Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SOSIOLOGI ISLAM
“KEPEMIMPINAN DI INDONESIA MENURUT
PANDANGAN ISLAM”
Dosen Pengampu: Ellya Rosana, S.Sos., M.H

Disusun Oleh Kelompok 9


1. Alfarizi (2231050037)
2. Olga Yonata ( 22310500
3. Vindi Arindia (2231050034)

KELAS B
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TA 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas taufiq, rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Kepemimpinan di Indonesia Menurut Pandangan Islam” dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Islam. Dan
tidak lupa, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ellya Rosana, S.Sos.,
M.H selaku dosen pengampu mata kuliah Sosiologi Islam dan terima kasih juga
kepada semua pihak yang membantu menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak


kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan. Penulis berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat kepada penulis khususnya, serta kepada semua pihak yang
membaca makalah ini demi kemajuan ilmu pengetahuan. Amiin Ya
Rabbal‘Alamiin.

Bandar Lampung, 22 Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi atau memberi contoh oleh


pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
Kepemimpinan atau leadership merupakan ilmu terapan dari ilmu-ilmu sosial,
sebab prinsip-prinsip dan rumusanya diharapkan dapat mendatangkan manfaat
bagi kesejahteraan manusia. Kepemimpinan yang efektif harus memberikan
pengarahan terhadap usaha-usaha semua pekerja dalam mencapai tujuan-tujuan
organisasi. Tanpa kepemimpinan atau bimbingan, hubungan antara tujuan
perseorangan dan tujuan organisasi mungkin menjadi renggang (lemah). Keadaan
ini menimbulkan situasi dimana perseorangan bekerja untuk mencapai tujuan
pribadinya. Sementara itu keseluruhan organisasi menjadi tidak efisien dalam
pencapaian sasaran-sasarannya.1 Pengertian kepemimpinan dapat dilihat dari
berbagai sisi kepemimpinan itu sendiri, kepemimpinan mengandung dua segi,
yaitu:

a) Pemimpin formal, orang yang secara resmi diangkat dalam jabatan


kepemimpinannya, teratur dalam organisasi secara hirarki. Kepemimpinan
formal ini disebut dengan istilah “kepala”.
b) Pemimpin informal, yaitu kepemimpinan ini tidak mempunyai dasar
pengangkatan resmi, tidak nyata terlihat dalam hirarki kepemimpinan
organisasi.2

Sebagai kedudukan, kepemimpinan merupakan suatu kompleks dari hak-


hak dan kewajiban- kewajiban yang dapat dimiliki oleh seseorang atau badan.
Sebagai suatu proses, kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan
oleh seseorang atau sesuatu badan yang menyebabkan gerak dari warga
masyarakat. Kepemimpinan seseorang (pemimpin) harus mempunyai sandaran-
1
Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi., Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm 3.
2
sandaran kemasyarakatan atau social basis. Pertama-tama kepemimpinan erat
hubungannya dengan susunan masyarakat. Masyarakat-masyarakat yang agraris
dimana belum ada spesialisasi, biasanya kepemimpinan meliputi seluruh bidang
kehidupan masyarakat. Kekuatan kepemimpinan ditentukan oleh suatu lapangan
kehidupan masyarakat yang suatu saat mendapat perhatian khusus dari masyarakat
yang disebut cultural focus. Cultural focus dapat berpindah-pindah, misalnya
pada suatu waktu di lapangan politik, lain waktu pada lapangan ekonomi,
kemudian lapangan hukum dan seterusnya. Apabila dalam suatu saat cultural
focus beralih, maka si pemimpin pun harus mampu mengalihkan titik berat
kepemimpinannya pada cultural focus yang baru.3

2. Konsep Kepemimpinan Dalam Politik Di Indonesia

Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem pemerintahan


presidensial. Berbeda dengan sistem kepartaian yang tidak diatur secara tegas oleh
konstitusi, UUD 1945 secara tegas dan rinci mengatur sistem pemerintahan yang
mengacu pada sistem presidensial. Pengaturan tersebut terdapat di dalam Bab III
tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara dan Bab IV tentang Kementrian Negara.

Presiden dan Wakil Presiden Indonesia dipilih melalui pemilu yang


terpisah dengan pemilu legislatif. Sebelum dilakukan amandemen UUD 1945
presiden dan wakil presiden dipilih melalui pemilihan oleh anggota MPR. Pada
rejim Orde Baru pemilihan presiden seolah-olah tidak memberikan kesan yang
berarti bagi republik karena setiap sidang umum untuk memilih presiden dapat
dipastikan anggota MPR secara aklamasi memilih kembali Presiden Suharto.
Pemilihan presiden dan wakil presiden yang terjadi di Gedung DPR/MPR pada
tahun 1999 kembali menjadi sorotan publik masyarakat Indonesia dan
internasional. Pertama kalinya anggota MPR memilih presiden dan wakil presiden
melalui pemungutan suara.

Munurut Jimly bahwa sistem pemilihan presiden dan wakil presiden yang
dilakukan oleh anggota MPR sampai tahun 1999 dinilai kurang demokratis dan
3
Kamanto Sunarto, Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, Erlangga, Jakarta,
2011, hal.138
tuntutan untuk pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung pada saat
itu semakin kuat. Akhirnya pada tahun 2001 terjadi amandemen ketiga terhadap
UUD 1945, salah satu materi yang diamandemen adalah presiden dan wakil
presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Akhirnya, pada
tahun 2004 rakyat Indonesia pertama kali memilih kepala negara secara langsung.
4
Pemilu presiden secara langsung ini ditujukan untuk mendapatkan pemimpin
pemerintahan dan negara yang memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih dan
didukung secara langsung oleh mayoritas rakyat Indonesia. Pemilu presiden dan
wakil presiden 2004 menghasilkan pemerintahan yang memiliki legitimasi yang
kuat. Namun persoalan lain yang muncul adalah pemerintah terpilih tidak mampu
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa.
Ketidakmampuan pemerintah mengimplementasikan kebijakan-kebijakan publik
disebabkan karena pemilu presiden secara langsung tidak menghasilkan
pemerintahan yang efektif, kuat dan stabil.

3. Kepemimpinan Dalam Islam

Kepemimpinan negara dalam terminologi Islam disebut dengan khalifah,


yaitu penguasa dan pemimpin tertinggi rakyat. Pemimpin mempunyai posisi
sentral dalam rangka menentukan kebijakan negara dan melaksanakan dengan
segenap sumber daya kekuasaannya yang terorganisasikan sejalan dengan
program yang telah ditunjukkan Islam demi tegaknya kehidupan yang lebih layak
untuk perbaikan, kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia.5 Selain kata
khalifah disebut juga Ulil Amri yang satu akar dengan kata amir sebagaimana di
atas. Kata Ulil Amri berarti pemimpin tertinggi dalam masyarakat Islam.

Konsep kepemimpinan dalam Islam memiliki dasar-dasar yang sangat kuat


dan kokoh yang bukan saja dibangun dari nilai-nilai ajaran Islam, namun telah
dipraktekkan sejak berabad-abad yang lalu oleh nabi Muhammad SAW, para
4
Mahfud MD., "Pemilihan Langsung Presiden dan Wakil Presiden ecar Langsung Perspektif
Politik dan Hukum Tatanegara", dalam Jurnal Unisia, No. 51/ XXVIII/2004- Januari-
Maret 2004 hlm. 9
5
Ali as-Salus, Imamah dan Khalifah dalam Tinjauan Syar'i, Alih bahasa Asmuni Solihan
Zamakhsyari (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 15.
Shahabat dan al-Khulafa' al-Rosyidin. Bersumber dari al-Qur'an dan al-Sunnah,
Berkembang dinamis karena dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik dan budaya.

Dalam Islam sendiri di dalam sejarah mengalami pasang surut pada sistem
kepemimpinannya. Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman pemimpinannya
terhadap masa depan mengenai bagaimana mengatur strategi dalam
memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh umat dalam segala posisi kehidupan
untuk menentukan langkah sejarah. Untuk itu kepemimpinan sangatlah
mempengaruhi bagi kesejahteraan umat, apakah akan mencapai suatu kejayaan
atau bahkan suatu kemunduran. Karena bukan rahasia umum lagi bahwa Islam
pernah mencapai suatu masa kejayaan ketika abad-abad perkembangan awal
Islam.

Jika ditinjau dalam pandangan Islam, maka kepemimpinan yang baik


harus berlandaskan Al-Qur’an dan hadis. Atau dengan kata lain, menjadikan Al-
Qur”an dan hadits sebagai pedoman dalam menjalankan kepemimpinannya.
Usaha yang paling praktis adalah mencontoh akhlak atau perilaku Rasulullah
Muhammad Saw. Dalam memimpin ummat Islam. Meneladani akhlak terpuji
Rasulullah saw. merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Membiasakan akhlak
terpuji dalam kehidupan sehari-hari, termasuk salah satu bukti cinta kita kepada
Rasulullah saw. Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk terbaik
ciptaan-Nya, yang layak dijadikan khalifah di muka bumi. Kekhalifahan manusia
di bumi merupakan tujuan penciptaan manusia, dan memang hanya manusia yang
mau dan mampu menerima amanat dari Allah sebagai khalifah, dengan etika
religius bahwa manusia bebas memilih dan berkehendak untuk mengikuti perintah
perintah Allah. Tugas manusia sebagai pemimpin di bumi ini ialah memakmurkan
alam sebagai manifestasi dari rasa syukur manusia kepada Allah dan pengabdian
kepada-Nya. Tugas kekhalifahan diberikan kepada setiap manusia. 6 Seperti yang
dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Shad ayat 26:

6
Dr. M. Sobry Sutikno, Pemimpin Dan Kepemimpinan. ( Lombok: Holistica, 2018), hal 69
‫َٰي َد اُوۥُد ِإَّنا َج َع ْلَٰن َك َخ ِليَف ًة ِفى ٱَأْلْر ِض َف ٱْح ُك م َبْيَن ٱلَّن اِس ِب ٱْلَح ِّق َو اَل‬
‫َتَّتِبِع ٱْلَهَو ٰى َفُيِض َّلَك َع ن َس ِبيِل ٱِهَّللۚ ِإَّن ٱَّلِذ يَن َيِض ُّلوَن َع ن َس ِبيِل ٱِهَّلل‬
‫َلُهْم َع َذ اٌب َش ِد يٌۢد ِبَم ا َنُسو۟ا َيْو َم ٱْلِح َس اِب‬
Artinya: Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat
azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

4. Bentuk Kepemimpinan Negara Dalam islam

Negara merupakan satu perangkat instrumental bagi pelaksanaan tata


pemerintahan. Hal ini telah disadari oleh umat Islam, tatkala Islam mulai
mengalami perkembangan, baik itu dalam hal jumlah kaum Muslimin maupun
pada sektor wilayah kekuasaan Islam yang semakin meluas. Hal tersebut cukup
memberi satu alasan penting untuk menumbuhkan kesadaran dikalangan umat
Islam tentang perlunya penataan sistem ketatanegaraan yang lebih rapih dan
terkordinasi. Terdapat sebuah kaitan antara Islam sebagai suatu rancangan
yang menyeluruh untuk menata kehidupan umat manusia, dengan politik sebagai
satu-satunya alat yang dipakai untuk menjamin ketaatan universal terhadap
rancangan tersebut.7 Konsep ini telah dipahami oleh Nabi Muhammad SAW,
sebagai sebuah cara untuk membangun peradaban Islam dalam bidang Politik
Ketatanegaraan. Dan itu tampak pada keberhasilannya dalam meletakkan landasan
sebuah negara yang berdasarkan ajaran-ajaran Islam pada masa pemerintahan
Islam waktu itu. Kata Negara merupakan pemakaian istilah dari ketata bahasaan
Indonesia yang memiliki arti: pertama, organisasi disuatu wilayah yang
mempunyai kekusaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh seluruh rakyat; kedua,
kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi
7
Hamit Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’i: Pemikiran Politik Modern Menghadapi
Abad Ke-XX, (Bandung: Pustaka, 1998), hlm.1.
dibawah lembaga politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kesatuan
politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. Sementara itu
istilah ‘negara’ dalam ilmu politik dapat berarti agency (alat) dari masyarakat
yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan manusia dalam
masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Secara
ringkas negara adalah suatu wilayah yang di dalamnya terdapat kesatuan
penduduk yang diperintah oleh sekelompok orang (yang berkuasa) untuk
mencapai suatu kedaulatan.8

4. Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan Di Indonesia

1. Konsep Negara dalam Islam

Agama dan negara, adalah dua buah intitusi yang sangat penting
bagi masyarakat khususnya yang ada dalam wilayah keduanya.Agama sebagai
sumber etika moral mempunyai kedudukan yang sangat vital karena berkaitan erat
dengan perilaku seseorang dalam interaksi sosial kehidupannya. Dalam hal ini
agama dijadikan sebagai alat ukur atau pembenaran dalam setiap langkah
kehidupan, baik itu interaksi terhadap sesama maupun kepada sumber agama itu
sendiri, pada sisi lain negara merupakan sebuah bangunan yang mencakup seluruh
aturan mengenai tata kemasyarakatan berlaku dan mempunyai kewenangan
memaksa bagi setiap masyarakat. Bisa saja aturan yang dibuat oleh negara sejalan
dengan agama, tetapi bisa juga apa yang ditetapkan berlawanan dengan agama.

Konsep negara dalam Islam termasuk wilayah ijtihad umat Islam.


Oleh karena itu, masalah negara merupakan urusan duniawi yang bersifat umum.
Dalam menyusun teori politik mengenai konsep negara, hal yang ditekankan
bukanlah struktur “negara Islam”, melainkan substruktur dan tujuannya. Hal ini
dikarenakan struktur negara termasuk wilayah ijtihad kaum Muslim sehingga bisa
berubah. Adapun substruktur dan tujuannyaa tetap menyangkut prinsipprinsip
bernegara secara Islami.

8
Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara; Perspektif Modernis dan Fundmentalis,
(Magelang: IndonesiaTERA, 2001), hlm.28.
Al-Quran mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis
mengenai aktivitas sosial-politik umat manusia. Ajarannya ini mencangkup
prinsipprinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan
lainlain. Islam adalah agama universal, agama yang membawa misi rahmatan lil
alamin. Islam juga memberikan konsep kepada manusia mengenai persoalan yang
berkaitan dengan urusan duniawi, seperti cara mengatur perekonomian,
penegakan hukum, konsep politik, dan sebagainya. Salah satu bukti tercatat dalam
sejarah, ketika Nabi hijrah ke kota Madinah, beliau mampu menyatukan
masyarakat yang majemuk yang terdiri atas berbagai agama dan peradaban yang
berbeda dalam satu tatanan masyarakat madani.

Menurut pandangan Ibnu Taimiyah, negara dan agama saling


berkaitan menjadi satu. Tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama
berada dalam bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah
organisasi yang tirani.

Politik Islam dalam hal ini yaitu hubungan agama dan negara
merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan yang terus
berkepanjangan dikalangan para ahli.Hal ini disebabkan oleh perbedaan
pandangan dalam menerjemahkan agama sebagai bagian dari negara atau negara
merupakan bagian dari dogma agama. Bahkan dikatakan bahwa persoalan yang
telah memicu konflik intelektual untuk pertama kalinya dalam kehidupan umat
Islam adalah berkait dengan masalah hubungan agama dengan negara.

Islam setidaknya meliputi dua aspek pokok yaitu agama dan


masyarakat (politik). Akan tetapi untuk mengartikulasikan dua aspektersebut
dalam kehidupan nyata merupakan suatu problem tersendiri. Umat Islam pada
umumnya mempercayai watak holistik Islam. Dalam persepsi mereka, Islam
sebagai instrumen Ilahiyah untuk memahami dunia, seringkali lebih dari sekedar
agama. Banyak dari mereka malah menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang
sebagai agama negara.
2. Agama dan Negara dalam Politik Islam di Indonesia

Hubungan antara Islam dan politik di Indonesia memiliki tradisi


yang amat panjang. Akar-akar genealogisnya dapat ditarik ke belakang hingga
akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14, ketika Islam seperti dikatakan banyak
kalangan pertama kali diperkenalkan dan disebarkan di kepulauan Indonesia.
Dalam perjalanan sejarahnya, Islam mengadakan dialog yang bermakana dengan
realitas-realitas sosio-kultural dan politik pada tingkat lokal, terlibat dalam politik.
Pada kenyataannya malah dapat dikatakan bahwa Islam, sepanjang
perkembangannya di Indonesia, telah menjadi bagian integral dari sejarah politik
di Indonesia. Meskipun begitu tidak semerta-merta bahwa Islam adalah agama
politik.

sampai pada pasca reformasi pernah dianggap sebagai persaingan


kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Persepsi tersebut,
membawa implikasi terhadap keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan
melakukan domestikasi terhadap gerak ideologis politik Islam.

Antagonistik politik antara Islam dan negara sebagaian besar


disebabkan oleh idealisme dan aktivisme Islam politik yang bercorak legalistik
dan formalistik. Hubungan yang tidak mesra ini disebabkan oleh perbedaan
pandangan pada pendiri republik ini yang sebagian besarnya Muslim, mengenai
hendak dibawa kemanakah negara Indonesia ini apakah negara bercorak Islam
atau nasionalis.

Tema-tema politik Islam lebih bergulir pada tataran ideologi dan


simbol ketimbang substansi, dan tema- tema Islam pada tataran ideologi dan
simbolik mencapai klimaksnya pada perdebatan dalam konstituante pada paruh
kedua dasawarsa 1950-an. Paparan historis yang terkesan deskriptif itu, secara
tegas menunjukkan bahwa suhu politik yang tertampung dalam majelis konstuante
tidak dapat mendinginkan cita- cita idiologis antara golongan Islam dan golongan
nasionalis sekuler, yang keduanya memang sudah lama bersitegang.
Upaya untuk menemukan hubungan politik yang pas antara Islam
dan negara terus berlanjut pada periode kemerdekaan dan pascarevolusi, lantaran
tidak juga kunjung ditemukan, menyebabkan berkembangnya kesaling curigaan
yang lebih besar antara Islam dan negara.

Meskipun cita-cita terbinanya hubungan yang mesra dan saling


melengkapi antara Islam dan negara, belum sepenuhnya berhasil terwujud, ada
beberapa isyarat penting yang mengindikasikan masuknya kembali Islam politik
kedalam kehidupan politik negeri ini. Bukti yang memperlihatkan perkembangan
baru ini adalah sikap negara yang mulai tampak ramah terhadap Islam, yang
ditandai oleh diterapkannya kebijakan-kebijakan tertentu yang dipandang sejalan
dengan kepentingan sosial-ekonomi, kultural dan politik Islam. buktibukti
akomodasi jika dikategorikan secara luas, bisa digolongkan kedalam empat jenis
berbeda: (1) akomodasi structural; (2) akomodasi legislatif (3) akomodasi
infrastruktual (4) akomodasi kultural.

Salah satu bentuk akomodasi yang paling mencolok adalah


direkrutnya para pemikir dan aktivis Islam politik generasi baru ke dalam
lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif negara. Sedikitnya ada dua alasan utama
dibalik fenomena tersebut : yang pertama bersifat sosiologis, yang kedua bersifat
politis.

Akomodasi struktural berkembang dalam jumlah dan


substansinya. Tidak hanya lebih banyak aktivis muslim yang direkrut ke dalam
mesin birokrasi dan politik, tetapi mereka juga dipromosikan untuk menduduki
posisi yang lebih tinggi.

Dalam konteks yang lebih luas, akomodasi kultural negara


terhadap Islam bukanlah fenomena yang baru. Hal itu bahkan merupakan
diskursus yang masih berlangsung, yang diakibatkan oleh proses akulturasi antara
Islam dengan berbagai kekhususan ruang dan waktu Indonesia. Hasil-hasil yang
muncul dari perjumpaan kultural itu amat beragam, sebagian besarnya tergantung
kepada tingkat kemampuan kelompok-kelompok yang terlibat dalam melakukan
proses rekonsiliasi atas keduanya. Tetapi pada umumnya, akomodasi itu
mencakup dari yang parsial (sinkretis) sampai yang total (murni).'' Mengingat
kenyataan bahwa "Islam telah mengembangkan dirinya secara amat cepat, dan
secara keseluruhan dengan cara-cara damai, di sebagian besar kepulauan
Nusantara," maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa banyak aspek
kebudayaan Islam yang sudah lama terakomodasikan.

Formulasi linguistik Pancasila merupakan salah satu indikasi yang secara


gamblang membuktikan butir di atas. Jika preposisi gramatikal dan kata
sambungnya diabaikan, dapat diperkirakan bahwa sepertiga dari kata dan
ungkapan dalam Pancasila terdiri dari idiomidiom Islam. Hal ini termasuk kata-
kata seperti "adil," "adab," "rakyat," "hikmah," "musyawarah," dan "wakil."
Penamaan beberapa lembaga kenegaraan seperti "Majelis Permusyawaratan
Rakyat," "Dewan Perwakilan Rakyat," atau “Mahkamag Agung” juga
menunjukkan diterimanya nomenklatur Islam.

Selain itu ucapan "assalamu'alaikum" secara tidak resmi sudah menjadi ucapan
"salam nasional." Hal ini dalam pengertian bahwa para pejabat tinggi negara,
termasuk Presiden, menteri-menteri kabinet, pejabat-pejabat senior, memulai
pidato resmi mereka dengan ucapan salam itu. Meskipun mungkin tidak
membawa konsekuensikonsekuensi lebih Jauh yang substansial sifatnya,
bagaimanapun gerakan "kultural" ini memperlihatkan langkah penting yang
menunjukkan akomodasi cultural negara terhadap Islam.

Islam politik yang berlangsung dewasa ini telah menemukan sebuah format baru.
Ciri-cirinya yang utama, yang mencakup (1) landasan teologis, (2) tujuan, dan (3)
pendekatan Islam politik, dipandang sama dan sebangun dengan konstruk negara
kesatuan nasional Indonesia.

Sejauh negara, baik secara ideologis maupun politis, berjalan di


atas sebuah sistem nilai yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, maka
cukup bagi politisi Muslim menyatakan loyalitas dan dukungan mereka terhadap
negara.

Sudah sangat jelas bahwa Islam politik tidak lagi mengispirasikan


pembentukan sebuah negara Islam. Melainkan, berdasarkan pemahaman mereka
terhadap ajaran-ajaran Islam maupun corak sosiologis masyarakat Indonesia yang
sangat heterogen, mereka berkiprah dalam rangka membangun pembangunan
sebuah system sosial-politik yang mencerminkan, atau sejalan sengan prinsip-
prinsip umum nilai-niai politik Islam, termasuk keadilan, musyawarah,
egalitarianisme dan partisipasi.

Anda mungkin juga menyukai