Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH KELEMBAGAAN PERTANIAN

MATA KULIAH SOSIOLOGI PERTANIAN

Dosen Pengampu :

Ir.Hj.Elfi Indrawanis, MM

Disusun oleh :

1. Elsa Juanda
2. Jodi Priatmoko
3. M.Fernando Dinensah

PRODI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS ISLAM KUANTAN SINGINGI

TALUK KUANTAN

2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Sosiologi Pertanian, dengan judul makalah
“Kelembagaan Pertanian”.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran, dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai
pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan.

Taluk Kuantan, 20 Oktober 2022

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kelembagaan Pertanian

2.2 Kebutuhan manusia, kelembagaan social, dan ekonomi

2.3 Lembaga tradisional dan Lembaga modern di pedesaan.

BAB III KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelembagaan pertanian adalah norma atau kebiasaan yang terstruktur dan terpola serta
dipraktekkan terus menerus untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat yang terkait erat
dengan penghidupan dari bidang pertanian di pedesaan.

Kelembagaan pertanian di Indonesia baik formal maupun nonformal seharusnya


memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, peningkatan
produksi dan pendapatan, serta kesejahteraan petani. Namun kinerjanya belum maksimal yang
dicirikan oleh masih sulitnya akses petani terhadap pelayanan lembaga-lembaga pertanian, yaitu
lembaga penyuluhan, lembaga penelitian, lembaga pelatihan, dan lembaga pendidikan yang ada
termasuk akses pemasaran. Akibatnya produktivitas pertanian dan pendapatan petani relative
rendah.

Keadaan ini disebabkan oleh peran antara Lembaga Pendidikan dan Pelatihan, Balai
Penelitian, dan Penyuluhan belum terkoordinasi dengan baik. Oleh karena itu,diperlukan
kelembagaan pertanian yang mampu memberikan kekuatan bagi petani dalam posisi tawar yang
tinggi. Kelembagaan pertanian dalam hal ini mampu memberikan jawaban atas permasalahan
diatas. Penguatan posisi tawar petani melalui kelembagaan merupakan suatu kebutuhan yang
sangat mendesak dan mutlak diperlukan oleh petani, agar mereka dapat bersaing dalam
melaksanakan kegiatan usaha tani dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya(Suhud,
2005).

Untuk mengembangkan dan mengefektifkan serta mensejahterakan petani, maka


dibentuklah kelompok-kelompok tani yang diharapkan dapat berfungsi sebagai wadah yang
dapat memotifasi petani sebagai anggotanya untuk lebih aktif dan berperan dalam berbagai
kegiatan guna mengembangkan usaha taninya. Pengembangan usaha tani melalui kelompok tani
adalah sebagai upaya percepatan yaitu petani yang banyak jumlahnya dan kawasan pedesaan
yang tersebar dan luas, sehingga dalam pengembangan, pembinaan kelompok diharapkan
tumbuh cakrawala dan wawasan kebersamaan memecahkan dan merubah citra usaha tani
sekarang menjadi usaha tani masa depan(Suradisastra, 2008).

Pengembangan kelembagaan merupakan salah satu komponen pokok dalam keseluruhan


rancangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan(RPPK) tahun 2005-2025. Selama
ini pendekatan kelembagaan juga telah menjadi komponen pokok dalam pembangunan pertanian
dan pedesaan. Namun, kelembagaan kelompok tani cenderung hanya diposisikan sebagai alat
untuk mendapatkan proyek belaka, belum sebagai upaya untuk pemberdayaan yang lebih
mendasar dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, agar lebih
berperan sebagai kelompok tani yang partisipatif, maka pengembangan kelembagaan harus
dirancang sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan kelompok tani itu sendiri sehingga
menjadi mandiri dalam mendukung pembangunan kawasan agribisnis. Pembentukan dan
pengembangan kelompok tani di setiap desa juga harus menggunakan prinsip kemandirian local
yang dicapai melalui prinsip pemberdayaan. Pendekatan yang top-down planning menyebabkan
partisipasi kelompok tani tidak tumbuh(Suradisastra, 2006).

Kelembagaan pertanian di kalangan masyarakat wilayah perdesaan dikenal dengan


kelompok tani.Manusia hidup tidak pernah lepas dari kehidupan berkelompok, baik kelompok
kecil maupun kelompok besar. Sejak dahulu, dalam proses pembangunan sudah banyak
menggunakan kelompok sebagai media dalam mencapai tujuan pembangunan. Di wilayah
pedesaan banyak ditemui kelompokkelompok, baik itu kelompok tani, kelompok pemuda,
kelompok ibu-ibu, kelompok usaha atau bisnis, dan masih banyak lagi.

Shaw (1979) menjelaskan bahwa kelompok merupakan kumpulan dua orang atau lebih
yang berinteraksi satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi. Pembangunan pertanian tidak
terlepas dari peran serta masyarakat tani.Dengan peran yang sangat penting sebagai pemutar roda
perekonomian negara, maka perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat tani, sehingga petani
mampu mandiri menyelesaikan masalah yang dihadapinya.Salah satu usaha pemerintah bersama
petani dalam rangka membangun upaya kemandiriannya adalah dengan membentuk kelompok-
kelompok tani di pedesaan.Kelompok tani menghendaki terwujudnya pertanian yang baik,
usahatani yang optimal dan keluarga tani yang sejahtera dalam perkembangan kehidupannya.
Para anggota dibina agar berpandangan sama, berminat yang sama dan atas dasar kekeluargaan
(Nainggolan et al., 2014).

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa pengertian Kelembagaan Pertanian?
1.2.2 Bagaimana Kebutuhan manusia, kelembagaan social, dan ekonomi?
1.2.3 Bagaimana Lembaga tradisional dan Lembaga modern di pedesaan?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk Mengetahui Pengertian Kelembagaan pertanian.
1.3.2 Untuk Mengetahui Kebutuhan manusia, kelembagaan social, dan ekonomi.
1.3.3 Untuk Mengetahui Lembaga tradisional dan Lembaga modern di pedesaan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kelembagaan Pertanian

Kelembagaan pertanian adalah norma atau kebiasaan yang terstruktur dan terpola serta
dipraktekkan terus menerus untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat yang terkait erat
dengan penghidupan dari bidang pertanian di pedesaan.

2.2 Kebutuhan manusia, kelembagaan social, dan ekonomi

Kelembagaan social ekonomi masyarakat dibentuk untuk memenuhi kebutuhan


masyarakat terhadap kehidupannya. Kebutuhan masyarakat meskipun bersifat tidak linier
cenderung merupakan kebutuhan yang lahir dari kebutuhan individu sebagai anggota masyarakat
itu sendiri. Menurut Abraham Masiow, kebutuhan manusia itu ada tingkatan, tersusun secara
hirarkis dan punya nilai kepuasan dan tingkat upaya yang berbeda-beda. Tingkatan kebutuhan
manusia tersebut, yaitu :

a) Kebutuhan fisiologis, antara lain seperti lapar, haus, seks, dan kebutuhan ragawi lainnya.
b) Kebutuhan keamanan, antara lain seperti keselamatan dan perlindungan terhadap
kerugian fisik dan emosional.
c) Kebutuhan social, yaitu seperti mencangkup kasih sayang, rasa dimiliki, diterima baik
dan persahabatan.

2.3 Lembaga tradisional dan Lembaga modern di pedesaan.

Kelembagaan pertanian terbagi menjadi 2, yaitu Kelembagaan pertanian tradisional dan


kelembagaan pertanian modern.

a) Kelembagaan pertanian Tradisional


Macam-macam kegiatan yang berkaitan dengan kelembagaan Pertanian Tradisional
antara lain yaitu :
 System gotong royong dalam proses produksi pertanian
 System bagi hasil, contohnya dalam menggarap sawah
 System borongan pengolahan tanah dan pemanenan
 System buruh tani
 System tradisional lainnya yang terkait dengan operasi produksi pertanian
b) Kelembagaan pertanian Modern
Kelembagaan ini biasanya dilakukan oleh masyarakat modern, baik pedesaan maupun
perkotaan. Kegiatan yang berkaitan dengan kelembagaan pertanian modern antara lain :
 Kelompok tani
 Kelompok pemakai air
 Kelompok kredit usaha
 Koperasi desa
 Kelompok pemasaran
 Kelompok peternak, dan lain sebagainya

Kelembagaan pertanian modern ini lebih dititikberatkan pada kerja sama yang dilakukan
untuk mencapai kepentingan bersama dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang jauh
lebih baik.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kelembagaan pertanian di Indonesia baik formal maupun nonformal seharusnya


memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, peningkatan
produksi dan pendapatan, serta kesejahteraan petani. Namun kinerjanya belum maksimal yang
dicirikan oleh masih sulitnya akses petani terhadap pelayanan lembaga-lembaga pertanian, yaitu
lembaga penyuluhan, lembaga penelitian, lembaga pelatihan, dan lembaga pendidikan yang ada
termasuk akses pemasaran. Akibatnya produktivitas pertanian dan pendapatan petani relative
rendah. Keadaan ini disebabkan oleh peran antara Lembaga Pendidikan dan Pelatihan, Balai
Penelitian, dan Penyuluhan belum terkoordinasi dengan baik. Oleh karena itu,diperlukan
kelembagaan pertanian yang mampu memberikan kekuatan bagi petani dalam posisi tawar yang
tinggi. Kelembagaan pertanian dalam hal ini mampu memberikan jawaban atas permasalahan
diatas. Penguatan posisi tawar petani melalui kelembagaan merupakan suatu kebutuhan yang
sangat mendesak dan mutlak diperlukan oleh petani, agar mereka dapat bersaing dalam
melaksanakan kegiatan usaha tani dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

3.2 Saran

Agar implementasi pendekatakan pembelajaran bahasa dapat tercapai guru hendaknya


menguasai perencanaan pembelajaran berdasarkan langkah-langkah pendekatan tersebut.
Dukungan media pembelajaran sangat dibutuhkan guna tercapai tujuan pembelajaran. Di dalam
kegiatan pembelajaran harus berpusat pada siswa dengan memberikan kesempatan seluas-
luasnya pada siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Anantanyu, S dkk. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Kelembagaan

Petani. Jurnal Penyuluhan, Maret Vol. 5 No. 1. (2). 2009.

Aref, Farshid Farmer’s participation in agricultural development: The case of Fars

province, Iran. Indian Journal of Science and Technology Vol. 4 No. 2 (Feb

2011).

Arifin, Bustanil. 2007. Diagnosis EkonomiPolitik Pangan dan Pertanian. PT Raja

Garfindo Persada. Jakarta.

Arifin, Bustanil.. 2004;223. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Kompas, Jakarta.

Ashfaq, M. Factors Affecting Farm Diversification in Rice-Wheat. Journal Pak. J. Agri.

Sci., Vol. 45(3), 2008.

Austen, JE. 1992. Agroindustrial Project Analysis. The Hopkins University Press,

Maryland USA.

Baharsja, S dkk. 2014. Reposisi Politik Pertanian. Yayasan Pertanian MAndiri. Jakarta.

Budiaji, W. 2013. Skala Pengukuran dan Jumlah Respon Skala Likert. Jurnal Ilmu

Pertanian dan Perikanan. Vol. 2 No. 2

Bungin, B. 2013. Metodologi Penelitian Sosial & Ekonomi. Kencana. Jakarta.

CIFOR dan CGIR. Hutan, Kayu Bakar dan Arang. Factsheet. No 21. Juni 2013.

Dachlan, D. 2014. Panduan Lengkap Structural Equation Modeling. Lentera Ilmu.

David FR. 2005. Strategic Management. Prenhalindo. Jakarta.

David, BL. 1995. Managing Conflik Among Groups. Prentice Hall Internasional.

London

Eicher. 1998 (dalam Rosadi dkk, 2016). Sistem Pengembangan Kelembagaan

Agroindustri Padi Skala Kecil Dan Menengah.Sekolah Pascasarjana Program

Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor.

Engler, S and Michael M. Kretzer. Agriculture and Education: Agricultural Education


as an Adaptation to Food Insecurity in Malawi. Universal Journal of

Agricultural Research 2(6); 224-231, 2014

Enirawan. 2014. Model Kelembagaan Ketahanan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara

Barat. SPS IPB Bogor. (Disertasi).

Ferrel dan Harline.2005. Marketing Strategy. South Western: Thomson Corporation.

Fukuchi, T 2000. Econometric Analysis of the Effect Krismon Shocks on Indonesia

Industrial Subsector, The Developing Economics.

Gandhi, Vasant P. Institutional Aspects of Agro-Processing and Value Addition for

Rural and Small Farmer Development in India: A Study of the Issues and

Lessons. Institutional Change in Indian Agriculture.Chandu Press. Delhi. 2003.

Gumbira, E.S. 2009. Paradigma Peningkatan Pemanfaatan Teknologi Menuju

Pembangunan Pertanian Indonesia yang Berkelanjutan. (Dalam Pertanian

Mandiri. Pandangan Strategis Para Pakar Untuk Kemajuan Pertanian

Indonesia). Penebar Swadaya. Jakarta.

Gusti, I. BU. Peran Agroindustri dalam Pembangunan Pertanian. Jurnal Singhadawala

Edisi 44, Februari 2011.

Hamyana dan Ugik Romadi. Pembangunan dan Konflik Sosial di Masyarakat Desa.

Jurnal Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Volume 6, Nomor 2, 2017

Anda mungkin juga menyukai