Firman Nugraha
4
Saefullah, loc. cit.
5
Dadang Kahmad, ‘Agama Islam dan Budaya Sunda’. [online]. Tersedia:
dadangkahmad.blogspot.com. Jumat, 14 maret 2009. (1 Oktober 2009).
6
Ajip Rosidi, ‘Ciri-ciri Manusia dan Kebudayaan Sunda’, Edi S Ekajati (Ed), Masyarakat
Sunda dan Kebudayaannya, (Bandung : Girimukti Pasaka, 1984), hlm. 155.
7
Jacob Sumardjo, Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-tafsir Pantun Sunda,
(Bandung : Kelir, 2003), hlm. 239-243.
Ambu di Kahyangan dengan para Pohaci sebagai pembantunya dalam mitologi Sunda
mengantarkan pemahaman bahwa wanita dalam keyakinan spiritual orang Sunda
menempati posisi yang agung tersendiri. Ulasan lain dari Sumardjo, juga ketika
membedah mitologi Dewi Sri (yang juga sering disebut Nyi Pohaci) yang akhirnya
karena ‘ketentuan hyang Agung’ harus berkorban karena pola hubungan yang unik
dengan ‘saudara’ kembarnya Kalabusu dan Budugbusu yang dari pengorbanannya
melahirkan tanaman padi menunjukkan bahwa alam pikir orang Sunda terpatri pada
keududukan dan pengorbanan wanita demi kebaikan umat manusia (orang Sunda).8
Melalui telaahnya tersebut sampai pada kesimpulan bahwa dalam pikiran Sunda lama
wanita Sunda bukanlah pelengkap bagi laki-laki melainkan justru laki-laki yang
menjadi subordinan bagi wanita.
Namun demikian, pada masa tertentu (di bawah tahun 1980) kedudukan
wanita dalam beberapa hal juga dibatasi. Di satu pihak wanita demikian dihormati,
sementara di pihak lain dia tidak sebebas laki-laki untuk pergi ke luar desa atau
berhubungan dengan dunia luar. Wanita tidak dapat dipilih untuk memegang jabatan
puncak dalam komunitas.9 Dewasa itu, pakem budaya yang demikian kaku masih
kuat mencengkram kaum wanita, sehingga jargon awéwé pondok léngkah atau awéwé
dulang tinandé masih menjadi uger-uger kebebasan wanita di Jawa Barat. Penelitian
Palmer dalam Saefullah, misalnya, laporannya pada tahun 1967 menunjukkan bahwa
wanita Sunda tidak sebebas laki-laki dalam menghadiri rapat-rapat desa.10 Mereka
masih mendominasi sektor domestik di rumah tangga daripada memasuki ranah
publik untuk memegang suatu tanggungjawab yang lebih besar. Hal serupa dikuatkan
Wessing (1978) dalam Saefullah bahwa kalaupun wanita harus keluar desa, maka
niscaya ia didampingi seorang laki-laki dari keluarganya, namun, menurutnya, hal ini
dilakukan justru untuk melindungi kehormatan wanita tersebut.11
8
Jacob Sumardjo, ‘Mitos Nyi Pohaci’ Pikiran Rakyat, (Bandung) Sabtu, 29 Januari 2005,
rubrik Khazanah.
9
Saefullah, loc. cit.
10
Ibid.
11
Ibid., hlm. 101.
Jauh dari itu, bahkan dimasa pergulatan perjuangan Sartika untuk meraih
tempat yang ‘setara’ dengan kaum pria di masa itu, wanita Sunda tampak harus
menelan pil pahit termarjinalkan dari komunitas sosial yang kuat oleh hegemoni
budaya patriarkhi.12 Tampaknya cukup beralasan suatu pandangan yang menyatakan
bahwa marjinalisasi kedudukan wanita dalam konstalasi budaya Sunda terpngaruh
oleh perjalanan orang Sunda sendiri yang harus mengalami dua model ‘penjajahan’.
Pertama terjajah oleh bangsa asing di luar Nusantara, nyatanya oleh bangsa Belanda
dan Jepang yang jelas telah memberikan warna tersendiri dalam alam pikir orang
Sunda. Sunda lama yang menjunjung kedudukan wanita tergerus arus kebudayaan
asing yang menempatkan dominasi kaum laki-laki atasnya. ‘Penjajahan’ kedua adalah
ketika Sunda harus tunduk secara kultural maupun Politik pada kekuatan Mataram,
hal inipun memberikan warna tersendiri dalam cara berpikir dan bertindak bagi orang
Sunda. Menurut Kahmad (2009), ada peralihan budaya dari egaliter dan sederhana
(masyarakat pe-huma) menuju masyarakat yang feodal.
Karena hubungan antara komunitas pedesaan dengan kehidupan perkotaan
menjadi semakin dekat dan wanita mempunyai kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan yang lebih tinggi, peranan wanita di Jawa Barat cenderung berubah.
Banyak wanita dipilih dan diangkat menjadi kepala desa. Melalui organisasi wanita
Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (gerakan pendidikan kesejahteraan keluarga)
yang dipimpin oleh istri Kepala Desa, wanita belajar untuk memahami gaya hidup
baru yang didapat dari komunitas kota. Wanita menikah yang suaminya bekerja di
luar desa terdorong untuk mewakili suami mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial dan
politik setempat.
Adanya fakta sejarah sebagaimana diulas terdahulu ternyata tidak secara
langsung mengangkat kembali citra wanita Sunda dalam konstalasi budaya Sunda
secara otomatis, meskipun juga dewasa ini kaum wanita dapat dikatakan telah
berhasil, ‘merebut’ kedudukan yang seimbang dengan mitranya. Hal inilah yang
12
‘Dewi Sartika, Jasa Besar Terlupakan’. [online]. Tersedia: http://www.pikiran-rakyat.com.
(1 Oktober 2009).
menjadi alasan adanya pandangan kedua terhadap wanita Sunda tersebut yang
memojokannya ke sudut marjinal dalam konteks sosial orang Sunda. Pandangan
demikian, sejatinya tidak sedikit yang dipengaruhi stereotif budaya, Chye Retty
Isnendes misalnya mengulas tuduhan stereotif tersebut dari salah satu majalah yang
terkesan menyudutkan wanita Sunda.13 Dikatakan bahwa mereka adalah makhluk
yang menyembunyikan kemalasan dibalik kemolekan tubuh, dan melalui tubuh pula
menjadi salah satu alat penpencapaian tujuan. pandangan itu juga dikontraskan
dengan kebudayaan suku lain (Jawa) yang dipujikan sebagai pekerja keras. Tentu
saja pandangan penuh semangat stereotif ini sangat kontras dengan semangat Sunda
lama tentang wanita Sunda yang agung dan memiliki watak pekerja keras.
Disamping itu ada kenyataan lain, posisi wanita Sunda dalam kehidupan
sastra Sunda ternyata lebih banyak digambarkan sebagai subordinan dari laki-laki.
Adanya gambaran demikian juga patut diselidiki apakah kesan itu lahir hanya dari
imajinasi pengarang atau memang dipengaruhi oleh world view pengarang itu sendiri.
Justru pengarangnya dari kaum wanita juga. 14 Keadaan lain yang menunjukkan masih
perlunya penetapan kembali kedudukan wanita sebagaimana yang digambarkan
dalam perspektif alam pikir Sunda lama, adalah ketika dewasa ini kaum wanita Sunda
menjadi bagian penting dari konstelasi sosial budaya orang Sunda namun ternyata
penghargaan kepada mereka masih jauh dari semestinya. Sebutlah misalnya
pengamatan Djaspudin terhadap realitas posisi wanita Sunda yang banyak menjadi
tulang punggung ekonomi keluarga namun justru timbal baliknya adalah menghadapi
resiko poligami tanpa persetujuan lebih dahulu atau bahkan perceraian tanpa pilihan
lain. Menurutnya hal ini masih menunjukkan budaya patriarkhi masih menjadi
hegemoni atas kedudukan wanita.
Adanya dua pandangan demikian, yang satu melihat dari perspektif cita ideal
baik atas penelusuran jejak filosofis budaya Sunda maupun nilai-nilai agung yang
13
‘Citra Negatif Wanita Sunda’.[online]. Tersedia: Ayi Purbasari’s MP.com. (1 Oktober
2009).
14
Ulasan tentang ini lebih jauh dapat dilihat dalam Atep Kurnia, ‘Sastrawan Sunda dan
Perempuan’. [online]. Tersedia: Pikiran Rakyat online.com. (1 Oktober 2009).
terkandung di dalamnya, baik original maupun hasil perpaduan yang unik dan luruh
menjadi satu kebudayaan yang tunggal antara Islam dan Sunda, mengenai kedudukan
wanita di Sunda. Maupun pihak lain yang memandangnya dengan semangat stereotif
sebagai bekas pengalaman ‘sejarah’ menjadikan wanita Sunda berada dalam jembatan
perjuangan yang masih harus dipertegas mengenai jatidirinya. Namun demikian,
tampaknya semangat sejati orang Sunda dalam memandang kedudukan wanita di
Sunda dapat dikatakan sangat memuliakannya. Disamping cita ideal itu perlu semakin
ditegaskan dalam alam realitas.