Oleh:
Andi Rahman
Susi Sujiati
Fitri Wulandari
Dwi Riezki
Pandu Alfredo
Roki Andi
Ega Hernes H
Firman Amin R
Wahyu Setiono
Vito Septian
1516011004
15160110
15160110
15160110
15160110
15160110
15160110
15160110
15160110
15160110
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2016
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................
DAFTAR ISI......................................................................
KATA PENGANTAR........................................................
i
ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................
1.1 LATAR BELAKANG................................................
1.2 RUMUSAN MASALAH...........................................
1.3 TUJUAN ....................................................................
1.4 MANFAAT................................................................
1
1
1
1
1
2
4
7
10
11
14
19
19
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat dan karunianya saya dapat menyusun makalah ini yang
berjudul PEREMPUAN SEBAGAI SOSOK STRATEGIS
PEMIMPIN yang merupakan salah satu tugas dari Mata kuliah
Perubahan Sosial. Tujuan penyusun membuat makalah ini adalah agar
para pembaca dapat menambah pengetahuan dan mengembangkan
wawasan setelah membaca dan memahami materi yang ada dalam
makalah ini. Dan saya berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk
pembaca khususnya wanita yang bisa mengaplikasikannya kedalam
kehidupan sehari-hari
Dan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada
kesalahan dari penulisan makalah ini, hal tersebut semata karena
keterbatasan saya dalam mengolah materi kajian ini. Dan saya juga
berharap mendapat saran dan kritik membangun dari pembaca agar
saya dapat memperbaiki diri dalam pembuatan makalah yang lain
kedepannya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sudah bukan zamannya lagi wanita hanya berkutat dengan alat-alat dapur dan
perangkat rumah lainnya. Kini wanita ruang geraknya sangat luas, wanita bisa
sejajar dengan pria dalam hal apapun terutama dari segi pengembangan karir dan
aspirasinya. Berbagai kajian dan teori-teori mengenai wanita dikembangkan di
beberapa negara yang berbeda pengalamannya di bidang politik dan berbeda-beda
keadaan sosial budayanya, hal ini menunjukan bahwa wanita kedudukannya
sederajat dengan pria. Lalu bagaimana gerakan wanita di Indonesia? Di Indonesia
proses itu sudah menjelma pada abad ke-19 dalam bentuk peperangan di banyak
daerah di bawah pimpinan raja atau tokoh-tokoh lain yang melawan penjajahan
belanda, disana lahir beberapa tokoh wanita seperti Cut Nyak Dien dan Cut
Meutia. Maka dari itu saya memilih judul PEREMPUAN SEBAGAI SOSOK
STRATEGIS PEMIMPIN , disini saya akan menjelaskan bagaimana peran
wanita Indonesia di abad 21 ini, ditengah arus globalisasi yang semakin meluas
dan tidak terbendung. Kemudian saya akan menuliskan beberapa artikel yang di
buat oleh tokoh-tokoh wanita Indonesia mengenai pandangan mereka terhadap
wanita dan kepemimpinannya.
1.2 Rumusan Masalah
A.Bagaimana kesetaraan gender dan feminisme berbicara?
B.Bagaimana sejarah gerakan wanita di beberapa negara?
C.Bagaimana Sejarah gerakan wanita di Indonesia ?
D.Bagaimana Kedudukan wanita saaat ini ?
E.Bagaimana kedudukan wanita di Indonesia saat ini?
F.Bagaimana Tokoh wanita-wanita Indonesia ketika berbicara wanita dan
kepemimpinannya?
1.3 Tujuan
A.Memahami kesetaraan gender dan feminisme berbicara.
B.Mengetahui sejarah gerakan wanita di beberapa negara.
C.Mengetahui
Sejarah
gerakan
wanita
di
Indonesia
.
D.Mengetahui kedudukan wanita saat ini.
E.Mengetahui kedudukan wanita di Indonesia saat ini?
F.Mengetahui Tokoh wanita-wanita Indonesia ketika berbicara wanita dan
kepemimpinannya?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kesetaraan Gender dan Feminisme
a. Kesetaraan gender
Konsep sex (jenis kelamin) dan gender masih sering dipahami secara rancu
dalam masyarakat. Konsep gender yang sebenarnya merupakan peran dan
perilaku laki-laki dan perempuan sesuai dengan pengharapan sosial, sering kali
dianggap sebagai ketentuan atau kodrat yang tak dapat diubah. Hal tersebut
menjadi masalah karena kekeliruan tersebut menimbulkan ketidakadilan,
terutama bagi perempuan. Dalam membahas gender, sosiologi melihat dari
teori makro (fungsional struktural, konflik, dan sistem dunia) dan mikro
(interaksionisme simbolik dan etnometodologi). Sesuai dengan prinsip
konsensus dan keharmonisan yang dianut, struktural fungsional menganggap
pembagian kerja antara suami dan istri dalam keluarga dianggap pengaturan
yang paling sesuai, agar dalam kehidupan berkeluarga laki-laki dan perempuan
dapat saling melengkapi. Sebaliknya, teori konflik menganggap bahwa dalam
kehidupan keluarga, istri atau perempuan dalam posisi yang tertindas dalam
kaitannya dengan fungsi ekonomi, seksual, dan pemilikan properti. Janet
Chafetz menganalisis bahwa perempuan menduduki posisi yang rendah dalam
masyarakat, yang ia sebut dalam stratifikasi jenis kelamin. Sedangkan teori
sistem dunia yang selama ini hanya memperhitungkan kapitalisme dari
pekerjaan ekonomi publik, dianggap telah mengurangi kontribusi perempuan di
bidang produksi ekonomi karena mengabaikan pekerjaan perempuan dalam
rumah tangga.
Dari teori mikro sosial gender, interaksionisme simbolik mengidentifikasi
bahwa individu berusaha memelihara identitas gendernya di berbagai situasi
serta memahami bagaimana arti menjadi perempuan atau laki-laki. Sementara
itu, etnometodologi menganggap bahwa identitas gender individu diperoleh
melalui interaksi dalam berbagai situasi. Dengan demikian, melalui budaya
yang berbeda individu akan mengidentifikasi peran gendernya secara berbeda
sesuai dengan situasi sosial.
Amerika Serikat
Setelah revolusi Amerika Serikat berakhir (1861-1863) kaum wanita mulai ikut
bergerak dalam rangka pembaharuan kehidupan agama. Terbentuklah banyak
organisasi sukarela yang bertujuan untuk mengadakan perbaikan di bidang
moral, social pendidikan, dankemanusiaan. Pada tahun 1848 ketika diadakan
Konvensi Hak-hak Wanita di kota Seneca Falls, banyak tuntutan yang
dikemukakan mengenai persamaan hak disemua bidang kehidupan, namun
Jepang
Gerakan wanita di Jepang dimulai pada abad ke-19 yang menuntut persamaan
hak pria dan wanita dalam keluarga dan masyarakat, meningkatkan kesempatan
pendidikan bagi wanita, penghapusan sistem selir dan penghapusan perizinan
pelacur (Hoshii,1988:97).
Industrialisasi pada zaman Meiji membuka kesempatan kerja bagi wanita tetapi
kondisi kerja buruk. Gadis- gadis dari pedesaan bekerja giliran siang-malam
dalam keadaan yang menyedihkan. Berbagai protes terhadap keadaan buruk
tenaga kerja wanita mengalami kegagalan. Gerakan wanita memegang peranan
penting setelah Perang Dunia 1. Dapat diringkas bahwa di Jepang, negara maju
di Asia, perasaan keadilan menimbulkan gerakan wanita disertai keyakinan
pentingnya perbaikan moral dalam masyarakat. Perkembangan selanjutnya
dipengaruhi oleh makin banyaknya wanita yang berpendidikan dan oleh
pemikiran-pemikiran Barat serta oleh kebijakan pemerintah. Gerakan wanita
mengalami masa pasang surutnya yang banyak tergantung pada keadaan politik
negara.
d.India
Menjadi jajahan inggris sejak tahun 1857 dan memperoleh kemerdekaan tahun
1947, timbul gerakan yang bergandengan dengan kemerdekaan. Dalam hal ini
Mahatma Gandhi sangat berjasa dengan mendorong wanita berpartisipasi
dalam perjuangan memperoleh kemerdekaan bangsa. Pemimpin-pemimpin lain
juga memperoleh pendidikan di Inggris. Mereka dipengaruhi oleh gagasangagasan Revolusi Perancis dan adat-istiadat yang tidak adil, khususnya tentang
kedudukan wanita di India yang menyedihkan, seperti nasib istri yang tidak
mampu membalas mas kawin dibalas dengan dibakar oleh pihak suami, gejala
pemerkosaan, pelecehan seksual, dan penguguran janin wanita.Sejak tahun
1970-an timbul gerakan untuk lebih memfokuskan pada golongan bawah yang
lebih mengalami situasi ekonomi dan politik yang sulit, selain masih
mengalami diskriminasi yang sangat tajam dalam adat-istiadat. Dalam hal ini
gerakan bantuan dari Media Massa, karenanya ada gerakan dari masyarakat,
maka pemerintah India menunjukan kesediaannya untuk melaksanakan apa
yang telah digariskan dalam perundang-undangan untuk mencapai keadilan
bagi wanita dan masyarakat pada umumnya.
e. Filipina
Sebelum dijajah oleh Spanyol pada abad ke-16 kedudukan wanita tinggi.
Mereka memerintah di barangaya (desa), mereka sebagai pemuka-pemuka
agama bahkan pemimpin-pemimpin militer. Perkawinan umumnya monogamy,
anak laki-laki dan perempuan mendapat bagian yang sama dari warisan
sedangkan istri mendapat separuh dari milik bersama. Jelasnya masyarakat
pada waktu itu bersifat egaliter. Penjajahan Spanyol yang kebudayaannya
androsentris ( berpusat pada kepentingan pria), mengubah kedudukan wanita,
pemerintahan dikuasai oleh pria, kesempatan pendidikan terbatas bagi wanita.
Perkawinan masih bersifat monogamy tetapi perceraian dilarang. Wanita
dilarang untuk bekerja pada jabatan-jabatan di muka umum, kecuali sebagai
guru atau pekerjaan social. Keadaan berubah dibawah penjajahan Amerika
yang lebih progresif. Lebih banyak diberi kesempatan pada wanita mengikuti
pendidikan bahkan sampai di perguruan tinggi. Ini berakibat bahwa banyak
wanita masuk dalam profesi hukum, kedokteran, perawatan,dan lain-lain, tidak
6
lagi tebatas pada guru saja. Lapangan pekerjaan menjadi lebih luas untuk usaha
mensejahterakan masyarakat (Torres, A.T.t.t:11).Pada tahun 1905 dan 1912 ada
12 orang tamu dari Eropa yang menganjurkan agar wanita Filipina berusaha
memperoleh hak pilih. Tetapi mereka ternyata kurang berminat, mereka hanya
mendirikan perkumpulan untuk pekerjaan social. Baru setelah ada tekanan dari
pihak politisi Filipina, akhirnya para wanita menyetujuinya, sehingga pada
tahun 1937 hak pilih untuk wanita diterima dalam Badan Permusyawaratan
Nasional.Dalam kasus Filipina ini terlihat bahwa gagasan feminis yang semula
dilontarkan beberapa pihak luar, tidak menimbulkan suatu gerakan tetapi ini
perlu ditunjang oleh anggota masyarakatnya sendiri, khususnya wanita. Baru
setelah ada cukup banyak wanita yang berpendidikan dengan sikap yang
berubah dibanding generasi sebelumnya yang masih dipengaruhi oleh
kebudayaanyang dibawa oleh bangsa Spanyol, maka terjadilah kemajuan. Ini
menunjukan juga bahwa kekuasaan politiklah yang banyak menentukan ada
atau tidaknya gerakan wanita.
2.3 Sejarah gerakan wanita di Indonesia
Perempuan Indonesia memiliki peranan dan kedudukan sangat penting
sepanjang perjalanan sejarah. Kiprah perempuan di atas panggung sejarah tidak
diragukan lagi. Gerakan kebangkitan nasional berhubungan dengan politik etis
Hindia-Belanda yang memberi kesempatan bagi para bumiputera untuk
bersekolah. Sebenarnya maksud pemerintah Hindia Belanda adalah untuk
menghasilkan buruh-buruh terdidik, guru-guru, birokrat rendahan yang cukup
terdidik, dokter-dokter yang mampu menangani penyakit menular pada bangsa
pribumi. Tindakan ini dilakukan karena Hindia Belanda harus menekan biaya
operasional tanah jajahan (Indonesia) yang terlalu mahal bila menggunakan
tenaga impor dari Belanda.Meskipun yang diizinkan memasuki sekolah
Belanda saat itu hanyalah kaum bangsawan, priyayi, dan kaum elite, ternyata
para pemuda bumiputera kemudian berbondong-bondong memasuki Sekolah
Rakyat, HIS, MULO dan HBS, hingga sekolah dokter (STOVIA), dan sekolah
guru (Kweekschool). Dengan bersekolah mereka mampu membaca buku-buku
berbahasa Belanda dan Inggris. Buku-buku ini membuka mata dan hati pelajar
dan mahasiswa tentang perjuangan pembebasan nasional di seluruh negeri di
7
bumi ini. Dibukanya sekolah-sekolah Belanda untuk elite pribumi dan para
ningrat, telah menghasilkan sekumpulan orang-orang muda berpendidikan
Barat
yang
kelak
menjadi
tulang
punggung
gerakan
pembebasan
diubah menjadi PPII (Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia). PPII sangat giat
di bidang pendidikan dan usaha penghapusan perdagangan perempuan. Pada
tahun 1932, dalam kongresnya, PPII mengangkat isu perjuangan melawan
perdagangan perempuan dan salah satu keputusan penting yang diambil adalah
mendirikan Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak
(P4A).Setelah kemerdekaan, organisasi perempuan kembali bergerak, akan
tetapi karena pada awal kemerdekaan Negara Republik Indonesia masih diliputi
oleh perjuangan mempertahankan kemerdekaan, maka perjuangan perempuan
Indonesia adalah mendukung para pejuang dalam gerilya atau pertempuran.
Selanjutnya setelah di Indonesia diperbolehkan mendirikan partai politik, maka
sejumlah perempuan masuk menjadi anggota partai politik, bahkan pada tahun
1948 sempat berdiri Partai Wanita Rakyat atas inisiatif Ibu Sri Mangunsarkoro
di Yogyakarta. Partai ini berazaskan ketuhanan, kerakyatan, kebangsaan dan
mempunyai program perjuangan yang sangat militan. Demikian juga dengan
keputusan kongres Kowani pada tahun 1948 dan 1949, sangat sarat dengan
muatan politis dan dengan semangat yang militan untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Sampai dengan tahun 1950, hasil politik yang dicapai
kaum perempuan cukup banyak. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat pun
meningkat. Hal inilah yang memungkinkan perempuan untuk turut dalam
pengambilan keputusan dan pembuatan undang-undang. Demikian juga di
bidang eksekutif, pada tahun 1950 telah diangkat dua
orang menteri perempuan, yaitu Ny. Maria Ulfah Santoso sebagai Menteri
Sosial dan Ny. S.K. Trimurti sebagai Menteri Perburuhan. Pada dekade akhir
pemerintahan Orde Baru, isu gender mulai muncul, sehingga disadari bahwa
perempuan harus diberdayakan. Dalam pembangunan yang bernuansa gender,
perempuan dan laki-laki harus selalu mendapat akses yang sama dalam
pembangunan, dapat berpartisipasi dan dapat mempunyai kesempatan yang
sama dalam penetapan keputusan dan akhirnya dapat menikmati keuntungan
dari pembangunan tersebut secara bersama-sama.
10
Menjadi istri, ibu, dan sekaligus publik figur yang baik dan bermakna bagi
sesama memang tidak mudah dilakukan oleh setiap orang.
12
Indeks
Pemberdayaan
Gender
(IDG),
yaitu
indeks
yang
c.
13
d.
a.
Mooryati
Soedibyo
Peran Wanita
Indonesia
masih Tertinggal
(Pengusaha Kecantikan Ternama di Indonesia)
14
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
18
Menjadi wanita memang suatu hal yang luar biasa, menjadi seorang ibu
untuk anak-anaknya, seorang istri untuk suaminya, dan berkerja untuk
keluarga.Lahirnya R.A.Kartini di Indonesia merupakan langkah awal
bahwawanita bisa sejajar dengan pria. Wanita tidak hanya mengurusi
rumah tangga saja tetapi bisa berkarya dan melebarkan sayap seluas
mungkin. Dari waktu ke waktu jumlah wanita yang aktif berkarir
semakin banyak dan berdampak kearah yang lebih baik, meskipun tidak
bisa dipungkiri bahwa masih adanya diskriminasi terhadap wanita.
Beberapa pandangan mengenai wanita dan kepemimpinanya dari tokoh
seperti Mooryati Soedibyo, Rike Diah pitaloka, Dewi Motik Pramono,
dan Toeti Noerhadi. Menunjukan betapa besarnya potensi wanita jika
dikembangkan secara maksimal. Majulah wanita di Indonesia dalam
karya, tetapi tetap didalam batasan-batasan yang dapat dipertanggung
jawabkan. Karena walaupun sudah memasuki era emansipasi, wanita
harus tetap berkaca dengan kodrat mereka.
3.2 Saran
Adanya emansipasi atau kesetaraan gender yang mencuat menunjukan
bahwa s emua wanita Indonesia bisa dan mampu mengembangkan
potensi yang ada pada dirinya. Jadi, kita sebagai warga negara Indonesia
khusunya perempuan harus maju dan pasti bisa.
DAFTAR PUSTAKA
zuyono, Haryono. Prof.DR.H. 2003. Pendidikan Perempuan ASET
BANGSA.Jakarta : DAMANDIRI.
19
20