mempengaruhi interaksi didalam keluarga, misalkan pengaruhnya pada
bertambah atau berkurangnya keeratan hubungan sosial antar anggota-anggota kelompok dan
sanak keluarga.

keluarga adalah kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang terikat oleh kelahiran,
pernikahan, dan tinggal bersama dalam satu tempat. Keluarga yang terbentuk melalui pernikahan
dan ikatan darah biasanya membentuk suatu keluarga inti (nuclear family). Keluarga inti
merupakan keluarga yang didalamnya terdiri dari dua orang tua biologis (satu ayah dan satu ibu)
yang merawat keturunan biologis maupun adopsi yang tinggal dalam lingkungan yang sama.

Seiring dengan berkembangnya zaman, bentuk keluarga semakin beragam termasuk dalam
keluarga inti sendiri. Indonesia merupakan salah satu negara dengan karakteristik masyarakat yang
majemuk, khususnya jika dilihat dari segi etnis, suku bangsa dan agama. Kemajemukan tersebut
membawa konsekuensi dalam menjalani kehidupan sehari-hari, masyarakat dihadapkan pada
perbedaan dan keragaman dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan
interaksi antar individu.

RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Patrilineal ?
2. Apa yang dimaksud dengan Matrilineal ?
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Marga !
4. Bagaimana sister kekerabatan ?
5. Apa yang dimaksud dengan kelompok dalam keluarga ?

1
TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui arti Patrilineal
2. Untuk mengetahui arti matrilineal
3. Untuk mengetahui maksud dari marga
4. Untuk mengetahui system kekerabatan
5. Untuk mengetahui kelompok dalam keluarga

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Patrilineal

Secara etimologis, Patrilineal berasal dari dua kata, yaitu pater (bahasa Latin) yang berarti
“ayah”, dan linea (bahasa Latin) yang berarti “garis”, jadi “patrilineal” berarti mengikuti garis
keturunan yang ditarik dari pihak ayah. Dimana pada pokoknya adalah suatu sistem yang menarik
garis keturunan dengan menghubungkan dirinya kepada ayah, ke atas kepada ayah dari ayah.1
Prinsip garis keturunan patrilineal atau patrilineal descent menurut Koentjaraningrat
adalah:
.....yang menghitung hubungan kekerabatan melalui orang laki-laki saja, dan karena itu
mengakibatkan bahwa bagi tiap-tiap individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya
masuk di dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya jatuh di
luar batas itu.2
Dalam kekerabatan patrilineal, hak dan kedudukan yang dimiliki suami akan lebih tinggi
daripada hak dan kedudukan istri. Tugas istri dalam keluarga adalah mendampingi dan membantu
suami dalam berumah tangga, meneruskan keturunan dan memelihara baik hubungan kekerabatan
antara keluarga suami dan keluarga istri. Berkaitan dengan harta asal, harta perkawinan, dan harta
pemberian semuanya berada pada penguasaan suami, yang dimanfaatkan berdasarkan
musyawarah suami dan istri. Sistem kekerabatan patrilineal terdapat 2 (dua) bentuk yaitu: 3
a. Patrilineal Murni
Patrilineal Murni adalah bentuk sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan pada
laki-laki sebagai anak waris dari pihak bapak, sedangkan anak perempuan tidak dapat
berkedudukan sebagai ahli waris.
b. Patrilineal beralih-alih

1
Dominikus Rato, 2011, Hukum Perkawinan dan Waris Adat (Sistem Kekerabatan, Bentuk Perkawinan dan Pola
Pewarisan Adat di Indonesia), Surabaya : Laksbang Yustitia, h.22.
2
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, h.50.
3
Zainuddin Ali, 2010, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, h.25-26.

3
patrilineal beralih-alih adalah bentuk sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan
pada laki-laki, namun apabila tidak terdapat anak laki-laki, maka anak perempuan ditarik dalam
keluarga orang tuanya sehingga memiliki kedudukan hukum sebagai anak laki-laki meskipun
secara biologis tetap sebagai perempuan, selain itu juga dapat diupayakan terdapat anak laki-laki
dengan cara pengangkatan anak, sehingga hubungan kekeluargaan dan keturunan pada keluarga
istrinya. Patrilineal beralih-alih memilki konsep yang sama dengan sistem kekerabatan matrilineal.
Contoh dari patrilineal murni terdapat pada orang Batak yaitu garis keturunan ditarik
melalui garis laki-laki saja. Sedangkan prinsip patrilineal beralih-alih, walaupun sistem
kekerabatannya bercorak patrilineal tetapi memungkinkan menarik garis keturunan dari pihak
perempuan tergantung pada bentuk perkawinan sebagai penghubung garis keturunan tersebut.
Prinsip keturunan patrilineal beralih-alih terdapat pada masyarakat Bali.4

B. Matrilineal

Secara etimologis matrilineal berasal dari dua kata, yaitu mater (bahasa latin) yang berarti
“ibu”, dan linea (bahasa latin) yang berarti garis. Jadi, “matrilineal” berarti mengikuti “garis
keturunan yang ditarik dari pihak ibu”. Setiap orang itu selalu menghubungkan dirinya kepada ibu,
seterusnya ke atas kepada ibunya ibu, dan kepada ibunya dari ibunya itu sampai kepada seorang
wanita yang dianggap sebagai nenek moyangnya dimana clan ibunya berada dan mereka
menganggap satu clan (suku) yaitu suku ibunya.5
Dalam adat matrilineal, anak menghubungkan diri dengan ibunya (berdasarkan garis
keturunan perempuan). Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan diri dengan kerabat ibu
berdasarkan garis keturunan perempuan secara unilateral (secara satu pihak). Dalam masyarakat
yang susunannya matrilineal, keturunan menurut garis ibu dipandang sangat penting, sehingga
menimbulkan hubngan pergaulan kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan meresap diantara para
warganya yang seketurunan menurut garis ibu yang menyebabkan tumbuhnya konsekuensi yang
lebih besar aripada garis keturunan bapak.6

4
Ibid.
5
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1995), h.109.
6
Gunsu Nurmansyah, Nunung Rodliyah, Recca Ayu Hapsari. Pengantar Antropologi: Sebuah Ikhtisar Mengenal
Antropologi. Aura Publisher. h.98.

4
Terdapat beberapa suku yang memegang teguh adat matrilineal. Beberapa suku tersebut
yaitu : suku Minangkabau, suku Garo, suku Mosuo, suku Hopi, suku Navajo, suku Iroquois, suku
Ovambo, suku Akan.
Dalam kekerabatan matrilineal, kebalikan dari patrilineal yaitu hak dan kedudukan yang
dimiliki suami lebih rendah daripada hak dan kedudukan istri, suami bertugas membantu istri.
Namum berkaitan dengan penguasaan harta, tidaklah kebalikan dari patrilineal yang mana semua
harta dikuasai oleh suami, melainkan memiliki pola sendiri yaitu apabila terjadi perceraian, suami
tetap berhak atas sebagian harta bersama dan tetap menguasai harta asal dan harta pemberian yang
dimilikinya. Namun dalam pewarisan apabila suami meninggal maka harta akan kembali kepada
keluarga asalnya, sedangkan apabila istri yang meninggal maka akan diwariskan kepada anak
perempuannya. Dalam kekerabatan ini, yang berhak mendapatkan harta warisan adalah anak
perempuan.7

C. Marga/fam

Klan (Clan) sering juga disebut kerabat luas atau keluarga besar (marga). Klan merupakan
kesatuan keturunan (genealogis), kesatuan kepercayaan (religiomagis) dan kesatuan adat (tradisi).
Klan adalah sistem sosial yang berdasarkan ikatan darah atau keturunan yang sama umumnya
terjadi pada masyarakat unilateral baik melalui garis ayah (patrilineal) maupun garis ibu
(matrilineal).
Nama memiliki ciri pengenal kolektif marga/fam Marga atau nama keluarga adalah nama
yang menunjukkan ciri sebagai pengenal seseorang yang menunjukkan asal-usul keluarga dan
biasanya diletakkan di belakang nama diri, misal: Anwar Nasution, Riris K. Sarumpaet, marga ini
menjadi identitas dalam masyarakat dan adat. Marga diturunkan dari ayah kepada anak-anaknya
(patriarchal), yang merujuk kepada nama keluarga dan umumnya marga dicantumkan pada bagian
belakang nama setelah nama diri.
Nama marga/fam lazimnya digunakan secara kolektif oleh suatu kelompok masyarakat
yang terikat dalam suatu sistem kekerabatan dan atau kekeluargaan secara turun-temurun dan
merupakan ciri pengenal garis keturunan umum atau kolektif bagi seluruh anggota
keluarga/marga/fam tersebut.

7
Zainuddin Ali, 2010, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, h.26-27.

5
Nama keluarga/marga/fam di Indonesia meskipun berfungsi sebagai ciri pengenal
kolektif, namun memiliki perbedaan secara etnik, seperti halnya masyarakat di Batak, Minahasa,
dan Indonesia bagian Timur tanpa menyandang status sosial. Nama marga/fam merupakan produk
budaya kolektif dalam sistem kekerabatan masyarakat. Pada etnis tertentu di Indonesia, misalnya,
orang Jawa dan Sunda tidak lazim menggunakan nama marga/fam, tetapi pada golongan tertentu
menggunakan gelar adat/kebangsawanan.8

1. Klan atas dasar garis keturunan ayah (patrilineal) antara lain terdapat pada:

a) Masyarakat Batak (dengan sebutan Marga)


• Marga Batak Angkola : Siagian, Silali,Silo, Siregar
• Marga Batak Karo : Ginting, Karo-karo, Perangin-angin Sembiring, Tarigan,
• Marga Batak Mandailing : Batubara, Daulay, Harahap, Lubis, Nasution, Rangkuti.
• Marga Batak Pak-Pak: Anakampun, Angkat, Bako, Bancin, Banurea, Berampu, Capah, Cibro,
Dabutar, Linggah
• Marga Batak Simalungun: Damanik, Purba, Saragih, Sinaga
• Marga Batak Toba : Nababan, Simatupang, Siregar
b) Masyarakat Minahasa (klannya disebut Fam) antara lain : Mandagi, Lasut, Tombokan,
Pangkarego, Paat, Supit.
c) Masyarakat Ambon (klannya disebut Fam) antara lain : Pattinasarani, Latuconsina, Lotul,
Manuhutu, Goeslaw.
d) Masyarakat Flores (klannya disebut Fam) antara lain : Fernandes, Wangge, Da Costa, Leimena,
Kleden, De- Rosari, Paeira.9

2. Klan atas dasar garis keturunan ibu (matrilineal) antara lain terdapat pada:

• Masyarakat Minangkabau, (klannya disebut Suku),merupakan gabungan dari kampuang -


kampuang. Nama-nama klan di Minangkabau antara lain : Chaniago, Dalimo, Kampai, Koto,

8
R. Deffi Kurniawati, Sri Mulyani. 2012: Daftar Marga/Fam, GelarAdat, dan Gelar Kebangsawanan di Indonesia.
Jakarta : Perpustakaan Nasional RI. h.1.
9
Ibid h.7

6
Melayu, Piliang, Sikumbang, Solok, dsb.
• Masyarakat di Flores, yaitu suku Ngada juga menggunakan sistem Matrilineal.10

D. Kerabat

Sistem kekerabatan merupakan sistem keturunan yang dianut suku bangsa tertentu
berdasarkan garis ayah, ibu, atau keduanya. Dalam buku Pengantar Antropoligi: Sebuah Ikhtisar
Mengenal Antropologi (2019) oleh Gunsu Nurmansyah dan teman-teman, sistem kekerabatan
adalah keturunan dan pernikahan. Hubungan kekerabatan adalah salah satu prinsip dalam
mengelompokkan individu ke kelompok sosial, peran, kategori, dan silsilah.
Berdasarkan buku Perkembangan Hukum Waris Adat di Indonesia (2016) karya Ellyne
Dwi Poespasari, dalam kelompok asyarakat, jenis sistem kekerabatan terbagi menjadi tiga
kelompok, yaitu:

1. Sistem kekerabatan parental atau bilateral


Sistem keturunan yang ditarik menurut gairs dua sisi (bapak-ibu) atau disebut ouderlijk.
Di mana kedudukan anak laki-laki dan perempuan tidak dibedakan. Dalam kekerabatan ini,
berlaku perkawinan bebas.Artinya kedudukan suami-sitri sederajat dan seimbang. Sistem
kekerabatan ini diikuti masyarakat Jawa, Aceh, Kalimantan, dan lainnya.

2. Sistem kekerabatan patrilineal


Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak. Dalam sistem ini, kedudukan anak
laki-laki lebih utama dibandingkan anak perempuan. Di beberapa budaya, bila suatu keluarga tidak
memiliki anak laki-laki, maka keluarga tersebut harus melakukan pengangkatan anak.
Pada sistem kekerabatan patrilineal, berlaku adat perkawinan jujur. Setelah perkawinan,
si istri harus mengikuti suami dan menjadi anggota kerabat suami termasuk anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinannya.Sistem kekerabatan patrilineal, biasanya diikuti pada masyarakat
Batak, Bali, Lampung dan agama Islam. Dalam lamaran atau perkawinan, pihak laki-laki yang
memberi mahar kepada keluarga perempuan. Dalam adat Batak, mahar ini dikenal dengan istilah
sinamot.

10
Ibid h.7

7
Nama keluarga dan nama anak biasanya akan mengikuti ayah. Contohnya di adat Batak,
nama anak perempuan akan dilengkapi dengan boru (br) dan marga ayah kendati sudah
menikah.Begitu pula tradisi Islam yang menambahi bin (laki-laki) dan binti (perempuan) diikuti
nama ayah.

3. Sistem kekerabatan matrilineal


Sistem keturunan ditarik menurut garis ibu, di mana kedudukan anak perempuan lebih
unggul dibandingkan anak laki-laki. Dalam sisitem ini, umumnya berlaku perkawinan semenda.
Perkawinan semenda yaitu setelah perkawinan, suami mengikuti istri. Namun suami tetap menjadi
anggota kerabat asal dan tidak masuk ke dalam kerabat istri. Sedangkan anak-anak hasil
perkawinan harus mengikuti anggota kerabat ibunya.
Sistem kekerabatan natrilineal, biasanya diikuti pada masyarakat Minangkabau. Pihak
keluarga perempuan memberi mahar kepada keluarga laki-laki.11
Kekerabatan Genealogis ialah kekerabatan suatu kesatuan (komunitas) masyarakat yang
teratur dan ang-gotanya terikat pada suatu pertalian darah atau garis keturunan ayah yang sama
dari suatu leluhur (patrilineal). Dalam kekerabatan masyarakat Batak, kekerabatan genealogis
tersebut adalah menurut garis keturunan ayah (patrilineal). Kekerabatan genealogis patrilineal
tersebut disusun secara teratur dalam bentuk tarombo (silsilah) mulai dari generasi (grad) leluhur
tertentu menjadi kelompok keturunan marga-marga. Hal mana marga-marga tersebut merupakan
elemen utama dari sistem kemasyarakatan Dalihan Na Tolu (DNT).

Kekerabatan Teritorial atau geologis adalah kekerabatan suatu kesatuan masyarakat yang
para anggotanya berdomisi-li pada suatu wilayah, luat, bius dan huta (kampung) tertentu dan hidup
teratur diikat suatu nilai dan tradisi adat tertentu di samping adanya ikatan pertalian darah langsung
atau tidak langsung. Dalam kekerabatan Batak, kekerabatan geologis (teritorial) ini berwujud
dalam bentuk puak (subsuku), bius dan parsahutaon, Parhundul atau Dongan Sahuta juga termasuk
aleale (sahabat). Maka dalam kekerabatan Batak dikenal perumpamaan: Jonok dongan partubu,
jonokan dongan parhundul. Dekat saudara seibu-bapa (genealogis patrilineal), lebih dekat
saudara/teman sekampung (geologis, teritorial).

11
Serafica Gischa. Sistem Kekerabatan: Pengertian dan Jenisnya. Kompas.com, Diperbarui 2022, 17:54. Wib.

8
Kekerabatan teritorial inilah yang kemudian melahirkan pengelompokan puak-puak atau
subsuku Bangso Batak. Jadi puak atau subsuku Bangso Batak adalah kekerabatan Dalihan Na Tolu
yang dianut orang-orang dari berbagai kelompok marga yang menetap di suatu wilayah (luat)
tertentu, yakni yang menetap di daerah Toba disebut Batak Toba; yang mene-tap di daerah
Angkola disebut Batak Angkola; yang di daerah Mandailing disebut Batak Mandailing; yang di
dae-rah Simanlungun disebut Batak Simalungun, yang di daerah Pakpak-Dairi disebut Batak
Pakpak Dairi; dan yang di Tanah Karo disebut Batak Karo.
Jadi adanya pendapat bahwa Batak Toba sebagai induk dari semua puak Batak12adalah
penyebutan yang kurang tepat. Sebab Batak Toba adalah kekerabatan teritorial yakni orang-orang
Batak yang tinggal di Toba. Penyebutan yang lebih tepat sesuai Mitologi Batak bahwa Batak
adalah induk semua marga-marga Batak yang menyebar di wilayah Toba, Angkola-Mandailing,
Simalungun, Pakpak-Dairi dan Tanah Karo, bahkan Gayo, Alas dan Nias. Semua marga-marga
Batak yang berdomisili di setiap wilayah itu berproses dengan tradisi tata laksana adat Dalihan Na
Tolu dan dialek bahasa (aksara) Batak dengan variasi (ciri khas) masing-masing. Variasi (ciri khas)
tata laksana adat DNT dan bahasa Batak tersebut mengelompokkan diri dalam sistem kekerabatan
teritorial yang penyebutannya (penamaannya) sesuai dengan nama teritorial (luat atau wilayah)
masing-masing. Pada awal pengelompokan dan penyebutannya adalah variasi tata laksana adat
Batak dan dialek bahasa Batak di wilayah teritorial masing-masing.
Jadi Batak Toba bukan induk semua (marga) Batak, melainkan Batak Toba adalah salah
satu bagian dari (puak) Batak yang terdiri dari lima puak atau subsuku (teritorial) yakni Batak
yang tinggal di Toba, Angkola-Mandailing, Simalungun, Pakpak-Dairi dan Karo. Walaupun, Toba
adalah wilayah pusat Tanah Batak, dan beberapa ahli ethnologi, seperti Dr. Hagen dan Neumann,
yang telah mempelajari Batak dalam beberapa tahun, menyebut bahwa orang-orang Batak berasal
dari dataran Toba.13 Kearifan Mitologi Batak juga mengisahkan bahwa Manisia (Batak) berasal
dari keurunan Illahi yang lahir di Sianjur Mulamula, Pusuk Buhit, Danau Toba, yang kemudian
berkembang dan menyebar (berdiaspora) ke seluruh Tanah Batak Raya dan berbagai penjuru
dunia.

12
Saragi, Daulat, Dr. M.Sn., Pengaruh Islamisasi Terhadap Bentuk Visual Seni Ornamen Bagas Godang Mandailing,
Mudan: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan, h.10-11.

13
Nijland, E., 1893: Schetsen uit Insulinde, Utrecht: C.H.E. Breijer, h.188.

9
Secara khusus di Tanah Batak, berkembang dan membentuk lima komunitas adat Dalihan
Na Tolu secara teritorial, dengan berbagai variasi, dialek, dan perbedaannya, yang tentu juga
dipengaruhi budaya tetangga (terutama Aceh, Melayu dan Minangkabau) dan pendatang lainnya;
Berbeda dengan orang Batak yang tinggal di pusat Tanah Batak (Danau Toba), yang belakangan
disebut Batak Toba, yang secara etnografi mempertahankan keasliannya dalam isolasi indah
selama ribuan tahun, sampai tahun 1800-an. Sehingga antar komunitas teritorial DNT Batak
tersebut timbul beberapa corak, ciri khas atau variasi, dan dialek dalam tataran teknis pelaksanaan
adatnya, namun tetap sama-sama memegang prinsip filosofi dan nilai-nilai ideal adat dan sistem
kekerabatannya.
Joustra menarasikan hal tersebut sebagai berikut: “Dalam kasus beberapa perbedaan
mungkin lebih tepat: corak yang berbeda dalam study, sering kali ada kesamaan besar dalam kasus-
kasus utama, atas dasar di mana orang Batak juga dapat dianggap sebagai kesatuan etnologi; sifat-
sifat umum terutama menyangkut bidang hubungan kesukuan dan keluarga dengan segala sesuatu
dan itu sangat banyak yang ada dalam hubungan yang dekat atau lebih jauh dengan ini, dan pada
tingkat yang lebih kecil lingkaran representasi dan kebiasaan animistik.”14
Joustra pun menjelaskan secara singkat tentang poin-poin utama tersebut, antara lain
tautan suku atau koneksi suku, marga yang berkuasa dan Marga Boru. Joustra menjelaskan:
Tautan Marga: Seluruh orang Batak terdiri dari sejumlah besar unit silsilah, baik esensial
atau imajiner, dilambangkan dengan kata marga (Toba, dll.) atau merga (Karo), yang dipahami
termasuk unit suku yang begitu besar, seperti divisi silsilah yang lebih kecil. Setiap orang Batak,
dari daerah mana pun, dapat, jika diminta, segera menunjukkan marga mana yang dia miliki. Garis
keturunan ayah, dan itu saja, yang menentukan. Meskipun demikian, keturunan ibu juga sangat
penting, terutama dalam bidang perkawinan, tetapi tidak lagi memiliki arti penting dalam silsilah.
‘Marga yang berkuasa’ (De „regeerende” marga), di wilayah mana pun di tanah Batak yang
dimasuki, akan selalu ditemukan salah satu suku yang tinggal di sana – yang mana bergantung
pada daerahnya – yang memiliki keunggulan mencolok atas yang lain, dalam arti hanya
anggotanya yang memiliki hak sebagai kepala desa.

14
Joustra, M., 1926: Batakspiegel, h.10.

10
Marga Boru, yakni di antara marga yang tidak “memerintah” di suatu wilayah tertentu,
biasanya ada satu yang berarti lebih dari yang lain. Mereka yang anggota laki-lakinya menikahi
putri marga yang berkuasa.15
Joustra telah menyentuh substansi poin-poin utama tautan atau hubungan seluruh puak
Batak, yakni unsur-unsur sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu, di mana salah satu instrumen
utamanya adalah marga dan pernikahan, dimana Marga Boru yakni pihak yang menikahi puteri
marga lain, sebagai Hulahula, yang dipahami Joustra sebagai ‘Marga yang berkuasa.’ Walaupun
pemahamannya belum sempurna: Bahwa tautan utama puak-puak Batak adalah sistem
kekerabatan DNT, dengan instrumen kelompok marga-marga dalam perkawinan eksogami
patrilineal.
Mantan Hakim Agung Dr. HP Panggabean SH, MH, Ke-tua Umum DPP Kerabat
(Kerukunan Masayarakat Batak) menarasikan bahwa setiap warga Batak pada umumnya memiliki
kebanggaan kultural untuk menjunjung asal-usul mereka berdasar hubungan darah (ius sanguinis)
dengan dukungan hubungan-hubungan asal tempat tinggal (ius soli).[8] Sebagai ahli hukum,
Panggabean menyinonimkan kekerabatan genealogis (hubungan darah, keturunan) dengan ius
sanguinis dan kekerabatan teritorial dengan ius soli yang merupakan azas kewarganegaraan, untuk
memperkaya pemahamannya.
HP Panggabean menyebut bahwa karakter kehidupan warga Batak mudah ditemukan di
Tano Parserahan, karena keba-nyakan warga Batak mampu untuk terus membina komunitas
parmargaon dan parsahutaon di berbagai kota di Indonesia. Masing-masing komunitas Batak itu
telah terbentuk dalam berbagai organisasi kemasyarakatan karena mereka terikat pada ruhutruhut
paradaton, pedoman etika kekerabatan dalam berbagai upacara adat; Dan, hal itu telah merupakan
bentuk spiritual kultur Batak.16
Nijland (1893) dalam Schetsen uit Insulinde mengemukakan bahwa tradisi umum rakyat
berbicara untuk ini, se-perti halnya apa yang lazim dalam keluarga di wilayah selatan, Mandailing
dan Angkola, menyatakan tentang silsilah keluarga mereka, yang mereka peroleh dari Toba.
Pendapat yang sama juga dikemukakan ahli bahasa yang terpelajar, Dr. Neubronner van der Tuuk,
dengan alasan linguistik: bahwa Toba menaklukkan wilayah Selatan (dat de Toba’s de Zuidelijke

15
Ibid. h.11.
16
Panggabean, HP, Dr, SH, MH (2007): Pembinaan Nilai-Nilai Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu (Himpunan Karya
Tulis), Bahasan Khusus: Manajemen Konflik dalam Ajaran Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu; Kerabat (Kerukunan
Masyarakat Batak & Dian Utama, Jakarta, h.131.

11
gewesten veroverden). Selain persatuan dalam bahasa, ada juga kesepakatan dalam adat dan moral.
Persatuan juga muncul dalam agama (kepercayaan) sebelum kedatangan Islam.17
Juga sangat banyak tradisi ritual yang sama, atau mempunyai akar yang sama, di semua
puak. Selain kepercayaan kepada Debata (Dibata, Naibata), juga irama dan syair tonggotonggo
(doa), endeende (kidung) dan andungandung (ratapan). Seperti ratapan yang di Toba, Angkola
dan Mandailing disebut andungandung atau marbilangbilang, di Karo disebut bilang-bilang, di
Simalungun disebut sumansuman. Andungandung atau Bilang-bilang atau Sumansuman adalah
salah satu ekspresi seni ratapan etnografi Batak, semua puak. Karakter (tulisan Batak) dari ratapan
tersebut diekspresikan sebagai: “curahan kesedihan.” Sebagaimana dikemukakan oleh JH.
Neumann (1929) dalam Bilang-Bilang, bahwa bilang-bilang adalah ungkapan kesedihan, tetapi
juga dokumen aksara Batak Karo, yang dituliskan di atas bambu sebagai produk sastra.18
Dimana penyair menuangkan perasaan duka ke dalam wujud tertentu (kemungkinan selain
penyair Batak, tidak bisa dijelaskan), mereka memiliki wujud tertentu. Orang Karo-Batak
menemukan bentuk ini dalam bahasa bilang-bilang, semacam lirik prosa. Tidak ada sajak di
dalamnya, juga tidak ada syair tertentu, namun ada irama tertentu di dalamnya.19
Memang timbul berbagai variasi yang menjadi pembeda atau ciri khas setiap puak, seiring
interaksi tetangga terutama di perbatasan, sehingga, antara lain, timbul perbedaan dialek bahasa.
Demikian juga penuturan atau pencatatan silsilah serta pembentukan marga-marga baru yang
semakin beragam dan bahkan berbeda-beda.
Di samping itu, intervensi kekuasaan penjajah dalam mengutak-atik silsilah, telah menjadi
singkam mabarbar (latar belakang) makin meluasnya konflik antarmarga dan antarkampung di
Tanah Batak. Sebab tarombo tersebut digunakan untuk kepentingan penjajah Belanda. Bukan
untuk kepentingan kebenaran silsilah itu sendiri, atau bukan untuk kepentingan orang Batak.
Belanda menganggap penting mencatat tarombo tersebut untuk mengetahui dan mengadu-domba
marga-marga yang ada di satu wilayah dan kampung (huta) dan marga apa yang menjadi
pendirinya (si pungka huta), serta dari antara turunan “si pungka huta,” tersebut siapa keturunan
sulung, yang akan dijadikan Hapalo Nagari (Raja Ihutan, Kepala Negeri) dan Raja Pandua (Paidua,
Kepala Kampung). Jika ada keturunan sulung yang tidak berkompromi dengan kekuasaan Belanda

17
Nijland, E., 1893: Schetsen uit Insulinde, Utrecht: C.H.E. Breijer, h.188.
18
Neumann, J.H., 1929: Bilang-bilang; in Feesbundel Deel II; Digital Library of India Item 2015., h.215.
19
Ibid. h. 216.

12
maka hak kesulungannya didegradasi dengan mengutak-atik silsilah. Lalu, ketika kekuasaan
Belanda melalui Raja Ihutan dan Raja Pandua tersebut dipaksakan menguasai setiap wilayah dan
kampung, maka terdegradasi pulalah fungsi Dalihan Na Tolu untuk mengatasi setiap permasalahan
kekerabatan di tengah masyarakat adat Batak.
Beberapa turiturian Batak yang hakikatnya mengusung pesan kearifan sesuai dengan
filosofi Dalihan Na Tolu (DNT), juga banyak yang dimanipulasi menjadi penuh kebencian, late,
teal, dengki dan balas dendam antarbersaudara (dongan sabutuha, hulahula dan boru). Jauh
bertentangan dengan nilai-nilai luhur kebatakan DNT: Manat mardonga tubu (arif bersaudara);
Somba marhulahula (hormat kepada ipar dan paman); dan Elek marboru (sayang, membujuk,
kepada keluarga putri).
Salah satu nilai luhur kebatakan yang sangat mendasar adalah jika ada masalah antara
bersaudara (dongan tubu) harus cepat diselesaikan, tidak boleh ada dendam dan dengki. Seperti air
yang ditebas, hanya sekejap terpisah, lalu dengan cepat me-nyatu kembali, tanpa ada bekas tebasan
(Tampulon aek do na mardongan sabutuha). Bersaudara, juga seperti pohon yang tumbuh
berdekatan, jika ditiup angin puting-beliung akan bergesekan, tetapi saat bersamaan pasti saling
menopang (Hau na jonok do marsiososan, alai laos i do marsitungkolan). Itulah prinsip nilai-nilai
persaudaraan bagi orang Batak. Maka sangat mustahil pujangga leluhur Batak mengisahkan
turiturian yang justru mengusung kebencian dan adu-domba antarsaudara, bertentangan dengan
nilai-nilai yang dianutnya.
Buku ini membawa pesan, kiranya Bangso Batak kembali ke jati diri kekerabatannya.
Kisah-kisah yang mengusung kebencian dan dendam kesumat harus disikapi dengan cerdas dan
arif oleh orang Batak modern saat ini. Harus mampu menguji setiap turiturian atau sejarah apakah
sesuai atau tidak de-ngan nilai-nilai luhur kebatakan yang tersimpul dalam filosofi Dalihan Na
Tolu Paopat Sihalsihal (Tiga unsur kekerabatan yakni dongan tubu, hulahula dan boru, ditambah
unsur keempat yakni aleale atau sahabat dan dongan sahuta atau teman sekampung).
Demikian juga halnya catatan atau pernyataan silsilah yang dibuat penjajah untuk
kepentingan subjektif penjajahannya, tidak serta-merta dapat digunakan sebagai acuan kebenaran.
Tetapi harus diuji dengan catatan atau turiturian yang lain. Bahkan catatan silsilah yang ditulis
penjajah itu harus diasumsikan sebagai alat adu-domba Belanda untuk menguasai Tanah Batak.
Adalah kenyataan sejarah (empiris) bahwa sejak Belanda menggunakan silsilah marga
sebagai alat adu-dombanya, timbullah (semakin marak) pertikaian antarkampung dan antarmarga

13
di komunitas Batak. Bahkan pertikaian itu berurat-berakar hingga saat ini. Hampir di semua marga
ada pertikaian siapa anak sulung di antara mereka. Jika mengacu pada DNT, hal ini sebenarnya
akan mudah diatasi. Tetapi lantaran sejak awal sudah sarat intervensi kekuasaan penjajah maka
system DNT itu tidak dapat lagi berfungsi secara efektif. Karena elemen utama sistem DNT itulah
yang dicemari oleh penjajah tersebut, yakni silsilah marga (kekerabatan genealogis patrilineal) dan
parsahutaon (kekerabatan teritorial).
Maka jadilah orang Batak modern yang cerdas, arif dan teguh pada jatidiri Dalihan Na
Tolu. Hanya dengan prinsip Dalihan Na Tolu, seseorang pantas disebut orang Batak, yakni insan
berperilaku Anak ni Raja dan Boru ni Raja. Behaviour Anak ni Raja dan Boru ni Raja itu punya
impian dan prinsip primus inter pares dan/atau the chosen one. Banggalah sebagai orang Batak,
sebagai suatu suku bangsa yang paling baik dan teratur sistem dan struktur kekerabatan dan
kemasyarakatannya di dunia saat ini. Yakni sistem kemasyarakatan Dalihan Na Tolu yang orisinil
milik orang Batak.

E. Kelompok dalam Keluarga

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan
beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan
saling ketergantungan . Keluarga merupakan agen sosialisasi pertama bagi inidividu karena
keluarga merupakan lingkungan pertama bagi individu untuk mendapatkan nilai-nilai baru yang
nantinya akan berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian seseorang. Hampir setiap individu
memiliki keluarga. Karena manusia sendiri ada karena adanya suatu proses yang terjadi yang
dijalankan oleh fungsi lembaga keluarga yaitu perkawinan. Melalui perkawinan inilah akan
tercipta generasi-generasi berikutnya yang akan menggantikan dan meneruskan keberlangsungan
suatu keluarga dimasa mendatang.
Keluarga dikatakan sebagai suatu oragnisasi yang mana interaksi yang terjadi didalamnya
lebih intim dan intrapersonal dimana masing-masing anggota dalam suatu keluarga dimungkinkan
mempunyai intensitas hubungan satu sama lain terjadi secara continuoe dan terus menerus.
Komunikasi dalam keluarga menjadi penting karena melalui komunikasi inilah suatu proses
pembagian peran, sosialisasi nilai dan berbagai hal lainnya terjadi dalam suatu keluarga. Suatu

14
keluarga dalam masyarakat akan berjalan dengan harmonis dalam proses perjalannya ketika
keluarga tersebut menjalankan fungsi-fungsinya secara optimal.20
Keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang
berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga
didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai
peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut:
1. Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik,
pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok
sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari
lingkungannya.
.2. Ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus
rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu
kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping
itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.
3. Anak-anak sebagai anggota keluarga melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan
tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual21.

20
Jamaluddin Dg Abu. 2013: Analisis Sosiologi Dalam Keluarga. Akademia.com: Makassar. h 1.
21
Ibid. h.4-5.

15
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sistem kekerabatan dalam setiap masyarakat ditentukan oleh struktur ataupun susunan
masyarakat pada daerah tersebut. Struktur/susunan masyarakat pada tiap daerah tersebut
menentukan cara menarik garis keturunan tiap masyarakat dengan maksud untuk menentukan
kedudukan seseorang dalam masyarakat tersebut termasuk dalam keturunan siapa. Pada sistem
kekrabatan Patrilineal, yaitu adalah suatu masyarakat hukum, dimana anggota-anggotanya
menarik garis keturunan ke atas melalui pihak Bapak, bapak dari bapak terus ke atas sehingga
dijumpai sesorang laki-laki yang lahir dan smeua harta kekayaan yang ada adalah milik bapak atau
kelurga bapak. Dapat dikatakan kedudukan pria lebih menonjol dari wanita di dalam pewarisan.
Sistem Matrilineal, yaitu sistem dimana masyarakat tersebut menarik garis keturunan ke atas
melalui ibu, ibu dari ibu, terus ke atas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya.
Kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria didalam pewarisan.
Klan (Clan) sering juga disebut kerabat luas atau keluarga besar (marga). Klan merupakan
kesatuan keturunan (genealogis), kesatuan kepercayaan (religiomagis) dan kesatuan adat (tradisi).
Klan adalah sistem sosial yang berdasarkan ikatan darah atau keturunan yang sama umumnya
terjadi pada masyarakat unilateral baik melalui garis ayah (patrilineal) maupun garis ibu
(matrilineal).
Nama memiliki ciri pengenal kolektif marga/fam Marga atau nama keluarga adalah nama
yang menunjukkan ciri sebagai pengenal seseorang yang menunjukkan asal-usul keluarga dan
biasanya diletakkan di belakang nama diri, misal: Anwar Nasution, Riris K. Sarumpaet, marga ini
menjadi identitas dalam masyarakat dan adat. Marga diturunkan dari ayah kepada anak-anaknya
(patriarchal), yang merujuk kepada nama keluarga dan umumnya marga dicantumkan pada bagian
belakang nama setelah nama diri.
Sistem kekerabatan merupakan sistem keturunan yang dianut suku bangsa tertentu
berdasarkan garis ayah, ibu, atau keduanya. Dalam buku Pengantar Antropoligi: Sebuah Ikhtisar
Mengenal Antropologi (2019) oleh Gunsu Nurmansyah dan teman-teman, sistem kekerabatan

16
adalah keturunan dan pernikahan. Hubungan kekerabatan adalah salah satu prinsip dalam
mengelompokkan individu ke kelompok sosial, peran, kategori, dan silsilah.
Berdasarkan buku Perkembangan Hukum Waris Adat di Indonesia (2016) karya Ellyne
Dwi Poespasari, dalam kelompok asyarakat, jenis sistem kekerabatan terbagi menjadi tiga
kelompok, yaitu: 1) Sistem kekerabatan parental atau bilateral; 2) Sistem kekerabatan patrilineal;
3) Sistem kekerabatan matrilineal. Dan kelompok dalam keluarga terdiri dari Ayah, Ibu Dan Anak.

B. SARAN
Kami sebagai penulis menyadari jika dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan yang
jauh dari kata sempurna. Namun tentunya kami akan terus memperbaiki makalah dengan
mengacu pada sumber yang bisa di pertanggung jawabkan nantinya. Oleh karena itu kami
mengharapkan adanya kritik dan saran mengenai pembahasan ini.

17
DAFTAR PUSTAKA

Dominikus Rato, 2011, Hukum Perkawinan dan Waris Adat (Sistem Kekerabatan, Bentuk
Perkawinan dan Pola Pewarisan Adat di Indonesia), Surabaya : Laksbang Yustitia, h.22.

Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, h.50.

Zainuddin Ali, 2010, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, h.25-26.

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Toko Gunung
Agung, 1995), h.109.

Gunsu Nurmansyah, Nunung Rodliyah, Recca Ayu Hapsari. Pengantar Antropologi: Sebuah
Ikhtisar Mengenal Antropologi. Aura Publisher. h.98.

Zainuddin Ali, 2010, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, h.26-27.

R. Deffi Kurniawati, Sri Mulyani. 2012: Daftar Marga/Fam, GelarAdat, dan Gelar
Kebangsawanan di Indonesia. Jakarta : Perpustakaan Nasional RI. h.1.

Serafica Gischa. Sistem Kekerabatan: Pengertian dan Jenisnya. Kompas.com, Diperbarui 2022,
17:54. Wib

Saragi, Daulat, Dr. M.Sn., Pengaruh Islamisasi Terhadap Bentuk Visual Seni Ornamen Bagas
Godang Mandailing, Mudan: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan, h.10-11.

Nijland, E., 1893: Schetsen uit Insulinde, Utrecht: C.H.E. Breijer, h.188.

Panggabean, HP, Dr, SH, MH (2007): Pembinaan Nilai-Nilai Adat Budaya Batak Dalihan Na
Tolu (Himpunan Karya Tulis), Bahasan Khusus: Manajemen Konflik dalam Ajaran Adat Budaya
Batak Dalihan Na Tolu; Kerabat (Kerukunan Masyarakat Batak & Dian Utama, Jakarta, h.131.

Jamaluddin Dg Abu. 2013: Analisis Sosiologi Dalam Keluarga. Akademia.com: Makassar. h 1.

18

Anda mungkin juga menyukai