Anda di halaman 1dari 6

TUGAS MANAJEMEN KONFLIK

MENJELASKAN

KERONOLOGI KONFLIK POSO

OLEH:

ANDI RAHMAN

1516011004

Kerusuhan Poso (bahasa Inggris: Poso riots) atau konflik komunal


Poso (bahasa Inggris: Poso communal conflict), adalah sebutan bagi
serangkaian kerusuhan yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia.
Peristiwa ini melibatkan kelompok Muslim dan Kristen. Kerusuhan ini umumnya
terbagi menjadi beberapa fase. Fase pertama berlangsung pada bulan Desember
1998, kemudian berlanjut pada bulan April 2000, dan yang terbesar terjadi pada
bulan Mei hingga Juni 2000.
Fase pertama dan kedua berawal dari serangkaian bentrokan antara kelompok
pemuda Islam dan Kristen. Beberapa faktor berkontribusi terhadap pecahnya
kekerasan, termasuk persaingan ekonomi antara penduduk asli Poso yang
mayoritas Kristen dan para pendatang seperti pedagang Bugis Muslim
dan transmigran dari Jawa, ketidakstabilan politik dan ekonomi
menyusul jatuhnya Orde Baru, persaingan antar pejabat pemerintah mengenai
posisi birokrasi, dan pembagian kekuasaan daerah antara pihak Kristen dan Islam.
Situasi dan kondisi yang tidak stabil, dikombinasikan dengan penegakan hukum
yang lemah, menciptakan lingkungan yang menjanjikan untuk terjadinya
kekerasan.
Bulan Mei menandai dimulainya fase ketiga, yang secara luas dipandang sebagai
periode kekerasan terburuk dalam hal kerusakan dan jumlah korban. Fase ini
merupakan ajang balas dendam oleh kelompok Kristen setelah dua fase
sebelumnya yang sebagian besar didominasi oleh serangan dari pihak Muslim,
dan berlangsung sampai bulan Juli 2000. Fase ketiga ini memuncak dalam sebuah
peristiwa pembantaian di sebuah pesantren yang terjadi di Desa Sintuwu
Lemba yang mayoritas penduduknya Islam. Dalam fase ketiga ini, ratusan orang
jatuh menjadi korban, umumnya dari pihak Muslim.[1]
Pada tanggal 20 Desember 2001, Deklarasi Malino ditandatangani antara kedua
belah pihak yang bertikai di Malino, Sulawesi Selatan, dan diinisiasi oleh Jusuf
Kalla. Kesepakatan ini sekaligus mengurangi kekerasan frontal secara bertahap,
dan angka kriminal mulai menurun dalan beberapa tahun sesudahnya.

Kerusuhan Poso I
Fase pertama termasuk singkat dan terbatas pada beberapa lingkungan di kota
Poso, meskipun iring-iringan truk yang mengangkut kelompok tertentu dari
daerah lain bergabung dalam keributan. Para pendukung teori provokator
menunjukkan bahwa kekerasan dimulai tepat setelah pengumuman Arief
Patanga pada tanggal 13 Desember 1998, yang menyatakan bahwa dirinya tidak
akan mengikuti pemilihan ulang sebagai Bupati Poso, sekaligus membuka
peluang bagi sejumlah kandidat yang ambisius. Secara kebetulan, fase ini juga
bertepatan dengan pecahnya rangkaian kekerasan dan unjuk rasa yang terjadi di
seluruh Indonesia pasca kejatuhan Orde Baru.
Kerusuhan Poso II
Setelah lebih dari satu tahun masa tenang, rangkaian peristiwa politik dan hukum
pada bulan April 2000 menimbulkan ketegangan.[10] Fase kedua berlanjut di
sepanjang garis pertempuran yang sama dengan fase pertama, kali ini wilayah
Kristen yang menderita kerusakan. Persidangan saudara mantan bupati Agfar
Patanga telah dimulai. Dalam persidangan korupsi lainnya, seorang pengusaha
lokal bernama Aliansa Tompo didakwa telah menyalahgunakan dana dari
program kredit pedesaan (Kredit Usaha Tani, KUT). Ada desas-desus bahwa
sebagian dari uang ini digunakan untuk menyewa massa untuk menyerang gedung
pengadilan dan membakar dokumen-dokumen perihal keterlibatannya, yang
memaksa penangguhan kedua kasus tersebut. Pengadilan Patanga kemudian
kembali diadakan di Palu.[11] Selain itu, posisi tertinggi kedua di Poso, sekretaris
wilayah atau sekwilda sedang dipertimbangkan, dan persaingannya sangat ketat.
Sebuah surat kabar yang dicetak pada tanggal 15 April memuat pernyataan oleh
Chaelani Umar, seorang anggota DPRD provinsi dari Partai Persatuan
Pembangunan, yang memprediksi bahwa akan ada lebih banyak kekerasan yang
terjadi apabila mantan calon bupati, Damsik Ladjalani, tidak dipilih.
Bentrokan April-Mei
Keesokan harinya, seorang pemuda Muslim mengklaim telah diserang oleh
sekelompok pemuda Kristen, dan menunjukkan luka di lengannya sebagai bukti.
Pihak Islam membalas, dan pertarungan antara pemuda-pemuda dari kelurahan
mayoritas Kristen Lombogia dan para pemuda Islam dari
kelurahan Kayamanya dan Sayo meningkat menjadi kekerasan yang meluas.
Selama beberapa hari berikutnya, rumah-rumah yang dimiliki umat Kristen Poso
di dekat terminal bus dan di Lombogia dibakar. Peristiwa ini memaksa Kapolres
Poso saat itu untuk mendatangkan pasukan Brigade Mobil (BRIMOB) dari
Palu.[12]
Kedatangan BRIMOB
Pada tanggal 17 April, anggota BRIMOB secara tidak sengaja menembaki
kerumunan massa, menewaskan Mohammad Yusni (23) dan Yanto (13) dan
melukai delapan orang Muslim lainnya, termasuk seorang pria bernama Rozal
Machmud yang dilaporkan meninggal kemudian karena luka-lukanya. Setelah
penguburan korban pada siang yang sama, Muslim yang marah menyerang
Lombogia dan membakar rumah, gereja, dan sekolah.[13] Keesokan harinya,
Gubernur Paliudju mengunjungi Poso dan disambut oleh sekelompok Muslim
yang dipimpin oleh pengusaha dan tersangka penipuan Aliansa Tompo. Mereka
menuntut agar Ladjalani menerima posisi sekwilda, agar kasus melawan Agfar
Patanga ditutup, agar Kapolres dipecat, dan agar pasukan BRIMOB dikirim
kembali ke Palu.[11] Human Rights Watch menilai tuntutan tersebut
mencerminkan tema konflik yang mendasar: persaingan politik, sistem peradilan
yang dipolitisir, dan ketidakpuasan terhadap para penegak hukum. BRIMOB
dikirim pulang, namun pembakaran rumah berlanjut setelah sebuah mayat tak
dikenal ditemukan di samping sejenis topi yang biasanya dikenakan oleh pihak
Islam. Muslim dari kota dan sekitarnya membakar rumah, gereja, dan kantor
cabang PDI-P, meninggalkan Lombogia dan Kasintuwu dalam kondisi hancur.
Razia dalam bentuk pengecekan identitas —terutama terkait agama— dimulai di
wilayah mayoritas Muslim. Beberapa orang Kristen dilaporkan ditarik paksa
untuk keluar dari mobil dan dibunuh.
Pangdam Wirabuana Mayor Jenderal TNI Slamet Kirbiantoro di Makassar,
Sulawesi Selatan, akhirnya mengirim 600 tentara dan pertempuran mereda.
Gubernur meminta masyarakat Kristen Poso, yang banyak di antaranya telah
melarikan diri ke Tentena atau bukit-bukit di sekitar kota Poso, untuk tidak
membalas dendam namun menyerahkannya kepada Tuhan. Polisi mengumumkan
tahap kedua selesai pada tanggal 3 Mei 2000.[14] Selama fase kedua, kedua belah
pihak mulai menggunakan ikat kepala berwarna dan ban lengan untuk
membedakan diri. Para pejuang Kristen dikenal sebagai pasukan merah atau
kelompok merah, dan kelompok Islam sebagai pasukan putih atau kelompok
putih. Meskipun pentingnya agama tidak boleh diabaikan, kedua kelompok ini
juga mengatur jalur sosial, etnis, dan ekonomi, dan dengan demikian istilah
pejuang Protestan atau Muslim berisiko terlalu menyederhanakan konflik.
Kerusuhan Poso III
Baru tiga minggu sejak fase kedua selesai, fase ketiga —yang menurut beberapa
pengamat, merupakan yang terbesar dan terparah— dimulai. Periode ini
didominasi oleh gelombang serangan balasan oleh kelompok merah Kristen
terhadap warga Muslim.[15] Di samping bentrokan langsung dengan kelompok
putih Islam, ada juga penculikan dan pembunuhan orang-orang yang tidak
berkepentingan. Hasil wawancara yang dilakukan Human Rights Watch
mengonfirmasi bahwa para migran dari Sulawesi Selatan dan Gorontalo yang
umumnya menjadi korban atas tindakan tersebut, namun kelompok etnis dan suku
lainnya juga menderita.[16]
Pada awal bulan Mei, muncul desas-desus bahwa banyak pemuda Kristen yang
mengungsi telah melarikan diri ke sebuah kamp pelatihan kelompok merah
di Kelei. Pasukan Kristen yang beroperasi pada fase ini disebut "kelelawar merah"
dan "kelelawar hitam".[c] Kelelawar hitam yang bertopeng seperti "ninja" ini,
disebut-sebut menargetkan para Muslim di Kayamanya yang dianggap
bertanggung jawab atas serangan di Lombogia pada fase sebelumnya.[d] Pasukan
ninja ini disebut-sebut dipimpin oleh Fabianus Tibo, seorang imigran sekaligus
pekerja perkebunan beragama Katolik yang datang dari pulau Flores (Nusa
Tenggara Timur), yang pernah dipenjara atas kasus pembunuhan seorang pria
bertahun-tahun sebelumnya.[17] Selain itu, seorang tokoh Kristen bernama Adven
Lateka digambarkan oleh pers dan kepolisian sebagai otak, pemodal keuangan,
atau "aktor intelektual" di balik kekerasan tersebut.
pembalasan dendam

Pergerakan kelompok Tibo dari Kelei hingga ke Tentena pada bulan Mei 2000

Pada pagi hari tanggal 23 Mei, sekelompok pasukan bertopeng ala ninja
membunuh seorang polisi, Sersan Mayor Kamaruddin Ali, dan dua warga sipil
Muslim, yang masing-masing bernama Abdul Syukur dan Baba. Kelompok ninja
ini kemudian dilaporkan bersembunyi di sebuah gereja Katolik di
Kelurahan Moengko.[15] Kelompok tersebut, termasuk Tibo, mulai bernegosiasi
dengan polisi untuk menyerah.[17]Kerumunan warga Muslim mulai berkumpul di
depan gereja, dan bukannya menyerahkan diri, Tibo serta yang lainnya justru
melarikan diri ke perbukitan di belakang kompleks gereja. Gereja tersebut dibakar
pada pukul 10.00 pagi dan pertempuran terjadi di seluruh kota, yang paling parah
di Sayo, dimana sepuluh orang terluka terkena panah dan lemparan batu.
Gubernur kembali mengisyaratkan bahwa ada pihak-pihak luar —merujuk kepada
status imigran Tibo— yang menjadi provokator, sementara kepolisian
mengumumkan bahwa tiga tersangka dari kelompok ninja telah ditahan dan
dibawa ke Palu setelah dikeroyok oleh massa Muslim. Dua minggu kemudian tiga
orang yang diduga sebagai provokator, diidentifikasi sebagai Yen, Raf, dan Leo,
ditahan atas tuduhan menghasut kerusuhan pada tanggal 23 Mei.[19]

Meluasnya pertempuran
Pada tanggal 28 Mei, serangan meluas terhadap warga Islam terjadi di beberapa
desa di kabupaten ini. Dalam sebuah peristiwa yang paling terkenal, sekelompok
orang Kristen —beberapa sumber menyebut bahwa Tibo dan kelompoknya ikut
berpartisipasi— mengelilingi Desa Sintuwu Lemba, yang juga dikenal sebagai
Kilo Sembilan.[e][20] Para wanita dan anak-anak ditangkap dan beberapa di
antaranya mengalami pelecehan seksual. Sekitar tujuh puluh orang berlari ke
pesantren terdekat —Pesantren Walisongo— dimana banyak warga Muslim
dibunuh dengan senjata api dan parang, tanpa peduli mereka menyerah atau tidak.
Mereka yang kabur, berhasil ditangkap untuk kemudian dieksekusi dan mayatnya
dilemparkan ke Sungai Poso.[21] Tiga puluh sembilan mayat kemudian ditemukan
di tiga kuburan massal, meskipun sebuah sumber Islam memperkirakan total 191
kematian dalam serangan tersebut. Seorang warga yang selamat dari serangan
tersebut mengatakan kepada wartawan bahwa dirinya kembali ditangkap empat
hari kemudian dan dibawa ke sungai untuk dieksekusi, namun ia sekali lagi
berhasil lolos dan selamat.[22]
TUGAS MANAJEMEN KONFLIK
MENJELASKAN
PERBEDAAN DAN PERSAMAAN KONFLIK MENURUT TOKOH

OLEH :
ANDI RAHMAN
1516011004

NAMA TOKOH PERSAMAAN PERBEDAAN


KARL MARX Mereka memiliki melihat konflik sosial
kesamaan pandagan terjadi di antara kelompok – kelompok atau
bahwa masyarakat tidak kelas – kelas daripada di antara individu .
akan mendapatkan Hakekat konflik antar kelas tergantung pada
perubahan jika tidak sumber pendapatan mereka. Kepentingan –
mengalami perubahan , kepentingan ekonomi mereka bertentangan
karena konflik bisa karena kaum proletariat memperoleh upah
melahirkan kesepakatan dari kaum kapitalis hidup dari keuntungan
baru dan kebijakan baru dan bukan karena yang pertama melarat
yang membawa pada yang terakhir kaya raya.
arah perubahan
RALF DAHRENDORF adalah tokoh utama teori konflik .”
wewenang ;’ dan “posisi” sebagai konsep
sentral teorinya .distribusi kekuasaan dan
wewenang secara tidak merata menjadi
faktor yang menentukan konflik sosial
secara sistematis.perbedaan wewenang
adalah suatu tanda adanya berbagai posisi
dalam masyarakat. Dahrendorf menganalisa
konflik dengan mengindetifikasi berbagai
peranan dan kekuasaan dalam masyarakat.

LEWIS COSER : Meggambarkan konflik sebagai perselisihan


mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan
berkenaan dengan status, kekuasaan, dan
sumber-sumber kekayaan yang persediaan
nya tidak mencukupi. pihak-pihak yang
sedang berselisih tidak hanya bermaksud
untuk memperoleh barang yang diinginkan
,melainkan juga memojokan
,merugikan,atau menghancurkan lawan
mereka.

SIMON FISHER menggambarkan sebagai berikut


pertama,istilah pencegahan konflik yang
bertujuan untuk mencegah timbulnya
konflik yang keras, kedua penyelesain
konflik bertujuan untuk mengakhiri perilaku
kekerasan melalui situasi persetujuan
damai, ketiga pengelolaan konflik bertujuan
untuk membatasi dan menghindari
kekerasan dengan mendorong perubahan
perilaku positif bagi pihak-pihak yang
terlibat keempat resolusi konflik yaitu
kegiatan menangani sebab-sebab konflik
dan berusaha membangun hubungan baru
yang bisa tahan lama diantara kelompok –
kelompok yang bermusuhan . kelima
transformasi konflik yaitu kegiatan
mengatasi sumber-sumber konflik social
dan politik yang lebih luas dan berusaha
mengubah kekuatan negative dari
peperangan menjadi kekuatan social dan
politik positif

JOHAN GALTUNG Pendakatan dalam resolusi konflik antara


lain merunjuk pada upaya deskripsi konflik
hal ini memuat pada 3 unsur yaitu:
ketidaksesuain diantara kepentingan
,perilaku negatif dalam bentuk persepsi
yang berkembang, diantara pihak-pihak
yang berkonflik dan perilaku kekerasan dan
ancaman yang diperlihatkan

Anda mungkin juga menyukai