Anda di halaman 1dari 16

i

PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERTANIAN : PENINGKATAN


KAPASITAS PETANI UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN PADA
PETANI

Agricultural Institutional Development: Increasing Farmers 'Capacity Payment


On Poverty Reduction On Farmers

Oleh:

Andi Rahman
1516011004

JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2018
i

Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ilmiah tentang Pengembangan Kelembagaan Pertanian :
Peningkatan Kapasitas Petani Upaya Pengentasan Kemiskinan Pada Petani .

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang Pengembangan


Kelembagaan Pertanian : Peningkatan Kapasitas Petani Upaya Pengentasan
Kemiskinan Pada Petani ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap
pembaca

Bandar Lampung, juni 2018

Penyusun
ii

Daftar Isi

HALAMAN JUDUL .........................................................................................................

KATA PENGANTAR ......................................................................................................i

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2
1.3 Tujuan ......................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................

2.1 Arti Penting Kelembagaan Petani Dalam Pembangunan Pertanian ............................ 3

2.2 Pengembangan Kelembagaan Petani ........................................................................... 5

2.3 Program-Program Pengentasan Kemiskinan Petani Berbasis Tindakan


Kolektif (Collective Action) ............................................................................................. 9

BAB III PENUTUP ...........................................................................................................

3.1 Saran ............................................................................................................................ 12

3.2 Saran ........................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


kondisi petani yang semakin susah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
sungguh ironis, karena di sisi lain pemerintah bersemangat untuk meningkatkan
produksi pangan. Menurut catatan Serikat Petani Indonesia (SPI) pendapatan
petani rata-rata per hari hanyalah sekitar 5000 rupiah. Padahal dalam catatan
Kementerian Pertanian, setiap tahun sekitar 25 juta rumah tangga petani di
Indonesia memproduksi pangan seperti padi, jagung kedelai dan ubi dengan nilai
sekitar 258 trilyun rupiah. Tidak selamanya pembangunan di sektor pertanian itu
menguntungkan bagi lingkungan dan juga bagi petaninya sendiri, sekarang
rantainya itu baru rantai pasar. Petani seringkali dihadapkan kepada masalah harus
menjual hasil panennya itu dengan harga sangat murah, dan ketika mau menanam
ia juga harus pinjam uang ke sana kemari,” sikap pemerintah kurang
membimbing para petani agar lebih mampu melakukan inovasi. Dan ini menjadi
penyebab mengapa hasil para petani monoton dan kurang dan berakibat pada
kemiskinan . Kelembagaan pertanian adalah norma atau kebiasaan yang
terstruktur dan terpola serta dipraktekkan terus menerus untuk memenuhi
kebutuhan anggota masyarakat yang terkait erat dengan penghidupan dari bidang
pertanian di pedesaan. Dalam kehidupan komunitas petani, posisi dan fungsi
kelembagaan petani merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi
sosial atau social interplay dalam suatu komunitas. Kelembagaan pertani juga
memiliki titik strategis (entry point) dalam menggerakkan sistem agribisnis di
pedesaan. Untuk itu segala sumberdaya yang ada di pedesaan perlu
diarahkan/diprioritaskan dalam rangka peningkatan profesionalisme dan posisi
tawar petani (kelompok tani). Saat ini potret petani dan kelembagaan petani di
Indonesia diakui masih belum sebagaimana yang diharapkan (Suradisastra, 2008)
Peran kelembagaan dalam membangun dan mengembangkan sektor pertanian di
Indonesia terutama terlihat dalam kegiatan pertanian tanaman pangan, khususnya
padi. Di tingkat makro nasional, peran lembaga pembangunan pertanian sangat
menonjol dalam program dan proyek intensifikasi dan peningkatan produksi
pangan. Kegiatan pembangunan pertanian dituangkan dalam bentuk program dan
proyek dengan membangun kelembagaan koersif (kelembagaan yang dipaksakan),
seperti Padi Sentra, Demonstrasi Massal (Demas), Bimbingan Massal (Bimas),
Bimas Gotong Royong, Badan Usaha Unit Desa (BUUD), Koperasi Unit Desa
(KUD), Insus, dan Supra Insus. Pada subsector peternakan dikembangkan
berbagai program dan lembaga pembangunan koersif, seperti Bimas Ayam Ras,
Intensifikasi Ayam Buras (Intab), Intensifikasi Ternak Kerbau (Intek), dan
berbagai program serta kelembagaan intensifikasi lainnya. Kondisi di atas
menunjukkan signifikansi keberdayaan kelembagaan dalam akselerasi
2

pembangunan sektor pertanian. Hal ini sejalan dengan hasil berbagai pengamatan
yang menyimpulkan bahwa bila inisiatif pembangunan pertanian dilaksanakan
oleh suatu kelembagaan atau organisasi, di mana individuindividu yang memiliki
jiwa berorganisasi menggabungkan pengetahuannya dalam tahap perencanaan dan
implementasi inisiatif tersebut maka peluang keberhasilan pembangunan
pertanian menjadi semakin besar (De los Reyes dan Jopillo 1986; USAID 1987;
Kottak 1991; Uphoff 1992a; Cernea 1993; Bunch dan Lopez 1994 dalam
Sradisastra, 2011). Menurut Dimyati (2007), permasalahan yang masih melekat
pada sosok petani dan kelembagaan petani di Indonesia adalah: 1. Masih
minimnya wawasan dan pengetahuan petani terhadap masalah manajemen
produksi maupun jaringan pemasaran. 2. Belum terlibatnya secara utuh petani
dalam kegiatan agribisnis. Aktivitas petani masih terfokus pada kegiatan produksi
(on farm). 3. Peran dan fungsi kelembagaan petani sebagai wadah organisasi
petani belum berjalan secara optimal. Untuk mengatasi permasalahan di atas
perlu melakukan upaya pengembangan, pemberdayaan, dan penguatan
kelembagaan petani (seperti: kelompoktani, lembaga tenaga kerja, kelembagaan
penyedia input, kelembagaan output, kelembagaan penyuluh, dan kelembagaan
permodalan) dan diharapkan dapat melindungi bargaining position petani.
Tindakan perlindungan sebagai keberpihakan pada petani tersebut, baik sebagai
produsen maupun penikmat hasil jerih payah usahatani mereka terutama
diwujudkan melalui tingkat harga output yang layak dan menguntungkan petani.
Dengan demikian, penguatan dan pemberdayaan kelembagaan tersebut juga untuk
menghasilkan pencapaian kesinambungan dan keberlanjutan daya dukung SDA
dan berbagai usaha untuk menopang dan menunjang aktivitas kehidupan
pembangunan pertanian di pedesaan.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam makalah ini yang diusung adalah:
1. Apa Arti Penting Kelembagaan Petani Dalam Pembangunan Pertanian?
2. Bagaimana Pengembangan Kelembagaan Petani ?
3. Apa saja Program-program Pengentasan Kemiskinan Petani Berbasis
Tindakan Kolektif (Collective Action) ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui arti Penting Kelembagaan Petani Dalam Pembangunan
Pertanian.
2. Untuk mengetahui bagaimana Pengembangan Kelembagaan Petani.
3. Untuk mengetahui apa saja Program-program Pengentasan Kemiskinan
Petani Berbasis Tindakan Kolektif (Collective Action).
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Arti Penting Kelembagaan Petani Dalam Pembangunan Pertanian


Pembangunan pertanian pada dasarnya meliputi pengembangan dan
peningkatan pada faktor-faktor: teknologi, sumberdaya alam, sumberdaya
manusia, dan kelembagaan (Uphoff, 1986; Johnson (1985) dalam Pakpahan,
1989). Faktor-faktor tersebut merupakan syarat kecukupan (sufficient
condition) untuk mencapai performance pembangunan yang dikehendaki.
Artinya, apabila satu atau lebih dari faktor tersebut tidak tersedia atau tidak
sesuai dengan persyaratan yang diperlukan, maka tujuan untuk mencapai
performance tertentu yang dikehendaki tidak akan dapat dicapai. Salah satu
permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya pertanian adalah masalah
kelembagaan pertanian yang tidak mendukung, salah satunya kelembagaan
petani. Untuk itu perlu adanya pembangunan kelembagaan petani yang
dilandasi pemikiran bahwa: (a) Proses pertanian memerlukan sumberdaya
manusia tangguh yang didukung infrastruktur, peralatan, kredit, dan
sebagainya; (b) Pembangunan kelembagaan petani lebih rumit daripada
manajemen sumberdaya alam karena memerlukan faktor pendukung dan
unitunit produksi; (c) Kegiatan pertanian mencakup tiga rangkaian: penyiapan
input, mengubah input menjadi produk dengan usaha tenaga kerja dan
manajemen, dan menempatkan output menjadi berharga; (d) Kegiatan
pertanian memerlukan dukungan dalam bentuk kebijakan dan kelembagaan
dari pusat hingga lokal; dan (e) Kompleksitas pertanian, yang meliputi unit-
unit usaha dan kelembagaan, sulit mencapai kondisi optimal.

Kelembagaan adalah keseluruhan polapola ideal, organisasi, dan aktivitas


yang berpusat di sekeliling kebutuhan dasar seperti kehidupan keluarga,
negara, agama dan mendapatkan makanan, pakaian, dan kenikmatan serta
tempat perlindungan. Suatu lembaga dibentuk selalu bertujuan untuk
memenuhi berbagai kebutuhan manusia sehingga lembaga mempunyai fungsi.
Selain itu, lembaga merupakan konsep yang berpadu dengan struktur, artinya
tidak saja melibatkan pola aktivitas yang lahir dari segi sosial untuk
4

memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga pola organisasi untuk


melaksanakannya (Roucek dan Warren, 1984). Kelembagaan petani yang
dimaksud di sini adalah lembaga petani yang berada pada kawasan lokalitas
(local institution), yang berupa organisasi keanggotaan (membership
organization) atau kerjasama (cooperatives) yaitu petani-petani yang
tergabung dalam kelompok kerjasama (Uphoff, 1986). Kelembagaan ini
meliputi pengertian yang luas, yaitu selain mencakup pengertian organisasi
petani, juga ‘aturan main’ (role of the game) atau aturan perilaku yang
menentukan pola-pola tindakan dan hubungan sosial, termasuk juga kesatuan
sosial-kesatuan sosial yang merupakan wujud kongkrit dari lembaga itu.
Kelembagaan petani dibentuk pada dasarnya mempunyai beberapa peran,
yaitu: (a) tugas dalam organisasi (interorganizational task) untuk memediasi
masyarakat dan negara, (b) tugas sumberdaya (resource tasks) mencakup
mobilisasi sumberdaya lokal (tenaga kerja, modal, material, informasi) dan
pengelolaannya dalam pencapaian tujuan masyarakat, (c) tugas pelayanan
(service tasks) mungkin mencakup permintaan pelayanan yang
menggambarkan tujuan pembangunan atau koordinasi permintaan masyarakat
lokal, dan (d) tugas antar organisasi (extra-organizational task) memerlukan
adanya permintaan lokal terhadap birokrasi atau organisasi luar masyarakat
terhadap campur tangan oleh agen-agen luar (Esman dan Uphoff dalam
Garkovich, 1989). Kelembagaan merupakan keseluruhan pola-pola ideal,
organisasi, dan aktivitas yang berpusat di sekeliling kebutuhan dasar. Suatu
kelembagaan pertanian dibentuk selalu bertujuan untuk memenuhi berbagai
kebutuhan petani sehingga lembaga mempunyai fungsi. kelembagaan
merupakan konsep yang berpadu dengan struktur, artinya tidak saja
melibatkan pola aktivitas yang lahir dari segi sosial untuk memenuhi
kebutuhan manusia, tetapi juga pola organisasi untuk melaksanakannya.
Pengelolaan sumberdaya usahatani oleh petani menyangkut pengaturan
masukan, proses produksi, serta keluaran sehingga mencapai produktivitas
yang tinggi. Usaha pertanian sendiri meliputi kegiatan-kegiatan in-put,
produksi, dan out-put (Uphoff, 1986). Dalam pengelolaan faktor-faktor
produksi, proses produksi, sampai dengan pengolahan hasil diperlukan
5

kelembagaan petani. Kegiatan usaha pertanian akan berhasil jika petani


mempunyai kapasitas yang memadai. Untuk dapat mencapai produktivitas
dan efisiensi yang optimal petani harus menjalankan usaha bersama secara
kolektif. Untuk keperluan ini diperlukan pemahaman mengenai suatu
kelembagaan di tingkat petani. Secara tradisional, kelembagaan masyarakat
petani sudah berkembang dari generasi ke generasi, namun tantangan jaman
menuntut suatu kelembagaan yang lebih sesuai dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat petani. Kelembagaan petani yang efektif ini diharapkan mampu
mendukung pembangunan pertanian. Di tingkat petani lembaga diperlukan
sebagai: (a) wahana untuk pendidikan, (b) kegiatan komersial dan organisasi
sumberdaya pertanian, (c) pengelolaan properti umum, (d) membela
kepentingan kolektif, dan (e) lain-lain. Keberadaan kelembagaan petani
didasarkan atas kerjasama yang dapat dilakukan oleh petani dalam mengelola
sumberdaya pertanian, antara lain: (a) pemprosesan (processing), agar lebih
cepat, efisien dan murah; (b) pemasaran (marketing), akan meyakinkan
pembeli atas kualitas dan meningkatkan posisi tawar petani; (c) pembelian
(buying), agar mendapatkan harga lebih murah; (d) pemakaian alat-alat
pertanian (machine sharing), akan menurunkan biaya atas pembelian alat
tersebut; (e) kerjasama pelayanan (cooperative services), untuk menyediakan
pelayanan untuk kepentingan bersama sehingga meningkatkan kesejahteraan
anggota; (f) bank kerjasama (co-operative bank); (g) kerjasama usahatani (co-
operative farming), akan diperoleh keuntungan lebih tinggi dan keseragaman
produk yang dihasilkan; dan (h) kerjasa multitujuan (multi-purpose co-
operatives), yang dikembangkan sesuai minat yang sama dari petani. Kegiatan
bersama (group action atau cooperation) oleh para petani diyakini oleh
Mosher (1991) sebagai faktor pelancar pembangunan pertanian. Aktivitas
bersama sangat diperlukan apabila dengan kebersamaan tersebut akan lebih
efektif dalam mencapai tujuan yang diinginkan bersama.

2.2 Pengembangan Kelembagaan Petani

Lembaga di pedesaan lahir untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakatnya.


Sifatnya tidak linier, namun cenderung merupakan kebutuhan individu
6

anggotanya, berupa: kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan


hubungan sosial, pengakuan, dan pengembangan pengakuan. Manfaat utama
lembaga adalah mewadahi kebutuhan salah satu sisi kehidupan sosial
masyarakat, dan sebagai kontrol sosial, sehingga setiap orang dapat mengatur
perilakunya menurut kehendak masyarakat (Elizabeth dan Darwis, 2003).
Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh suatu kelembagaan petani agar tetap
eksis dan berkelanjutan adalah:
1. Prinsip otonomi (spesifik lokal). / Pengertian prinsip otonomi disini dapat
dibagi kedalam dua bentuk yaitu :
a. Otonomi individu. Pada tingkat rendah, makna dari prinsip otonomi adalah
mengacu pada individu sebagai perwujudan dari hasrat untuk bebas yang
melekat pada diri manusia sebagai salah satu anugerah paling berharga dari
sang pencipta (Basri, 2005). Kebebasan inilah yang memungkinkan individu-
individu menjadi otonom sehingga mereka dapat mengaktualisasikan segala
potensi terbaik yang ada di dalam dirinya secara optimal. Individu-individu
yang otonom ini selanjutnya akan membentuk komunitas yuang otonom, dan
akhirnya bangsa yang mandiri serta unggul (Syahyuti, 2007).
b. Otonomi desa (spesifik lokal). Pengembangan kelembagaan di pedesaan
disesuaikan dengan potensi desa itu sendiri (spesifik lokal). Pedesaan di
Indonesia, disamping bervariasi dalam kemajemukan sistem, nilai, dan
budaya; juga memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang dan
beragam pula. Kelembagaan, termasuk organisasi, dan perangkat-perangkat
aturan dan hukum memerlukan penyesuaian sehingga peluang bagi setiap
warga masyarakat untuk bertindak sebagai subjek dalam pembangunan yang
berintikan gerakan dapat tumbuh di semua bidang kehidupannya. Disamping
itu, harus juga memperhatikann elemen-elemen tatanan Yang hidup di desa,
baik yang berupa elemen lunak (soft element) seperti manusia dengan sistem
nilai, kelembagaan, dan teknostrukturnya, maupun yang berupa elemen keras
(hard element) seperti lingkungan alam dan sumberdayanya, merupakan
identitas dinamis yang senantias menyesuaikan diri atau tumbuh dan
berkembang (Syahyuti, 2007).
7

2. Prinsip pemberdayaan. Pemberdayaan mengupayakan bagaiamana


individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka
sendiri dan mengusahakan untuk
membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Inti utama
pemberdayaan adalah tercapainya kemandirian (Payne, 1997). Pemberdayaan
berarti mempersiapkan masyarakat desa untuk untuk memperkuat diri dan
kelompok mereka dalam berbagai hal, mulai dari soal kelembagaan,
kepemimpinan, sosial ekonomi, dan politik dengan menggunakan basis
kebudayaan mereka sendiri (Taylor dan Mckenzie, 1992). Pada proses
pemberdayaan, ada dua prinsip dasar yang harus dipedomani (Saptana, dkk,
2003) yaitu :
a. Menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan
dirinya secara mandiri dan menurut cara yang dipilihnya sendiri.
b. Mengupayakan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk
memanfaatkan ruang atau peluang yang tercipta tersebut. Kebijakan ini
diterjemahkan misalnya di bidang ekonomi berupa peningkatan aksesibilitas
masyarakat terhadap faktor-faktor produksi dan pasar, sedangkan di bidang
sosial politik berupa tersedianya berbagai pilihan bagi masyarakat untuk
menyalurkan aspirasinya. Pemberdayaan dan pengembangan kelembagaan di
pedesaan , meliputi :
a. Pola pengembangan pertanian berdasarkan luas dan intensifikasi lahan,
perluasan kesempatan kerja dan berusaha yang dapat memperluas penghasilan.
b. Perbaikan dan penyempurnaan keterbatasan pelayanan sosial (pendidikan,
gizi, kesehatan, dan lain-lain).
c. Program memperkuat prasarana kelembagaan dan keterampilan mengelola
kebutuhan pedesaan. Untuk keberhasilannya diperlukan kerjasama antara :
administrasi lokal, pemerintah lokal, kelembagaan/organisasi yang
beranggotakan masyarakat lokal, kerjasama usaha, pelayanan dan bisnis
swasta (tiga pilar kelembagaan) yang dapat diintegrasikan ke dalam pasar baik
lokal, regional dan global (Uphoff, 1992). Pemberdayaan kelembagaan
menuntut perubahan operasional tiga pilar kelembagaan (Elizabeth, 2007a):
8

a. Kelembagaan lokal tradisional yang hidup dan eksisi dalam komunitas


(voluntary sector).
b. Kelembagaan pasar (private sector) yang dijiwai ideologi ekonomi terbuka.
c. Kelembagaan sistem politik atau pengambilan keputusan di tingkat publik
(public sector). Ketiga pilar yang menopang kehidupan dan kelembagaan
masyarakat di pedesaan tersebut perlu mereformasikan diri dan bersinergis
agar sesuai dengan kebutuhan yang selalu mengalami perkembangan. Inilah
yang dimaksud dengan tranformasi kelembagaan sebagai upaya
pemberdayaannya, yang dilakukan tidak hanya secara internal, namun juga
tata hubungan dari keseluruhan kelembagaan tersebut. Disisi lain,
pemberdayaan kelembagaan pada masa depan perlu diarahkan agar
berorientasi pada:
a). Pengusahaan komoditas (pangan/non pangan) yang paling menguntungkan,
b). Skala usaha ekonomis dan teknologi padat karya,
c). Win-win mutualy dengan kemitraan yang kolehial,
d). Tercipta interdependensi hulu-hilir,
e). Modal berkembang dan kredit melembaga (bank, koperasi, petani),
f). Koperatif, kompetitif dan transparan melalui sistem informasi bisnis,
g). Memanfaatkan peluang di setiap subsistem agribisnis, serta h). Dukungan
SDM yang berpendidikan, rasional, mandiri, informatif, komunikatif, dan
partisipatif (inovatif) (Elizabeth, 2007b).
Beberapa kunci dalam pengembangan kelembagaan untuk pemberdayaan
adalah : adanya akses kepada informasi, sikap inklusif dan partisipasi,
akuntabilitas, dan pengembangan organisasi lokal (Saptana, dkk, 2003).
3. Prinsip kemandirian lokal. Pendekatan pembangunan melalui cara pandang
kemandirian lokal mengisyaratkan bahwa semua tahapan dalam proses
pemberdayaan harus dilakukan secara desentralisasi. Upaya pemberdayaan
yang berbasis pada pendekatan desentralisasi akan menumbuhkan kondisi
otonom, dimana setiap komponen akan tetap eksis dengan berbagai
keragaman (diversity) yang dikandungnya (Amien, 2005). Kegagalan
pengembangan kelembagaan petani selama ini salah satunya akibat
mengabaikan kelembagaan lokal yang hidup di pedesaan, karena dianggap
9

tidak memiliki jiwa ekonomi yang memadai. Ciri kelembagaan pada


masyarakat tradisional adalah dimana aktivitas ekonomi melekat pada
kelembagaan kekerabatan dan komunitas. Pemenuhan ekonomi merupakan
tanggungjawab kelompok-kelompok komunal genealogis. Ciri utama
kelembagaan tradisional adalah sedikit kelembagaan, namun banyak fungsi.
Beda halnya dengan pada masyarakat modern yang dicirikan oleh munculnya
banyak kelembagaan dengan fungsi-fungsi yang spesifik dan sempit-sempit
(Saptana, dkk, 2003). Kemandirian lokal menunjukkan bahwa pembangunan
lebih tepat bila dilihat sebagai proses adaptasi-kreatif suatu tatanan
masyarakat dari pada sebagai serangkaian upaya mekanistis yang mengacu
pada satu rencana yang disusun secara sistematis. Kemandirian lokal juga
menegaskan bahwa organisasi seharusnya dikelola dengan lebih
mengedepankan partisipasi dan dialog dibandingkan semangat pengendalian
yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini (Amien, 2005).

2.3 Program-program Pengentasan Kemiskinan Petani Berbasis


Tindakan Kolektif (Collective Action)

Kebijakan yang muncul dari adanya tindakan kolektif pada dasarnya secara
alami telah diputuskan oleh sekelompok masyarakat. Instrumen kebijakan
pembangunan lebih efektif mereduksi kemiskinan secara tajam dibanding
dengan mengandalkan ketergantungan pada SDA yang melimpah tanpa
adanya kebijakan yang berpihak pada rakyat miskin. Oleh karena itu melalui
analisis secara bertahap, penulis ini akan merumuskan kebijakan-kebijakan
melalui program-program prioritas penanggulangan kemiskinan yang terpilih.
Tahap awal hasil analisis ZOPP yang tertuang dalam Matrik Pemilihan
Program mencakup program-program yang disusun untuk mencapai kondisi
yang diinginkan atau sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Tujuan
utama dari penelitian ini adalah tercapainya kesejahteraan petani. Di mana
indikator kesejahteraan petani mencakup 3 (tiga) hal, yaitu: kemampuan
berinvestasi yang tinggi, terpenuhinya kebutuhan pokok, serta tercapainya
kemandirian petani. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut dibutuhkan
10

interpensi dari pemerintah Berdasarkan program-program yang telah disusun


dan dianalisis dalam sub bab sebelumnya, maka terdapat implementasi
kebijakan untuk masing-masing program. Implementasi kebijakan tersebut
antara lain: pertama, program penciptaan pasar bagi petani. Implementasi
kebijakan dari program ini adalah adanya pembelian produk pertanian oleh
pemerintah serta penciptaan skill tinggi bagi petani untuk menciptakan produk
kualitas tinggi. Kedua, program pembentukan/pengaktifan KUT/Gapoktan.
Implementasi program kedua mencakup 2 (dua) segmen, yaitu implementasi
kebijakan oleh internal KUT/Gapoktan yang mencakup pelatihan
kewirausahaan dan penginternalisasian fungsi koperasi. Adapun segmen
berikutnya adalah implementasi kebijakan oleh pemerintah yang mencakup:
penyuluhan pertanian disesuaikan dengan kondisi input pertanian masing-
masing daerah, penyediaan sarana pembentukan/pengaktifan KUT/Gapoktan,
penyediaan fasilitas penunjang teknologi pertanian, dan alokasi anggaran dana
untuk pendorong aktifnya KUT/Gapoktan. Program ketiga adalah
pendampingan KUT/Gapoktan yang dapat diimplementasikan dengan adanya
pelatihan manajemen organisasi serta kemampuan menjalankan fungsi
eksternal (networking). Program terakhir adalah pengadaan lahan percontohan
di masing-masing desa. Kegiatan terakhir memberikan konsekuensi berupa
tersedianya fasilitas lahan percontohan serta penyediaan sumber daya manusia
(SDM) supervisor lahan percontohan di masing-masing desa ketidakstabilan
harga, uncertainty, petani sebagai price taker, high transaction cost,
management organisasi buruk, banyaknya tengkulak/pengepul sebagai price
maker. Oleh karena itu berdasar analisis ZOPP, program-program prioritas
yang berhasil disusun sebagai solusi bagi berbagai permasalahan tersebut
antara lain: program penciptaan pasar bagi petani, program
pembentukan/pengaktifan KUT/Gapoktan, program pendampingan
KUT/Gapoktan, serta program pengadaan lahan percontohan di masingmasing
desa. Keempat program tersebut akan diimplementasikan dalam bentuk
kebijakan-kebijakan. Program pertama dapat diimplementasikan melalui
kebijakan pembelian produk pertanian oleh pemerintah serta penciptaan skill
tinggi bagi petani untuk menciptakan produk kualitas tinggi. Program kedua
11

yaitu program pembentukan/pengaktifan KUT/Gapoktan dimulai dengan


diadakannya pelatihan kewirausahaan dan internalisasi fungsi koperasi pada
lembaga KUT. Pada program kedua ini juga memerlukan peran dan dukungan
dari pemerintah antara lain dalam bentuk: penyuluhan pertanian disesuaikan
dengan kondisi input pertanian masing-masing daerah, penyediaan sarana
pembentukan/pengaktifan KUT/Gapoktan, penyediaan fasilitas penunjang
teknologi pertanian serta alokasi anggaran dana sebagai pendorong aktifnya
KUT/Gapoktan. Program ketiga yaitu program pendampingan
KUT/Gapoktan. Program ketiga dapat diterjemahkan ke dalam beberapa
kegiatan seperti pelatihan manajemen organisasi, networking, serta
penyediaan SDM pendamping di masing-masing desa sebagai konsekuensi
pengadaan program. Program yang menjadi prioritas terakhir adalah program
pengadaan lahan percontohan di masing-masing desa. Aplikasi dari program
ini adalah tersedianya fasilitas lahan percontohan di masingmasing desa serta
penyediaan SDM supervisor lahan percontohan di masing-masing desa
12

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keberadaan kelembagaan petani bagi petani sudah menjadi keniscayaan
untuk memperbaiki taraf hidup, harkat dan martabatnya. Kelembagaan petani
harus ditempatkan sebagai sarana untuk mewujudkan harapan, keinginan, dan
pemenuhan kebutuhan petani. Kelembagaan petani yang efektif diharapkan
mampu memberi kontribusi yang nyata dalam meningkatkan kemandirian dan
martabat petani. Peningkatan kapasitas kelembagaan petani dilakukan sejalan
dengan kegiatan penyuluhan pertanian dengan memotivasi petani untuk
berpartisipasi dalam kelembagaan petani. Pengembangan masyarakat petani
melalui kelembagaan pertanian/kelompok tani merupakan suatu upaya
pemberdayaan terencana yang dilakukan secara sadar dan sungguh-sungguh
melalui usaha bersama petani untuk memperbaiki keragaman sistem
perekonomian masyarakat pedesaan. Arah pemberdayaan petani akan
disesuaikan dengan kesepakatan yang telah dirumuskan bersama. Dengan
partisipasi yang tinggi terhadap kelembagaan petani, diharapkan rasa ikut
memiliki dari masyarakat atas semua kegiatan yang dilaksanakan akan juga
tinggi dan untuk mengentaskan kemiskinan.

3.2 Saran
Keberhasilan penerapan suatu kelembagaan pertanian tidak semata-mata
diukur dengan nilai tambah ekonomi, namun harus mempertimbangkan peran
dan fungsi nilai-nilai sosio-kultural secara utuh. Nilai sosio-kultural
mencerminkan keberagaman adat dan budaya bangsa Indonesia yang
menjunjung tinggi kebhinekaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. r. Intervensi pemerintah dalam pengembangan kelembagaan
pertanian ke depan masih diperlukan. Namun, campur tangan pemerintah
tidak bersifat koersif, tetapi lebih bersifat memfasilitasi untuk mendorong
pertumbuhan kelembagaan yang bersifat kohesif. Aturan yang berkembang
pada kelembagaan lokal hendaknya bersifat kepemimpinan dengan aturan dan
undang-undang yang terkait dengan kelembagaan yang ada.
13

Daftar Pustaka
Bondan Satriawan dan Henny Oktavianti. juni 2012.” Upaya Pengentasan
Kemiskinan Pada Petani Menggunakan Model Tindakan Kolektif
Kelembagaan Pertanian.” Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume 13,
Nomor 1, Juni 2012, hlm.96-112
Wedy Nasrul. Juni 2012.” Pengembangan Kelembagaan Pertanian Untuk
Peningkatan Kapasitas Petani Terhadap Pembangunan Pertanian.”
Jurnal Menara Ilmu Vol. III No.29, Juni 2012.
Sapja Anantanyu.Februari 2011.” Kelembagaan Petani: Peran Dan Strategi
Pengembangan Kapasitasnya.” Sepa : Vol. 7 No.2 Pebruari 2011 : 102 –
109.

Anda mungkin juga menyukai