Anda di halaman 1dari 5

TUGAS FINAL AGAMA

“KESETARAAN GENDER DI MATA K.H. ABDURRAHMAN WAHID

(GUS DUR)”

Disusun Oleh:

SANTIKA MIFTAHUL ANNISA (D051171309)

DEPARTEMEN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2018
“Kesetaraan Gender di Mata K.H. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur)”
Kehilangan Gus Dur, bagi Bangsa Indonesia adalah kehilangan guru
sekaligus sumber inspirasi. Pemikiran ulama asal Jombang itu telah memberi
warna tersendiri dalam wacana kebangsaan selama ini.
Sebab, sebagai cendekia yang lahir dari pesantren, ia mampu memandang
persoalan dari beragam sudut pandang. Karena itulah, barangkali, pemikirannya
terkesan kontroversial dan sulit diterima semua golongan.
Pandangan Gus Dur terhadap kesetaraan gender juga menarik dikaji, bahkan
dalam konstilasi pemikiran kini. Label ulama tidak pernah mengikat Gus Dur
dalam frame pemikiran patriarkhi.
Gus Dur seolah menganggap kebenaran dogmatis yang diajarkan agama
hanya salah satu bentuk kebenaran, sedangkan di luar itu masih banyak kebenaran
yang dapat dikaji dan diterima.
Tidak sekadar wacana, pembelaan Gus Dur terhadap perempuan dilakukan
dalam berbagai sikap dan tuturan. Ia, misalnya, ikut serta menolak Rancangan
Undang-undang Pornografi dan Pornoaksi, karena RUU tersebut justru berpotensi
menjebak perempuan dalam dilema peran sosial.
Pornoaksi dan pornografi toh bisa dilakukan dan terjadi pada siapa pun,
bukan hanya perempuan. Sedangkan pada RUU tersebut pembatasan justru
banyak dilakukan terhadap perempuan.
Lebih nyata lagi, Gus Dur terang-terangan membela Inul Daratista ketika
pedangdut tersebut berkonflik dengan Rhoma Irama. Langkah ini menimbulkan
kontroversi, karena tidak sejalan dengan pemikiran kebanyakan orang.
Namun, bagi Gus Dur: gitu aja kok repot. Pembelaannya terhadap Inul toh
tidak dilakukan bagi pedangdut, melainkan perempuan yang berusaha
menunjukkan eksistensinya.
Pemikiran Feminis Pembelaan Gus Dur terhadap perempuan juga
tergambar melalui pandangannya terhadap relasi gender yang di Indonesia
dianggap masih timpang. Sebagai tokoh pluralis Gus Dur menganggap
diskriminasi merupakan persoalan utama untuk membangun keharmonisan relasi
gender.
Sinergi dalam konteks hubungan laki-laki dan perempuan mestinya tidak
sebatas berdasarkan jenis kelamin, tetapi dalam arti lebih luas meliputi basis suku,
sektor, geografis, kemampuan tubuh, atau umur.
Pandangan tersebut menjelaskan adanya dua garis besar dalam konstilasi
pemikiran Gus Dur terhadap berbagai persoalan bangsa, yakni pluralisme dan
pembelaan.
Tulisan dan tuturan Gus Dur hampir selalu berangkat dari perspektif
korban, terutama minoritas agama, gender, etnis, warna kulit, dan kelas sosial.
Dalam konteks kehidupan berbangsa, Gus Dur mampu melelehkan batas imajiner
pemikiran nasionalis dan religius yang selama ini memisahkan dua kelompok
besar di Indonesia.
Nasionalis dan religius adalah persoalan yang tidak harus didudukkan
dalam satu meja dan dipilih, melainkan dua hal yang harus disandingkan. Toh,
baik nasionalis maupun religius, sama-sama menjadikan kebenaran sebagai
orientasi berpikir dan bertindak.
Dalam persoalan gender, barangkali harmoni pemikiran nasionalis-religius
yang menjadikan Gus Dur mampu berimbang menyikapi persoalan. Ia
mementahkan anggapan dominasi laki-laki dalam politik, misalnya, dengan
bersama-sama Megawati Soekarnoputri memegang tampuk kepemimpinan.
Lepas dari benturan kepentingan politik yang menyertai perjalanan politik
keduanya, Gus Dur harus diakui sebagai satu-satunya presiden RI yang memiliki
wakil presiden perempuan.
Pemikiran nasionalis dan religius yang selama ini berjarak dalam
memandang persoalan gender lebur dalam pemikiran Gus Dur.
Padahal, perbedaan pandangan tersebut sempat menjadikan kedunya sebagai
aliran kebangsaan yang bersebarangan.
Kaum nasionalis yang menjadikan Pancasila sebagai landasan,
menganggap wanita memiliki kedudukan yang sama.
Penjelasan Soekarno tentang kedudukan perempuan misalnya
menguraikan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab disimbolkan oleh gambar
rantai terdiri atas gelang persegi (lambang laki-laki) yang bertautan dengan gelang
bundar (lambang perempuan).
Pertautan dua jenis rantai tersebut selain menyiratkan kesetaraan laki dan
perempuan, juga mengingatkan bahwa keberlangsungan bangsa tergantung pada
kerja sama kedunya.
Di sisi lain, pemikiran Islam selama ini distigmakan lebih condong pada
pemikiran maskulin. Misalnya, dengan catatan tertentu Islam memperbolehkan
poligami, meski banyak ditentang perempuan.
Namun, bagi Gus Dur jarak kedua pemikiran itu lebur dalam pengakuan
kesederajatan. Laki-laki dan perempuan memiliki posisi yang sama di depan
hukum dan negara, tetapi memiliki peran sosial yang berbeda.
Nyatanya, dalam hukum pidana undang-undang tidak mengenal laki-laki
dan perempuan, namun justru merinci tugas suami dan istri dalam undang-undang
perkawinan.
Lepas dari perdebatan apakah poligami boleh dilakukan atau tidak, Gus
Dur sendiri tidak pernah melakukannya. Meskipun ia tahu poligami
diperbolehkan, namun tidak mempraktikannya. Sampai akhir hayatnya Gus Dur
hanya memiliki satu perempuan yang menjadi sigaring nyawa.
Dekat dengan Perempuan Jika dicermati, perjalanan karier dan
kecendekiawanan Gus Dur juga tidak bisa lepas dari perempuan. Selain istri, Gus
Dur memiliki empat putri. Bahkan, publik mengenal salah satu putri Gus Dur
Yeni Wahid sebagai salah seorang tokoh politik dan pemikir Islam modern.
Barangkali melalui perempuan-perempuan di sekitarnya pula pandangan
baru feminisme Gus Dur dipupuk dan dipraktikan. Istrinya, Sinta Nuriyah
Abdurahman Wahid juga pegiat gender yang teguh memperjuangkan hak-hak
perempuan.
Ia berulang-ulang muncul dalam demonstrasi menentang RUU Anti
Pornografi dan Pornoaksi, karena menganggap undang-undang tersebut
menyudutkan kaum hawa.
Selain itu, Sinta Nuriyah juga mengkritik program pemerintah yang
selama ini dianggapnya bias gender. Program keluarga berencana (KB) misalnya,
menurut Sinta Nuriyah timpang menempatkan relasi laki-laki dan perempuan. Ia
mencontohkan objek penyuluhan pada program KB yang selalu perempuan. Lebih
ironis lagi, perempuan selalu disalahkan jika program KB gagal.
”Kebijakan itu tidak adil, dan tidak menempatkan perempuan dalam posisi
yang sama dengan laki-laki. Selain itu, tidak ada kebersaman dalam mewujudkan
sebuah persamaan,” katanya. (37)

Penulis
Surahmat, pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara, dosen muda Universitas
Negeri Semarang (Unnes), penulis buku “Melawan Kuasa Perut” (2014), aktif
dalam dunia jurnalistik.

Artikel ini ditulis ulang di website Rumah Buku Simpul Semarang (RBSS) dari
Halam Perempuan Suara Merdeka 6 Januari 2009 atas ijin penulis.

Web : http://www.simpulsemarang.org/2014/10/jejak-pemikiran-feminis-gus-
dur.html

Anda mungkin juga menyukai