Anda di halaman 1dari 21

HUBUNGAN KELUARGA PADA MASYARAKAT MINANGKABAU

SOSIOLOGI KELUARGA

Disusun Oleh Kelompok 5 :

Puspita Andini 1516011054

Ega Hernest Hadinata 1516011056

Yolla Monica Ayu Anggraeyny 1516011058

Mohammad Yasier 1516011062

Arief Juliansyah Putra 1516011064

Muh. Abdul Aziz K R 1516011066

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah saya dapat

menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Sosiologi Keluarga ini sebatas

pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Dan juga kami berterima kasih pada

Ibu Yuni Ratnasari selaku Dosen mata kuliah Soiologi Keluarga yang telah

memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah

wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di

dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang

kamiharapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi

perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna

tanpa sarana yang membangun.

Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.

Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri

maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat

kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran

yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Bandar Lampung, 4 Oktober 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

1. PENDAHULUAN ...............................................................................................1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 2

1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................... 2

2. PEMBAHASAN .................................................................................................3

2.1 Struktur Hubungan Keluarga .............................................................................3

2.2 Hubungan Suami Istri Pada Masyarakat Minangkabau ........................................ 5


2.3 Hubungan Orang tua dan Anak Pada Masyarakat Minangkabau ...................... 12
2.4 Hubungan Antar Saudara Pada Masyarakat Minangkabau ................................ 14

3. PENUTUP .........................................................................................................17

3.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 17

Daftar Pustaka
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ada tiga hubungan dasar manusia, yang pertama adalah hubungan antara suami

dan istri; kemudian hubungan antara orangtua dan anak, lalu hubungan antara

saudara. Etnis Minangkabau merupakan etnis yang menganut sistem kekerabatan

Matrilineal, dimana garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu. Menurut J.J

Bachofen sistem Matrilineal ini merupakan sistem kekerabatan tertua di dunia.

Pola-pola hubungan dalam keluarga di Minangkabau sangat ditentukan oleh

struktur, fungsi, tipe, dan pola tempat tinggal yang dianut dalam satu keluarga.

Bentuk-bentuk hubungan yang terdapat dalam keluarga di antara dapat dibedakan

antara pola hubungan yang terjadi dalam keluarga luas dan pola hubungan yang

terjadi dalam keluarga luas. Hubungan tersebut ada yang berbentuk horizontal dan

ada pula yang berbentuk vertikal.

Hal inilah yang kemudian menarik untuk diketahui mengenai “Hubungan

Keluarga Pada Masyarakat Minang”. Semoga Makalah ini dapat menjadi jawaban

dan memberikan pemahaman terkait pertanyaan yang dikaji.


1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang didapat rumusan masalah mengenai Hubungan

Keluarga Pada Masyarakat Minangkabau.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui tentang Hubungan Keluarga Pada

Masyarakat Minangkabau.
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Struktur Hubungan Keluarga

2.1.1 Struktur Komplementer

Disebut juga pola keluarga tradisional. Pada struktur ini ada dua pihak

yang menjalankan peran yang tidak sama. Masing-masing menekankan

ketidaksamaan itu. Setiap pihak tidak bisa hidup tanpa kehadiran pihak lain.

Struktur ini bertentangan dengan asumsi sebagian orang yang mengatakan bahwa

keluarga itu akan baik apabila kedua belah pihak, suami istri, mempunyai banyak

kesamaan, similarity. Dalam struktur komplementer, kesamaan justru merusak

hubungan suami istri. Misalnya dua-duanya sama-sama pendiam, atau sama-sama

pemarah. Tentu kelaurga seperti ini tidak akan damai. Walhasil, tidak betul

anggapan bahwa keluarga yang memiliki banyak kesamaan relative stabil.1

Dari sekian banyak penelitian ditemukan bahwa struktur keluarga yang

terjamin stabilitasnya adalah struktur keluarga tradisional, struktur komplementer.

Suami misalnya sebagai pencari nafkah, istri berperan sebagai pengurus rumah

tangga yang memelihara dan membimbing anak-anak. Istri sangat membutuhkan

suami, seperti juga suami sangat membutuhkan istrinya

Struktur keluarga seperti ini juga mendapatkan kritik juga karena salah

satu karakteristik komplementer ialah adanya hubungan kekuasaan yang tidak


1
sq for kids, Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, (https://inseparfoundation.wordpress.com/.

Diakses pada 4 Oktober 2017)


seimbang. Ada power relationshiop yang tidak seimbang. Biasaya suami

memiliki lebih banyak kekuasaan ketimbang istri. Struktur komplementer juga

memiliki kelemahan dibalik kestabilannya, yaitu tampak apabila keluarga ini

dipisahkan secara tiba-tiba. Mereka akan mengalami kesulitan. Sebagai contoh

apabila salah satunya meninggal atau terpisahkan, maka sulit bagi pihak lainnya u

ntuk memperoleh keseimbangan psikologi kembali karena telah tercipta saling

ketergantungan emosional yang sangat kuat.

2.1.2 Struktur Simetris

Disebut juga struktur keluarga modern. Suami istri memasuki pernikahan

seperti sebuah kontrak, dan mereka merumuskan kontrak itu secara tertulis.

Diantara keduanya ada power yang seimbang. Keduanya bisa memutuskan

kehendaknya sendiri, bebas dalam kemandirian. Di sini unsure otonomi lebih

dominan daripada unsure relationship. Masing-masing mempunyai kehidupan

sendiri dan mereka diikat oleh sebuah kerjasama yang disebut sebagai kontrak

keluarga. Semuanya bisa mengejar karier sesuai keinginannya.

Struktur simetris cendering tidak stabil, bahkan biasanya tidak tahan terhadap

guncangan yang terjadi pada kehidupan keluarga. Misalnya ketika menghadapi

persoalan besar di lingkungan keluarga, masing-masing pihak cenderung

menyelesaikan persoalan itu sendiri-sendiri.


2.1.3 Struktur Paralel

Gabungan struktur komplementer dan simetris. Kedua belah pihak berada

dalam hubungan komplementer, saling melengkapi, saling bergantung, tetapi

dalam waktu yang sama mereka memiliki beberapa bagian dari perilaku

kekeluargaan mereka yang mandiri. Jadi, masing-masing memilih bagian-bagian

yang mandiri dan dilakukan lewat negosiasi.

2.2 Hubungan Suami Istri Pada Masyarakat Minangkabau

2.1.1 Pola Menetap

Menurut pola ideal, setelah menikah seorang laki-laki di Minangkabau

akan menetap di lingkungan keluarga istri yang disebut dengan pola matrilokal.

Dalam pola aktual sekarang ini tidak semua keluarga di Minangkabau bertempat

tinggal di lingkungan keluarga istri, tetapi banyak pula yang bertempat tinggal di

lingkungan keluarga suami yang disebut patrilokal, atau di tempat baru yang

bukan lingkungan keluarga istri maupun keluarga suami yang disebut neolokal.

Bentuk bentuk hubungan yang ada dalam tiga bentuk pola keluarga ini,

baik antara sesama anggota keluarga batih maupun dengan anggota kerabat

lainnya dalam kehidupan sehari-hari tidak begitu bayak berbeda. Meskipun

pasangan suami istri tidak lagi bertempat tinggal secara matrilokal, tetapi fungsi

dan struktur keluarga yang ada dalam keluarga tersebut tidak jauh berubah.

Perbedaan yang terlihat lebih menyolok adalah antara fungsi dan struktur keluarga

dalam keluarga batih dan keluarga luas, baik yang berbentuk matrilokal,

patrilokal, maupun neolokal.


Sepasang suami istri di Minangkabau terikat dengan kebiasaan-kebiasaan

yang berlaku secara turun-temurun, yang terkadang bertentangan dengan

keinginan-keinginan yang tumbuh dalam diri seseorang yang baru saja menaiki

tangga perkawinan. Janji sehidup semati dalam menempuh hidup berkeluarga

belum dapat diwujudkan dengan baik, karena keterikatan mereka dengan norma-

norma adat yang berlaku di Minangkabau..

Dalam pola ideal seorang suami sesudah menikah, tingal bersama istrinya

di sebuah rumah gadang bersama-sama dengan keluarga istrinya. Ia adalah urang

sumando atau tamu dari keluarga istrinya, dengan kondisi atau keadaan yang

serba terbatas. Akan tetapi, dia sangat dihormati dan dimanjakan oleh pihak

mertuanya. Sebagai seorang tamu, ia tidak dibebani dengan tugas dan tanggung

jawab terhadap istri dan anak-anaknya.

Seorang suami dalam pola ideal ini tidak pernah ada di rumah istrinya

pada siang hari. Ia akan pergi dari rumah istrinya sebelum matahari terbit dan baru

kembali pada malam hari. Pada waktu siang ia berada atau bekerja di rumah

keluarga ibunya, guna mencukupi kebutuhan hidup, baik di sawah maupun di

ladang. Di sana ia berfungsi sebagai mamak, menguasai kemenakan-

kemenakannya dalam kehidupan sehari-hari serta menjaga harta pusaka kaumnya.

Jika istri ingin menemui suaminya pada siang hari, ia harus pergi ke tempat kaum

kerabat atau di sawah keluarga suaminya tempat suaminya bekerja pada waktu itu.

Keterbatasan waktu seorang suami berada di rumah istrinya menyebabkan

hubungan suami istri kurang lancar. Keterbatasan dan kekurangan waktu


menyebabkan terbatasnya bagi suami istri untuk berkumpul dan berbincang-

bincang untuk membicarakan masalah-masalah mereka berdua. Hal ini

menyebabkan kurang terbukanya kedua belah pihak dan membawa kekakuan

dalam hubungan keluarga. Bila ada masalah-masalah rumahtangga, biasanya

seorang istri tidak mengadu kepada suaminya, melainkan kepada mamak atau

kepada ibunya. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Rajab (1969), bahkan

mengatakan bahwa Kebanyakan istri menganggap suaminya hanya orang asing

dan bukan kepunyaannya, serta keluarganya menganggap orang menumpang.

Sebaliknya, seorang suami selama berada dalam lingkungan rumah

gadang, di samping sebagai tamu dia juga harus menyesuaikan diri dengan norma-

norma yang berlaku. Apalagi kalau di rumah tersebut ada beberapa keluarga.

Tingkah laku dalam rumah gadang ini harus dijaganya dengan baik, agar tidak

menyinggung perasaan mertua, ipar, dan saudara-saudara istrinya. Rumah gadang

juga sering dikunjungi oleh sanak saudara istri dan mertuanya, yang membawa

hubungan yang penuh aturan, baik dalam berbicara, berbuat dan bertindak. Tata

krama yang demikian menyebabkan seorang suami bertambah kikuk dalam

pergaulan suami istri.

Suasana hubungan dalam rumah gadang inilah yang sesungguhnya

menyebabkan seorang suami tidak betah di rumah. Oleh karena itu, pada pagi hari

ia pergi dan baru pulang pada malam hari ke rumah istrinya. Di samping itu tidak

jelasnya pekerjaan dan tanggung jawab yang akan dipikulnya sepanjang adat atau

tradisi yang berlaku. Akibatnya merembet lebih dalam kepada hubungan suami
istri dari setiap anak dan menantu yang seharusnya tidak terjadi. Seringkali hal

yang demikian berakhir dengan perceraian.

Hubungan suami istri dalam keluarga batih berbeda dengan keluarga luas.

Keluarga batih terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum kawin. Pada

umumnya keluarga batih ini sudah menempati rumah sendiri yang letaknya tidak

begitu jauh dari rumah gadang. Kepindahan mereka dari rumah gadang biasanya

disebabkan oleh karena rumah gadang sudah sempit atau karena ingin hidup

mandiri lepas dari mertua. Penyebab lainnya bisa juga karena perbedaan pendapat

yang berkisar di sekitar pembagian pemakaian harta pusaka ataupun perlakuan

mertua terhadap menantu dan anak-anaknya.

Setelah sebuah keluarga batih menempati rumah sendiri, mereka tidak

dapat berbuat semaunya seperti keluarga batih yang tinggal di luar komunitas asal.

Hal ini disebabkan karena keluarga batih ini masih terikat dengan norma-norma

kaum yang berlaku di bawah pengawasan mamak kepala waris, karena rumah

mereka biasanya terletak di atas tanah suku atau kaum pihak perempuan.

Meskipun demikian, pola hubungan suami istri di rumah tersebut sudah jauh

berbeda dengan pola hubungan yang berlaku di rumah gadang. Di sini sudah

terdapat kelonggaran disiplin yang dapat membawa hubungan suami istri ke arah

yang lebih baik dalam demokratis, secara bertahap juga sudah terjadi pergeseran-

pergeseran tanggung jawab. Seorang suami yang sebelumnya tidak tahu menahu

dengan kebutuhan keluarganya, sekarang sudah harus mengusahakan dan

mencukupinya. Sejalan dengan itu, perhatian, tenaga, dan waktunya sudah banyak

dicurahkan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya, yang menyebabkan


berkurangnya waktu dan perhatiannya terhadap rumah ibu dan kemenakannya.

Oleh karena itu, boleh dikatakan hampir seluruh waktunya dicurahkan untuk istri

dan anak-anaknya.

Dari pihak istri pun terjadi pula perubahan yang makin lama makin

menjauhi kehidupan rumah gadang yang bersifat komunal. Dia ingin hidup

tentram bersama suami dan ank-anaknya, jauh dari keluarga luasnya. Hal ini telah

mulai melahirkan sifat-sifat individu dalam masyarakat Minangkabau yang tidak

dapat dihindari lagi karena perubahan sosial yang berlangsung dalam masyarakat.

Keluarga batih yang sebelumnya tidak terlihat peranannya dalam masyarakat

Minangkabau, sekarang sudah memperlihatkan diri. Ibu-ibu sekarang sudah

mempunyai tanggung jawab terhadap keluarganya.

Hubungan dengan keluarga luas sudah mulai berkurang. Dia hanya akan

datang ke rumah gadang jika ada masalah-masalah yang rumit yang harus

dibicarakan dengan ibu, mamak-mamak, dan saudara-saudaranya, seperti masalah

perkawinan, kematian, dan pembagian harta pusaka kaumnya. Seorang istri

sekarang dapat menjalin hubungan yang lebih baik dengan suaminya, yang

sebelumnya tidak pernah dirasakan sewaktu masih tinggal di rumah gadang.

Dengan menempati rumah sendiri, peranan keluarga batih mulai terlihat.

Keluarga ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab suami istri, baik ke luar

maupun ke dalam. Tanggung jawab ke dalam biasanya dikelola oleh istri, seperti

memasak, merawat anak, membersihkan rumah, dan pekerjaan rumahtangga

lainnya. Suami biasanya bertanggung jawab keluar, yaitu mencari nafkah untuk
mencukupi kebutuhan anak dan istrinya. Dalam suasana hubungan seperti ini,

seorang istri menjadi sangat tergantung kepada kemampuan suaminya, karena

masa depan diri dan anak-anaknya berada di tangan suaminya.

Suasana hubungan suami istri dalam keluarga batih tidak lagi terikat dan

terbatas seperti yang berlaku dalam keluarga luas. Suami tidak lagi kikuk dan

tidak pula perlu berbuat dan bertingkah laku yang hati-hati sekali. Kalau ia ingin

minum atau makan bisa mengambil langsung atau menyuruh anak-anaknya

menghidangkannya. Suami sudah merasakan adanya kemerdekaan dan kebebasan

bergaul dengan istri dan anak-anaknya2.

2.1.2 Ekonomi

Masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal yang merupakan

sistem kekerabatan berdasarkan garis ibu. Sistem kekerabatan ini memberikan

peran yang penting bagi perempuan tidak hanya sebagai sumber keturunan, tapi

juga sebagai simbol kearifan, kebijakan, finansial, kekuatan, keindahan,

kemegahan, dan masa depan. Penguasaan perempuan terhadap basis ekonomi,

fisik, dan budaya dengan berlandaskan sistem “matrilineal-nya”, membuat

perempuan Minangkabau relatif memiliki akses penguasaan dan kemampuan

pemanfaatan ekonomis yang tinggi dan mandiri (Khaidir 2005).

2
Witrianto, “Hubungan Suami dengan Istri dalam Keluarga di Minangkabau”.

(http://witrianto.blogdetik.com. Diakses pada 4 Oktober 2017)


Peran istri dalam pengelolaan sumber daya keluarga adalah posisi tawar

yang dimiliki oleh istri karena keterlibatannya dalam merencanakan, mengatur,

melaksanakan, dan mengelola sumberdaya keluarga. Sistem matrilineal

menciptakan peran yang khas pada perempuan karena sistem ini menganut garis

keturunan ibu.

Hampir seluruh istri nelayan (90,0%) memiliki peran yang tinggi dalam

pengelolaan sumberdaya keluarganya. Indikator pengukuran peran istri dalam

pengelolaan sumberdaya keluarga diantaranya diukur berdasarkan pembagian

peran dalam tanggung jawab dan wewenang antara suami dan istri dalam hal

peran pengelolaan keuangan, peran domestik, dan peran publik atau sosial.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa istri berperan paling dominan dalam

urusan domestik seperti dalam hal perawatan anak sehari-hari, urusan rumah

tangga, dan pemeliharaan kebersihan rumah. penerapan matrilineal dalam

keluarga berpengaruh signifikan terhadap peran sosialnya.3

3
Arina Zuliany. Skripsi : “Peran Istri Dalam Pengelolaan Sumberdaya Keluarga dan
Kesejahteraan Subyektif Keluarga Nelayan Pada Sistem Matrilineal”(Bogor : Institut Pertanian
Bogor, 2013)
2.2 Hubungan Orang Tua dan Anak Pada Masyarakat Minangkabau

Masyarakat adat Minangkabau mempunyai kaidah-kaidah hukum diluar

hokum tertulis tentang kedudukan anak dibawah umur atas harta peninggalan

orang tuanya, terutama sekali tentang adanya perkembangan hukum dan

pengaruh hokum islam terutama yang berhubungan dengan azas, pengertian dan

kedudukan anak di bawah umur, siapa yang menjadi wali dan bagaimana

pengawasan terhadap wali serta hak anak dibawah umur terhadap harta

peninggalan orang tuanya jika terjadi putus perkawinan karena kematian.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa azas anak dibawah umur di

Minangkabau adalah azas keadilan, kepatutan dan azas perlindungan. Pengertian

anak di bawah umur di nagari panampuang adalah orang yang belum baligh,

belum kawin dan belum manpu memenuhi kebutuhan dan tidak berdasarkan pada

umur tertentu. Dalama adat kedudukan anak di bawah umur belum bisa dituntut

tanggung jawabnya dan belum bisa menuntut haknya sepanjang adat. Tanggung

jawab anak dilakukan oleh orang tua, bukan lagi dilakukan oleh ibu, untuk anak

yatim pemeliharaan dilakukan oleh ibu, sedangkan untuk piatu pemeliharaan

dilakukan oleh keluarga ibu dengan sistem kekeluargaan yang dianut. Namun,

telah ditemui pemeliharaan yang dilakukan oleh ayah. Pengawasan dari

pemeliharaan anak dibawah umur diawasi oleh masyarakat lingkungan adat.4

Setiap orang mengalami pembinaan kebudayaan pertama kali dari

lingkungannya (keluarga). Semenjak kecil ia telah diresapi dengan budaya yang

4
Rahmi Yuliad, Tesis : “Kedudukan Anak di Bawah Umur Atas Harta Peninggalan Orang Tuanya
Pada Masyarakat Minangkabau”. USU Repository 2002.
hidup dalam masyarakatnya. Artinya tidak mudah bagi seseorang untuk

mengganti budaya, nilai-nilai, dengan budaya dan nilai-nilai lain dalam waktu

yang singkat. Selanjutnya dalam kehidupan sehari-hari tampaknya ada

kecendrungan bahwa upaya pengasuhan anak dalam keluarga dipengaruhi oleh

pengalaman yang didapatkan orang tua yang diteruskan kepada anak-anaknya.

Pengasuhan anak yang diterima seseorang dari orang tuanya tersebut

biasanya juga didukung oleh kerabat. Dengan anggapan bahwa hal-hal yang

diajarkan oleh pihak yang lebih tua tentunya merupakan ajaran-ajaran yang baik

meskipun belum tentu benar.5

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kelurahan Sukajadi, Kecamatan

Dumai Timur,Kota Dumai, Provinsi Riau, populasi penelitian adalah seluruh

keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak yang bertempat tinggal di RT 21, 22 dan

23 Kelurahan Sukajadi, Pada responden keluarga migran etnis Minang, terlihat

bahwa pola asuh anak yang diterapkan tidak berbeda antara anak laki-laki dan

anak perempuan. Anak laki-laki dan anak perempuan menerima pengasuhan yang

sama satu sama lain.6

Sa’adiyah (1998) dalam penelitiannya pada keluarga etnis Jawa dan

Minang yang tinggal di desa dan kota menyatakan bahwa anak yang tinggal di

kota lebih banyak menerima stimulasi dari orangtuanya dibandingkan dengan

5
Nini Anggraini, “Pengasuhan Anak (Child Rearing) Pada Keluarga Kawin Campur Minang-
Tionghoa (Studi Kasus Di Kota Padang)”. Jurnal Sosiologi Andalas. VolumeXI, No.2, 2011.
6
Maria Dewi Rahayu dan Siti Amanah, “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pola Asuh
Anak Pada Keluarga Etnis Minang, Jawa Dan Batak”. Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
anak yang tinggal di desa. Hal tersebut dipengaruhi oleh nomor urut anak dalam

keluarga, pendidikan orangtua dan pendapatan keluarga. Pada kasus ini, keluarga

migran etnis Minang tinggal di kawasan perkotaan yang telah modern dan

memiliki akses bebas terhadap teknologi

Jumlah anak dan nomor urut anak dalam keluarga juga mempengaruhi

pengasuhan yang diberikan orangtua pada anak. Pada responden keluarga etnis

Minang yang tergolong keluarga kecil, anak masih memperoleh perhatian penuh

dari kedua orangtuanya. Berbeda dengan keluarga etnis Minang yang tergolong

keluarga besar dengan jumlah anak yang banyak. Perhatian orangtua tidak lagi

sepenuhnya diterima oleh anak karena orangtua mempunyai tanggung jawab besar

untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Usia anak juga mempengaruhi

pengasuhan yang diberikan orangtua. Jika usia anak telah dirasa cukup dewasa

maka orangtua tidak lagi mengawasi dan memperhatikan anak seperti saat anak

masih kecil. Anak dibiarkan melakukan apa yang diinginkan dan hanya diawasi

sesekali oleh orangtua. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara anak yang

telah beranjak dewasa dengan orangtuanya tidak sedekat hubungan saat anak

masih kecil dan berada dalam pengawasan orangtua sepenuhnya.

2.3 Hubungan Antar Saudara Pada Masyarakat Minangkabau

2.3.1 Sumando dan Pasumandan Beserta Ipa dan Bisan

Kekerabatan antara sumando dan pasumandan beserta ipa dan bisan muncul

disebabkan karena adanya perkawinan. Seorang bapak atau suami disebut


sumando didalam keluarga inti dan dipanggil sumando oleh saudara-saudara

istrinya. Seorang istri disebut pasumandan oleh keluarga inti dari suaminya, dan

dipanggil pasumandan oleh saudara-saudara suaminya. Saudara-saudara laki-laki

dari istri, oleh suami disebut bisan, sedangkan saudara perempuan disebut ipa

(ipar). Hubungan timbal balik antara keluarga suami dengan keluarga istri disebut

bisan.

2.3.1 Induak Bako Dan Anak Pisang Beserta Mintuo Dengan Minantu

Hubungan kekerabatan induak bako dan anak pisang adalah hubungan antara

seorang perempuan dengan saudara-saudara laki-lakinya. Saudara perempuan dari

bapak bagi seorang anak disebut induak bako. Anak-anak dari saudara laki-laki

disebut anak pisang. Istri dan suami dari anak-anak disebut minantu. Anak-anak

menyebut orangtua istri atau suaminya mintuo.

Jadi seorang perempuan, memiliki dua kedudukan, keatas ia merupakan anak

pisang dari saudara perempuan bapaknya, kebawah ia menjadi induak bako bagi

anak-anak saudara laki-lakinya. Sedangkan laki-laki adalah anak pisang dari

saudara perempuan bapaknya, tetapi tidak menjadi induak bako bagi anak saudara

laki-lakinya.

Di minangkabau anak pisang lazim disebut sebagai anak pusako. Anak perempuan

didalam fungsinya sebagai anak pusako berhak mendapat pendidikan dari bako

dan mamaknya, sedangkan anak laki-laki mendapat pendidikan dari mamaknya

saja. Oleh karena itu, untuk merapatkan hubungan antara induak bako dengan
anak pisang, seorang anak laki-laki dianjurkan menikah dengan kemenakan

bapak atau anak mamaknya.

Seorang minantu laki-laki lebih erat hubungannya dengan mintuo karena ia

tinggal di rumah istrinya dari pada istri terhadap mintuonya. Kewajiban seorang

istri lebih berat kewajibannya di bandingkan suami dalam bidang menjalin

hubungan silaturahmi. Seorang istri wajib berkunjung kerumah mintuonya pada

hari-hari tertentu atau dalam minangkabau disebut hari baik. Hal seperti ini sudah

menjadi adat istiadat yang lazim dalam Minangkabau.7

7
“Hubungan kekerabatan di minangkabau”
(http://www.kabaranah.com. Diiakses pada 4 Oktober 2017)
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Etnis Minangkabau merupakan etnis yang menganut sistem kekerabatan

Matrilineal, dimana garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu. Hubungan

Suami Istri menurut pola ideal, setelah menikah seorang laki-laki di Minangkabau

akan menetap di lingkungan keluarga istri yang disebut dengan pola matrilokal.

Peran istri dalam pengelolaan sumber daya keluarga adalah posisi tawar yang

dimiliki oleh istri karena keterlibatannya dalam merencanakan, mengatur,

melaksanakan, dan mengelola sumberdaya keluarga. Pola asuh anak yang

diterapkan tidak berbeda antara anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki

dan anak perempuan menerima pengasuhan yang sama satu sama lain. Hubungan

antar saudara pada masyarakat Minangkabau antara lain Sumando dan

Pasumandan Beserta Ipa dan Bisan dan Induak Bako Dan Anak Pisang Beserta

Mintuo Dengan Minantu


DAFTAR PUSTAKA

Nini Anggraini, “Pengasuhan Anak (Child Rearing) Pada Keluarga Kawin


Campur Minang-Tionghoa (Studi Kasus Di Kota Padang)”. Jurnal Sosiologi
Andalas. VolumeXI, No.2, 2011.

Maria Dewi Rahayu dan Siti Amanah, “Faktor-Faktor Yang Berhubungan


Dengan Pola Asuh Anak Pada Keluarga Etnis Minang, Jawa Dan Batak”.
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Rahmi Yuliad, Tesis : “Kedudukan Anak di Bawah Umur Atas Harta Peninggalan
Orang Tuanya Pada Masyarakat Minangkabau”. USU Repository 2002.

Arina Zuliany. Skripsi : “Peran Istri Dalam Pengelolaan Sumberdaya Keluarga


dan Kesejahteraan Subyektif Keluarga Nelayan Pada Sistem Matrilineal”(Bogor
: Institut Pertanian Bogor, 2013)

sq for kids, Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc,


(https://inseparfoundation.wordpress.com/. Diakses pada 4 Oktober 2017)

Witrianto, “Hubungan Suami dengan Istri dalam Keluarga di Minangkabau”.


(http://witrianto.blogdetik.com. Diakses pada 4 Oktober 2017)

“Hubungan kekerabatan di minangkabau”


(http://www.kabaranah.com. Diiakses pada 4 Oktober 2017)

Anda mungkin juga menyukai