Anda di halaman 1dari 26

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Jual Beli dalam Hukum Islam

1. Pengertian Jual Beli

Jual beli merupakan akad yang umum digunakan oleh masyarakat, karena
dalam setiap pemenuhan kebutuhannya, masyarakat tidak bisa berpaling untuk
meninggalkan akad ini. Untuk mendapatkan makanan dan minuman misalnya,
terkadang ia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan itu dengan sendirinya, tapi
akan membutuhkan dan berhubungan dengan orang lain, sehingga kemungkinan
besar akan berbentuk akad jual beli.1

Dalam istilah hukum Islam jual beli dikenal dengan istilah al-bay’. Secara
baha sa al-bay’ merupakan mashdar dari kata ba’a, yaitu menjual. Al-bay’
merupakan lawan kata al-syira’, yaitu membeli, tetapi dapat juga bermakna al-
syira’ itu sendiri. Kata al-ibtiya’ misalnya juga bermakna al-isytira’, seperti
firman Allah Swt:

         

Terjemahannya:

Dan mereka menjual Yusuf dengan murah, yaitu beberapa dirham saja, dan
mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.2(Qs. Yusuf: 20)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) jual beli diartikan sebagai
“persetujuan saling mengikat antara penjual, yakni pihak yang menyerahkan
barang, dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang yang dijual.”

1
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
h. 69.
2
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-karim Tajwid dan Terjemah,
(Jakarta Selatan: Pantja Cemerlang, 2019), h. 328.
Dalam kajian hukum Islam terdapat beberapa definisi yang diberikan oleh ahli
hukum Islam terhadap jual beli, Menurut al-Bahuti (w. 1051 H) “jual beli
merupakan pertukaran harta meskipun masih berupa tanggungan, atau pertukaran
manfaat yang mubah yang bersifat mutlak dengan salah satu dari keduanya (harta
atau manfaat yang mubah), bukan dalam bentuk riba, bukan juga qardh.”

2. Dasar Hukum Jual Beli

Hukum jual beli terdapat dalam Al-Qur’an, hadis dan ijma ulama. Dalam
Al-Qur’an surat al-Baqarah (2): 275.

         


         
          
           
       

Terjemahannya:

Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan


seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-
orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.3

3
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-karim Tajwid dan Terjemah,
(Jakarta Selatan: Pantja Cemerlang, 2019), h. 61.
        
  

             

Terjemahannya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan hartan


sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang
kepadamu.4(Qs. al-Anisa: 29)

3. Rukun dan Syarat Jual Beli

Suatau jual beli dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan
syarat yang telah ditentuakan oleh syarak. Mengenai rukun dan syarat jual beli,
para ulama berbeda pendapat dalam menentukan rukun jual beli ini, terdapat
perbedaan pendapat ulama mazhab Hanafi dan jumhur ulama.

Meneurut mazhab Hanafiyah, rukun yang terdapat dalam jual beli


hanyalah shighat, yakni pernyataan ijab dan qabul yang mereflesikan keinginan
masing-masing pihak untuk melakukan transaksi. Berbeda dengan mayoritas
ulama, rukun yang terdapat dalam akad jual beli terdiri dari :5

1) Shighat (lafaz ijab dan qabul) shighat biasa didefinisikan sebagai sesuatu
yang berasal dari kedua belah pihak yang berakad, yang menunjukan
keinginan keduanya untuk melakukan akad dan merealisasikan
kandungannya, yang biasanya diungkapkan dengan istilah ijab dan qabul.

4
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-karim Tajwid dan Terjemah,
(Jakarta Selatan: Pantja Cemerlang, 2019), h. 29.
5
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
h. 73.
2) Aqidani (dua pihak yang berakad), Aqidani adalah penjual dan pembeli,
karena keduanya mempunyai andil dalam terjadinya pemilikan barang
dengan konpensasi harga.

3) Ma’qud alaih (barang yang diakadkan), Dalam hal ini ma’qud alaih
didefinisikan sebagai harta yang akan dipindahkan dari salah seorang
yang berakad kepada pihak lain, baik harga atau barang berharga.

Adapun syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan
jumhur ulama adalah sebagai berikut:6

1) Orang yang berakad


a) Orang yang melakukan transaksi (‘akid) harus berbilang, dalam arti
terdapat dua pihak yang melakukan transaksi (penjual dan
pembeli). Jual beli tidak sah dengan perantara wakil dari kedua
pihak, karena dalam jual beli terdapat hak yang bersifat
kondradiktif, seperti menerima barang dan membayar uang, dan
lainnya.
b) Seorang ‘akid haruslah orang yang berakal dan tamyiz (dapat
membedakan hal yang baik dan buruk), dengan demikian akad
tidak sah jika dilakukan orang gila atau anak kecil belum berakal.
c) Menurut madzhab Hanafiyah tidak dipersyaratkan adanya baligh,
anak kecil yang telah tamyiz dan berumur 7 tahun diperbolehkan
melakukan akad dengan kondisi transaksi yang dapat memberikan
manfaat bagi dirinya, seperti menerima hadiah, menerima hibah
(pemberian), sedekah dan wasiat, maka akadnya sah. Sebaliknya
apabila transaksi itu dapat menimbulkan kemadlaratan (bahaya)
bagi dirinya sendiri, seperti meminjamkan uang, memberikan
hadiah, dan bersedekah. Maka transaksi ini tidak sah dilakukan
oleh anak kecil.7
2) Syarat yang terkait dengan ijab qabul
6
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
h. 74.
Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa unsur utama dari jual beli
adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan ini dapat terlihat pada
saat akad berlangsung. Ijab dan qabul harus diungkapkan secara jelas
dalam transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak, seperti
akad jual beli dan sewa menyewa, dan akad nikah.8
Terdapat transaksi yang sifatnya mengikat salah satu pihak, seperti wasiat,
hibah, dan wakaf, tidak perlu qabul, karena akad seperti ini cukup dengan ijab
saja. Bahkan menurut Ibnu Taimiyah dan ulama yang lainnya, ijab pun tidak
diperlukan dalam masalah wakaf. Apabila ijab dan qabul telah diucapkan dalam
akad jual beli, maka pemilikan barang dan uang telah berpindah tangan. Barang
yang barang yang berpindah tangan itu menjadi milik pembeli dan nilai tukar atau
uang berpindah tangan menjadi milik penjual.9

Ulama fikih mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul itu adalah segai
berikut:

a) Orang yang mngucapkannya telah akil balig dan berakal atau telah
berakal, sesuai dengan perbedaan mereka dalam menentukan
syarat-syarat seperti telah dikemukakan;
b) Qabul sesuai dengan ijab, misalnya penjual mengatakan: Saya jual
tas ini seharga sepuluh ribu, lalu pembeli menjawab: Saya beli
dengan harga sepuluhribu;
c) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majeslis. Maksudnya, kedua
belah pihak yang melakukan akad jual beli hadir dan
membicarakan masalah yang sama.10
3) Syarat barang yang diperjualbelikan
7
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
h. 75.
8
Abdul Azis Dahlan, ed, Ensiklopedia Hukum Islam, jilid 3, h. 829

9
Zeinita Baguna, “Problematika Antara Reseller dan Konsumen Pada Jual Beli Online Di
Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Perspektif Fiqh Muamalah”,
(Skripsi Sarjana, Fakultas Syari’ah, Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah, Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo, Gorontalo, 2020), h. 23.
a) Barang itu ada atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual
menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
Misalnya disebuah toko, karena tidak mungkin memajang barang
dagangan semuanya karena masih ada dipabrik, tetapi secara
meyakinkan barang itu bisa dihadirkan sesuai dengan persetujuan
pembeli dengan penjual dan barang ini dihukumkan sebagai barang
yang ada;
b) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Olehnya itu
bangkai, khamar, dan darahtidak sah menjadi objek jual beli karena
menurut syara’ benda-benda seperti ini tidak bermanfaat bagi
muslim;
c) Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seorang
tidak diperjualbelikan, seperti memperjualbelikan ikan di laut atau
emas dalam tanah karena ikan dan emas itu belum dimiliki oleh
penjual;
d) Bisa diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang
disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.11

Menurut Imam Nawawi dalam kitab Al majmu’, al bai’ adalah pertukaran


harta dengan harta, dengan maksud untuk memiliki. Sedamgkan menurut Ibnu
Qudamah menyatakan, al bai’ adalah pertukaran harta dengan harta, dengan
maksud untuk memiliki dan dimiliki.12

10
Zeinita Baguna, “Problematika Antara Reseller dan Konsumen Pada Jual Beli Online Di
Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Perspektif Fiqh Muamalah”,
(Skripsi Sarjana, Fakultas Syari’ah, Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah, Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo, Gorontalo, 2020), h. 24.
11
Zeinita Baguna, “Problematika Antara Reseller dan Konsumen Pada Jual Beli Online Di
Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Perspektif Fiqh Muamalah”,
(Skripsi Sarjana, Fakultas Syari’ah, Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah, Institut Agama Islam
Negeri Sultan Amai Gorontalo, Gorontalo, 2020), h. 26-27.
12
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), h. 69.
4. Macam-macam Jual Beli

1. Jual beli sharf, yaitu jual beli mata uang dengan mata uang sejenis, seperti
jual beli emas dengan emas.

2. Jual beli muqayadhah (barter), yaitu jual beli barang dengan barang, seperti
jual beli hewan ternak dengan pakaian.

3. Jual beli salam, yaitu jual beli dengan cara menyerahkan harga terlebih
dahulu untuk mendapatkan suatu barang dengan sifat-sifat tertentu yang
harus diserahkan pada waktu yang diketahui.

4. Jual beli muthlaq, yaitu jual beli barang dengan uang, seperti jual beli mobil
dengan harga Rp. 200.000.000.13

2. Game Online Player Unknown’s Battle Grounds (PUBG) Mobile

Player Unknown’s Battle Grounds (PUBG) Mobile Merupakan game


battle royale yang dirancang oleh Brendan Greene. Secara resmi Game Player
Unknown’s Battle Grounds (PUBG) Mobile diciptakan oleh developer China
yaitu tencent games, game ini dirilis pada bulan maret 2018, Player Unknown’s
Battle Grounds (PUBG) mobile memiliki tiga versi yang berbeda berdasarkan
platform bermainnya. Awalnya game ini tersedia untuk platform PC Windows
melalui Steam. Sampai akhirnya tersedia untuk Xbox One hingga mobile
(handphone) seperti sekarang ini. Untuk memainkan game ini, pemain harus
memiliki koneksi internet kemudian log in game dengan memasukkan id dan
password yang dihubungkan di email pengguna. Setelah terhubung dan memiliki
id, pengguna dapat memainkan game Player Unknown’s Battle Grounds (PUBG)
Mobile tersebut.14

13
Muhammad Saleh, Jual Beli Dalam Perspektif Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Gava
Media, 2018), h. 75.
14
https://www.google.com/amp/esportsnesia.com/penting/apa-itu-pubg-mobile di akses
pada tanggal 22 November 2021.
a. Dasar Hukum Game Online Player Unknown’s Battle Grounds (PUBG)
Mobile.

FATWA

MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA ACEH

NOMOR 3 TAHUN 2019

TENTANG

HUKUM GAME PUBG (PLAYER UNKNOWN'S BATTLE GROUNDS)

DAN SEJENISNYA MENURUT FIQH ISLAM

MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA ACEH,

Menimbang :

a. bahwa perkembangan teknologi informasi yang pesat, telah


melahirkan berbagai macam permainan interaktif elektronik;
b. bahwa diantara permainan interaktif elektronik yang telah
meresahkan masyarakat adalah permainan game PUBG (Player
Unknown's Battle Grounds) dan sejenisnya;
c. bahwa dengan semakin maraknya permainan game PUBG dan
sejenisnya maka MPU Aceh memandang perlu mengkaji secara
mendalam tentang permainan game PUBG dan sejenisnya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan fatwa tentang
Hukum Game PUBG (Player Unknown’s Battle Grounds) dan
sejenisnya menurut fiqih Islam;

Mengingat :

1. Al-Quran; (surat An-nisa Ayat 9).


Artinya:

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya


meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.

2. Al-Hadits;

Artinya:

Dari Abi Musa Bahwa Nabi SAW Bersabda: Siapa yang bermain

dengan dadu, la sungguh telah maksiat kepada Allah dan Rasulnya.

(Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah).

3. Ijma' Ulama;

4. Qiyas;

5. Kaldah Ushul Figh/Figh;

Artinya:

Segala sesuatu yang pada dasarnya boleh, kecuali bila ada dalil

yang mengharamkannya.

Artinya:

Semua sarana suatu perbuatan hukumnya sama dengan tujuannya

(perbuatan tersebut).

6. Pendapat Ulama;

Artinya:
Berkata al-Mallasi, termasuk bagian yang berpegang pada tebak-
menebak adalah al-kanjafah, yaitu kertas-kertas bergambar. Katanya lagi,
diqiyaskan kepada mereka (orang-orang yang melakukan permainan
menggunakan merpati), maksudnya pada sisi menolak kesaksian saja.
Adapun permainan lari maka kadang kadang haram jika menimbulkan
kemudharatan diri sendiri, dengan tanpa tujuan/faedah.

Mengingat Juga :

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999


Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah

Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun


1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia 3893);

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006


Tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4633);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008


Tentang Keterbukaan Informasi Publik; (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014


tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak; (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5606);
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik; (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan
Lembaran Republik Indonesia Nomor 5952);

6. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11


Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik;

7. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5


Tahun: 2000 tentang Pelaksanaan Syari'at Islam (Lembaran
Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30);

8. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun


2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah
dan Syiar Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Tahun 2002 Nomor 54 Seri E Nomor 15, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor
5);

9. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Hubungan Tata


Kerja Mejelis Permusyawaratan Ulama dengan Eksekutif,
Legislatif dan Instansi lainnya (Lembaran Daerah Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 22 Seri D
Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor 25);

10. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun


2006 tentang Pemberdayaan Masyarakat Di Bidang Teknologi
Informasi Dan Sistem Informasi (Lembaran Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam 2006 Nomor 2, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor
02);
11. Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Majelis
Permusyawaratan Ulama; (Lembaran Daerah Aceh Tahun 2009
Nomor 02,Tambahan Lembaran Daerah Aceh Nomor 24);

12. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat;


(Lembaran Aceh Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Aceh Nomor 67);

13. Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Hukum Acara


Jinayat; (Lembaran Aceh Tahun 2013 Nomor 7);

14. Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok


Syari'at Islam; (Lembaran Aceh Tahun 2014 Nomor 9,
Tambahan Lembaran Aceh Nomor 68);

15. Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pembinaan Dan


Perlindungan Aqidah; Lembaran Aceh Tahun 2016 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Aceh Nomor 76);

16. Qanun Aceh Nomor 13 Tahun 2017 Tentang Tata Cara


Pemberian Pertimbangan Majelis Permusyawaratan Ulama;
(Lembaran Aceh Tahun 2018 Nomor 2, Tambahan Lembaran
Aceh Nomor 97);

17. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 29 Tahun 2017 Tentang


Pengelolaan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Di
Lingkungan Pemerintah Aceh;

18. Keputusan Gubernur Aceh Nomor 451.7/642/2017 tentang


Penetapan Pengurus Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh
Masa Bakti 2017 2022 sebagaimana telah diubah kedua kali
dengan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 451.7/715/2018
tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Gubernur Aceh
Nomor 451.7/642/2017 tentang Penetapan Pengurus Majelis
Permusyawaratan Ulama Aceh Masa Bakti 2017-2022;
Memperhatikan :

1. Khutbah Iftitah yang disampaikan oleh Ketua Majelis Permusyawaratan


Ulama Aceh, (Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA);
2. Risalah yang disiapkan oleh Panitia Musyawarah (PANMUS) MPU Aceh,
yang disarikan dari makalah-makalah:
a. Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA. (Ketua MPU Aceh)
dengan judul "Hukum dan Dampak Game PUBG dan Sejenisnya
Menurut Fiqh Islam.
b. Teuku Farhan S.I.Kom (Direktur Eksekutif MIT) dengan judul
"Tujuan dan Fungsi Game PUBG dan Sejenisnya Dalam Dunia
Teknologi Informasi (TI).
c. Yusniar, M.SI (Psikolog) dengan judul "Pengaruh Game PUBG
dan Sejenisnya menurut Tinjauan Psikologi".
3. Pendapat dan saran yang berkembang dalam Sidang Paripurna III Tahun
2019 Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Tanggal 13 sampal dengan
15 Syawal 1440 Hijriah bertepatan dengan Tanggal 17 s.d. 19 Juni 2019
Miladiyah.
dengan

bertawakkal kepada Allah SWT dan Persetujuan

SIDANG PARIPURNA

MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA ACEH MEMUTUSKAN:

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KESATU : Game PUBG (Player Unknown's Battle Grounds) dan sejenisnya


adalah sebuah permainan interaktif elektronik dengan jenis pertempuran yang
mengandung unsur kekerasan dan kebrutalan, mempengaruhi perubahan
perilaku menjadi negatif, menimbulkan perilaku agresif, kecanduan pada level
yang berbahaya dan mengandung unsur penghinaan terhadap simbol-simbol
Islam.

KEDUA : Hukum bermain Game PUBG (Player Unknown's Battle Grounds)


dan sejenisnya adalah haram.

KETIGA : TAUSHIYAH

1. Diminta kepada Pemerintah untuk mensosialisasikan Peraturan Menteri


Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif
Elektronik.
2. Diminta kepada pemerintah untuk membatasi dan memblokir situs-situs
dan permainan-permainan yang mengandung unsur kekerasan dan
pornografi.
3. Diharapkan kepada pemerintah untuk mengawasi penyedia game station.
4. Diharapkan kepada penyedia game station untuk tidak menyediakan
permainan yang mengandung unsur kekerasan dan pornografi.
5. Diharapkan kepada semua lembaga pendidikan di Aceh untuk mengawasi
secara ketat penggunaan alat teknologi informasi bagi peserta didik.
6. Diharapkan kepada orang tua dan masyarakat untuk membatasi
penggunaan alat teknologi informasi bagi anak-anak.
7. Diharapkan kepada pemerintah meminimalisir dampak negatif daripada
permainan elektronik.15

Ditetapkan di : Banda Aceh pada tanggal : 15 Syawal 1440 H


19 Juni 2019 M

15
Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 3 Tahun 2019, Tentang Hukum
Game Pubg (Player Unknown's Battle Grounds) Dan Sejenisnya Menurut Fiqh Islam.
B. Prinsip-prinsip Jual Beli Online

1. Pengertian Jual Beli Online

Kegiatan jual beli online saat ini semakin marak, apalagi situs yang
digunakan untuk melakukan transaksi jual beli online semakin banyak dan
beragam. Namun, seperti yang kita keahui bahwa dalam sistem jual beli online
produk yang ditawarkan hanya berupa penjelasan spesifikasi barang dan gambar
yang tidak bisa dijamin kebenarannya. Untuk itu sebagai pembeli, maka sangat
penting untuk mencari tahu kebenaran apakah barang yang ingin dibeli itu sudah
sesuai atau tidak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, jual beli diartikan
sebagai persetujuan saling mengikat antara penjual, yakni pihak yang
menyerahkan barang, dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang
yang dijual.16

Kata online terdiri dari dua kata, yaitu on (Inggris) yang berarti hidup atau
didalam, dan line (Inggris) yang berarti garis, lintasan, saluran atau jaringan.
Secara bahasa online bisa diartikan “didalam jaringan” atau dalam koneksi.
Online adalah keadaan terkoneksi dengan jaringan internet. Dengan keadaan
online ini pun seseorang dapat melakukan kegiatan secara aktif sehingga dapat

16
Dapertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), h. 478.
menjalin komunikasi, baik komunikasi satu arah seperti membaca berita dan
artikel dalam website maupun komunikasi dua arah seperti chatting dan saling
berkirrim email. Online bisa diartikan sebagai keadaan dimana sedang
menggunakan jaringan, satu perangkat dengan perangkat lainnya saling terhubung
sehingga dapat saling berkomunikasi.17

Dari pengertian-pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa jual


beli online adalah praktik jual beli melalui jaringan internet yang terkoneksi
dengan menggunakan handphone, computer, tablet dan lain-lain dalam skala yang
luas. Dijalankan secara efisien dan masif melalui jaringan internet, praktik ini
memudahkan proses transaksi pihak penjual dan pembeli. Jual beli online terus
berkembang pesat dan makin bervariasi baik sistem transaksi maupun jenis barang
jualannya.

2. Dasar Hukum Jual Beli Online

Dari penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa jual beli via telepon dan
internet (online) adalah dibolehkan.

Pertama,ia termasuk aspek muamalah yang pada dasarnya boleh, kecuali


ada dalil yang mengharamkannya. Demikian menurut kaedah fiqih. Kaedah ini
menegaskan bahwa segala bentuk muamalah yang direkayasa manusia pada
dasarnya adalah dibolehkan atau diizinkan. Inilah sisi rahmat Allah terbesar yang
diberikan kepada umat manusia. Rasulullah SAW menyatakan:

“Sesungguhnya Allah SWT. Telah memfardhukan beberapa ketentuan.


Ketentuan itu jangan kamu abaikan. Dia juga mengharamkan beberapa
hal jangan kau langgar larangan itu. Dia juga menetapkan sejumlah
hudud (batasan-batasan). Jangan kamu lewati batasan itu. Seiring itu pula

17
Zeinita Baguna, “Problematika Antara Reseller dan Konsumen Pada Jual Beli Online Di
Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Perspektif Fiqh Muamalah”,
(Skripsi Sarjana, Fakultas Syari’ah, Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah, Institut Agama Islam
Negeri Sultan Amai Gorontalo, Gorontalo, 2020), h. 28.
dia mendiamkan (tidak menentukan hukum) terhadap banyak hal. Hal itu
bukan karena lupa, karena itu jangan membahasnya.”18

Kedua, bila dilihat dari aspek maqashid al-syariah, di dalam jual beli via
telpon dan internet (online) terdapat kemaslahatan, berupa kemudahan transaksi,
dan efisien waktu. Dan setiap persoalan muamalah yang didalamnya dijumpai
unsur kemaslahatan, maka itulah yang dituju oleh hukum Allah, kata Izzuddin
‘Abdussalam, tokoh fiqih mazhab syafi’i. Dan dengan cara apapun kemaslahatan
itu bisa dicapai, maka tata cara itu bisa dicapai, maka tata cara itu pun
disyari’atkan, tegas Ibnu qayyim al-Jauziah, tokoh ulama mazhab Hambali.
Karena memang syariat islam itu ditetapkan untuk kemaslahatan manusia, baik
untuk jangka pendek di dunia maupun jangka panjang di akhirat, kata al-Syatibi,
tokoh fiqih mazhab Maliki.19 Ketiga, lebih dari prinsip kemaslahatan ini, yang
tidak kalah terpenting adalah substansi makna yang terkandung dalam suatu
bentuk mu’amalah serta sasaran yang akan dicapai. Dan bukan bentuk formal dari
padanya. Kaidah fiqih menyebutkan:

“Yang menjadi patokan dalam setiap transaksi adlah substansi makna


yang dikandungnya serta tujuan-tujuannya; dan bukan pada bentuk
formalnya. Tidak pula lafal-lafalnya.”

Telepon dan internet (online) adalah bentuk formal dan secara pembantu

tercapainya transaksi jual beli. Lebih dari sebagai sarana, meskipun membantu,

yang terpenting esensi dari jual beli itu sendiri. Jika didalamnya ada unsur

penepian (gharar), ketidakpastian kualitas dan kuantitas barang serta harganya

(jahalah), merugikan pihak lain (zhulm), dan barang yang diperjualbelikan itu

tergolong yang diharamkan (seperti babi, khamar, dan lain-lain), maka jelas itu
18
Dr. Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, cet. 1
2011), h. 208.
19
Dr. Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, cet. 1
2011), h. 209.
diharamkan.20

Selain dalam hukum Islam, dasar hukum transaksi elektronik juga diatur
dalam hukum positif, yaitu:

a. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) Menurut


pasal 1ayat 2 Undang Undang ITE, transaksi elektronik, yaitu:
Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan komputer, jaringan dan/atau media elektronik lainnya.21

Dalam pasal 3 Undang Undang ITE disebutkan juga bahwa:

Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan


berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan
kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.22

Pada pasal 4 Undang Undang ITE tujuan pemanfaatan teknologi dan informasi
elektronik, yaitu:23

Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan

dengan tujuan untuk:

a. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat


informasi dunia;
20
Dr. Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, cet. 1
2011), h. 209.
21
Republik Indonesia, Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 2008 sentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, Bab 1, Pasal 1, angka 2 Republik Indonesia, Undang-undang RI Nomor 1
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Bab I, Pasal 1, angka 2.
22
Zeinita Baguna, “Problematika Antara Reseller dan Konsumen Pada Jual Beli Online Di
Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Perspektif Fiqh Muamalah”,
(Skripsi Sarjana, Fakultas Syari’ah, Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah, Institut Agama Islam
Negeri Sultan Amai Gorontalo, Gorontalo, 2020), h. 29.
23
Republik Indonesia, Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 2008 sentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, Bab 1, Pasal 1, angka 2 Republik Indonesia, Undang-undang RI Nomor 1
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Bab II, Pasal 4.
b. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam
rangka meningkatkan kesejahteraanmasyarakat.

Transaksi elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat

sesuai dengan pasal 17 ayat (1) Undang Undang ITE.

Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup


publik ataupun privat.

Transaksi Elektronik juga diatur dalam KUHPerdata yang menganut asas


kebebasan berkontrak.

b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Jual beli adalah perjanjian yang berarti perjanjian sebagaimana dimaksud

dalam pasal 1313 RUHPendata, yaitu "

Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih.

Menuru Gunawan Wijaya, jual beli adalah suatu bentuk perjanjian yang
melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu yang dalam hal
ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan
penyerahan uang dari pembeli ke penjual.24

Buku II KUHPerdata diatur mengenai perikatan yang menganut asa


terbuka atau kebebasan berkontrak, maksudnya memberikan kebebasan kepada
pihak-pihak dalam membuat perjanjian asalkan ada kata sepakat, cakap bertindak
hukum, suatu hal tertentu dan suatu sebab tertentu, dan suatu sebab yang halal.
Begitupun juga transaksi elektronik yang diatur dalam KUHPerdata yang
menganut asas kebebasan berkontrak.
24
Zeinita Baguna, “Problematika Antara Reseller dan Konsumen Pada Jual Beli Online Di
Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Perspektif Fiqh Muamalah”,
(Skripsi Sarjana, Fakultas Syari’ah, Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah, Institut Agama Islam
Negeri Sultan Amai Gorontalo, Gorontalo, 2020), h. 30.
Sifat terbuka dari KUHPerdata ini tercermin dalam pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata yang mengandung asas kebebasan berkontrak, yaitu: Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Maksudnya ialah setiap orang bebas untuk menentukan
bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangun yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umuin, serta selalu
memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat dalam pasal 1320
KUHPerdata, yaitu:25

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.

3. Subjek dan Objek Jual Beli Online

Transaksi jual beli online, penjual dan pembeli tidak bertemu langsung
dalam satu tempat melainkan melalui dunia maya, adapun yang menjadi subjek
jual beli online tidak berbeda dengan jual beli secara konvensional, yaitu penjual
yang menjual barangnya dan pembeli sebagai konsumen yang membayar harga
barang. Penjualan dan pembelian online terkadang hanya dilandasi oleh
kepecayaan, artinya pelaku jual beli online kadang tidak jelas sehingga rentan
terjadinya penipuan. Adapun yang menjadi objek jual beli online, yaitu barang
yang berbentuk akun yang dibeli oleh pembeli.26

25
Zeinita Baguna, “Problematika Antara Reseller dan Konsumen Pada Jual Beli Online Di
Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Perspektif Fiqh Muamalah”,
(Skripsi Sarjana, Fakultas Syari’ah, Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah, Institut Agama Islam
Negeri Sultan Amai Gorontalo, Gorontalo, 2020), h. 31.
26
Zeinita Baguna, “Problematika Antara Reseller dan Konsumen Pada Jual Beli Online
Di Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Perspektif Fiqh
Muamalah”, (Skripsi Sarjana, Fakultas Syari’ah, Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah, Institut
Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo, Gorontalo, 2020), h. 31.
4. Jenis Transaksi Jual Beli Online

Konsomen jual beli online semakin dituntut untuk mengetahui lebih delam
mengenai proses, resiko serta keamanan dari sebuah transaksi online. Saat ini
jenis transaksi online juga semakin beragam mulai dari jenis konvensional dimana
pembeli dan penjual harus bertatap muka dalam melakukan proses transaksi
hingga yang menggunakan proses transaksi otomatis tanpa harus bertatap muka.

Di Indonesia sendiri ada beberapa jenis transaksi jual beli online yang biasa
dilakukan oleh konsumen jual beli online, yaitu:27

a. COD (Cash On Delivery)

Pada sistem COD sebenarnya hampir dapat dikatakan bukan sebagai proses
jual beli secara online, karena penjual dan pembeli terlibat secara langsung.
bertemu, tawar-menawar, dan memeriksa kondisi akun apakah sesuai dengan yang
diposting dimedia sosial, baru kemudian membayarnya. Keuntungan dari sistem
ini adalah antara pembeli dan penjual lebih bisa leluasa dalam proses transaksi.
Pembeli bisa melihat dengan detil akun yang akan dibeli. Jenis transaksi ini
dipopulerkan oleh website jual beli seperti Tokobagus, Berninga, facebook,
whatsaap dan lainnya. Kekurangan dari sistem ini adalah keamanan baik penjual
dan pembeli karena boleh jadi pihak yang akan ditemui pembeli atau penjual
adalah orang yang berniat jahat.28

27
Zeinita Baguna, “Problematika Antara Reseller dan Konsumen Pada Jual Beli Online Di
Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Perspektif Fiqh Muamalah”,
(Skripsi Sarjana, Fakultas Syari’ah, Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah, Institut Agama Islam
Negeri Sultan Amai Gorontalo, Gorontalo, 2020), h. 32.

28
Zeinita Baguna, “Problematika Antara Reseller dan Konsumen Pada Jual Beli Online Di
Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Perspektif Fiqh Muamalah”,
(Skripsi Sarjana, Fakultas Syari’ah, Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah, Institut Agama Islam
Negeri Sultan Amai Gorontalo, Gorontalo, 2020), h. 33.
5. Mekanisme Transaksi Jual Beli Online

Mekanisme jual beli online hal pertama yang dilakukan oleh pembeli.
yaitu mengakses platform facebook atau toko online yang menawarkan penjualan
akun game online player unknown’s battle ground (PUBG) mobile. Setelah
masuk, bisa memilih akun yang ingin dibeli jika sudah dirasa cocok bisa langsung
melakukan transaksi dengan menyetujui perjanjian yang telah ditetapkan oleh
kedua belah pihak. Kalau sudah terjadi kesepakatan secara digital, penjual akan
mengirimkan nomor rekening pada calon pembeli agar dapat melakukan
pengiriman uang sesuai dengan harga akun yang akan dibeli. Adapun saat ini
dengan berbagai macamnya sosial media seperti facebook, Line, Black Berry
Massanger (BBM), whatsapp dan lainnya. pembeli tinggal melihat postingan
penjual berupa gambar-gambar yang ditawarkan kepada pembeli, lalu kemudian
pembeli tinggal mengkonfirmasi melalui komentar. inbox atau sms dan telepon
jika ingin memesan barang yang diinginkan. Biasanya. digambar itu telah tertera
nomor rekening pemilik akun, sehingga setelah mengkonfirmasi pemilik akun,
maka pembeli bisa langsung mentransfer uangnya lewat bank, lalu mengirimkan
bukti transfernya ke penjual akun, setelah itu pembeli akan lansung dikirimi id
dan password akun yang telah ia beli.29

6. Kelebihan dan Kekurangan Jual Beli Online

Melakukan transaksi elektronik dalam hal ini jual beli online, ada
kelebihan dan kekurangan yang didapatkan oleh pelaku usaha dan konsumen.
Adapun kelebihan dan kekurangan bagi pelaku usaha dan konsumen dalam
melakukan transaksi jual beli online, yaitu:30
29
Zeinita Baguna, “Problematika Antara Reseller dan Konsumen Pada Jual Beli Online Di
Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Perspektif Fiqh Muamalah”,
(Skripsi Sarjana, Fakultas Syari’ah, Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah, Institut Agama Islam
Negeri Sultan Amai Gorontalo, Gorontalo, 2020), h. 33-34.
30
Zeinita Baguna, “Problematika Antara Reseller dan Konsumen Pada Jual Beli Online Di
Kecamatan Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Perspektif Fiqh Muamalah”,
a. Kelebihann dan Kekurangan Jual Beli online

Bagi Penjual Ada beberapa kelebihan jual beli online bagi penjual, yaitu:

1) Dapat digunakan sebagai lahan untuk menciptakan pendapatan yang


sulit atau tidak dapat diperoleh melalui cara konvensional, seperti
memasarkan langsung produk atau jasa, menjual informasi, iklan, dan
sebagainya; Contohnya, penjual tidak lagi repot-repot memasarkan
barang jualan secara langsing, tetapi cukup melakukan pemasaran
barang jualan melalui media online;
2) Jual beli dapat dilakukan tanpa terikat pada tempat dan waktu
tertentu. Jual beli online merupakan bisnis yang dapat dilakukan
kapanpun dan dimanapun, selama tersedia fasilitas untuk mengakses
internet.

Selain beberapa kelebihan tersebut, jual beli online atau bisnis online ini
juga mempunyai kekurangan, yaitu:

1) Masih minimnya kepercayaan masyarakat pada bentuk transaksi


online. Masih banyak masyarakat khusarnya di Indonesia yang
belum terlalu yakin untuk melakukan transaksi online, apalagi
berkenan dengan pembayaran. Biasanya mereka lebih suka
transaksi secara langsung walaupun dengan orang sudah dikenal.

2) Masih minimnya pengetahuan tentang teknologi informasi,


khususnya dalam pemanfaatan untuk bisnis sehingga menimbulkan
banyak kekhawatiran.

3) Adanya peluang penggunaan akses oleh pihak yang tidak berhak,


khususnya yang bermaksud tidak baik, misalnya pembobolan data
oleh para hacker yang tidak bertanggung jawab, pembobolan kartu
kredit, dan rekening tabungan.

(Skripsi Sarjana, Fakultas Syari’ah, Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah, Institut Agama Islam
Negeri Sultan Amai Gorontalo, Gorontalo, 2020), h. 35-37.
C. Asas-Asas Hukum Ekonomi Syariah

Hukum Ekonomi Syariah merupakan suatu bidang kajian yang dewasa ini
terus berkembang baik dalam konteks “pendalaman” (deepening), dari disiplin ini
dan dari sisi keilmuannya, maupun dalam kaitan “perluasan” lingkup subjek ini
sebagai konsekuensi perkembangan pesat atau dinamika interaksi ekonomi
internasional yang mengarah pada “rule making proces” yang bersifat mendunia.31

Alasan pokok keberadaan sistem ekonomi syariah, yaitu keinginan


masyarakat muslim untuk kaffah dalam menjalankan ajaran Islam dengan
menjalankan seluruh aktivitas dan transaksi ekonominya sesuai dengan ketentuan
syariah. Munculnya fenomena hukum ekonomi syariah merupakan akibat in
teraksi hukum islam dan sistem dan sistem hukum Nasional, yang awalnya
terbatas pada hukum keluarga atau dalam bincang hukum perdata khusus seperti
yang di pahami selama ini.32 Konsep hukum ekonomi syariah diperkenalkan dan
diimplementasikan pada hampir setiap bidang usaha dan strata. Pada awalnya
diterapkan pada ekonomi mikro yang kemudian berkembang pada semua sektor
dan bidang usaha.

1. Asas-asas Akad (Perjanjian) dalam Hukum Ekonomi Syariah

Sistem hukum Islam merupakan keseluruhan aturan hukum yang disusun


secara terpadu berdasarkan asas-asas tertentu. Sistem hukum Islam klasik
membuat perjenjangan norma-norma hukum Islam menjadi dua tingkat yaitu, al-
suhul (asas-asas umum) dan al-furu (peraturan-peraturan hukum kongkrit). Al-
ushul (asas-asas umum) meliputi kategori yang luas sehingga mencakup juga
norma-norma filosofis dasar yang menjadi tegaknya kedua norma diatas.
Selanjutnya Syamsul Anwar mengemukakan bahwa norma-norma hukum islam
dapat dijenjangkan menjadi tiga lapis, yaitu: Nilai-nilai dasar atau norma filosofis

31
Neni Sri Imaniyati, “Asas dan Jenis Akad dalam Hukum Ekonomi Syariah:
Implementasinya pada Usaha Bank Syariah”, Mimbar, Vol. XXVII, No. 2 (2011): h. 151.
32
Neni Sri Imaniyati, “Asas dan Jenis Akad dalam Hukum Ekonomi Syariah:
Implementasinya pada Usaha Bank Syariah”, Mimbar, Vol. XXVII, No. 2 (2011): h. 152.
(al-qiyam al-asasiyyah), asas umum (al-ushul al-kulliyyah), peraturan-peraturan
hukum konkret (al-ahkam al-far’iyyah).33

Asas-asas perjanjian merupakan konkretisasi dari norma-norma filosofis,


yaitu nilai-nilai dasar yang menjadi fondasi ajaran Islam. Asas-asas perjanjian
dalam hukum Islam terdiri dari asas kebolehan (mabda’ hurriyyah at-ta’aqud),
asas konsensualisme/kesepakatan (mabda ar-radha’iyyah), asas janji itu
mengikat, asas keseimbangan (mabda’ at-tawazun fi al mu’awadhah), asas
kemaslahatan (tidak memberatkan), asas amanah dan asas keadilan. Pengertian
dari asas-asas diatas sebagai berikut:34

a. Asas ibahah atau kebolehan merupakan asas umum hukum Islam dalam
bidang muamalat yang dirumuskan pada kalimat “pada dasarnya segala
sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya”. Hal ini
bertolak belakang dengan asas yang berlaku dalam ibadah bahwa tidak ada
ibadah kecuali apa yang telah dicontohkan oleh Rosulullah Saw. Jika
dihubungkan dengan tindakan hukum dan perjanjian maka perjanjian apa
pun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus mengenai perjanjian
tersebut.
b. Asas kebebasan berakad dalam hukum Islam dibatasi dengan larangan
makan harta sesame dengan jalan bathil. Yang dimaksud dengan makan
harta sesama dengan jalan bathil adalah makan harta orang lain dengan
cara yang tidak dibenarkan dan tidak sah menurut hukum Syariah.
c. Asas kosensual berlandaskan pada kaidah hukum Islam pada asasnya
perjanjian (akad) itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya
adalah apa yang mereka tetapkan melalui janji. Asas janji itu mengikat
berlandaskan pada perintah dalam Al Qur’an agar memenuhi janji. Dalam
kaidah ushul fikih, perintah itu pada asasnya menunjukkan wajib. Di

33
Neni Sri Imaniyati, “Asas dan Jenis Akad dalam Hukum Ekonomi Syariah:
Implementasinya pada Usaha Bank Syariah”, Mimbar, Vol. XXVII, No. 2 (2011): h. 153.
34
Neni Sri Imaniyati, “Asas dan Jenis Akad dalam Hukum Ekonomi Syariah:
Implementasinya pada Usaha Bank Syariah”, Mimbar, Vol. XXVII, No. 2 (2011): h. 155
antara ayat dan hadits dimaksud adalah, dan penuhilah janji, sesungguhnya
janji itu akan dimintakan pertanggungjawabannya. Hukum perjanjian
Islam menekankan perlunya keseimbangan dalam perjanjian.
Keseimbangan ini dapat berupa keseimbangan antara yang diberikan
dengan yang diterima maupun keseimbangan dalam memikul risiko.
d. Asas kemaslahatan dimaksudkan agar akad yang dibuat oleh para pihak
bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh
menimbulkan kerugian (mudharat) atau keadaan yang memberatkan
(masyaqqah).
e. Asas amanah mengandung arti bahwa para pihak yang melakukan akad
harus memiliki itikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya.Dalam
perjanjian Islam dituntut adanya amanah misalnya memegang rahasia, atau
memberikan informasi yang sesungguhnya, tidak bohong. Dalam hukum
Islam keadilan merupakan perintah Allah yang tertera dalam Al Qur’an,
berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa (Q.S. 5:8).
Keadilan merupakan tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum.

Menurut S. Anwar, istilah “akad” dalam hukum Islam disebut “perjanjian”


dalam hukum Indonesia. Kata akad berasal dari kata alaqd yang berarti
mengikat,menyambung atau menghubungkan (ar-rabt). Selanjutnya, dikemukakan
akad (perjanjian) menurut Pasal 262 Mursyid al-Harian,yaitu pertemuan ijab yang
diajukan oleh salah satu pihak dengan Kabul dari pihak lain yang menimbulkan
akibat hukum pada objek akad. Definisi akad menurut Syamsul Anwar sendiri,
yaitu pertemuan ijab dan Kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih
untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.35

35
Neni Sri Imaniyati, “Asas dan Jenis Akad dalam Hukum Ekonomi Syariah:
Implementasinya pada Usaha Bank Syariah”, Mimbar, Vol. XXVII, No. 2 (2011): h. 156.

Anda mungkin juga menyukai