Anda di halaman 1dari 8

IMAM AL-MUHASIBI: SEORANG SUFI YANG BERKONTRIBUSI BESAR

TERHADAP KEHIDUPAN TASAWUF MASA KINI

M. Rafli Iltizamulloh

NIM 210101110073

(Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang)

Pendahuluan

Ketika membahas ilmu tasawuf, maka seakan-akan tidak ada habisnya, banyak
hal-hal baru yang akan terus kita dapatkan. Ilmu tasawuf mengajarkan manusia cara
menjadi pribadi yang berakhlak mulia (ahlakul karimah) dan terhindar dari perbuatan-
perbuatan buruk (ahlakul madzmumah) serta selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT
(taqarub ila Allah). Seseorang yang mendalami dan mengamalkan ilmu tasawuf dengan
baik, maka hidupnya akan disinari ajaran-ajaran Allah SWT dan Rasulullah, serta
dipenuhi dengan perilaku-perilaku yang baik, seperti rasa ikhlas, sabar, tidak berlebihan
dalam mengejar dunia, rela berkorban kepada sesama, dan senantiasa berbuat baik dalam
segala hal.

Dalam perkembangannya, ilmu tasawuf mengalami proses yang sangat panjang.


Mulai dari zaman Nabi Muhammad SAW, Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah,
Dinasti Abbasiyah, hingga era modern saat ini. Proses panjang ini melahirkan berbagai
macam aliran-aliran tasawuf, corak pemikiran Islam yang beragam, dan ahli-ahli tasawuf
(sufi) yang sangat terkenal, seperti Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Junaid Al-Baghdadi,
Abu Yazid Al-Bustomi, Rabiah Al-Adawiyah, Ibnu Khaldun, dan sufi-sufi lainnya.
Selain nama-nama tokoh tasawuf terkenal tersebut, ada satu nama ahli sufi yang cukup
berperan besar terhadap konsep ajaran tasawuf, namun Beliau tidak terlalu dikenal oleh
masyarakat luas seperti kebanyakan tokoh sufi lainnya, tokoh tersebut adalah Abu
Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri al-Muhasibi atau sering dijuluki dengan Imam al-
Muhasibi.
Pembahasan

Imam al-Muhasibi merupakan salah satu dari sekian banyak tokoh ahli tasawuf di
dunia. Beliau lahir di Kota Basrah, Irak pada tahun 165 H bertepatan dengan tahun 781
M. Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri al-Muhasibi
.Imam Al-Muhasibi hidup pada zaman keemasan dan kejayaan peradaban Islam, yaitu
pada Dinasti Abbasiyah masa era Khalifah al-Mahdi yang berlangsung dari tahun 775-
785 M, lalu masa Khalifah al-Hadi (785-786 M), lalu puncak kejayaan pada masa
Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809 M), Khalifah al-Amin (809-813), Khalifah al-
Ma’mun (813-833 M), dan Khalifah al-Mu’tashim (833-824 M).1 Jadi selama masa
hidupnya, Imam al-Muhasibi merasakan kepemimpinan 6 khalifah Dinasti Abbasyiyah
yang pada saat itu ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat dan menjadikan Baghdad,
Irak sebagai pusat peradaban ilmu pengetahuan dunia dan Islam. Waktu itu, Baghdad
merupakan pusat kekuatan dua ilmu, yaitu ilmu yang berbasis pada rasionalisme (akal)
dan ilmu yang berbasis pada spiritualisme (keagamaan). Sehingga banyak ulama memilih
hidup di Kota Bgahdad untuk memperdalam ilmu, termasuk Imam Al-Muhasibi. Imam
al-Muhasibi lahir dari keluarga yang berkecukupan dan terpandang, ayahnya seorang
yang kaya raya dan memiliki banyak harta, meskipun demikian Imam al-Muhasibi tidak
pernah mengambil sedikitpun harta warisan ayahnya.

Semasa hidupnya, Imam al-Muhasibi pernah belajar kepada banyak guru. Di


bidang ilmu Fikih, Beliau belajar kepada Imam asy-Syafi’i, Abu Ubaid al-Qasimi bin
Salam, dan Qadli Yusuf Abu Yusuf. Imam al-Muhasibi hidup segenerasi dengan ulama-
ulama fikih besar yang dikenal dengan imam empat madzhab yaitu Imam Ahmad bin
Hanbal, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Malik, hanya Imam Hanifah saja yang tidak
sezaman dengan Beliau. Di bidang ilmu hadits, Beliau belajar kepada Syuraih bin Yunus,
Yazid bin Haran, Abu an-Nadar, dan Suwaid bin Daud. Sehingga Imam al-Muhasibi tidak
hanya terkenal sebagai ahli tasawuf, tetapi juga ahli fikih dan hadits. Beliau mempunyai
wawasan ilmu yang sangat luas, terbukti Beliau memiliki beberapa murid terkenal, seperti
Junaid al-Baghdadi dan Abu al-Abbas Ibn Masruq al-Tusi.2 Selain itu, Imam al-Muhasibi
juga rajin menulis buku dan menghasilkan karya-karya penting yang dijadikan sumber

1
Abdul Muqsith, Kajian Tasawuf Al-Harits Ibn Asad Al-Muhasibi Studi Kitab Al-Ri’ayah Li Huquq
Allah, jurnal ISTIQRO’ Vol. 15 No. 01 (2017), hlm. 42-43.
2
Ibid, hlm. 48.
referensi oleh tokoh sufi lainnya. Karya tersebut antara lain berjudul Ar-Riayat
lihukukillah (memelihara hak-hak Allah), Al Washiyah an-nasih (wasiat dan petunjuk),
Risalah al-mutarsidin (orang-orang yang memperoleh petunjuk), Al-Masa’il amal wa al-
qulub wa al-jawarih wa al-aql (tentang aktivitas hati, anggota tubuh, dan akal), Syarh al-
Ma’rifah, Al Fahmi al-Qur’an (memahami Al-Qur’an), dan karya lainnya. Imam Harits
al-Muhasibi wafat pada tahun 242 H/895 M tepat di usia 78 tahun. Beliau dimakamkan
di Baghdad, Irak tempatnya mengembara dan menimba ilmu-ilmu. Imam al-Muhasibi
meninggalkan banyak sekali warisan ilmu, terutama ilmu tasawuf yang dijadikan sumber
rujukan oleh banyak tokoh sufi.

Imam Harits al-Muhasibi cukup berpengaruh terhadap perkembangan ilmu


tasawuf, dalam beberapa referensi beliau dikenal sebagai pelopor dan peletak dasar-dasar
ilmu tasawuf. Mengapa demikian? Karena pada zaman dulu, tasawuf belum dikenal
banyak orang sebagai salah satu disiplin ilmu seperti saat ini, namun tasawuf dianggap
bukan bagian dari Islam dan terdapat kesesatan di dalamnya. Sebelum Al-Muhasibi lahir,
dunia Islam muncul berbagai macam aliran teologi/ ilmu kalam, seperti Mu’tazillah,
Khawarij, Syiah, dan beberapa lainnya. Bahkan ayah Imam Al-Muhasibi termasuk
seorang pengikut mu’tazillah yang sangat mengedepankan kekuatan akal (rasionalisme)
dalam kehidupan. Meskipun ayahnya penganut Mu’tazillah, namun Al-Muhasibi berbeda
jauh dari ayahnya, baik dari segi pemahaman maupun kehidupan.

Imam Al-Muhasibi memiliki pandangan sendiri dalam tasawuf, tidak seperti


tasawuf sufi lainnya. Sebagian besar ahli tasawuf menganggap bahwa tujuan tasawuf
adalah bersatu dengan Allah (ittihad), namun menurut Imam Al-Muhasibi, tasawuf
adalah ilmu yang mayoritas berhubungan dengan akhlaq daripada berhubungan dengan
tauhid, fana, dan syathahat.3Perlu diketahui, bahwa syathahat adalah ungkapan-
ungkapan aneh yang mengartikulasikan kondisi kejiawaan dan perasaan sufi yang sedang
memuncak dengan kuatnya. Bahkan Imam Al-Muhasibi memerintahkan muridnya agar
menjauhi hal-hal yang berkaitan dengan syathahat, karena bisa terperangkap dalam
kesesatan. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa Imam Al-Muhasibi lebih menekankan
kepada tasawuf Akhlaki. Adapun tasawuf akhlaki adalah tasawuf yang berorientasikan

3
Ibid, hlm.51
kepada perbaikan akhlak (tingkah laku) dan menghindarkan manusia dari perbuatan
buruk.4

Metode bertasawuf Imam Al-Muhasibi sangatlah unik dan berbeda, Baliau


mengakomodir semua keilmuwan yang telah dipelajarinya dan dimanfaatkan untuk
mengembangkan ilmu tasawuf.5 Beliau menggabungkan ilmu fikih dan ilmu hadits
dengan ilmu tasawuf, Sehingga antara muhadissin (ahli hadits) dengan ahli kalam tidak
terjadi perpecahan atau pertentangan. Beliau mengintegrasikannya dengan dimulai dari
teks yang diampu oleh ahli hadits, kemudian teks tersebut dirumuskan menjadi hukum
syara’ oleh fuqaha, dan dimatangkan melalui pendalaman spiritual oleh ahli tasawuf
(sufi). Tasawuf yang dikembangkan Al-Muhasibi ini menjadi pembahasan hangat dan
dapat diterima di kalangan banyak orang, karena cara Beliau bertasawuf termasuk unik.
Hal ini merupakan jawaban atas yang menganggap sinis tasawuf dengan anggapan tidak
sesuai dengan dua dasar hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunah. Bahkan Imam Al-
Muhasibi menegaskan bahwa orang yang tidak menghafal Al-Qur’an dan menulis hadits
tidak bisa mempelajari tasawuf, karena landasan ilmu tasawuf adalah Al-Qur’an dan
hadits.

Dalam kitab yang berjudul al-Ri’ayah li Huquq Allah (Memelihara hak-hak


Allah), Imam Al-Muhasibi menerangkan pentingnya konsep tazkiyatun nafs, adapun
tazkiyatun nafs adalah proses penyucian diri dari berbagai hal-hal yang buruk seperti
penyakit hati iri, dengki, sombong, nifaq, riya, dan lain-lain. Proses ini penting bagi
seorang sufi, karena untuk menggapai rasa cinta kepada Allah maka perlu membersihkan
hati dan jiwa terlebih dahulu dari segala bentuk kotoran. Seseorang bisa terjatuh ke dalam
posisi terendah (asfala safilin) apabila hatinya penuh dengan sifat-sifat buruk, dan
sebaliknya manusia bisa mencapai derajat tertinggi (a’la ‘illiyin) apabila sanggup
menjaga hati, pikiran, dan jiwanya dari hal-hal buruk. Menurut Imam Al-Muhasibi untuk
menjaga dan membersihkan hati, ada tahapan-tahapan tertentu yang harus dilalui, antara
lain ketaatan, kemudian pangkal dari ketaatan adalah wara’, dan landasan dari wara’
adalah taqwa. Jadi tahapan yang pertama kali harus dilalui adalah taqwa. Imam Al-

4
Mia Paramita, Konsep Tasawuf Haris Al-Muhasibi dan Implementasi Dalam Kehidupan
Modern, (UIN Raden Fatah Palembang: 2018), hlm. 52-53.
5
Fahim Khasani, Tasawuf Kontemplatif: Prinsip-Prinsip Jalan Kesufian Al-Muhasibi, Jurnal
Dinamika Penelitian: Media Komunikasi Penelitian Sosial Keagamaan Vol. 20 No. 02 (November: 2020),
hlm.294.
Muhasibi mengartikan taqwa sebagai kekhawatiran seseorang apabila tidak dapat
menjauhi segala sesuatu yang tidak disukai oleh Allah SWT. Untuk mencapi ketakwaan,
seseorang harus menjaga hatinya agar tidak dimasuki unsur kedunawian yang bisa
menyebabkan kelalaian, meninggalkan semua larangan dan mengerjakan semua perintah
Allah. Kemudian dari sikap taqwa ini akan melahirkan sikap wara’, wara’ adalah sikap
berhati-hati atau meninggalkan sesuatu yang bersifat syuhbat (meragukan). Antara sikap
wara’ dengan taqwa saling berkaitan karena jika seseorang takut kepada Allah, maka
dengan sendirinya ia akan menjadi wara’. Apabila ketaqwaan dan wara’ telah menguasi
hati seseorang, maka dia akan hidup dengan penuh ketaatan kepada Allah SWT.

Berhubungan dengan nafs (jiwa), Imam Al-Muhasibi menjelaskan bahwa diri


manusia memiliki dua macam karakter, yaitu karakter malaikat dan karakter hewani. 6
Dalam akal budi dan hati sanubari manusia, tertanam sifat yang selalu mengajak ketaatan
pada Allah dan memberikan arahan kepada manusia agar tidak terhindar dari perbuatan
melenceng dari syariat, karakter inilah yang dinamakan karakter malaikat. Kemudian
karakter hewani ini berbentuk hawa nafsu atau syahwat dalam diri manusia, karakter ini
cenderung mendorong manusia untuk memenuhi segala kebutuhannya, seperti makan,
minum, kebutuhan biologis, dan kebutuhan prestis. Antara kedua karakter ini saling
berlawanan satu sama lain, masing-masing ingin mendominasi, hal itu akan berpengaruh
pada jiwa manusia. Seseorang yang karakter malaikatnya lebih mendominasi daripada
karakter hewaninya, maka hati dan jiwanya akan berada dalam kebaikan dan senantiasa
dekat dengan Allah. Dan sebaliknya, jika karakter hewani lebih mendominasi daripada
karakter malaikat, maka hidupnya akan terjerumus dalam kelalaian, kecerobohan,
keburukan, dan sering bermaksiat pada Allah. Untuk itu, hendaknya manusia selalu
mengatur kedua karakter ini sesuai porsinya masing-masing, selalu berhati-hati dan
mengendalikan hawa nafsu agar tidak terjatuh kepada hal-hal yang dilarang oleh Agama.

Dalam bertasawuf, Imam Al-Muhasibi lebih menekankan kepada pembersihan


jiwa manusia dari segala hal-hal buruk. Beliau dikenal banyak orang sebagai sufi yang
rajin bermuhasabah, berintrospeksi diri atas apa yang telah dilakukannya, dan menyadari
apakah yang dilakukannya sudah benar sesuai syariat atau belum. Atas kegemarannya
bermuhasabah, maka Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri al-Muhasibi dijuluki

6
Ibid, hlm.300.
dengan gelar Al-Muhasibi. Imam Al-Muhasibi dalam beberapa kitabnya juga
menekankan untuk menghindari penyakit-penyakit hati yang bisa menjangkiti diri
manusia, Beliau menjelaskan secara mendalam penyakit-penyakit tersebut, seperti riya’,
Menurutnya riya’ adalah beribadah bukan karena Allah SWT, namun karena manusia
semata. Beliau membagi riya’ menjadi dua bagian, yaitu riya’ besar, ketika seseorang
beribadah tidak mengharap keridhoan Allah sama sekali, namun hanya untuk
kepentingannya sendiri. Riya’ kedua adalah riya’ kecil, riya’ ini terjadi ketika seseorang
beribadah karena manusia, namun masih tetap mengharap ridho Allah, riya’ ini disebut
juga sebagai syirik kecil. Imam Al-Muhasibi mengatakan bahwa beribadah secara
sembunyi-sembunyi lebih utama daripada ibadah yang dilakukan secara terang-terangan,
karena hal itu untuk meminimalisir munculnya penyakit riya’ yang bisa menghanguskan
amal ibadah manusia.

Corak tasawuf Imam Al-Muhasibi ini banyak mempengaruhi pemikiran ahli


tasawuf pada zaman itu, banyak orang terkagum-kagum dengan cara bertasawuf yang
dilakukan oleh Al-Muhasibi, salah satunya adalah Imam Al-Ghazali. Gagasan-gagasan
dan pemikiran Imam Al-Muhasibi banyak dinukil oleh Al-Ghazali dalam kitabnya,
contohnya adalah mengenai bab kesombongan. Imam Al-Muhasibi menjelaskan tentang
sombong (ujub) yang kerap menerpa manusia yang kemudian oleh Imam Al-Ghazali
dikembangkan lagi dalam kitab-kitabnyanya Menurutnya, kesombongan bisa muncul
dalam hati manusia disebabkan tujuh perkara.7 Pertama, karena amal ibadahnya,
kebanyakan mereka berbanga diri atas amal ibadah yang telah dijalankannya, sehingga
mereka cenderung merendahkan amal ibadah orang lain, padahal sebenarnya mereka
telah tertipu karena beribadah bukan karena Allah semata. Kedua, kesombongan karena
ilmu, sebagian orang menganggap bahwa ilmu-ilmu yang dipelajarinya tidak akan
menyebabkan dia disiksa oleh Allah, padahal semua ilmu-ilmu nantinya kana dimintai
pertanggungjawaban. Ketiga, kesombongan karena harta. Orang yang memiliki harta
biasanya merasa lebih angkuh daripada orang yang memiliki harta sedikit, mereka
berpikiran bahwa semakin banyak harta maka semakin banyak kemuliaan yang akan
didapat, padahal tingkat kemuliaan ditentukan seberapa besar keimanan dan ketakwaan
seseorang. Keempat, kesombongan karena nasab keturunan. Ketinggian nasab keturunan

7
Op.Cit, hlm.62-63.
dapat menyebabkan munculnya sikap sombong, mereka merasa bangga terhadap
nasabnya dan memandang rendah orang yang bernasab biasa. Kelima, kesombongan
karena banyak pengikut. Hal itu seperti yang terlihat ketika kaum muslimin berada dalam
perang Hunain, mereka bangga karena banyaknya jumlah pasukan kaum muslim daripada
jumlah musuh, namun ternyata hampir kalang kabut atas serangan musuh, peristiwa itu
memberikan pelajaran bahwa kemenangan yang menentukan adalah Allah bukan
seberapa banyak jumlah pengikut. Keenam, kesomobongan karena kekuatan fisik.
Ketujuh, kesombongan karena paras keistimewaan tubuh. Dua perkara terakhir ini paling
sering dilakukan oleh manusia di era modern ini. Imam Al-Muhasibi menekankan agar
manusia menjauhi segala perkara penyebab penyakit hati ini.

Penutup

Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri al-Muhasibi termasuk seorang sufi yang
berkontribusi besar terhadap perkembangan tasawuf, Beliau meletakan dasar-dasar
tasawuf akhlaqi yang lebih menekankan untuk menghiasi diri dengan akhlak dan
perbuatan baik. Meskipun nama Al-Muhasibi terdengar asing dalam masyarakat, namun
Beliau cukup berpengaruh terhadap pemikiran sufi-sufi lainnya, seperti Al-Ghazali dan
Junaid Al-Baghdadi. Imam Al-Muhasibi bukan hanya seorang sufi, namun juga ahli fikih,
hadits, Al-Qur’an, dan ahli ilmu lainnya, sehingga banyak karya Al-Muhasibi yang
dinukil oleh ulama-ulama ternama. Cara Beliau bertasawuf sangatlah unik, berbeda
dengan tasawuf sufi lainnya yang kebanyakan condong ke arah tasawuf falfasi dan saling
memperdebatkan pemikiran mereka. Tasawuf Imam Al-Muhasibi sangat relavan dengan
kehidupan manusia modern saat ini, dimana Beliau sering melakukan muhasabah
(introspeksi diri) agar terhindar dari perbuatan-perbuatan dosa. Manusia saat ini, perlu
meniru muhasabah Imam Al-Muhasibi, karena kehidupan saat ini bisa dikatakan sangat
bebas dan sangat maju, semua bisa didapatkan dengan mudah tanpa berfikir apakah hal
tersebut halal atau haram, dilarang atau tidak. Sehingga dengan serba mudah ini
dikhawatirkan dapat menjerumuskan manusia ke jurang kemaksiatan dan kehinaan.
Untuk itu, manusia harus senantiasa menjaga dirinya pada jalan yang baik, jalan ketaatan
dan ketakwaan kepada Allah SWT agar selamat dunia dan akhirat.
Daftar Pustaka

Khasani, F. (2020). Tasawuf Kontemplatif: Prinsip-Prinsip Jalan Kesufian Al-Muhasibi. Jurnal


Dinamika Penelitian: Media Komunikasi Penelitian Sosial Keagamaan, 285-312.

Muhammad Rusydi, A. M. (2021). Antalogi Kajian Tasawuf. Jakarta: Perum Percetakan Negara
Republik Indonesia.

Muqsith, A. (2017). Kajian Tasawuf Al-Harits Ibn Saad Al-Muhasibi Studi Kitab Al-Ri'ayah Li
Huquq Allah. ISTIQRO', 41-68.

Nuraini. (2019). Peran Tasawuf Terhadap Masyarakat Modern. Analisis: Jurnal Studi Keislaman,
297-320.

Paramita, M. (2018). Konsep Tasawuf Akhlaki Haris Al-Muhasibi dan Implementasi dalam
Kehidupan Modern. Palembang: UIN Raden Fatah.

Anda mungkin juga menyukai