Dibuat oleh :
Nim :202121318
Kelas :R4G
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan
dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materi.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.
Tiavaniy z malok
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
yang akan menjadi pedoman bagi anak untuk bermasyarakat dengan baik
dan benar. Apabila proses sosialisasi itu berlangsung dengan baik, maka
seorang anak akan tumbuh dengan perilaku yang baik pula di masyarakat.
Jika yang terjadi adalah sebaliknya maka tidak jarang anak akan berperilaku
peran keluarga memiliki beberapa fungsi yang sangat penting dalam diri
masyarakat (Putri, 2010). Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai
antara orangtua dan anak serta cara yang dilakukan oleh orang tua dalam
mengelola masalah perilaku pada anak (Rhee, 2015).
secara turun menurun (Koentjoroningrat, dalam Hermaini dkk 2014). Hal ini
kepada dua belah pihak, yaitu Ibu dan Ayah (Kim, 2006). Sedangkan di
senitmen-sentimen.
1.2.PEMBAHASAN
Ada beberapa daerah di Indonesia yang masih kuat menganut sistem kekerabatan tertentu,
seperti menarik garis keturunan kedua belah pihak (ayah dan ibu) serta menarik keturunan
hanya dari satu pihak (ayah atau ibu).
Adapun tiga sistem kekerabatan tersebut adalah parental (bilateral), patrilineal, dan
matrilineal. Sistem kekerabatan yang berbeda-beda dalam setiap suku di struktur sosial ini
masih dianut di masyarakat Indonesia.
Sistem kekerabatan ini, menurut antropolog Meyer Fortes, menggambarkan struktur sosial
masyarakat yang bersangkutan. Mengutip Jurnal Edukasi Lingua Sastra Volume 17,
kekerabatan merupakan suatu bentuk hubungan sosial yang terjadi karena keturunan
(consanguinity) dan perkawinan (affinity).
Seseorang dapat disebut kerabat apabila ada pertalian darah atau pertalian langsung, dan
pertalian perkawinan atau tidak langsung. Kerabat merupakan sebuah kelompok yang
anggotanya terdiri dari ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adil, paman, bibi, kakek,
nenek, dan seterusnya. Kelompok kekerabatan ada yang jumlahnya kecil hingga besar.
Dalam kekerabatan juga mengenal hukum adat tersendiri. Hukum adat tersebut mengatur
kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orang tua
dan sebaiknya, kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya, hingga permasalah
perwalian anak.
Hilman Hadikusuma dalam Buku Pengantar Ilmu Adat Indonesia (2003) mengatakan hukum
adat kekerabata mengatur pertalian sanak berdasarkan pertalian darah (seketurunan,
pertalian perkawinan, dan perkawinan adat.
Pentingnya memahami sistem kekerabatan, salah satunya untuk memahami garis keturunan
(klan) baik garis keturunan lurus atau menyamping. Dalam adat masyarakat Bali, contohnya,
sistem kekerabatan menentukan keturunan laki-laki sebagai penerus Pura keluarga untuk
menyembah para leluhurnya.
Bushar Muhammad dalam buku Pokok-Pokok Hukum Adat (2006) menjelaskan, keturunan
dapat bersifat langsung dan menyamping (bercabang). Keturunan bersifat lurus yaitu jika
orang seorang adalah keturunan langsung dari yang lain. Contohnya adalah bapak dan anak;
atau antara kakek, bapak, dan anak.
Sementara itu, keturunan bersifat menyamping apabila antara kedua orang atau lebih
terdapat ketunggalan leluhur. Contohnya adalah saudara sekandung yang memiliki bapak
dan ibu sama; atau orang yang memiliki kakek dan nenek sama tapi beda orang tua.
Dalam sistem kekerabatan ini menarik keturunan hanya dari satu pihak yaitu sang ayah saja.
Anak akan terhubung dengan kerabat ayah berdasarkan garis keturunan laki-laki secara
unilateral. Penganut sistem ini di antaranya masyarakat Batak, Bali, Ambon, Asmat, dan Dani.
Konsekuensi sistem kekerabatan patrilineal adalah keturunan dari pihak bapak (lelaki)
memiliki kedudukan lebih tinggi. Hak-hak yang diterima juga lebih banyak.
Sistem kekerabatan ini menarik garis keturunan dari pihak ibu saja. Anak akan terhubung
dengan ibunya, termasuk terhubung dengan kerabat ibu, berdasarkan garis keturunan
perempuan secara unlateral.
Konsekuensi sistem kekerabatan ini yaitu keturunan dari garis ibu dipandang sangat penting.
Dalam urusan warisan, misalnya, orang dari garis keturunan ibu mendapatkan jatah lebih
banyak dari garis bapak. Sistem kekerabatan ini bisa dijumpai pada masyarakat Minangkabau
dan Semando.
Matrilineal adalah sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu saja. Anak
kemudian akan terhubung dengan sang ibu termasuk terhubung dengan kerabat ibu,
berdasarkan kepada garis keturunan perempuan secara unilateral.
Konsekuensi sistem kekerabatan ini adalah menarik keturunan dari garis ibu yang dipandang
sangat penting. Dalam urusan warisan orang-orang dari garis keturunan ibulah yang akan
mendapatkan porsi lebih banyak dibanding dari garis bapak.,
Matrilineal adalah
Dalam hubungan keluarga terdapat sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan inilah yang
kemudian akan menghubungkan sebuah keluarga inti atau keluarga kecil dengan anggota
keluarga besar. Tak seperti pada sistem kekerabatan patrilineal yang dianut oleh suku-suku
pada umumnya, sistem matrilineal sendiri sangat jarang digunakan.
Di Indonesia tak banyak suku yang menganut sistem kekerabatan ini. Namun Salah satu suku
penganut sistem matrilineal yang masih bertahan adalah suku Minangkabau. Keberadaan
suku Minangkabau mendominasi provinsi Sumatera Barat dengan populasi yang besar.
Berikut ini beberapa fakta unik terkait sistem matrilineal yang dianut suku Minangkabau yang
perlu kamu ketahui.
Adat Minangkabau kerap mengkhawatirkan terjadinya kerusakan garis kesukuan jika terjadi
perkawinan di antara dua orang yang berasal dari suku yang sama. Bagi yang akhirnya
melanggar ketentuan ini umumnya akan mendapatkan sanksi sosial, seperti dikucilkan dari
masyarakat.
Berkaitan dengan pernikahan eksogami, tak jarang laki-lakilah yang kemudian diberikan
mahar. Posisi laki-laki dengan kondisi demikian ini akan membuat mereka disebut sebagai
orang jemputan. Setelah menikah, seorang laki-laki akan menjadi “tamu” sebab mereka
kemudian akan tinggal di rumah keluarga istrinya.
2. Generasi yang dilahirkan akan berpengaruh pada ukuran rumah Gadang yang dihuni
Rumah Gadang menjadi pusaka dan menjadi tempat diadakannya berbagai acara-acara
penting mulai dari upacara kelahiran hingga pesta perkawinan. Jika seorang laki-laki telah
berkeluarga, maka rumah Gadang yang ditempati oleh saudara perempuan bersama suami
serta anak-anak mereka.
Pada umumnya, tidak ditemukan keterlantaran karena pada setiap generasi dan kelompok
memang memiliki peran yang sama pentingnya. Bagi masyarakat Minangkabau, hidup
bersama keluarga besar adalah sama dengan mendapatkan perlindungan yang besar dari
keluarga tersebut.
Orangtua memiliki tanggung jawab kepada kelangsungan hidup anak, sementara anak-anak
bertanggung jawab pada keluarga dengan usia lanjut. Jika dua ketentuan tersebut tidak
berjalan, maka tanggung jawab kemudian akan dialihkan ke anggota keluarga saparuik.
Jika tidak juga, maka akan diambil alih oleh anggota keluarga sajurai, dan seterusnya hingga
ke tingkat keluarga yang lebih tinggi
Matrilineal merupakan istilah yang menyebut sistem kekerabatan yang menarik garis
keturunan dari pihak perempuan (ibu), baik pada anak laki-laki atau anak perempuan.
Mereka kemudian menyandang suku pada namanya sesuai dengan suku yang dimiliki oleh
sang ibu.
Mulai dari nenek moyang hingga generasi yang baru lahir, anak-anak Minangkabau umumnya
tidak akan menggunakan suku dari pihak ayah. Karena hal inilah, kelahiran seorang anak
perempuan disambut dengan sangat baik sebab kelak ia akan menjadi penerus garis
keturunan sukunya.
Jadi, meskipun perempuan berperan besar dalam kesukuan, bukan berarti perempuan akan
mendapatkan kuasa penuh pada harta warisan atau pusaka di keluarganya. Masyarakat
Minangkabau memiliki filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Maknanya,
selain berpegang teguh kepada adat, masyarakat Minangkabau juga akan menjadikan ajaran
Islam sebagai pedoman dalam kehidupan termasuk dalam pembagian harta warisan.
Masyarakat Minangkabau pada umumnya juga menganut pewarisan dari mamak (paman
atau saudara laki-laki ibu) kepada kemenakan. Dari pembagian harta warisan ini biasanya
harta warisan akan digunakan secara bersama-sama oleh sang penerima warisan dengan
anggota keluarga yang lain. Bisa dibilang, harta warisan kemudian tidak bisa dibagi dan harus
tetap utuh karena milik bersama.
Sistem matrilineal yang dianut suku Minangkabau kemudian menyebabkan perempuan serta
laki-laki akan mendapat sebutan yang berbeda. Perbedaan itu sendiri tergantung pada jenis
hubungan yang terjalin. Berikut penjelasannya.
Hubungan atas dasar induk bako dan anak pisang. Induk bako merupakan sebutan untuk
perempuan saat berhubungan dengan anak dari saudara laki-lakinya. Sementara itu, anak
pisang sendiri menunjukkan hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan saudara
perempuan ayahnya. Peran perempuan di sini akan lebih luas lagi jika dibandingkan dengan
hubungan pada poin sebelumnya.
Hubungan atas dasar persemendaan. Suami akan mendapat sebutan sumando sebab mereka
akan menjadi pihak yang menumpang atau tinggal di rumah keluarga istrinya sementara istri
disebut pasumandan karena mereka menjadi pihak yang ditumpangi.
Walau terbilang kompleks, tak dapat ditampik bahwa sistem matrilineal yang kemudian
dianut oleh suku Minangkabau telah melahirkan generasi perempuan yang tangguh. Peran
perempuan di ranah Minang sendiri kemudian menempati kedudukan yang tinggi hingga
kini.
Seperti yang telah kita ketahui, matrilineal adalah sebuah adat yang menurunkan warisan
kepada perempuan atau dari garis ibu. Selain di Indonesia, ada beberapa etnis di dunia yang
masih memegang teguh kebudayaan matrilineal, negara mana sajakah itu?
1. Minangkabau
Pada masyarakat Minangkabau atau biasa juga dikenal dengan Minang yang berlokasi di
Indonesia, semua properti, tanah, dan warisan diturunkan dari ibu kepada anak
perempuannya. Sementara untuk pendapatan sang ayah akan diturunkan kepada anak laki-
laki.
Pada masa lalu, hal ini kemudian akan membuat kaum perempuan di Minang memiliki
kekuatan, namun saat ini, pendapatan yang rendah kemudian sedikit mengambil andil dalam
perubahan kehidupan sosial modernnya. Walaupun demikian warisan masih terus
diturunkan kepada garis ibu dan ibu masih menjadi kepala keluarga.
Pengantin laki-laki umumnya akan diberikan kepada pengantin perempuan dari anggota
keluarga perempuan, yang akan mengawalnya sampai di rumah pengantin perempuan.
Kekuatan serta otoritas secara keseluruhan akan dibagi rata antara laki-laki dan perempuan,
dengan perempuan yang berkuasa di dalam rumah, sementara laki-laki yang memiliki peran
spiritual dan politik. Kedua belah pihak percaya bahwa hal ini akan membuat mereka
menjadi setara.
Para perempuan di Minang memiliki hak serta kekuatan untuk memilih seorang laki-laki yang
akan dijadikan kepala suku, kemudian menurunkannya dari jabatan tersebut jika dirasa ia
bukan orang yang pantas untuk dijadikan kepala suku.
2. Akan
Masyarakat Akan merupakan suatu kelompok multietnis di Ghana, di mana pada daerah
tersebut segala sesuatunya diatur berdasarkan adat matrilineal. Di Ghana para pria seringkali
menjadi pemimpin suku, sementara kekuatan mereka berasal dari garis matrilineal.
Para laki-laki tak hanya akan membantu keluarganya sendiri, namun juga keluarga dari pihak
perempuan. Para perempuan di Ghana umumnya yang akan mengadakan banyak ritual dan
upacara, seperti diantaranya pemakaman, membuat makanan, juga berbagai aturan-aturan
di dalam rumah.
3. Mosuo
Mosuo Cina merupakan sebuah suku yang tinggal di kaki Gunung Himalaya. Mosuo menjadi
salah satu contoh masyarakat dengan adat matrilineal yang paling terkenal. Mereka bahkan
memiliki sebuah tradisi “walking marriage” di mana para perempuan kemudian berhak
memilih pasangannya dengan berjalan sendiri langsung ke rumah laki-laki yang mereka pilih.
Dalam suku ini sang perempuan berhak mendapatkan lebih dari satu laki-laki serta menjalani
lebih dari satu kali pernikahan. Keturunan mereka nantinya akan memakai nama belakang
dan tinggal bersama ibu mereka, sementara pihak laki-laki boleh atau tidak boleh terlibat
dalam membesarkan anaknya.
4. Bribri
Berlokasi di Panama dan Costa Rica bagian utara, Bribri menganut adat matrilineal di mana
kaum perempuan kemudian mewarisi tanah serta menciptakan sebuah keluarga besar. Anak-
anak akan yang akan memasuki keluarga ibunya dan seorang nenek kemudian dipandang
sebagai pembawa tradisi dan sumber pengetahuan.
Sementara para pria dengan peran yang penting tidak diperbolehkan untuk menyampaikan
pengetahuan atau memberikan pekerjaan kepada anak laki-laki mereka, melainkan hanya
untuk anak laki-laki dari saudara perempuan mereka saja.
Para perempuan kemudian memiliki hak untuk menyiapkan kakao guna ritual suci Bribri
sebagai satu hal yang paling penting di dalam sebuah suku.
5. Garo
Garo merupakan sebuah suku adat yang berada di Bangladesh dan India. Garo memberi
nama suku dari nama ibu mereka, dengan putri bungsunya akan menjadi pewaris semua
properti sang ibu. Menganut adat matrilineal, para perempuan dari Garo memegang
kekuasaan serta akan diberi hak untuk memerintah di dalam rumah.
6. Tuareg
Tuareg berisi orang-orang Berber yang memiliki gaya hidup nomaden di daerah gurun
Sahara. Dalam kehidupan sosial, para perempuan di Tuareg kemudian akan memiliki status
yang tinggi serta setiap suku yang ada didalamnya akan akan dikumpulkan agar semua orang
dapat mendengarkan para perempuan yang menulis dan membaca.
Sementara para laki-laki akan berternak hewan. Sebagian besar dari properti serta hewan
ternak akan dimiliki oleh kaum perempuan, sementara pada properti pribadi akan diwariskan
tanpa memandang jenis kelamin. Meski mayoritas diantaranya menganut agama Islam,
namun etnis Tuareg juga dipengaruhi oleh beberapa kebudayaan lain seperti salah satunya
adalah matrilineal.
Ada dua kongsi yang menjadi pilar masyarakat Tionghoa— kongsi gedang dan kongsi kecik,
kelenteng sebagai pengikat moral dan penjaga peradaban, serta interaksi yang erat dengan
masyarakat Minang berdasarkan kesamaan bahasa. Sebagai hasil dari proses adaptasi itu,
kebudayaan mereka kini tampil dengan ciri campuran Tionghoa dan Minang atau mengalami
hibriditas kebudayaan.
Namun di sisi lain, kondisi ini juga semakin mengaburkan batasan antarbudaya, mengubah
cara berkomunikasi antarbudaya, dan secara langsung maupun tidak menghadirkan
percampuran budaya.
Kini kita telah mengetahui matrilineal adalah sebuat sistem kekerabatan dan budaya atau
adat yang hingga kini masih dijalankan oleh beberapa suku di dunia, termasuk suku Minang
di Indonesia. Grameds bisa membaca buku-buku terkait kebudayaan di Gramedia.com agar
bisa lebih memahaminya. Sebagai #SahabatTanpaBatas Gramedia selalu memberikan produk
terbaik agar kamu memiliki informasi #LebihDenganMembaca.
Patrilinealitas (atau kerap diperpendek menjadi patrilineal) adalah suatu adat masyarakat
yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah.[1] Kata ini sering kali disamakan
dengan patriarkat atau patriarki, meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Patrilineal
berasal dari dua kata Bahasa Latin, yaitu pater yang berarti ayah, dan linea yang berarti garis.
Jadi, patrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah.
Sementara itu, patriarkat berasal dari dua kata Bahasa Yunani, yaitu pater yang berarti
“ayah”, dan archein yang berarti memerintah. Jadi, patriarki berarti kekuasaan berada di
tangan ayah atau pihak laki-laki.
a. Bangsa Arab
b. Suku Minahasa
c. Suku Rejang
d. Suku Batak
e. Suku Aceh
f. Suku Gayo
g. Suku Sangir
h. Suku Nias
Lawan dari patrilineal adalah matrilineal yaitu suatu adat masyarakat yang menyatakan alur
keturunan berasal dari pihak ibu. Penganut adat matrilineal sebagai contoh adalah Suku
Minangkabau dan Suku Navajo. Adat patrilineal lebih umum digunakan kelompok
masyarakat dunia dibandingkan matrilineal yang lebih jarang penggunaannya.
Sistem kekerabatan patrilineal adalah sistem keturunan yang ditarik menurut garis lahir dari
ayah. Dalam hal ini, baik kedudukan anak laki-laki lebih tinggi sehingga suatu keluarga
biasanya akan sangat mengharapkan kehadirannya dibanding anak perempuan. Laki-laki juga
memiliki lebih banyak keutamaan dan hak yang bisa diterima. Pada sistem kekerabatan
patrilineal, istri akan mengikuti sistem kekerabatan suami. Hal yang sama berlaku pada anak-
anak yang dilahirkan dari perkawinannya akan mengikuti garis keturunan dari sang ayah.
Suku di Indonesia yang menganut sistem kekerabatan patrilineal antara lain Batak, Bali,
Ambon, Asmat, dan Dani.
PENUTUP
1.3 KESIMPULAN
Ataupun susunan masyarakat pada daerah tersebut. Struktur/susunan masyarakat pada tiap daerah
tersebut menentukan cara menarik garis keturunan tiap masyarakat dengan maksud untuk
menentukan kedudukan seseorang dalam masyarakat tersebut termasuk dalam keturunan siapa.
Cara menarik garis keturunan hanya dari pihak laki- Jakija disebut sebagai masyarakat Patrilineal
Pada sistem kekerabatan masyarakat Adat batak menganut sistem Patrilineal Mami. Sistem ini
digunakan karena pada masyarakat Batak penerus keturunan ditandai dengan dipakainya marga
(nama keluarga) pada setiap keturunan Penerusan garis keturunan marga ini hanya dapat dilakukan
oleh laki-laki karena wanita ketika sudah menikah akan mengikuti sistem kekerabatan/marga suami
sehingga kehilangan sistem kekerabatan/marga pada keluarga terdahulunya.
https://regional.kompas.com/read/2022/02/07/182256378/sistem-kekerabatan-suku-di-
indonesia-parental-patrilineal-dan-matrilineal?page=all.