Membicarakan pemikiran politik Gus Dur, tidak bisa terlepas dari kenyataan
bahwa Ia berada pada posisi beyond the symbols1. Berbagai macam simbol atau peran
melekat pada dirinya. Hal ini disebabkan oleh pemahaman Gus Dur sendiri
terhadap realitas sosial yang multi dimensi, sehingga tanggapan atas realitas
tersebut tidak bisa bersifat monolitik. Secara psikologis, Gus Dur besar diantara “tiga
dunia”; yakni pertama, dunia pesantren yang penuh dengan ortodoksi, berstruktur
hirarkis, feodal dan serba mengedepankan etika formal. Kedua, dunia Timur Tengah
yang terbuka dan keras, dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasional dan sekular
(Al-Zastrouw, 1999: 32).
Dalam Teologi Politik Gus Dur (2004), Listiyono Santoso menelusuri pemikiran
politik Gus Dur dari perspektif paradigma teologinya. Pengambilan angle (sudut
pandang) ini merupakan penggambaran pemikiran demokrasi Gus Dur ketika
berhadapan dengan isu relasi antara agama dan negara. Karena dalam kehidupan
demokratisasi terlebih Indonesia, keinginan untuk menyatukan agama dengan
negara pada tataran formal state merupakan kegelisahan sepanjang masa, meskipun
sejak Proklamasi 1945, Indonesia oleh beberapa founding fathers (termasuk
1
Meminjam judul buku Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur,
Tim INCReS, Bandung : INCReS, 2000.
1
agamawan) sudah final merumuskan bentuk negara Indonesia adalah nation state
berdasarkan azas pluralisme Pancasila.
Gus Dur sendiri menurut Listiyono juga setuju dengan penyatuan agama
dengan negara, makanya pemikiran politik Gus Dur (dan seluruh concern
pemikirannya) bersifat teologis. Hanya saja, penyatuan agama dan negara bagi
penganut Islam substantif ini tidak bersifat formal, sebab Islam tidak mengenal
doktrin tentang negara, tetapi sebagai agama, Islam merupakan landasan keimanan
warga negara dan pemberi motivasi spiritual dalam menjalankan negara. Pemikiran
Gus Dur ini memiliki kecenderungan kepada sekularisasi politik yang lebih
mengartikan adanya prinsip membedakan, bukan memisahkan agama dengan
politik sebagaimana prinsip sekularisme murni.
Bagi Gus Dur (1999: 186), yang profan diprofankan, yang sakral disakralkan,
tidak dicampur-adukkan secara a-rasional dan a-histories. Itulah sebabnya Gus Dur
lebih mencita-citakan “Republik Bumi” yang dipertahankan sampai ke sorga,
daripada “Kerajaan Tuhan” di bumi. Gus Dur kemudian tidak menginginkan
idealisasi negara dari perspektif Islam, melainkan lebih menekankan aspek praktis
dan substansial dari negara itu sendiri, dalam perspektif Islam. Dalam hal ini,
mekanisme demokrasi kemudian menjadi kaidah konstitutif yang mutlak. Sehingga
ketika ada tuntutan penerapan syari’ah Islam pada level hukum nasional, maka
harus dikembalikan kepada UUD 1945, yang didalamnya menyerahkan segala
pengaturan ketata-negaraan kepada kedaulatan rakyat melalui perwakilannya (L
Santoso, 193-199).
Penelusuran pemikiran relasi agama dan negara Gus Dur juga dilakukan oleh
Fahrurroji M Bukhori (2003) dalam Membebaskan Agama dari Negara : Komparasi
Abdurrahaman Wahid dan Ali Abd Raziq. Dalam buku ini, pemikiran Gus Dur
2
dikategorikan masuk dalam perspektif fungsionalisme struktural a la sosiolog
Talcolt Parson, yang menyatakan bahwa hubungan antara agama dan negara bersifat
fungsional. Seperti kita tahu, bahwa teori fungsionalisme berangkat dari konsep
struktur organisme yang masing organnya mempunyai fungsi tertentu. Organisme
biologis tersebut baru bisa aktif secara maksimal ketika masing organ berfungsi
secara proporsional.
Maka, untuk mencapai harmonisasi antara fungsi agama dan negara, haruslah
tercipta sebuah kecocokan antara keduanya, baik pada level nilai, kultur masyarakat,
dan struktur negara. Sayangnya, diantara organ tersebut, sering mengalami
disfungsi, dan inilah yang mengakibatkan disharmoni. Dari sini Gus Dur kemudian
menyimpulkan bahwa, hubungan agama dan negara bisa harmonis ketika masuk
dalam relasi yang substantif. Sementara Ali Abd Raziq dicover oleh Fahrurroji dari
metode analisis wacananya Nasr Hamid Abu Zaid, yang menggunakan analisa
hermeneutik dalam mengkritisi teks-teks keagamaan yang sering dijadikan rujukan
oleh kaum formalisme Islam dalam melegitimasi “jihad” daulah Islamiyyah-nya
(Fahrurroji M B, 2003 : 107-114).
Salah satu hasil riset yang menarik tentang discourse politik Gus Dur adalah
yang dilakukan oleh H Fuad Anwar yang dibukukan dalam Melawan Gus Dur
(2004). Riset tentang gaya komunikasi dan kepemimpinan Gus Dur ini diawali
dengan pembahasan demokratisasi dalam tubuh “Republik Gus Dur” yang menuai
fenomena “perlawanan” terhadap Gus Dur.
Ada tiga kasus perlawanan terhadap Gus Dur. Pertama, perlawanan beberapa
kyai NU terhadap pencalonan Gus Dur sebagai presiden RI dalam Pemilu 2004,
karena faktor gangguan kesehatan mata. Para kyai tersebut menggunakan kaidah
fiqh yang terkodifikasi dalam kitab al-ahkam al-shulthaniyyah milik al-Mawardi
yang menyatakan salah satu syarat kepemimpinan adalah kesehatan fisik. Pada
perkembangan selanjutnya, para kyai ini masuk dalam gerbong pendukung
cawapres KH Hasyim Muzadi yang memang seorang pelawan Gus Dur, terlebih
ketika Ketum PBNU tersebut tidak direstui Gus Dur untuk “menikah” dengan
Megawati. Kedua, perlawanan Syaifullah Yusuf dalam interuksi reposisi jabatannya
sebagai Sekjen PKB, dan ketiga, kegagalan tokoh-tokoh besutan Gus Dur dalam
pemilihan gubernur Jawa Timur, bupati Lumajang dan bupati Jombang. Ada
3
ketidaksingkronan antara interuksi Gus Dur dengan kesepakatan pengurus PKB
level wilayah yang membuat jago dari PKB gagal meraih kursi.
Point gaya komunikasi politik Gus Dur terdapat pada pencoveran dengan
menggunakan analisa sosilogis a la teori Dramaturgi. Teori ini merupakan konsep
interaksi kontemporer dari Erving Goffman dalam The Presentational of Selfin Every
Day Life. Teori ini melihat gaya manuver politik Gus Dur sebagai trik seorang aktor
sekaligus sutradara dalam sebuah pertunjukan drama. Ketika Gus Dur melontarkan
wacana yang kontroversial dan bersifat teatris-simbolik, Gus Dur sebenarnya sedang
berada di atas “panggung depan”, dengan target penciptaan kesan simbolik kepada
para “penonton”, padahal the true reality yang dimaksudkan oleh Gus Dur berada
pada “panggung belakang” di mana skenario drama digodog (H Fuad Anwar, 2004:
50-55).
Gaya komunikasi seperti ini memang khas a la Gus Dur. Pada era perang
terhadap otoritarianisme Orba, gaya zig-zag dengan lontaran-lontaran simbolik dan
tak langsung, terbukti sangat manjur untuk menyerang, bertahan, kemudian
“menghilang”, sehingga seringkali Soeharto kecele ketika menghadapi manuver
pionner Fordem Demokrasi tersebut. Hanya saja gaya “menyerang tak langsung” ini
dikritik oleh James Cladd (2000) sebagai gaya politik kuno yang tidak relevan lagi
untuk “permainan” politik kontemporer. Namun bagaimanapun gaya komunikasi
politik Gus Dur ini telah berhasil menjadikan wacana demokrasi sebagai “hantu”
bagi rezim Soeharto, sekaligus mampu menjaga NU agar tetap survive dalam
keadaan ketertindasan politik.
Rahim pemikiran
Situasi ketika pemikiran Gus Dur dilahirkan adalah era developmentalisme
yang merupakan varian ekonomi-politik dari agenda modernisasi. Kondisi politik
saat itu memang dilematis, akibat strategi depolitisasi Islam oleh Orde Baru (Orba).
Namun, kondisi tersebut ternyata membuahkan blessing in disguise (hikmah
tersembunyi), yakni terbukanya ruang bagi transformasi Islam kultural, dalam hal
ini pembaruan pemikiran Islam.
4
perubahan pada ranah struktural, hubungan Islam dan negara. Jika pada Orde
Lama, negara selalu dibuat was-was dengan aspirasi politik Islam (Piagam Jakarta),
maka pada era Orba, Islam dan pemerintah berada dalam hubungan simbiosis
mutualisme. Satu sisi, Islam kultural mencoba memberikan legitimasi teologis atas
ideologi tunggal Pancasila, berbarengan dengan terbukanya akses bagi santri kelas
menengah untuk memasuki jabatan strategis baik dalam pemerintahan, birokrasi
dan bisnis. Lahirlah birokratisasi Islam dan Islamisasi birokrasi, yang menandai
pudarnya dikotomi santri-priyayi Geertzian, akibat mobilisasi pendidikan tinggai
kaum santri (priyayinisasi santri).
5
pembangunan. Inti dari ideologi pembangunan (isme) tersebut adalah perbedaan
yang tajam antara masyarakat modern dengan tradisional. 2
Yakni kemajemukan fungsional yang mengakui agama, hanya sebagai salah satu
nilai, diantara sekian banyak bidang kehidupan lain, semisal pemerintahan,
ekonomi, birokrasi, filsafat, ideologi, estetika, dan sistem kemasyarakatan secara
keseluruhan. Agama, dalam hal ini berarti tidak memilki legitimasi fungsional bagi
jalannya pemerintahan, sebab berbagai fungsi sudah diambil alih oleh lembaga-
lembaga rasional dengan manajemen berdasarkan filsafat sekular.
2
Fachry Ali, Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru, Prisma 3, Maret 1991
hlm 87-90
3
Donald E Smith, Agama dan Modernisasi Politik, Jakarta : CV Rajawali, 1985, hlm. 16-17
6
doktrin evolusionisme : bergantinya masyarakat agraris kepada masyarakat industri,
namun juga menghendaki lunturnya pertarungan politik berdasarkan ideologi,
sehingga energi negara tidak terserap habis untuk mengatasi konflik, tetapi secara
maksimal mengejar surplus ekonomi tingkat tinggi, berdasarkan industrialisasi dan
perdagangan global. Inilah resiko demokrasi, dimana pertarungan berdasarkan
idealisme aliran, harus dikubur, diganti dengan kompetisi rasional dalam parlemen,
melalui mekanisme partai, pemilu, dan kompromi politik.
Hal ini seperti kita tahu, adalah ekses hegemoni sekularisasi. Tentu kitapun
mafhum dengan ramalan Weber yang memperlihatkan “keangkuhan” rasionalisasi
dalam mengganti segala bentuk sentimen ideologis, tradisi, dan komunalisme. Tuah
agama, dalam abad rasionalisasi telah digantikan oleh kecanggihan ilmu spesialis
sebagai perubahan otoritas dari rasionalitas nilai kepada rasionalitas instrumental. 5
Apalagi jika kita menyaksikan kekuatan kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang
pasti akan menghancurkan dasar-dasar kebudayaan. Schumpeter menyatakan,
meskipun kapitalisme berdiri diatas nilai-nilai tradisional, semisal moral agama,
namun ia memiliki potensi “penghancur kreatif” yang makin memperlemah tradisi
dan oleh karena itu akan merontokkan susunan penopangnya, untuk kemudian
berdiri tegak diatas kredibilitasnya sendir
7
Orde Baru, di mana pembangunan pada level politik, selalu membutuhkan integrasi
pada level sosial. Ini terjadi karena pemercepatan pembangunan ekonomi tidak akan
berhasil, jika pada level masyarakat, konflik baik atas nama agama, ideologi, paham
kelompok, dsb berbenturan. Satu hal yang terjadi pada era Soekarno, di mana politik
menjadi panglima, sehingga benturan ideologi menjadi sesuatu yang niscaya.
Paradigma ini yang dikritik Gus Dur, karena dalam sejarah, selain memainkan
peran integrasi, agama terlebih menggerakkan transformasi. Sejak Islam hadir
misalnya, agama ini telah mengamanatkan pembaruan struktur sosial yang egaliter,
melampaui kapitalisme feodal dari elite Mekkah. Cara pandang integrasi kemudian
8
menjebak agama, dan elemen kultural lainnya dalam suatu gerak statis legitimatif
atas kekuasaan yang ada.
Inilah yang membuahkan orientasi kultural dari demokrasi Gus Dur. Artinya,
demokrasi bukan pergulatan institusional atau teortisnya yang terpenting. Tetapi
praktik demokratisasi pada level budaya. Kebudayaan demokratislah yang
diperjuangkan Gus Dur, karena tanpa hal itu, demokrasi bahkan menjadi kekerasan
simbolik (symbolic violence), di mana negara mempraktikkan penindasan dengan
bersembunyi dalam lembaga-lembaga demokrasi.
Orientasi kultural ini pula yang membuat Gus Dur tidak melakukan revolusi,
karena bagi masyarakat Sunni, muara perjuangan politik adalah kemashlahatan
umat yang terwakili, bukan terpuaskannya idealisme ideologis. Tentu hal ini
kemudian membutuhkan suatu pendekatan pergerakan, yang Gus Dur sebut
sebagai sosio-kultural. Pendekatan ini merujuk pada kebutuhan melakukan
pembaruan, bukan pada supra-struktur politik, tetapi pada pelaksanaan nilai dalam
sub-sistem.6 Semisal Pancasila, di mana Gus Dur tidak hendak menggantikannya
dengan ideology Islam. Pancasila sebagai supra-struktur negara tidak diganti,
karena yang terpenting adalah penjagaan atas pelaksanaan nilai-nilai Pancasila
dalam praksis politik. Gerak sosio-kultural kemudian turun ke bumi, untuk
menggerakkan kesadaran masyarakat agar mampu hidup dalam potensi internal
kebudayaannya. Artinya, pendekatan sosio-kultural memiliki dua gerak: kritik atas
6
Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim di
Tengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas, 1981, h., 8-9
9
penyimpangan nilai pada supra-struktur politik, sembari melakukan pendampingan
masyarakat bawah, guna menggali kemandirian masyarakat yang telah disediakan
oleh basis kultur.
Pemikiran politik Gus Dur juga berangkat dari paradigma pembaruan sosial.
Paradigma ini mengacu pada kebutuhan untuk melakukan modernisasi, bukan dari
ruang luar kesadaran masyarakat, tetapi berangkat dari potensi internal rakyat. Satu
hal yang kemudian menjadi kritik atas pendekatan pembangunanisme yang
memaksakan modernisasi sembari abai terhadap tradisi masyarakat.
Pandangan ini yang diwakili oleh para penulis (literati) tua, semisal Sutan
Takdir Alisjahbana, berangkat dari satu kritik atas adaptasi masyarakat terhadap
modernitas yang hanya terhenti pada “produk”, tanpa mampu menjadikan nilai-
nilai kebudayaan modern sebagai mentalitas dan sikap hidup. Bagi Sutan,
modernitas adalah suatu kebudayaan yang mempunyai susunan nilai-nilainya
7
Abdurrahman Wahid, Nilai-nilai Indonesia, Apakah Keberadaannya Kini? Dalam Prisma, No 11,
November 1981, h., 3
10
sendiri. Ia menentukan etik maupun disiplin kelakuan manusia berdasarkan satu
paradigma dan tujuan hidup. Disinilah makna kebudayaan modern menemu ruang,
yakni sebuah kebudayaan rasional dimana progresifitas sains dan ekonomi
menggantikan ekspresifitas agama dan seni, guna mencapai tata aturan hukum alam
serta keuntungan atau utilitas yang sebesar-besarnya.
11
Eropa, Amerika, Hongkong dan Taiwan, melainkan sebaliknya sampah
dan buih yang hanyut dipermukaan gelombang. Di dalam tabrakan
kebudayaan (clash of cultures) ini kita adalah pihak yang rugi. Kegemaran
mengais sampah ini tak terbatas pada golongan menengah dan atas saja,
melainkan melalui tempat persewaan video-tapes telah mulai menjalar ke
kalangan rakyat jelata, misalnya anak muda putus sekolah. Tapi
konsumerisme yang menyertai hidup memburu kesenangan keseharian ini
tetap merupakan sosis yang diikatkan di ujung cambuk kereta anjing, yang
takkan pernah terjangkau.” 9
Pandangan kedua tentang manusia dan nilai-nilai Indonesia lahir dari sikap
yang sangat mengidealisir nilai-nilai luhur bangsa, serta meletakkan kesemua nilai
tersebut pada kedudukan yang sangat diagungkan, sebagai prinsip pengarah yang
telah membawa bangsa kepada kejayaan kemerdekaan, dan dengan sendirinya
harus akan membawa bangsa pada upaya tak berkeputusan untuk emncapai
masyarakat yang adil dan makmur. Prinsip ini mengambil bentuk “sikap bijaksana”
seperti “keserasian tanpa menghilangkan kreativitas perorangan”, kesediaan
berkurban untuk mengurbankan kepentingan sendiri demi kepentingan orang lain,
melakukan banyak hal untuk orang lain tanpa mengharapkan imbalan (sepi ing
pamrih, rame ing gawe), kesabaran dihadapan kesulitan dan penderitaan, dst. Karena
adanya sikap demikian bijaksana dalam dirinya, bangsa Indonesia menjadi bangsa
pecinta damai, sopan kepada orang lain tanpa sedikitpun menyerahkan diri kepada
akibat-akibat koruptif dari modernisasi, giat berkarya tetapi memiliki akar yang
dalam pada kehidupan yang kaya dengan refleksi dan meditasi, serta sabar tetapi
tekun dalam membangun masyarakat adil di masa depan. Walaupun bertentangan
satu sama lain, semua nilai diatas telah menjadi bahan kontemplasi paling intensif
dalam penyiapan dan penyelenggaraan indoktrinasi falsafah negara Pancasila,
penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengmalan Pancasila).
Pada titik inilah negara, sebagai representasi paling sah bagi nilai-nilai
Indonesia, kemudian mengambil langkah “pengamanan” atas Pancasila, agar tidak
terjadi penyimpangan penafsiran baik oleh lawan politik (political adversaries)
maupun musuh politik (political enemies). “Pengamanan” Pancasila sebagai ideologi
negara ini senantiasa mengambil bentuk penguasaan aparat pemerintah dan
9
SI Poeradisastra, Kebudayaan Indonesia di Pusaran Arus Sejarah, Prisma 11, November 1981, h., 30
12
kelengkapan negara, serta mendayagunakannya bagi perumusan “penafsiran yang
benar” atas ideologi negara.10 Proses ini, yang oleh Gus Dur disebut sebagai
“rekayasa sosial” guna penurunan “suhu ideologi”11 menemu ruang misalnya dalam
penolakan (atas nama) Pancasila oleh para pejabat negara, terhadap liberalisme, baik
dalam bentuk sistem demokrasi maupun filsafat hidup.
Penolakan yang tidak terbatas pada retorika seremoni negara, namun telah
termaktub dalam P4 ini mengacu pada sifat “tidak Indonesia” dalam liberalisme,
semisal budaya politik bersaing asal bersaing saja, yang dianggap membahayakan
pandangan integralistik Pancasila, karena langkanya keseimbangan antara hak
perorangan dengan hak kolektif. Demokrasi liberal juga ditolak karena mendukung
kontradiksi dan instabilitas politik, sementara Demokrasi Pancasila justru
mendukung proses kesatuan dalam keragaman. Dari sini Pancasila kemudian
dibedakan melalui idealisasi nilai-nilai Indonesia. Dikatakanlah bahwa persaingan
dibolehkan, bahkan didorong, guna memungkinkan tercapainya kemajuan. Namun
persaingan harus dilangsungkan secara penuh kesopanan, dipenuhi suasana saling
memberi dan menerima. Yang menang tokh akan mewakili kepentingan semua
pihak, melalui keputusan berdasarkan konsensus. Dengan ungkapan lain, berbeda
dengan liberalisme, Pancasila melihat budaya persaingan sebagai bagian dari proses
pencapaian konsensus yang berwatak integralisitik.12
Pandangan ketiga datang dari kaum akademisi. Pandangan ini tidak mengacu
pada perdebatan kaum “pelap-lap” versus kritkus tradisi, melainkan berangkat dari
satu postulat akademis, bahwa demi ditemukannya nilai-nilai Indonesia, maka kita
harus menggunakan kaidah ilmiah guna menemukan orientasi hidup masyarakat
10
Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, Prisma 11, November 1980, h., 14
11
Abdurrahman Wahid, Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik, dalam Prisma Pemikiran
Gus Dur, Yogyakarta:LKiS, 2000, h., 28
12
Sayangnya, dalam real politics masih banyak terjadi kontradiksi. Pada satu sisi, pelaksanaan nilai-
nilai Pancasila ternyata belum sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat. Bahkan dalam banyak kasus,
persaingan politik dalam masyarakat masih mencerminkan “persaingan bebas tanpa konsensus” a la
liberalisme. Parahnya, kekisruhan tersebut ditambah melalui intervensi pemerintah dalam proses
pergulatan politik sipil, seperti yang terlihat dalam intervensi negara pada berbagai suksesi partai
politik (era Orba: PDI-PPP). Demikian juga dari sisi pemerintah, belum tercipta tolok ukur penerapan
demokrasi integralisitik, sehingga perilaku politik yang masih jauh dari harapan Pancasila masih belum
terdeteksi. Permasalahan bertambah ketika hubungan antara liberalisme dan Pancasila juga belum
dirumuskan secara komprehensif dengan mengajak berbagai kekuatan bangsa. Faktanya, setiap
gerakan, pandangan, dan kritik yang dilakukan masyarakat, akan selalu dianggap subversif, ketika
pandangan tersebut tidak sesuai dengan penafsiran pemerintah atas Pancasila. Lihat Abdurrahman
Wahid, Pancasila dan Liberalisme, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta:
Desantara, 2001, h., 63-68
13
secara empiris dan objektif. Dalam hal ini Gus Dur melihat adanya transformasi
dalam metodologi riset sosial-budaya yang mengarah pada pemahaman unsur-
unsur kehidupan masyarakat, lebih koheren. Bagi Gus Dur, pendekatan positivistik
dalam antropologi a la Clyde Kluckhohn telah membuat pemecahan berbagai aspek
sosio-budaya kedalam wilayah riset yang terpecah. Hal ini misalnya tercermin
dalam premis antropologis milik Prof. Koentjaraningrat yang melihat orientasi
tertentu masyarakat, seperti mentalitas tradisional berupa ketundukan terhadap
priyayi keraton, sebagai penghambat pembangunan. Kelemahan pendekatan ini Gus
Dur temukan dalam ketidakmampuan peneliti untuk menangkap “..konflik apakah
yang dibutuhkan untuk mengarahkan kembali sebuah nilai yang dianggap negatif
terhadap pembangunan, agar mengikuti jejak nilai lain yang dianggap positif bagi
pembangunan?” Dari sinilah Gus Dur kemudian mengamini sebuah transformasi
metodologis bagi tercapainya riset kebudayaan yang komprehensif dan mampu
masuk dalam “pergulatan sosial” masyarakat.
Panggung politik
Sampai disini, Gus Dur masih “membumikan” pemikiran ideal demokrasinya
kedalam gerakan civil society melalui NU, Fordem dan aktivitas
kecendekiawanannya. Hingga kemudian, moment reformasi menjadi fase bagi Gus
Dur untuk “membelokkan” strategi gerakannya kepada politik praktis dengan
mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dilahirkan dari rahim NU.
Banyak yang mempertanyakan pilihan Gus Dur ini, terlebih dari kalangan
anak muda yang telah menjelma gerbong intelektualisme baru NU pasca Khittah 26.
Kebingungan tersebut muncul karena Gus Dur selama menjabat PBNU selalu
menggelorakan gerakan unpolitical politics 13(berpolitik tanpa politik), yakni gerakan
kultural sebagai oposisi bagi politik praktis 14. Manifesto Khittah 26 merupakan
usahanya untuk mengembalikan NU kepada jalur civil society yang sebelumnya telah
dibelokkan oleh kaum politisi NU.
Pilihan Gus Dur untuk terjun dipolitik praktis memang merupakan langkah
kontradiktif. Sebab paradigma antara aktivis pergerakan dengan politisi jelas
13
Ulil Abshar-Abdalla, Partai, Civic Education dan Wilayah “Netral Politik”, Tashwirul Afkar, Edisi
No 4/1999, hlm. 51
14
Term inilah yang kini sudah tidak berlaku lagi, sebab pasca lengsernya Soeharto, Gus Dur menjadi
politisi lewat PKB, apalagi pasca lengser kepresidenan, Gus Dur terlihat total masuk dalam politik
praktis.
14
berbeda dan cenderung berseberangan. Memang keduanya sama-sama praksis. Jika
merunut kepada konsep Bassam Tibi tentang pembaruan Dunia Ketiga, maka Gus
Dur sebagai aktivis atau intelektual organik, telah melakukan kerja transformatif
yang tidak berhenti pada “pembaruan wacana” (layaknya intelektual liberal murni)
akan tetapi melanjutkannya kepada kerja praksis yang masuk dalam kantong-
kantong kebudayaan masyarakat awam.
Sementara kerja politisi, jika merujuk pada konsep politik konvensional seperti
batasan klasik oleh Lasswell (1958) yang mendefinisikan politik sebagai “siapa
memperoleh apa, kapan, dan bagaimana”, atau jika meminjam istilah yang diselalu
dipakai Gus Dur sendiri untuk mendefinisikan politik, yakni politic is the art of
possibility (politik adalah seni kemungkinan), maka praktik politik adalah bagaimana
membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, sehingga tolok ukurnya
bukan idealitas tetapi kemungkinan dari realitas. Disinilah kemudian “permainan”
menjadi rule of the game, apalagi jika melihat budaya politik Indonesia yang dikuasai
oleh paradigma Machiavellian yakni struggle to power (perebutan kekuasaan), maka
kerja politisi jelas kontradiktif dengan idealisme pergerakan kaum aktivis yang
berangkat dari ideal untuk ideal.
15