Anda di halaman 1dari 7

HUBUNGAN SEKS TANPA NIKAH;

PROBLEM HERMENEUTIKA MUHAMMAD SYAHRUR1

Syamsuar Hamka

Mukadimah

Disertasi Abdul Aziz yang disampaikan dalam sidang promosi doktor di Universitas Islam
Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Rabu (28/8) lalu menuai pro dan kontra.
Pasalnya, dalam disertasi yang berjudul “Konsep Milk Al Yamin Muhammad Syahrur sebagai
Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital”, Aziz mengemukakan argumentasi hubungan seksual
di luar pernikahan (non-marital) dengan konsensus itu tidak melanggar hukum Islam atau fiqih.
Disertasi itu ditulis dengan metode studi pustaka bersumber dari gagasan Muhammad Syahrur,
seorang cendekiawan Islam dari Suriah.
“Konsep zina versi Syahrul berbeda dengan versi ulama klasik,” kata Aziz saat dihubungi
IDN Times, Kamis (29/8) malam. Bagi Syahrur yang gagasannya didukung Aziz, hubungan
seksual konsensual non-marital bukan termasuk perzinaan. Istilah zina menurut Syahrur adalah
hubungan seksual yang dilakukan secara terbuka atau eksibisionis. Apabila dilakukan di tempat
tertutup bukanlah zina, sehingga dianggap halal.
Sedangkan istilah zina menurut ulama klasik adalah melakukan hubungan seksual dengan
perempuan di luar pernikahan atau pun dengan budak yang di luar kepemilikan. “Sementara
hubungan seksual non-marital dan marital itu hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak
seksualitas yang dilindungi negara dan pemerintah,” kata Aziz.
Hal – hal seperti ini, bukanlah hal yang baru dalam kajian di beberapa perguruan tinggi
islam di Indonesia. Judul serta tema yang kontroversial. Bahkan tak jarang bertolak belakang
dengan pemahaman serta norma yang berlaku di masyarakat.
Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh penggunaan metodologi tafsir Hermeneutika
dalam memahami kitab suci. Kitab suci dianggap sebagai teks (belaka). Kebenaran dalam teks
menjadi problematis. Sebab makna teks dianggap tertimbun oleh sejarah dan penulisnya sendiri.
Atau teks tersebut harus dibawa kepada konteks supaya teks tersebut menjalankan fungsinya.
Dan berbagai ungkapan – ungkapan lain, yang pada akhirnya upaya tersebut adalah dekonstruksi
kitab suci. Serta menggugat sakralitas kitab suci sebagai sumber hukum dan kebenaran.
Parahnya, pemikiran – pemikiran seperti itu justru lahir dari institusi Perguruan Tinggi Islam.

Fenomena di Perguruan Tinggi


Apa yang menjadi viral di media sosial tentang ‘disertasi zina halal’ adalah hal yang
lumrah. Sebab jauh sebelum itu, perguruan tinggi islam seperti UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan UIN yang lain sudah melahirkan banyak sarjanawan
yang menunjukkan Suu’ al-Adab. Ada beberapa kasus seperti fenomena ‘menginjak lafaz Allah’,
‘Tuhan membusuk’, ‘Selamat datang di area bebas Tuhan’, dan lain – lain. Sampai Ust. Hartono
Ahmad Jaiz menulis buku “Ada Pemurtadan di IAIN”, sebagai keprihatinannya terhadap
pendidikan tinggi yang seharusnya mengemban wacana keilmuwan dan misi yang mulia.
Hal itu tentu lahir dari para civitas akademika, beserta jajaran pengajar (Dosen) yang
mungkin banyak terpengaruh oleh paradigma studi islam di barat. Atau bahkan tidak sadar ikut
serta dalam agenda sekularisasi dan liberalisasi global. Dimana ada upaya untuk memutus
‘ghirah’ pembelaan terhadap warisan intelektual dan ulama mutaqaddimin untuk diganti dengan
paradigma studi islam di barat. Alasannya adalah, pola pemikiran umat islam-lah hari ini yang
kaku, jumud sehingga tidak bisa mengimbangi kemajuan peradaban barat. Karena itu perlu
‘tajdid al-fikrah al-islamiyah’ dalam berbagai disiplin ilmu islam. Karena itulah, perlu
memasukkan studi yang dianggap bisa mendobrak kejumudan pemikiran umat islam tersebut.
Sehingga lahirlah dalam tafsir al-Qur’an ada Hermeneutika yang memasukkan tafsir sosiologis,
hostoris serta psikologis dalam memahami kitab suci. Dalam Aqidah, ada Pluralisme Agama,

1
Dibawakan pada Kajian Pemikiran Keislaman (KPK) LDF as-Syariah Fakultas Hukum Unhas, Kamis 5 Sepetember
2019, Pukul. 16.00 Wita.
dalam Fiqh ada Feminisme, dalam Hukum Islam adalah Sekularisme, serta upaya membawa
sumber – sumber hukum islam sebagai objek kajian secara bebas, tanpa ketaatan kepada asas –
asas kehendak wahyu. Lebih parahnya, adalah hasil pemikiran yang cenderung diametral bahkan
bertolak belakang dengan ijtihad ulama otoritatif dianggap sebagai karya ilmiah yang dipuji dan
dibanggakan. Padahal sampai sekarang pun, kontribusi jurnal, skripsi, tesis dan disertasi
semacam itu tidak sama sekali berdampak terhadap perkembangan sosiologis umat islam.
Berkenaan dengan seksualitas, diantara tokoh yang gemar memasarkan pemikiran
menyimpang seperti ini adalah Sumanto al-Qurtuby. Sebagaimana dikutip dalam tulisan Ust.
Adian Husaini, Sumanto menulis bagaimana pandangannya terhadap seks bebas,

Apa yang kita saksikan dewasa ini adalah sebuah pemandangan keangkuhan oleh kaum
beragama (dan lembaga agama) terhadap fenomena seksualitas yang vulgar sebagai
haram, maksiat, tidak bermoral, dan seterusnya. Padahal moralitas atau halal-haram
bukanlah sesuatu yang given dari Tuhan, melainkan hasil kesepakatan atau konsensus
dari ”tangan-tangan gaib” (invisible hand, istilah Adam Smith) kekuasaan, baik
kekuasaan politik maupun otoritas agama. Teks-teks keagamaan dalam banyak hal juga
merupakan hasil ”perselingkuhan” antara ulama/pendeta dengan pemimpin politik dalam
rangka menciptakan stabilitas.
Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas. Jangankan masalah
seksual, persoalan agama atau keyakinan saja yang sangat fundamental, Tuhan – seperti
secara eksplisit tertuang dalam Alqur’an – telah membebaskan manusia untuk memilih:
menjadi mukmin atau kafir. Maka, jika masalah keyakinan saja Tuhan tidak perduli,
apalagi masalah seks? Jika kita mengandaikan Tuhan akan mengutuk sebuah praktik
”seks bebas” atau praktik seks yang tidak mengikuti aturan resmi seperti tercantum dalam
diktum keagamaan, maka sesungguhnya kita tanpa sadar telah merendahkan martabat
Tuhan itu sendiri. Jika agama masih mengurusi seksualitas dan alat kelamin, itu
menunjukkan rendahnya kualitas agama itu.
Lalu bagaimana hukum hubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka,
“demokratis”, tidak ada pihak yang “disubordinasi” dan “diintimidasi”? Atau bagaimana
hukum orang yang melakukan hubungan seks dengan pelacur (maaf kalau kata ini kurang
sopan), dengan escort lady, call girl, dan sejenisnya? Atau hukum seorang perempuan,
tante-tante, janda-janda, atau wanita kesepian yang menyewa seorang gigolo untuk
melampiaskan nafsu seks? Jika seorang dosen atau penulis boleh “menjual” otaknya
untuk mendapatkan honor, atau seorang dai atau pengkhotbah yang “menjual” mulut
untuk mencari nafkah, atau penyanyi dangdut yang “menjual” pantat dan pinggul
untuk mendapatkan uang, atau seorang penjahit atau pengrajin yang “menjual” tangan
untuk menghidupi keluarga, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan yang
“menjual” alat kelaminnya untuk menghidupi anak-istri/suami mereka?2

Dari tulisan di atas, Alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang ini jelas menunjukkannya
pada pembelaan terhadap seks bebas. Parahnya tulisan – tulisan seperti ini diproduksi dan
disebarkan untuk dikonsumsi mahasiswa dan masyarakat umum. Padahal jika kita menggunakan
alat ukur norma negara pun, tulisan seperti ini jelas sangat ‘tidak pancasilais’. Apalagi jika
diukur menggunakan al-Qur’an dan Sunnah. Jelas tulisan – tulisan tersebut bisa mengarahkan
kepada kekufuran terhadap syariat.
Sama halnya dengan Disertasi yang ditulis oleh Promovendus, Abdul Aziz seperti yang
disebutkan di awal. Meski ia telah melayangkan surat secara pribadi kepada masyarakat dan
tersebar di media sosial bahwa akan merevisi disertasi tersebut, sebenarnya ia telah menulis
sebelumnya dalam sebuah makalah yang memang mengarah kepada pembelaan terhadap
pemikiran Muhammad Syahrur tentang konsep ‘Milk al-Yamin’.
Dalam Jurnal Waryunah yang diterbitkan oleh IAIN Surakarta, Abdul Aziz menulis
artikelnya yang berjudul ‘Perbudakan Seksual dalam Tradisi Hukum Islam sebagai Kekerasan
Terhadap Perempuan’. Setelah menguraikan lebih dari 12 halaman, Abdul Aziz kemudian
menyimpulkan,

2
Sumanto al-Qurtuby, Jihad Melawan Ekstrimis Agama, Membangkitkan Islam Progresif (terbit pertama Oktober
2009) Hlm. 182 – 184 dalam Adian Husaini, Islam Progresif dan Seks Bebas.
Ayat-ayat yang menjelaskan tentang budak seksual sebagaimana termaktub dalam
sejumlah kitab tafsir klasik dapat ditafsirkan secara heurmenetik sehingga melahirkan
tafsir yang humanis. Dalam tafsir versi ini, ayat-ayat yang menurut ulama klasik
ditafsirkan sebagai ayat-ayat yang menjelaskan tentang kebolehan memelihara
perempuan sebagai budak seksual dianggap tidak eksis. Dengan kata lain, Alquran tidak
menjelaskan bagaimana memelihara dan menggauli budak seksual perempuan. Budak
dan budak seksual telah dihapus dari muka bumi. Sebagai gantinya, ayat tersebut
ditafsirkan sebagai menjelaskan bagaimana berhubungan seksual terhadap perempuan
merdeka selain isterinya. Ayat dimaksud adalah ayat tentang milk al-yamin.

Atas dasar penafsiran secara heurmenetik tersebut, keabsahan perbudakan seksual


terhadap perempuan sebagaimana terdapat dalam tradisi hukum Islam dapat ditolak.
Hukum Islam kemudian dapat melakukan pelarangan terhadap perbudakan seksual
perempuan sebagaimana yang dilakukan oleh deklarasi universal hak asasi manusia.3

Pada akhirnya Abdul Aziz berkesimpulan,

Penolakan perbudakan seksual ini tidak berarti seorang muslim kehilangan haknya
untuk berhubungan seksual selain dengan isteri resminya. Seorang muslim masih tetap
bisa mempraktekkan hubungan seksual dengan perempuan lain selain isterinya
sebanyak yang dia kehendaki atas dasar kemanusiaan bukan atas dasar tuan-budak.
Terdapat berbagai macam cara seorang muslim melakukan hubungan seksual selain
terhadap isteri resminya, semisal dengan nikah mut’ah (kontrak), nikah misyar
(pelancong), ataupun nikah frendy (persahabatan). Ini adalah jenis-jenis hubungan
seksul manusiawi selain isteri resminya yang telah populer. Selain cara-cara ini,
seorang muslim juga boleh dan sah menciptakan cara-cara baru bagaimana
berhubungan seksual selain dengan isteri resminya atas dasar nilai-nilai
kemanusiaan.4

Pernyataan tersebut jelas bertentangan dengan apa yang jamak dipahami oleh ulama dan
umat muslim di dunia. Di mana para ulama sejak dahulu hingga sekarang jelas mengharamkan
hubungan badan di luar nikah dan budak. Masalah jalur pernikahan jelas, dan masalah
kepemilikan budak karena tidak ada lagi di zaman modern sekarang, maka hukum tersebut tidak
memiliki lokus sehingga tidak bisa diterapkan.

Disertasi ‘Konsep Milk al-amin Syahrur’

Dasar dari konsep Milk al-Yamin dari Muhammad Syahrur sebagaimana yang diulas oleh
Abdul Aziz adalah dalam QS. Al-Mu’minun: 6, Illa ala azwaajihim aw maa malakat
aimaanuhum.... Dari ayat ini dipahami bahwa ada dua jenis hubungan seksual yang dibolehkan.
Pertama Hubungan badan dengan istri yang diperoleh lewat jalur pernikahan. Yang kedua
dengan budak yang tidak memiliki syarat sebagaimana nikah yaitu mahar, waris, thalaq dan
iddah.
Dalam Disertasi lebih dari 400 halaman tersebut, sekitar 70-an halaman, Abdul Aziz
mengulas tentang konsep Milk Yamin Muhammad Syahrur. Dari Jenis, limitasi serta implikasi
dari Milk al-Yamin. Disebutkan bahwa jenis hubungan seksual non marital dalam konsep Milk
al-Yamin Muhammad Syahrur adalah Nikah Mut’ah, Nikah Muhallil, Nikah al-‘Urfi, Nikah
Misyar, Nikah Misfar, Nikah Friend, Nikah Hibah, al Musaakanah dan Akad Ihsan. Sementara,
ada pembatasan dari konsep Milk al-Yamin tersebut yaitu apa yang disebutkan oleh Muhammad
Syahrur sebagai ‘al-Fawaahisyah’. Dalam QS al-A’raf: 33 Allah mengharamkan Faahisyah.

3
Abdul Aziz, ‘Perbudakan Seksual dalam Tradisi Hukum Islam sebagai Kekerasan Terhadap Perempuan’, Jurnal
Waryunah IAIN Surakarta, 2013, hlm. 14.
4
Abdul Aziz, ‘Perbudakan Seksual dalam Tradisi Hukum Islam sebagai Kekerasan Terhadap Perempuan’, Jurnal
Waryunah IAIN Surakarta, 2013, hlm. 14.
Kemudiaan Syahrur menurunkan bahwa ada enam jenis perbuatan Faahisyah yaitu nikah
mahaarim, nikah al-Mutazawwijah, Zina, as-Sifah, al-Akhdan, Nikah maa Nakaha al-Aba.
Yang menjadi persoalan dalam pemikiran Syahrur adalah persoalan Zina. Dimana ia
menggolongkan hubungan seks yang diharamkan (faahisyah) adalah hubungan yang dilakukan
di depan publik sehingga ia termasuk dalam kategori zina karena mempersyaratkan ada empat
orang saksi (arba’a syuhadaa). Sehingga jika ia dilakukan di ruang privat dan atas dasar suka –
sama suka sesuai komitmen kedua pasangan, maka itu bukanlah zina.
Jelas ini sangat bertentangan dengan penjelasan mufassir seperti al-Imam Ibn Katsir yang
menafsirkan QS an-Nisa: 25 ‘walaa muttakhidzaati Akhdaan’ kepada tiga jenis yaitu : kekasih,
teman dan kumpul kebo.5 Akan tetapi Syahrur menafsirkan Akhdaan sebagai hubungan sesama
jenis (homosexual). Jadi untuk memberikan dasar hukum dalam hubungan seksual di luar
pernikahan, Syahrur membawa penafsiran Akhdaan kepada Homoseks.
Sementara di sisi yang lain, Syahrur tidak memasukkan perbuatan Prostitusi ke dalam Milk
al-Yamin, ia bahkan melarang perbuatan tersebut.

Nikah misyār adalah termasuk bagian dari milk al-yamīn. Adapun milk al-yamīn adalah
pernikahan tetapi bukan pernikahan yang sempurna persyaratannya. AzZiwāj adalah
kesepakatan berkeluarga, melahirkan keturunan dan menjalin kekerabatan. Persyaratan
milk al-yamīn adalah tidak ada tindak kekejian dan tidak lebih dari satu laki-laki bagi
seorang perempuan (gairu musāfiḥāti walā muttakhiżāti akhdān), maka siapapun yang
pergi ke tempat prostitusi dan melakukan transaksi seksual dengan perempuan pekerja
seksual di tempat tersebut adalah bukan milk al-yamīn6

Berkaitan dengan itu, Abdul Aziz kemudian memberikan perbandingan antara


ulama klasik, kontemporer dan Syahrur tentang hubungan seksual sebagai berikut:

(Sumber: Disertasi Abdul Aziz, Konsep Milk al-Yamin..., hlm. 187

5
Lihat Abdul Aziz, Disertasi Konsep Milk al- Yamin Muhamamd Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non-
Marital, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 245
6
Lihat Abdul Aziz, Disertasi Konsep Milk al- Yamin Muhamamd Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non-
Marital, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 185-186
Pembacaan Hermeneutika Muhammad Syahrur

Menurut Abdul Aziz, hermeneutika Muḥammad Syaḥrur menghasilkan rumusan dalam


menginterpretasi ayat-ayat hukum yang berbasiskan tiga teori filsafat. Pertama, al-kainūnah
(kondisi berada, dasein, being). Kedua, al-sairūrah (kondisi berproses, der prozess, the process).
Ketiga, al-Ṣairūrah (das warden, becoming, kondisi menjadi). Menurutnya, di dalam filsafat dan
dasar substansi bagi setiap kajian teologis, naturalistik, dan antropologis senantiasa berpusat
pada ketiga teori tersebut. Hal ini karena kainūnah merupakan permulaan dari sesuatu yang ada,
sairūrah merupakan gerak perjalanan masa, dan ṣairūrah ialah yang menjadi tujuan bagi
keberadaan pertama setelah melalui fase berproses. Sedangkan pusat ṣairūrah tersebut
termanifestasikan pada sirkulasi dan perubahan dalam wujud. Hal ini menurut Syaḥrūr dapat
dimengerti dari hubungan antara materi dengan masa dan bentuk baru dari materi.7
Dalam bacaan Syaḥrūr, Al-Qur'ān sama sekali tidak memilah dengan tegas antara
kainūnah, sairūrah dan ṣairūrah, namun ia menetapkan adanya saling keterkaitan yang tak
terpisahkan di antara ketiganya itu, sebagaimana yang terdapat dalam QS. al-Ḥajj (22): 5
“Kondisi berada” (kainūnah) sangat jelas ditunjukkan pada ayat tersebut, yakni: “Kami ciptakan
kalian dari tanah”. “Kondisi berproses (sairūrah) ditunjukkan dengan jelas dalam hal berubahnya
tanah menjadi air sperma (nuṭfah). Sedangkan “kondisi menjadi” (ṣairūrah) tampak peranannya
dengan jelas dalam hal berhentinya eksistensi tanah untuk berubah menjadi air sperma, dan
memulai proses yang lain, di mana air sperma itu mengalami “kondisi berada”, di mana “kondisi
berproses” itu berlangsung, sehingga air sperma itu berubah menjadi darah yang menggantung
(‘alaqah) untuk memulai proses yang ketiga, di mana darah yang menggantung itu kemudian
menjadi gumpalan daging (muḍgah) dan begitu seterusnya.8
Syahrur kemudian menganggap bahwa keniscayaan antara tiga konteks itu
memperlihatkan bahwa setiap konteks selalu berhubungan dengan konteks lainnya. Dengan
relasi seperti ini, maka terkait dengan ayat-ayat hukum, dapat memproduksi hukum yang dinamis
sesuai perkembangan zaman ke zaman. Dengan kata lain, yang menjadi pijakan hukum adalah
kondisi khusus yang terbatasi dalam seting sosial, bukan naṣ yang ada dalam ayat tersurat
dalam Al-Qur’ān.9 Inilah yang kemudian menjadi problem.

Problem Hermeneutika Syahrur

Hermeneutika, sebagai sebuah metode penafsiran, tidak hanya memandang teks, tetapi
hal yang tidak dapat ditinggalkannya adalah juga berusaha menyelami kandungan makna
literalnya. Lebih dari itu, ia berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-
horizon yang melingkupi teks tersebut, baik horizon pengarang, horizon pembaca, maupun
horizon teks itu sendiri. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika
memerhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam kegiatan penafsiran, yakni teks, konteks,
dan kontektualisasi.10
Dalam dunia hermeneutika, kita mengenal Scheleimer, Heiddeger dan Gadamer. Dalam
disertasi ini disebutkan bahwa, Syahrur lebih banyak mengadopsi Hermeneutika Gadamer.
Sebenarnya Hermeneutika adalah metode tafsir yang digunakan untuk memperoleh
pemahaman terhadap teks. Jadi Hermeneutika berlaku untuk kajian kepada teks. Sehingga upaya
dekonstruksi bisa dilakukan dengan melakukan penafsiran ulang terhadap teks yang ada.
Persoalannya kemudian adalah, apakah al-Qur’an adalah teks ?. Dalam penjelasan kuliah
bersama Dr. Adian Husaini, teks berasal dari kata text, yang berarti anyaman. Artinya bahwa
teks adalah hasil anyaman dari sejarah serta interaksi psikologis yang muncul dalam kurun waktu
dan tempat tertentu.
Apa yang dilakukan para orientalis untuk mendekontsruksi kitab suci adalah upaya untuk
menurunkan posisi al-Qur’an dari kitab yang suci (sakral) kepada teks yang terbuka dan
7
Lihat Abdul Aziz, Disertasi Konsep Milk al- Yamin Muhamamd Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non-
Marital, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 190
8
Lihat Abdul Aziz, Disertasi Konsep Milk al- Yamin Muhamamd Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non-
Marital, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 190
9
Syaḥrūr, Nahwa Usūl Jadīdah..., hlm. 30. Dalam Abdul Aziz, Disertasi Konsep Milk al- Yamin Muhamamd Syahrur
sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non-Marital, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 191
10
https://inpasonline.com/problematika-hermeneutika-dalam-tafsir-al-quran-1/
manusiawi. Apa yang dilakukan Syahrur juga telah dilakukan oleh kalangan Mu’tazilah yang
membawa al-Qur’an sebagai Makhluk. Bukan sebagai kitab suci.
Hal yang terjadi, ketika al-Qur’an telah diturunkan posisinya menjadi teks adalah, al-Qur’an
akan bebas ‘ditelanjangi’ sesuai keinginan nafsu para pembaca dan penafsir. Sehingga yang
terjadi kemudian adalah penolakan terhadap otoritas keilmuwan dan penyelewengan makna
terhadap istilah – istilah al-Qur’an.
Apa yang dilakukan Syahrur tersebut sudah dikritik oleh Prof. Syed M. Naquib al-Attas.
Bahwa al-Qur’an bukanlah teks. Ia bukan hasil anyaman sejarah. Hasil dari interaksi antara
individu, serta pola ruang dan waktu yang ada. Karena itu, bukan sejarah yang membentuk al-
Qur’an, tetapi al-Qur’an-lah yang merubah haluan sejarah. Al-Qur’an bukan mengikuti
kebiasaan masyarakat setempat, tetapi merubah kebiasaan itu agar sesuai dengan kehendak al-
Qur’an. Inilah yang dilakukan sehingga terjadi transformasi dari kondisi jahiliyah kepada islam.
Perubahan itu terjadi pada istilah dan konsep – konsep yang dipahami dan tercermin
lewat bahasa orang – orang Arab. Hal tersebut dijelaskna oleh al-Attas dalam bukunya, The
Concept of Education in Islam,

Kita menyebut seluruh karya-karya itu untuk menunjukkan bahwa demikian tersusun dan
masih berkembangnya usaha perekaman makna dan penggunaan kosakata Arab-Islam
dari keterputusan periode perputaran (sejarah) lebih dari ribuan tahuan sejak periode
terawal islam yang merupakan saksi yang nyata atas sifat ilmiah bahasa tersebut yang
menjelaskan realitas dan kebenaran sebagai gambaran dalam worldview islam yang
demikian bijak menjamin presisi semantik dan ketetapannya. Sesungguhnya, hal tersebut
adalah karena sifat ilmiah dari struktur bahasa yang merupakan ilmu pertama bagi
seluruh muslim – ilmu ‘bayan’ dan komentar (tafsir) – menjadi mungkin dan
teraktualkan; dan jenis ‘penjelasan dan komentar’ sama sekali tidak sama dengan
hermeneutika yunani, tentu saja tidak juga sama dengan Hermeneutika Kristian, tidak
pula sama dengan ilmu tafsir “teks suci” (sacred scripture) apa pun dari berbagai
agama. Dalam tafsir, tidak ada ruang untuk mengkaji dugaan dan perkiraan; tidak
ada ruang untuk interpretasi berdasarkan atas pembacaan subjektif, atau pemahaman
berbasis ide relativisme sejarah semata seakan-akan perubahan semantik telah terjadi
dalam struktur konseptual; dari kata dan terminologi yang membuat kosakata dan teks
suci. Dalam tafsir, proses penginterpretasian berdasarkan al-qur’an dan hadits yang
didukung oleh ilmu bidang semantik yang mempengaruhi struktur konseptual
kosakata qur’an yang memproyeksikan pandangan Islam terhadap realitas dan
kebenaran. Hal tersebut dikarenakan oleh “kemapanan (kestabilan) pengetahuan” atas
bidang makna yang ada dalam bahasa arab dan atas pengaturan dan penggunaannya
dalam al-Qur’an dan terjelaskan dengan hadits dan sunnah. Tafsir adalah metode
ilmiah; dan Perhatian Tafsir atas kondisi kestabilan pengetahuan bahasa pengucapan
simbol bahasa sebagai penetuan pendekatan konteks sifat dari ilmu pasti11

Menurut al-Attas, Islam bukanlah sebuah organisme yang terus berkembang dan semakin
dewasa untuk setiap periode zaman. Islam menurutnya adalah telah final sejak ia diturunkan
pertama kali dalam fase Rasulullah SAW. Sehingga tidak dikenal ada pemaknaan yang baru
yang berbeda dari bentuk asalnya. Itulah tajdid yang sebenarnya.
Dalam tradisi pemikiran Islam aktifitas koreksi ulang ini dapat berarti tajdid dan
hakikatnya selalu berorientasi pada pemurnian (refinement) yang sifatnya kembali kepada ajaran
asal dan bukan adopsi pemikiran asing. Kembali kepada ajaran asal tidak bisa difahami sebagai
kembali kepada corak fisik kehidupan di zaman Nabi dan generasi salaf al-Salih, tapi harus
dimaknai secara konseptual dan kreatif. Maka, sesuai dengan makna Islam itu sendiri, tajdid atau
Islah mempunyai implikasi membebaskan, artinya membebaskan manusia dari belenggu tradisi
magis, mitologis, animistis dan kultur chauvinis yang bertentangan dengan Islam; pembebasan
manusia dari pengaruh pemikiran sekuler terhadap pikiran dan bahasanya, atau pembebasan
manusia dari dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil kepada fitrah atau hakekat
kemanusiaannya yang benar.12

11
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1999, hlm. 4-5
12
https://insists.id/profil-insists/
Padahal kebenaran dalam islam sudah final. Kebenaran tersebut lahir dari pancaran wahyu yang
memandu cara pandang (worldview) sehingga kita bisa mengetahui realitas dan kebenaran.

Khatimah

Usaha untuk melakukan pembaruan memang diisyaratkan oleh Rasulullah SAW. Namun
pembaruan itu, bukanlah dengan mengoreksi struktur bangunan epistemologi islam dengan
framework barat. Jika itu yang terjadi, maka rusaklah islam itu sendiri.
Hal tersebut telah terlihat dari karya ilmiah setaraf disertasi namun ternyata tidak
memiliki basis worldview yang bersumber dari islam. Justru yang digunakan adalah pandangan
alam sekular barat. Tidak pelak lagi, yang terjadi kemudian adalah apa yang disebut oleh al-Attas
sebagai ‘Confusion of Knowledge’ (Kekacauan Ilmu).
Ilmu agama menjadi problematis, disebabkan didekati dengan tafsir yang lahir dari rahim
stradisi intelektual barat. Hermeneutika sebenarnya adalah tafsir terhadap Bible. Dan jika dilihat
secara asal muasalnya, Agama Kristen Barat memang adalah agama evolutif yang terus
berkembang menyesuaikan diri dengan zaman. Pola - pola seperti itu yang ingin diterapkan
dalam tradisi islam sebenarnya jelas adalah kekeliruan. Kesalahan awalnya adalah krisis identitas
yang silau dengan pemikiran sekular barat. Akhirnya, para intelektual menarik fiqh, al-Qur’an,
Hadits dan ulum al-Dien yang lain agar mengikuti arah zaman yang dipimpin kini oleh
rasionalitas tanpa wahyu. Wallohu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai