SOSIOLOGI KELUARGA
JURUSAN SOSIOLOGI
UNIVERSITAS LAMPUNG
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah saya dapat
pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Dan juga kami berterima kasih pada
Ibu Yuni Ratnasari selaku Dosen mata kuliah Soiologi Keluarga yang telah
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang
kamiharapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri
maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
1. PENDAHULUAN ...............................................................................................1
2. PEMBAHASAN .................................................................................................3
3. PENUTUP .........................................................................................................17
Daftar Pustaka
BAB 1
PENDAHULUAN
Ada tiga hubungan dasar manusia, yang pertama adalah hubungan antara suami
dan istri; kemudian hubungan antara orangtua dan anak, lalu hubungan antara
Matrilineal, dimana garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu. Menurut J.J
struktur, fungsi, tipe, dan pola tempat tinggal yang dianut dalam satu keluarga.
antara pola hubungan yang terjadi dalam keluarga luas dan pola hubungan yang
terjadi dalam keluarga luas. Hubungan tersebut ada yang berbentuk horizontal dan
Keluarga Pada Masyarakat Minang”. Semoga Makalah ini dapat menjadi jawaban
Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui tentang Hubungan Keluarga Pada
Masyarakat Minangkabau.
BAB 2
PEMBAHASAN
Disebut juga pola keluarga tradisional. Pada struktur ini ada dua pihak
ketidaksamaan itu. Setiap pihak tidak bisa hidup tanpa kehadiran pihak lain.
Struktur ini bertentangan dengan asumsi sebagian orang yang mengatakan bahwa
keluarga itu akan baik apabila kedua belah pihak, suami istri, mempunyai banyak
pemarah. Tentu kelaurga seperti ini tidak akan damai. Walhasil, tidak betul
Suami misalnya sebagai pencari nafkah, istri berperan sebagai pengurus rumah
Struktur keluarga seperti ini juga mendapatkan kritik juga karena salah
apabila salah satunya meninggal atau terpisahkan, maka sulit bagi pihak lainnya u
seperti sebuah kontrak, dan mereka merumuskan kontrak itu secara tertulis.
sendiri dan mereka diikat oleh sebuah kerjasama yang disebut sebagai kontrak
Struktur simetris cendering tidak stabil, bahkan biasanya tidak tahan terhadap
dalam waktu yang sama mereka memiliki beberapa bagian dari perilaku
akan menetap di lingkungan keluarga istri yang disebut dengan pola matrilokal.
Dalam pola aktual sekarang ini tidak semua keluarga di Minangkabau bertempat
tinggal di lingkungan keluarga istri, tetapi banyak pula yang bertempat tinggal di
lingkungan keluarga suami yang disebut patrilokal, atau di tempat baru yang
bukan lingkungan keluarga istri maupun keluarga suami yang disebut neolokal.
Bentuk bentuk hubungan yang ada dalam tiga bentuk pola keluarga ini,
baik antara sesama anggota keluarga batih maupun dengan anggota kerabat
pasangan suami istri tidak lagi bertempat tinggal secara matrilokal, tetapi fungsi
dan struktur keluarga yang ada dalam keluarga tersebut tidak jauh berubah.
Perbedaan yang terlihat lebih menyolok adalah antara fungsi dan struktur keluarga
dalam keluarga batih dan keluarga luas, baik yang berbentuk matrilokal,
keinginan-keinginan yang tumbuh dalam diri seseorang yang baru saja menaiki
belum dapat diwujudkan dengan baik, karena keterikatan mereka dengan norma-
Dalam pola ideal seorang suami sesudah menikah, tingal bersama istrinya
sumando atau tamu dari keluarga istrinya, dengan kondisi atau keadaan yang
serba terbatas. Akan tetapi, dia sangat dihormati dan dimanjakan oleh pihak
mertuanya. Sebagai seorang tamu, ia tidak dibebani dengan tugas dan tanggung
Seorang suami dalam pola ideal ini tidak pernah ada di rumah istrinya
pada siang hari. Ia akan pergi dari rumah istrinya sebelum matahari terbit dan baru
kembali pada malam hari. Pada waktu siang ia berada atau bekerja di rumah
Jika istri ingin menemui suaminya pada siang hari, ia harus pergi ke tempat kaum
kerabat atau di sawah keluarga suaminya tempat suaminya bekerja pada waktu itu.
seorang istri tidak mengadu kepada suaminya, melainkan kepada mamak atau
kepada ibunya. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Rajab (1969), bahkan
gadang, di samping sebagai tamu dia juga harus menyesuaikan diri dengan norma-
norma yang berlaku. Apalagi kalau di rumah tersebut ada beberapa keluarga.
Tingkah laku dalam rumah gadang ini harus dijaganya dengan baik, agar tidak
juga sering dikunjungi oleh sanak saudara istri dan mertuanya, yang membawa
hubungan yang penuh aturan, baik dalam berbicara, berbuat dan bertindak. Tata
menyebabkan seorang suami tidak betah di rumah. Oleh karena itu, pada pagi hari
ia pergi dan baru pulang pada malam hari ke rumah istrinya. Di samping itu tidak
jelasnya pekerjaan dan tanggung jawab yang akan dipikulnya sepanjang adat atau
tradisi yang berlaku. Akibatnya merembet lebih dalam kepada hubungan suami
istri dari setiap anak dan menantu yang seharusnya tidak terjadi. Seringkali hal
Hubungan suami istri dalam keluarga batih berbeda dengan keluarga luas.
Keluarga batih terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum kawin. Pada
umumnya keluarga batih ini sudah menempati rumah sendiri yang letaknya tidak
begitu jauh dari rumah gadang. Kepindahan mereka dari rumah gadang biasanya
disebabkan oleh karena rumah gadang sudah sempit atau karena ingin hidup
mandiri lepas dari mertua. Penyebab lainnya bisa juga karena perbedaan pendapat
dapat berbuat semaunya seperti keluarga batih yang tinggal di luar komunitas asal.
Hal ini disebabkan karena keluarga batih ini masih terikat dengan norma-norma
kaum yang berlaku di bawah pengawasan mamak kepala waris, karena rumah
mereka biasanya terletak di atas tanah suku atau kaum pihak perempuan.
Meskipun demikian, pola hubungan suami istri di rumah tersebut sudah jauh
berbeda dengan pola hubungan yang berlaku di rumah gadang. Di sini sudah
terdapat kelonggaran disiplin yang dapat membawa hubungan suami istri ke arah
yang lebih baik dalam demokratis, secara bertahap juga sudah terjadi pergeseran-
pergeseran tanggung jawab. Seorang suami yang sebelumnya tidak tahu menahu
mencukupinya. Sejalan dengan itu, perhatian, tenaga, dan waktunya sudah banyak
Oleh karena itu, boleh dikatakan hampir seluruh waktunya dicurahkan untuk istri
dan anak-anaknya.
Dari pihak istri pun terjadi pula perubahan yang makin lama makin
menjauhi kehidupan rumah gadang yang bersifat komunal. Dia ingin hidup
tentram bersama suami dan ank-anaknya, jauh dari keluarga luasnya. Hal ini telah
dapat dihindari lagi karena perubahan sosial yang berlangsung dalam masyarakat.
Hubungan dengan keluarga luas sudah mulai berkurang. Dia hanya akan
datang ke rumah gadang jika ada masalah-masalah yang rumit yang harus
sekarang dapat menjalin hubungan yang lebih baik dengan suaminya, yang
Keluarga ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab suami istri, baik ke luar
maupun ke dalam. Tanggung jawab ke dalam biasanya dikelola oleh istri, seperti
lainnya. Suami biasanya bertanggung jawab keluar, yaitu mencari nafkah untuk
mencukupi kebutuhan anak dan istrinya. Dalam suasana hubungan seperti ini,
Suasana hubungan suami istri dalam keluarga batih tidak lagi terikat dan
terbatas seperti yang berlaku dalam keluarga luas. Suami tidak lagi kikuk dan
tidak pula perlu berbuat dan bertingkah laku yang hati-hati sekali. Kalau ia ingin
2.1.2 Ekonomi
peran yang penting bagi perempuan tidak hanya sebagai sumber keturunan, tapi
2
Witrianto, “Hubungan Suami dengan Istri dalam Keluarga di Minangkabau”.
menciptakan peran yang khas pada perempuan karena sistem ini menganut garis
keturunan ibu.
Hampir seluruh istri nelayan (90,0%) memiliki peran yang tinggi dalam
peran dalam tanggung jawab dan wewenang antara suami dan istri dalam hal
peran pengelolaan keuangan, peran domestik, dan peran publik atau sosial.
urusan domestik seperti dalam hal perawatan anak sehari-hari, urusan rumah
3
Arina Zuliany. Skripsi : “Peran Istri Dalam Pengelolaan Sumberdaya Keluarga dan
Kesejahteraan Subyektif Keluarga Nelayan Pada Sistem Matrilineal”(Bogor : Institut Pertanian
Bogor, 2013)
2.2 Hubungan Orang Tua dan Anak Pada Masyarakat Minangkabau
hokum tertulis tentang kedudukan anak dibawah umur atas harta peninggalan
pengaruh hokum islam terutama yang berhubungan dengan azas, pengertian dan
kedudukan anak di bawah umur, siapa yang menjadi wali dan bagaimana
pengawasan terhadap wali serta hak anak dibawah umur terhadap harta
anak di bawah umur di nagari panampuang adalah orang yang belum baligh,
belum kawin dan belum manpu memenuhi kebutuhan dan tidak berdasarkan pada
umur tertentu. Dalama adat kedudukan anak di bawah umur belum bisa dituntut
tanggung jawabnya dan belum bisa menuntut haknya sepanjang adat. Tanggung
jawab anak dilakukan oleh orang tua, bukan lagi dilakukan oleh ibu, untuk anak
dilakukan oleh keluarga ibu dengan sistem kekeluargaan yang dianut. Namun,
4
Rahmi Yuliad, Tesis : “Kedudukan Anak di Bawah Umur Atas Harta Peninggalan Orang Tuanya
Pada Masyarakat Minangkabau”. USU Repository 2002.
hidup dalam masyarakatnya. Artinya tidak mudah bagi seseorang untuk
mengganti budaya, nilai-nilai, dengan budaya dan nilai-nilai lain dalam waktu
biasanya juga didukung oleh kerabat. Dengan anggapan bahwa hal-hal yang
diajarkan oleh pihak yang lebih tua tentunya merupakan ajaran-ajaran yang baik
keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak yang bertempat tinggal di RT 21, 22 dan
bahwa pola asuh anak yang diterapkan tidak berbeda antara anak laki-laki dan
anak perempuan. Anak laki-laki dan anak perempuan menerima pengasuhan yang
Minang yang tinggal di desa dan kota menyatakan bahwa anak yang tinggal di
5
Nini Anggraini, “Pengasuhan Anak (Child Rearing) Pada Keluarga Kawin Campur Minang-
Tionghoa (Studi Kasus Di Kota Padang)”. Jurnal Sosiologi Andalas. VolumeXI, No.2, 2011.
6
Maria Dewi Rahayu dan Siti Amanah, “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pola Asuh
Anak Pada Keluarga Etnis Minang, Jawa Dan Batak”. Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
anak yang tinggal di desa. Hal tersebut dipengaruhi oleh nomor urut anak dalam
keluarga, pendidikan orangtua dan pendapatan keluarga. Pada kasus ini, keluarga
migran etnis Minang tinggal di kawasan perkotaan yang telah modern dan
Jumlah anak dan nomor urut anak dalam keluarga juga mempengaruhi
pengasuhan yang diberikan orangtua pada anak. Pada responden keluarga etnis
Minang yang tergolong keluarga kecil, anak masih memperoleh perhatian penuh
dari kedua orangtuanya. Berbeda dengan keluarga etnis Minang yang tergolong
keluarga besar dengan jumlah anak yang banyak. Perhatian orangtua tidak lagi
sepenuhnya diterima oleh anak karena orangtua mempunyai tanggung jawab besar
pengasuhan yang diberikan orangtua. Jika usia anak telah dirasa cukup dewasa
maka orangtua tidak lagi mengawasi dan memperhatikan anak seperti saat anak
masih kecil. Anak dibiarkan melakukan apa yang diinginkan dan hanya diawasi
sesekali oleh orangtua. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara anak yang
telah beranjak dewasa dengan orangtuanya tidak sedekat hubungan saat anak
Kekerabatan antara sumando dan pasumandan beserta ipa dan bisan muncul
istrinya. Seorang istri disebut pasumandan oleh keluarga inti dari suaminya, dan
dari istri, oleh suami disebut bisan, sedangkan saudara perempuan disebut ipa
(ipar). Hubungan timbal balik antara keluarga suami dengan keluarga istri disebut
bisan.
2.3.1 Induak Bako Dan Anak Pisang Beserta Mintuo Dengan Minantu
Hubungan kekerabatan induak bako dan anak pisang adalah hubungan antara
bapak bagi seorang anak disebut induak bako. Anak-anak dari saudara laki-laki
disebut anak pisang. Istri dan suami dari anak-anak disebut minantu. Anak-anak
pisang dari saudara perempuan bapaknya, kebawah ia menjadi induak bako bagi
saudara perempuan bapaknya, tetapi tidak menjadi induak bako bagi anak saudara
laki-lakinya.
Di minangkabau anak pisang lazim disebut sebagai anak pusako. Anak perempuan
didalam fungsinya sebagai anak pusako berhak mendapat pendidikan dari bako
saja. Oleh karena itu, untuk merapatkan hubungan antara induak bako dengan
anak pisang, seorang anak laki-laki dianjurkan menikah dengan kemenakan
tinggal di rumah istrinya dari pada istri terhadap mintuonya. Kewajiban seorang
hari-hari tertentu atau dalam minangkabau disebut hari baik. Hal seperti ini sudah
7
“Hubungan kekerabatan di minangkabau”
(http://www.kabaranah.com. Diiakses pada 4 Oktober 2017)
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Suami Istri menurut pola ideal, setelah menikah seorang laki-laki di Minangkabau
akan menetap di lingkungan keluarga istri yang disebut dengan pola matrilokal.
Peran istri dalam pengelolaan sumber daya keluarga adalah posisi tawar yang
diterapkan tidak berbeda antara anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki
dan anak perempuan menerima pengasuhan yang sama satu sama lain. Hubungan
Pasumandan Beserta Ipa dan Bisan dan Induak Bako Dan Anak Pisang Beserta
Rahmi Yuliad, Tesis : “Kedudukan Anak di Bawah Umur Atas Harta Peninggalan
Orang Tuanya Pada Masyarakat Minangkabau”. USU Repository 2002.