Anda di halaman 1dari 2

Nama : Gesit Zain Annafi

Rayon : Syari’ah
_
Gaya Kepemimpinan Gus Dur

Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur, beliau lahir di Jombang, Jawa Timur,
pada 7 September 1940. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari keluarga yang
sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Beliau lahir dan besar di lingkungan
Muslim yang taat. Gus Dur menempuh pendidikan tinggi dan belajar mengenai banyak hal,
terutama studi Islam, di beberapa negara di kawasan Timur Tengah dan Eropa. Selepas berkelana
mencari ilmu, Gus Dur kemudian kembali ke Indonesia dan menjadi tokoh Muslim dan politik
yang berpengaruh.
Gus Dur merupakan seorang pemimpin, bukan hanya sebagai manajer. Manajer dalam hal
ini diartikan sebagai seseorang yang menjalankan kepemimpinan hanya untuk melaksanakan
otoritas dan tugas yang diemban saja. Sementara, pemimpin lebih dari itu, seorang pemimpin
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi anggotanya dalam mencapai tujuan organisasi.
Sebagai seorang presiden, Gus Dur berupaya untuk merekonstruksi kondisi masyarakat agar dapat
berkontribusi secara maksimal dalam mencapai tujuan negara. Gus Dur berhasil membangun
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah melalui berbagai kebijakan yang berpihak pada
kepentingan umum.
Gus Dur adalah pemimpin yang Fleksibel. Pemimpin fleksibel diartikan sebagai pemimpin
dengan kemampuan adaptasi yang baik untuk menghadapi situasi kepemimpinan yang berbeda.
Berdasarkan Goleman’s Model, terdapat enam gaya kepemimpinan untuk menghadapi situasi
kepemimpinan yang berbeda-beda. Dua di antaranya diterapkan oleh Gus Dur selama masa
kepemimpinannya, yaitu Affiliative Leaders yang mengutamakan anggotanya dan Coercive
Leaders yang berdasarkan pada konsep “perintah dan kontrol”. Penerapan Affiliative
Leaders terlihat pada kebijakan untuk mensejahterakan Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan
menaikkan gaji yang tidak tanggung-tanggung, yakni sebesar 100% dari periode sebelumnya.
Sementara, gaya Coercive Leaders diterapkan Gus Dur dalam upayanya melakukan reformasi
besar-besaran terhadap peran dan internal Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dilakukan secara
satu arah.
Sebagai tokoh kemanusiaan, Gus Dur itu tentunya memiliki pandangan tentang hak-hak
perempuan dalam Islam. Gus Dur memandang bahwa hak asasi perempuan sudah terdapat dalam
lima hak-hak dasar dalam Islam. Ia mulai membangun relasi kesetaraan gender di wilayah yang
paling awal, yaitu keluarga. Menurut Gus Dur dalam pengertian hak asasi antara perempuan dan
laki-laki memiliki derajat dan status yang sama. Keduanya memiliki persamaan hak, kewajiban,
dan kedudukan yang setara. Gus Dur menafsirkan terminologi ayat “arrijalu qawwamuna ala an-
nisa” secara antropologis. Ia berpendapat bahwa laki-laki memang qawwam dengan arti lebih
tegar, lebih bertanggung jawab atas keselamatan wanita daripada sebaliknya. Gus Dur mengatakan
bahwa pengertian antropologis bisa juga berlaku dalam terminologi psikologis bahwa laki-laki
melindungi perempuan sebagai mahluk yang dianggap lebih lemah. Tetapi dalam kelemahannya
itu, wanita memiliki kedudukan yang lebih kuat.

Anda mungkin juga menyukai