M. Rafli Iltizamulloh
NIM 210101110073
(Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang)
Pendahuluan
Ketika membahas ilmu tasawuf, maka seakan-akan tidak ada habisnya, banyak
hal-hal baru yang akan terus kita dapatkan. Ilmu tasawuf mengajarkan manusia cara
menjadi pribadi yang berakhlak mulia (ahlakul karimah) dan terhindar dari perbuatan-
perbuatan buruk (ahlakul madzmumah) serta selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT
(taqarub ila Allah). Seseorang yang mendalami dan mengamalkan ilmu tasawuf dengan
baik, maka hidupnya akan disinari ajaran-ajaran Allah SWT dan Rasulullah, serta
dipenuhi dengan perilaku-perilaku yang baik, seperti rasa ikhlas, sabar, tidak berlebihan
dalam mengejar dunia, rela berkorban kepada sesama, dan senantiasa berbuat baik dalam
segala hal.
Imam al-Muhasibi merupakan salah satu dari sekian banyak tokoh ahli tasawuf di
dunia. Beliau lahir di Kota Basrah, Irak pada tahun 165 H bertepatan dengan tahun 781
M. Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri al-Muhasibi
.Imam Al-Muhasibi hidup pada zaman keemasan dan kejayaan peradaban Islam, yaitu
pada Dinasti Abbasiyah masa era Khalifah al-Mahdi yang berlangsung dari tahun 775-
785 M, lalu masa Khalifah al-Hadi (785-786 M), lalu puncak kejayaan pada masa
Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809 M), Khalifah al-Amin (809-813), Khalifah al-
Ma’mun (813-833 M), dan Khalifah al-Mu’tashim (833-824 M).1 Jadi selama masa
hidupnya, Imam al-Muhasibi merasakan kepemimpinan 6 khalifah Dinasti Abbasyiyah
yang pada saat itu ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat dan menjadikan Baghdad,
Irak sebagai pusat peradaban ilmu pengetahuan dunia dan Islam. Waktu itu, Baghdad
merupakan pusat kekuatan dua ilmu, yaitu ilmu yang berbasis pada rasionalisme (akal)
dan ilmu yang berbasis pada spiritualisme (keagamaan). Sehingga banyak ulama memilih
hidup di Kota Bgahdad untuk memperdalam ilmu, termasuk Imam Al-Muhasibi. Imam
al-Muhasibi lahir dari keluarga yang berkecukupan dan terpandang, ayahnya seorang
yang kaya raya dan memiliki banyak harta, meskipun demikian Imam al-Muhasibi tidak
pernah mengambil sedikitpun harta warisan ayahnya.
1
Abdul Muqsith, Kajian Tasawuf Al-Harits Ibn Asad Al-Muhasibi Studi Kitab Al-Ri’ayah Li Huquq
Allah, jurnal ISTIQRO’ Vol. 15 No. 01 (2017), hlm. 42-43.
2
Ibid, hlm. 48.
referensi oleh tokoh sufi lainnya. Karya tersebut antara lain berjudul Ar-Riayat
lihukukillah (memelihara hak-hak Allah), Al Washiyah an-nasih (wasiat dan petunjuk),
Risalah al-mutarsidin (orang-orang yang memperoleh petunjuk), Al-Masa’il amal wa al-
qulub wa al-jawarih wa al-aql (tentang aktivitas hati, anggota tubuh, dan akal), Syarh al-
Ma’rifah, Al Fahmi al-Qur’an (memahami Al-Qur’an), dan karya lainnya. Imam Harits
al-Muhasibi wafat pada tahun 242 H/895 M tepat di usia 78 tahun. Beliau dimakamkan
di Baghdad, Irak tempatnya mengembara dan menimba ilmu-ilmu. Imam al-Muhasibi
meninggalkan banyak sekali warisan ilmu, terutama ilmu tasawuf yang dijadikan sumber
rujukan oleh banyak tokoh sufi.
3
Ibid, hlm.51
kepada perbaikan akhlak (tingkah laku) dan menghindarkan manusia dari perbuatan
buruk.4
4
Mia Paramita, Konsep Tasawuf Haris Al-Muhasibi dan Implementasi Dalam Kehidupan
Modern, (UIN Raden Fatah Palembang: 2018), hlm. 52-53.
5
Fahim Khasani, Tasawuf Kontemplatif: Prinsip-Prinsip Jalan Kesufian Al-Muhasibi, Jurnal
Dinamika Penelitian: Media Komunikasi Penelitian Sosial Keagamaan Vol. 20 No. 02 (November: 2020),
hlm.294.
Muhasibi mengartikan taqwa sebagai kekhawatiran seseorang apabila tidak dapat
menjauhi segala sesuatu yang tidak disukai oleh Allah SWT. Untuk mencapi ketakwaan,
seseorang harus menjaga hatinya agar tidak dimasuki unsur kedunawian yang bisa
menyebabkan kelalaian, meninggalkan semua larangan dan mengerjakan semua perintah
Allah. Kemudian dari sikap taqwa ini akan melahirkan sikap wara’, wara’ adalah sikap
berhati-hati atau meninggalkan sesuatu yang bersifat syuhbat (meragukan). Antara sikap
wara’ dengan taqwa saling berkaitan karena jika seseorang takut kepada Allah, maka
dengan sendirinya ia akan menjadi wara’. Apabila ketaqwaan dan wara’ telah menguasi
hati seseorang, maka dia akan hidup dengan penuh ketaatan kepada Allah SWT.
6
Ibid, hlm.300.
dengan gelar Al-Muhasibi. Imam Al-Muhasibi dalam beberapa kitabnya juga
menekankan untuk menghindari penyakit-penyakit hati yang bisa menjangkiti diri
manusia, Beliau menjelaskan secara mendalam penyakit-penyakit tersebut, seperti riya’,
Menurutnya riya’ adalah beribadah bukan karena Allah SWT, namun karena manusia
semata. Beliau membagi riya’ menjadi dua bagian, yaitu riya’ besar, ketika seseorang
beribadah tidak mengharap keridhoan Allah sama sekali, namun hanya untuk
kepentingannya sendiri. Riya’ kedua adalah riya’ kecil, riya’ ini terjadi ketika seseorang
beribadah karena manusia, namun masih tetap mengharap ridho Allah, riya’ ini disebut
juga sebagai syirik kecil. Imam Al-Muhasibi mengatakan bahwa beribadah secara
sembunyi-sembunyi lebih utama daripada ibadah yang dilakukan secara terang-terangan,
karena hal itu untuk meminimalisir munculnya penyakit riya’ yang bisa menghanguskan
amal ibadah manusia.
7
Op.Cit, hlm.62-63.
dapat menyebabkan munculnya sikap sombong, mereka merasa bangga terhadap
nasabnya dan memandang rendah orang yang bernasab biasa. Kelima, kesombongan
karena banyak pengikut. Hal itu seperti yang terlihat ketika kaum muslimin berada dalam
perang Hunain, mereka bangga karena banyaknya jumlah pasukan kaum muslim daripada
jumlah musuh, namun ternyata hampir kalang kabut atas serangan musuh, peristiwa itu
memberikan pelajaran bahwa kemenangan yang menentukan adalah Allah bukan
seberapa banyak jumlah pengikut. Keenam, kesomobongan karena kekuatan fisik.
Ketujuh, kesombongan karena paras keistimewaan tubuh. Dua perkara terakhir ini paling
sering dilakukan oleh manusia di era modern ini. Imam Al-Muhasibi menekankan agar
manusia menjauhi segala perkara penyebab penyakit hati ini.
Penutup
Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri al-Muhasibi termasuk seorang sufi yang
berkontribusi besar terhadap perkembangan tasawuf, Beliau meletakan dasar-dasar
tasawuf akhlaqi yang lebih menekankan untuk menghiasi diri dengan akhlak dan
perbuatan baik. Meskipun nama Al-Muhasibi terdengar asing dalam masyarakat, namun
Beliau cukup berpengaruh terhadap pemikiran sufi-sufi lainnya, seperti Al-Ghazali dan
Junaid Al-Baghdadi. Imam Al-Muhasibi bukan hanya seorang sufi, namun juga ahli fikih,
hadits, Al-Qur’an, dan ahli ilmu lainnya, sehingga banyak karya Al-Muhasibi yang
dinukil oleh ulama-ulama ternama. Cara Beliau bertasawuf sangatlah unik, berbeda
dengan tasawuf sufi lainnya yang kebanyakan condong ke arah tasawuf falfasi dan saling
memperdebatkan pemikiran mereka. Tasawuf Imam Al-Muhasibi sangat relavan dengan
kehidupan manusia modern saat ini, dimana Beliau sering melakukan muhasabah
(introspeksi diri) agar terhindar dari perbuatan-perbuatan dosa. Manusia saat ini, perlu
meniru muhasabah Imam Al-Muhasibi, karena kehidupan saat ini bisa dikatakan sangat
bebas dan sangat maju, semua bisa didapatkan dengan mudah tanpa berfikir apakah hal
tersebut halal atau haram, dilarang atau tidak. Sehingga dengan serba mudah ini
dikhawatirkan dapat menjerumuskan manusia ke jurang kemaksiatan dan kehinaan.
Untuk itu, manusia harus senantiasa menjaga dirinya pada jalan yang baik, jalan ketaatan
dan ketakwaan kepada Allah SWT agar selamat dunia dan akhirat.
Daftar Pustaka
Muhammad Rusydi, A. M. (2021). Antalogi Kajian Tasawuf. Jakarta: Perum Percetakan Negara
Republik Indonesia.
Muqsith, A. (2017). Kajian Tasawuf Al-Harits Ibn Saad Al-Muhasibi Studi Kitab Al-Ri'ayah Li
Huquq Allah. ISTIQRO', 41-68.
Nuraini. (2019). Peran Tasawuf Terhadap Masyarakat Modern. Analisis: Jurnal Studi Keislaman,
297-320.
Paramita, M. (2018). Konsep Tasawuf Akhlaki Haris Al-Muhasibi dan Implementasi dalam
Kehidupan Modern. Palembang: UIN Raden Fatah.