Anda di halaman 1dari 17

PEMIKIRAN HUSEIN MUHAMMAD

TENTANG HUKUM PEREMPUAN BEKERJA


Mutimmah, Bakhrudin Safiullah
UIN Sunan Ampel Surabaya, Jl. A. Yani 117 Surabaya, Indonesia
c75219036@uinsby.ac.id, c95219046@uinsby.ac.id

Abstract: This article discusses hukum perempuan bekerja menurut Husein


Muhammad. The type of research that the author uses is a literature review, and the
method used is descriptive analysis. This study concluded that Husein Muhammad
stated that women and men in Islam have the same rights and obligations, including
work. It is based on verses from the Qur'an that oblige Muslims to work and do good
without distinguishing men and women. In addition, there is a historical hadith that
states that the Messenger of Allah did not forbid women to work and that many female
companions were actively working outside the home. Because of his thoughts, Husein
Muhammad is known as the initiator of the emancipatory fiqh.
Keywords: Women work, law, interpretation, fiqh, gender.
Abstrak: Artikel ini membahas tentang hukum perempuan bekerja
menurut Husein Muhammad. Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah
kajian pustaka, metode yang digunakan adalah analisis deskriptif. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa Husein Muhammad menyatakan
bahwa perempuan dan laki-laki dalam Islam memiliki hak dan kewajiban
yang sama, begitu juga dalam bekerja. Hal tersebut didasarkan pada ayat-
ayat al-Qur’an yang mewajibkan kaum muslim bekerja dan melakukan
kebaikan tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Selain itu terdapat
riwayat hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak melarang
perempuan untuk bekerja dan banyak para sahabat perempuan yang aktif
bekerja di luar rumah. Karena pemikirannya tersebut Husein Muhammad
dikenal sebagai penggagas fiqh emansipatoris.
Kata kunci: Wanita bekerja, hukum, tafsir, fiqh, gender.

Pendahuluan
Persoalan perempuan merupakan salah satu topik yang
menarik untuk dikaji, karena selain melihat realitas kehidupan sosial
perempuan juga melihat posisi dalam peran dan fungsinya. Peran
dan fungsi perempuan berbeda dengan laki-laki baik secara fisik
maupun psikisnya. Isu mengenai kiprah perempuan di sektor publik
nampaknya tidak pernah sepi dari perbincangan. Hal ini dikarenakan
permasalahan sosial yang belum imbang.1

1 Eka Kartika Sari and Biko Nabih Fikri Zufar, “Perempuan Pencari Nafkah
Selama Pandemi Covid-19,” Al-Mada: Jurnal Agama, Sosial, Dan Budaya 4, no. 1
(2021): 22, https://doi.org/10.31538/almada.v4i1.1106.

Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum


Volume 03, Nomor 05, Oktober 2022
ISSN (Print): 2775-1333, ISSN (Online): 2774-6127
Secara kodrat, memang diakui adanya perbedaan (distinction),
bukan pembedaan (discrimination) antara laki-laki dengan perempuan,
misalnya dalam aspek biologis, masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangan yang selanjutnya bersifat komplementer,
saling mengisi dan melengkapi.2 Terbentuknya perbedaan-
perbedaan ini dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya dibentuk,
disosialisasi, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau
kultural. Karena proses sosialisasi dan rekonstruksi berlangsung
secara mapan dan lama, akhirnya menjadi sulit dibedakan apakah
sifat-sifat gender itu. Namun, dengan menggunakan pedoman
bahwa setiap sifat biasanya melekat pada jenis kelamin tertentu dan
sepanjang sifat tersebut bisa dipertukarkan, maka sifat tersebut
adalah hasil konstruksi masyarakat, dan sama sekali bukanlah
kodrat.3
Perempuan dalam dunia kerja sering mengalami dilema
dalam menjalankan profesinya.4 Secara tradisional, perempuan
diharapkan berada di rumah mengerjakan pekerjaan domestik
seperti memasak, merawat anak, membersihkan serta menata
rumah, sementara laki-laki bekerja mencari nafkah. Hal yang
demikian ini juga dijelaskan dalam Pasal 31 dan 34 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 31 ayat 3
disebutkan bahwa “Suami kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu
rumah tangga.” Tujuan dari pasal ini adalah menjelaskan kedudukan
seorang laki-laki dan perempuan dalam bahtera rumah tangga
sehingga tidak ada tumpang tindih dalam menjalankan perannya.
Secara umum, menurut Pasal 34 ayat 1 dijelaskan bahwa suami wajib
melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
dalam berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

2 Nur Lailatul Musyafa’ah, “Relevansi Antara Medis Dan Fikih Tentang


Perdarahan Pervaginam,” Jurnal Studi Gender Indonesia 05, no. 2 (2016): 143,
http://repository.uinsby.ac.id/id/eprint/1144/.
3 Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2013), 10.


4 Keksi Girindra Swasti, Wahyu Ekowati, and Eni Rahmawati, “Faktor-Faktor

Yang Mempengaruhi Burnout Pada Wanita Bekerja Di Kabupaten Banyumas,”


Jurnal Keperawatan Soedirman 12, no. 3 (2018): 191,
https://doi.org/10.20884/1.jks.2017.12.3.738.

MA’MAL | Volume 03 Nomor 05 Oktober 2022 447


Seorang perempuan jika berada di rumah dituntut dengan
pekerjaan domestik layaknya ibu rumah tangga pada umumnya,
sedangkan jika ikut bekerja para perempuan dituntut untuk
profesional dalam pekerjaannya, dan bahkan standarnya sama
dengan laki-laki misalnya dalam pemberian upah atas pekerjaannya.
Perempuan dalam rumah tangga yang ikut bekerja dengan kaum
laki-laki menimbulkan peran ganda bagi perempuan. Dengan latar
belakang yang berbeda-beda, mereka memilih menjalankan
profesinya sebagai wujud eksistensinya di ranah publik dengan
menjalankan profesinya, dan sebagai pembuktian bahwa perempuan
mampu menjalankan profesi yang setara dengan laki-laki.5
Gerakan feminis menganggap bahwa penafsiran ayat dan
periwayatan hadis-hadis misogini tidak terlepas dari feodalisme
kaum laki-laki. Dominasi laki-laki terhadap perempuan memiliki
pengaruh langsung dalam menafsirkan teks-teks skriptual Islam.6
Dalam sebuah penafsiran, pengaruh psikis penafsir tidak dapat
dihindarkan. Konstruksi berpikir semacam ini telah menghantar
kaum feminis kepada asumsi bahwa cara pandang dan sikap negatif
terhadap perempuan yang banyak terjadi di masyarakat Islam
berakar dari pandangan teologis yang bersumber dari penafsiran atas
ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis.7
Dalam asumsi kaum feminis, membongkar tradisi
androsentris dan merekontruksi kesetaraan antara perempuan dan
laki-laki tidak dapat diwujudkan tanpa melakukan pembongkaran
terhadap cara berpikir terhadap landasan teologi Islam.8 Kegelisahan
seperti inilah yang salah satunya dialami oleh tokoh gender seperti
Husen Muhammad. Sebagai pejuang kesetaraan gender, beliau
merasa bertanggung jawab menanggapi persoalan yang melanda
dunia perempuan.
5 Tri Niswati Utami et al., “Reproductive Health of Women Workers in Villages,
Cities in Islamic Perspective,” Health Notions 4, no. 4 (2020): 123–28,
https://doi.org/10.33846/hn40404; Ricka Handayani, “Multi Peran Wanita Karir
Pada Masa Pandemi Covid-19,” Jurnal Kajian Gender Dan Anak 04, no. 1 (2020): 5.
6 Musyafa’ah, “Relevansi Antara Medis Dan Fikih Tentang Perdarahan

Pervaginam,” 156.
7 Nur Lailatul Musyafa’ah, “Studi Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia

Perspektif Gender,” AL-HUKAMA’ 4, no. 2 (2014): 415.


8 Fauzi Ahmad Muda, “Nalar Perempuan: Upaya Rekonstruksi Konstruksi Sosial

Setara Gender,” EGALITA: Jurnal Kesetaraan Dan Keadilan Gender 2, no. 1 (2007):
137, https://doi.org/https://doi.org/10.18860/egalita.v0i0.1954.

MA’MAL | Volume 03 Nomor 05 Oktober 2022 448


Perspektif tentang gender inilah yang akan dibahas dalam
penelitian ini, terkait dengan semakin banyaknya perempuan yang
ikut serta dalam berkarir di luar rumah. Mereka bekerja karena
beberapa faktor, diantaranya ada yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga9 dan aktualisasi diri.10 Berdasarkan uraian yang
telah disampaikan maka perlu membahas tentang hukum
perempuan bekerja menurut Husein Muhammad.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum untuk menjawab
permasalahan hukum tentang perempuan bekerja dalam Islam. Jenis
penelitian ini adalah kualitatif, yang lebih menekankan makna dari
pada generalisasi. Sumber data penelitian ini adalah buku-buku karya
Husein Muhammad. Selain itu, data dapat diperoleh dari berbagai
sumber seperti buku, laporan, jurnal, dan lainnya. Setelah data yang
dibutuhkan sudah terkumpul, kemudian penulis mulai menganalisis
data tersebut lebih mendalam secara deskriptif.
Riwayat Hidup Husein Muhammad dan Corak Pemikirannya
KH. Husein Muhammad, lahir di Cirebon, pada tanggal 9
Mei 1953 dari pasangan KH. Muhammad Asyrofuddin (alm) dan
Nyai Hj. Ummu Salma Syathori (almh). Ayahanda Kyai Husein
merupakan seorang ulama kharismatik dari kota udang tersebut.
Diambil menantu oleh KH. Syahtori ketika beliau nyantri dipondok
tersebut. Selain mengajar mengaji dan menjadi guru agama di
pesantren itu, ayahanda Kyai Husein juga seorang penyair dan
pandai menulis puisi. Dari hasil pernikahannya dengan Hj. Nihayah
Fuadi Amin ini telah dikaruniai 5 orang anak.11
Karir pendidikannya dimulai dari lingkungan keluarga yang
sangat religius, kemudian menempuh pendidikan di Pondok
Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, tahun 1873. Selain itu, ia
melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ)
Jakarta, tamat tahun 1980. Lalu meneruskan Dirasah Khasshah di al-
Azhar Kairo, Mesir hingga Tahun 1983. Sepulang dari Mesir, ia

9 Nur Lailatul Musyafa’ah et al., “The Role of Women Workers in Surabaya, East
Java, Indonesia, in Meeting Families’ Needs During the Covid- 19 Pandemic: A
Maqāṣid Sharīah Perspective,” Al-Ihkam: Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial 17, no.
November 2021 (2022): 68, https://doi.org/https://doi.org/10.19105/al-
lhkam.v17i1.5509.
10 Handayani, “Multi Peran Wanita Karir Pada Masa Pandemi Covid-19,” 5.
11 Husein Muhammad, Modul Kursus Islam Dan Gender; Dawrah Fiqh Perempuan

(Cirebon: Fahmina Institute, 2007), 325.

MA’MAL | Volume 03 Nomor 05 Oktober 2022 449


memimpin Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon
Jawa Barat hingga sekarang. Beliau adalah kyai yang cukup produktif
dalam hal tulis menulis.12 Dari jiwa menulis inilah yang
mengantarkan beliau dalam kancah internasional dan diakui sebagai
tokoh feminis muslim sekaligus dikenal dengan “kyai gender”.13
Husein Muhammad membagi hukum dalam qath’iyyah dan
zhanniyah. Qath’iyyah adalah hukum Islam yang ditetapkan oleh dalil
yang tegas dan konkret. Ranah hukum qath’iyyah bukanlah ruang
lingkup perbedaan dan perdebatan. Sedangkan zhanniyah adalah
hukum Islam yang masih bersifat relatif, sehingga dalam
penetapannya memerlukan usaha pemecahan oleh rasio. Ranah
hukum zhanniyah inilah yang merupakan ruang lingkup ijtihad.
Di satu sisi kita diharapkan padu dalam pikiran dan hati
sebagai umat muslim (ittihad). Namun di sisi lain, kita harus
memberdayakan akal kita yang dianugerahkan Allah dalam
memecahkan setiap masalah. Sedangkan akal setiap manusia sendiri
berbeda-beda karena budaya, tempat dan zamannya. Berbeda jika
perbedaan tersebut terjadi atas hal-hal qath’iyyah, maka akan timbul
tafarruq atau konflik perbedaan.
Atas dasar tersebut, beliau dalam banyak karyanya sering
membahas relevansi fiqh demi keadilan sosial. Kemudian dalam
perkembangannya, beliau terfokus pada permasalahan diskriminasi
gender. Beliau adalah seorang tokoh yang dikenal luas tekun
memperjuangkan hak perempuan serta mengkaji perspektif gender
melalui ajaran Islam. Sebagai pengasuh pesantren dan penulis, beliau
adalah figur intelektual yang produktif berkarya dalam pembelajaran,
tulisan dan kajian. Atas pencapaian tersebut, Universitas Islam
Negeri Walisongo Semarang memberikan gelar Doktor Honoris
Causa bidang tafsir gender kepada beliau pada tahun 2019.
Metode yang digunakan dalam setiap pengambilan
kesimpulan dalam setiap hasil pemikiran K.H. Husein Muhammad
juga beragam. Beliau akan mencari landasan permasalahan dalam Al-
Qur’an dan membandingkan penafsiran ulama mengenai ayat
tersebut. Jika ayat tersebut diperjelas dalam hadis atau bahkan ada

12 Husein Muhammad, Spiritualitas Kemanusiaan; Perspektif Islam Pesantren


(Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2006), 315.
13 Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,

2005), 6.

MA’MAL | Volume 03 Nomor 05 Oktober 2022 450


yang memang berlandaskan hadis, maka beliau akan meneliti
kualitas sanad hadist tersebut. Jika permasalahan tersebut telah
dijabarkan oleh fuqaha’, maka beliau meneliti ulang berbagai
pengambilan keputusan ulama’ tersebut, baik dari berbagai metode
ushul fiqh, kaidah fiqh hingga pengaruh sosial dan relevansinya yang
mempengaruhi keputusan para ulama’ tersebut.
Beliau dalam setiap gagasannya selalu berusaha untuk
bersikap adil dan memperjuangkan hak wanita terhadap persoalan
yang dihadapi. Namun bukan berarti beliau juga setuju penerapan
ideologi matriarki karena yang diharapkan adalah terwujudnya pola
hubungan yang adil dan manusiawi bagi semua pihak, baik
perempuan maupun laki-laki.14
Hukum Perempuan Bekerja Menurut Husein Muhammad
Husein Muhammad menegaskan bahwa setiap ayat dan
permasalahan harus harus disifati sosiologis dan kontekstual, karena
menunjuk pada persoalan partikular. Misalnya ayat yang sering
dijadikan dalih masyarakat patriarki berikut:
ۗ ‫ض َّوِِّبَآ اَنْ َف ُق ْوا ِّم ْن اَْم َو ِّالِّ ْم‬
ٍ ‫ض ُه ْم َع هلى بَ ْع‬ ِّ ‫ال قَ َّوامو َن علَى النِّٰس ۤا ِّء‬
ٰ‫َّل ه‬
َ ‫اّللُ بَ ْع‬ َ ‫ض‬ ‫ف‬
َ ‫ا‬ َ‫ِب‬ َ َ ْ ُ ُ ‫اَ ِّٰلر َج‬
‫اّللُ َۗوا هلِّٰ ِْت ََتَافُ ْو َن نُ ُش ْوَزُه َّن فَعِّظُْوُه َّن‬ ٰ‫ظ ه‬ َ ‫ب ِِّبَا َح ِّف‬ ِّ ‫ت لِّْٰلغَْي‬ ِّ
ٌ ‫هت هحف هظ‬
ِّ ‫الصلِّ هح‬
ٌ ‫ت هقنت‬ ُ ٰ‫فَ ه‬
ِّ ِّ ِّ ‫واهجروه َّن ِِّف الْمض‬
‫اّللَ َكا َن‬ ٰ‫اض ِّربُ ْوُه َّن ۚ فَا ْن اَطَ ْعنَ ُك ْم فَ ََل تَْب غُ ْوا َعلَْي ِّه َّن َسبِّْي اَل ۗا َّن ه‬
ْ ‫اج ِّع َو‬ َ َ ُ ُْ ُ ْ َ
‫َعلِّيًّا َكبِّ ْ اْيا‬
“Laki-laki (suami) itu peindung bagi perempuan (istri), karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah
dari hartanya.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 34).
Ayat ini menunjukkan subordinasi perempuan dan laki-laki
sebagai pemimpin rumah tangga. Ayat ini muncul ketika
ketergantungan perempuan terhadap laki-laki dalam aspek ekonomi
dan keamanan sangat kuat. Penempatan perempuan secara demikian
memang tepat sepanjang memperhatikan prinsip kemaslahatan.
Karena itu, redaksi ayat tersebut berupa narasi bukan perintah atau
ajaran.
Penafsiran secara kontekstual memungkinkan terbukanya
perubahan. Interpretasi penafsiran ulama’ terdahulu bisa saja
terpengaruhi oleh banyak hal terkait sosio-pengetahuan yang
14 Husein Muhammad, Menuju Fiqh Baru (Yogyakarta: IRCiSoD, 2020), 7.

MA’MAL | Volume 03 Nomor 05 Oktober 2022 451


temporal. Sederhananya adalah, tafsir bisa saja salah atau tak relevan
karena hanya produk makhluk. Namun semua hal tersebut tetap
tidak menutup kebenaran Al-Qur’an sebagai kalamullah.
Husein Muhammad membagi pembahasan diskriminasi
gender dalam tiga ranah. Ketiga ruang lingkup pembahasan tersebut
yakni aktualisasi fiqh ibadah, kontekstualisasi fiqh munakahah dan
advokasi fiqh muamalah siyasah.
Seperti dikemukakan secara jelas dalam surah an-Nisa’ ayat
34, kepemimpinan laki-laki di dalam rumah tangga di samping
karena kelebihan yang dimiliki, juga karena laki-lakilah yang
berkewajiban memberi nafkah.15 Pandangan ini, meski tengah
digugat sementara orang (kaum feminis), tetapi masih tampak
dominan dalam masyarakat.
Terdapat dua pandangan ulama fiqh mengenai masalah ini.
Pandangan pertama, dari ulama Hanafiyah, mengatakan bahwa
nafkah diwajibkan atas suami karena ia mempunyai hak “menahan”
istrinya. Dari penjelasan ini tampak bahwa, sebagai tahanan, seorang
istri harus tunduk dan patuh kepada suaminya selaku orang yang
“menahannya”. Tetapi, suami juga berkewajiban memberinya
keperluan hidup. Dalam bahasa hukum dikatakan: al-nafaqah jaza' al-
ihtibas, sejalan dengan kaidah fiqh al-ghurm bi al-ghunm (ada rugi ada
untung).
Pandangan kedua berasal dari jumhur ulama (mayoritas
ulama). Mereka mengatakan bahwa kewajiban nafkah oleh suami
ialah karena adanya hubungan perkawinan, yakni bahwa perempuan
itu menjadi istrinya. Atas dasar ini, mereka tetap mewajibkan kepada
suami untuk memberi nafkah kepada istri yang dicerai raj’i (cerai
yang bisa rujuk).
Para ahli fiqh menetapkan beberapa persyaratan bagi
kewajiban nafkah atas suami ini. Pertama, dia (perempuan yang
menjadi istri) senantiasa dalam keadaan siap untuk “dinikmati”
suaminya. Dia tidak boleh menolak jika suami sewaktu-waktu
menginginkannya, baik benar-benar melaksanakan keinginannya itu
atau tidak. Kedua, dia (istri) seorang perempuan yang bisa (kuat)
disetubuhi. Bagi istri yang tidak bisa (kuat) disetubuhi, karena
umurnya terlalu muda, misalnya, maka tidak ada kewajiban nafkah.

15 Husein Muhammad, Ijtihad Kyai Husein Upaya Membangun Keadilan Gender


(Jakarta: Rahima, 2011), 55.

MA’MAL | Volume 03 Nomor 05 Oktober 2022 452


Ketiga, perkawinan mereka berlangsung secara shahih, bukan
perkawinan yang fasid (rusak/dapat dibatalkan). Keempat, suami
tidak kehilangan haknya atas dibenarkan agama. istri, kecuali karena
alasan yang dibenarkan agama.
Beberapa uraian singkat tersebut memperlihatkan secara
jelas bahwa untuk hal-hal yang berkaitan dengan relasi seksual, posisi
suami sangat kuat dan dominan, sedangkan untuk hal-hal istri
mempunyai kekuasaan yang dominan. Dengan kata lain, suami
berkuasa penuh atas akses seks, sedangkan berkaitan dengan nafkah,
Buek istri berkuasa penuh atas akses nafkah. Istri berkewajiban
memenuhi tuntutan seks suami, sementara suami berkewajiban
memenuhi tuntutan nafkah istri.
Alhasil, istri yang bekerja di luar rumah, baik pada siang
maupun malam hari, sangat tergantung pada pertimbangan kedua
belah pihak. Apabila suami membolehkan atau merelakannya, maka
nafkah tetap menjadi hak istri. Dengan demikian, suami juga harus
rela jika akses seksnya menjadi hilang. Ini adalah risiko logis dari
sikapnya tersebut. Sebaliknya, jika istri tetap saja keluar rumah untuk
bekerja, meskipun suami tidak mengizinkannya, maka dia harus
menerima pula jika hak atas nafkahnya menjadi hilang.
Di sisi lain, relasi dan pembagian peran tersebut
menimbulkan ketergantungan satu atas yang lain. Dengan otoritas
nafkah di tangan suami, niscaya istri menjadi sangat tergantung
secara ekonomi kepada suami. Ketika hal ini terjadi, maka
sebenarnya dalam konsep fiqh, istri tidak lagi diberikan beban-beban
ganda baik di dalam maupun di luar rumah.
Akan tetapi, penerapan secara ketat konsep ini juga
membawa konsekuensi lain yang tidak kalah seriusnya. Fungsi dan
peran perempuan dalam rumah tangga lalu menjadi sangat terbatas,
hanya melayani seks suami. Dia seakan-akan tidak dibenarkan
melakukan peran-peran sosial dan aksi-aksi kemanusiaannya.
Aktualisasi perempuan sangat tergantung pada laki-laki (suami).
Pada waktu yang bersamaan, suami juga dituntut secara total untuk
berada di luar rumah, mencari nafkah guna memenuhi seluruh
kebutuhan rumah tangganya.
Lebih lanjut Husein Muhammad menjelaskan bahwa
faktor kecerdasan nalar, kedalaman ilmu pengetahuan, dan
sebagainya bagi laki-laki dan perempuan adalah sesuatu yang relatif
dan bisa diusahakan dan dipelajari. apa yang bisa dipikirkan dan

MA’MAL | Volume 03 Nomor 05 Oktober 2022 453


dikerjakan laki-laki bisa dipikirkan dan dikerjakan perempuan.16
Berdasarkan hal tersebut, maka berkaitan nafkah dan menafkahi, hal
tersebut bisa dilakukan laki-laki dan perempuan. Bahkan saat ini,
banyak perempuan yang bekerja baik di tingkat desa maupuan
hingga luar negeri demi manafkahi keluarganya.17
Bekerja adalah eksistensi manusia hidup. Dalam al-Qur’an
dijelaskan bahwa terdapat ayat yang menjelaskan bahwa manuasia
tidak akan mendapatkan sesuatu kecuali didasarkan atas usahanya
sendiri (QS. Fussilat [41]:46).18 Islam mewajibkan ummatnya bekerja
untuk suatu kebaikan dengan cara yang baik (QS. Al-Kahfi
[18]:110).19 Kewajiban bekerja tersebut berlaku bagi laki-laki dan
perempuan, karena ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan
bekerja tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan20 di
antaranya QS. al-Mulk [67]: 15,21 QS. Al-Jumu’ah [62]: 10,22 QS. Al-
Syuara’ [26]: 183.23 Al-Qur’an memberikan perhatian dan
penghargaan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk setiap
pekerjaan mereka (QS. Al-Nisa’ [4]: 32).24
Tuntutan bekerja tidak hanya ditujukan kepada laki-laki
tetapi juga ditujukan kepada perempuan. Perempuan adalah
manusia dengan segala kehormatan dirinya dan berhak memenuhi
kebutuhan dirinya, keluarganya dan menyedekahkan sebagian

16 Muhammad, 58.
17 Muhammad, 61.
18 46. Barangsiapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri

dan barangsiapa berbuat jahat maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya sendiri.
Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba(-Nya).
19 110: Yakni aku bukanlah tuhan, dan tidak bersekutu dalam kerajaan-Nya, aku

tidak mengetahui yang gaib dan tidak ada pada sisi-Ku perbendaharaan-
perbendaharaan Allah.
20 Muhammad, Ijtihad Kyai Husein Upaya Membangun Keadilan Gender, 233–37.
21 15. Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka

jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan


hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
22 10. Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah

karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.


23 183. Dan janganlah kamu merugikan manusia dengan mengurangi hak-haknya

dan janganlah membuat kerusakan di bumi;


24 32. Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah

kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian
dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa
yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.

MA’MAL | Volume 03 Nomor 05 Oktober 2022 454


hartanya kepada pihak yang membutuhkan. Mereka adalah pribadi
yang mandiri dan dituntut untuk kerja mandiri, meskipun mereka
punya suami.
Pada zaman nabi pernah ada orang yang melarang
perempuan bekerja di kebun kurma miliknya. Nabi membela
perempuan tersebut dan memeberikannya kesempatan untuk
bekerja. Selain itu ada perempuan pekerja pada masa nabi di
antaranya al-Hawlah al-Aththarah (pedagang parfum di Madinah),
Rithah bint Abd Allah al-Tsaqafiyah (pemilik dan manager pabrik),
Zainab bint Jahsy (pengusaha yang sukses).25
Analisis terhadap Pemikiran Husein Muhammad tentang
Hukum Perempuan Bekerja
Menurut Nasaruddin Umar sesungguhnya di dalam al-
Qur’an terdapat istilah-istilah yang harus kita bedakan, yang satu
menunjukan kategori seksual-biologis sedangkan istilah yang lain
menunjukkan pada konsep gender namun sering dikaburkan. Pada
saat ini, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sering
mencampuradukan dua kategori yang jelas berbeda ini, bahkan
cenderung mengidentikan yang satu dengan yang lain. Dalam
mencari nafkah, misalnya, jika al-Qur’an diperhadapkan dengan
realitas kehidupan modern maka sangat dimungkinkan munculnya
penafsiran dan implementasinya.26
Wanita berbeda dengan laki-laki dalam hal tertentu,
sehingga tidak akan bisa seorang wanita bertindak seperti laki-laki,
bebas keluar rumah dan eksis di ranah publik. Sebagai contoh
perbedaan laki-laki dan wanita (yang akan berpengaruh dalam
pekerjaan yang boleh untuk wanita dan yang tidak) adalah perbedaan
fisik. Yang pertama adalah laki-laki mempunyai fisik yang lebih kuat,
sehingga mampu menerima tantangan yang keras untuk bekerja di
luar rumah, sedangkan wanita dengan kelemah lembutannya
diciptakan untuk tetap berada di rumah, mengurusi rumah dan anak-
anak mereka. Kedua, perbedaan hormon. Ketiga, perbedaan kondisi
fisik dan psikis, diantaranya keadaan wanita yang mudah

25
Muhammad, Ijtihad Kyai Husein Upaya Membangun Keadilan Gender, 242.
Amin Sobariyah, “Kesetaraan Gender Dalam Pandangan DR. Nasaruddin
26

Umar. MA.” (UIN Walisongo Semarang, 2001), 32.

MA’MAL | Volume 03 Nomor 05 Oktober 2022 455


tersinggung, temperamental, apalagi ketika masa haid. Keempat,
perbedaan susunan otak pria dan Wanita.27
Al-Qur’an memiliki pandangan yang optimistik terhadap
kedudukan dan keberadaan wanita.28 Laki-laki dan perempuan
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan
perannya. Soal peran sosíal dalam masyarakat, tidak ditemukan ayat
atau hadis yang melarang kaum perempuan aktif di dalamnya.
Sebaliknya, al-Qur'an dan Hadis banyak mengisyaratkan kebolehan
perempuan aktif menekuni berbagai profesi. Dalam al-Qur’an
dijelaskan:
ِّ ‫ض َيْمرو َن ِِّبلْمعرو‬
‫ف َويَْن َه ْو َن َع ِّن الْ ُمْن َك ِّر‬ ٍۘ ‫والْمؤِّمن ون والْمؤِّمنهت ب عضهم اولِّي ۤاء ب ع‬
ٍ
ْ
ْ ُ َۤ ْ ُ ُ َ ْ َ ُ َ َْ ْ ُ ُ ْ َ ُ ْ ُ َ َ ْ ُ ْ ُ َ
ِّ ‫الزهكوةَ وي ِّطي عو َن هاّلل ورسولَهٗ ۗاُوهل ِٕىك سْيَحهم ه‬ َّ ‫َويُِّقْي ُم ْو َن‬
‫اّللَ َع ِّزيٌْز‬
ٰ‫اّللُ ۗا َّن ه‬
ٰ ُ ُ َُ ْ َ َ َ ْ ُ َ َ َٰ ْ ُ ْ ُ َ َّ ‫الص هلوةَ َويُ ْؤتُ ْو َن‬
‫َح ِّكْي ٌم‬
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
adalah auliya bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh mengerjakan yang
makruf, mencegah yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat
dari Allah, sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
(QS. At-Taubah (9): 71).
Dalam bidang ekonomi, perempuan bebas memilih
pekerjaan yang halal, baik di dalam atau di luar rumah, mandiri atau
kolektif, di lembaga pemerintah atau swasta, selama pekerjaan itu
dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, dan tetap menhormati
ajaran agamanya.
Di antara aktivitas wanita ialah memelihara rumah
tangganya, membahagiakan suaminya, dan membentuk keluarga
bahagia yang tenteram damai, penuh cinta dan kasih sayang. Hingga
terkenal peribahasa, “Bagusnya pelayanan seorang wanita terhadap
suaminya dinilai sebagai jihad fi sabilillah.” Namun demikian, tidak
berarti bahwa wanita bekerja di luar rumah itu diharamkan syara’.
Karena tidak ada seorang pun yang dapat mengharamkan sesuatu
tanpa adanya nash syara’ yang shahih periwayatannya dan sharih

27Ibid., hlm 34
28
Nasaruddin Umar, “Teologi Menstruasi: Antara Mitologi Dan Kitab Suci,”
Musãwa Jurnal Studi Gender Dan Islam, 2007, 5,
https://doi.org/10.14421/musawa.2007.51.1-20.

MA’MAL | Volume 03 Nomor 05 Oktober 2022 456


(jelas) petunjuknya. Selain itu, pada dasarnya segala sesuatu dan
semua tindakan itu boleh sebagaimana yang sudah dimaklumi.29
Berdasarkan prinsip ini, Yusuf Al Qhardawi mengatakan
bahwa wanita bekerja atau melakukan aktivitas dibolehkan (jaiz).
Bahkan kadang-kadang ia dituntut dengan tuntutan sunnah atau
wajib apabila ia membutuhkannya. Misalnya, karena ia seorang janda
atau diceraikan suaminya, sedangkan tidak ada orang atau keluarga
yang menanggung kebutuhan ekonominya, dan dia sendiri dapat
melakukan suatu usaha untuk mencukupi dirinya dari minta-minta
atau menunggu uluran tangan orang lain.
Selain itu, kadang-kadang pihak keluarga membutuhkan
wanita untuk bekerja, seperti membantu suaminya, mengasuh anak-
anaknya atau saudara-saudaranya yang masih kecil-kecil, atau
membantu ayahnya yang sudah tua, sebagaimana kisah dua orang
putri seorang syekh yang sudah lanjut usia yang mengembalakan
kambing ayahnya, seperti dalam ayat Al Qur’an:
ۤ ِّ ِّ ِّ
ٌ‫الر َعاءُ َواَبُ ْو ََن َشْي ٌخ َكبِّ ْْي‬ ْ ُ‫ال َما َخطْبُ ُك َما ۗقَالَتَا ََل نَ ْسق ْي َح هّٰت ي‬
ٰ ‫صد َر‬ َ َ‫ق‬
“...kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak
kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya),
sedang bapak Kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya". (QS.
Al Qhasash: 23)
Masyarakat sendiri kadang-kadang memerlukan pekerjaan
wanita, seperti dalam mengobati dan merawat orang-orang wanita,
mengajar anak-anak putri, dan kegiatan lain yang memerlukan
tenaga khusus wanita. Maka yang utama adalah wanita bermuamalah
dengan sesama wanita, bukan dengan laki-laki. Sedangkan
diterimanya (diperkenankannya) laki-laki bekerja pada sektor wanita
dalam beberapa hal adalah karena dalam kondisi darurat yang
seyogianya dibatasi sesuai dengan kebutuhan, jangan dijadikan
kaidah umum.
Seperti dikemukakan secara jelas dalam surah an-Nisa’ ayat
34, kepemimpinan laki-laki di dalam rumah tangga di samping
karena kelebihan yang dimiliki, juga karena laki-lakilah yang
berkewajiban memberi nafkah. Pandangan ini, meski tengah digugat
sementara orang (kaum feminis), tetapi masih tampak dominan
dalam masyarakat.
29Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Prespektif Al-Qur’an (Jakarta: Dian
Rakyat, 2010), 15.

MA’MAL | Volume 03 Nomor 05 Oktober 2022 457


Terdapat dua pandangan ulama fiqh mengenai masalah ini.
Pandangan pertama, dari ulama Hanafiyah, mengatakan bahwa
nafkah diwajibkan atas suami karena ia mempunyai hak “menahan”
istrinya. Pandangan ini didasarkan atas hadis Nabi Saw. yang
menyatakan:
“Perhatikanlah istrimu sebaik-baiknya. Sebab, mereka adalah
tahananmu, kamu tidak memiliki dari mereka kecuali itu.” (HR.
Tirmidzi).
Husein Muhammad dengan pendekatan kontekstual-
substansial dan bercorak fiqh, melihat adanya kesenjangan dan
antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat, ideologi dan
pikiran-pikiran keagamaan yang menyebabkan terjadinya
ketimpangan gender. Dari pandangan di atas, Husein merespon
problem keadilan gender yaitu tentang penafsiran berperspektif
gender. Menurutnya, bahwa al-Qur’an perlu dilihat dari
kausalitasnya, dalam artian harus dipahami dengan kontekstual dan
sosiologis. Kemudian dalam persoalan kesehatan reproduksi dalam
Islam Husein menyatakan kesehatan jasmani dan rohani menjadi
syarat agar tercapainya suatu kehidupan yang sejahtera di dunia dan
kebahagiaan di akhirat. Kemudian Husein berpendapat bahwa
perempuan bekerja dan relasi seksual seorang laki-laki dan
perempaun harus saling memahami ketika haknya tidak terpenuhi
dalam persoalan yang dibutuhkan kedua belah pihak.
Husein sebagai laki-laki yang mengusung gagasan feminis
Islam, bisa dikategorikan sebagai feminis laki-laki yang melakukan
pembelaan terhadap perempuan. Kesadaran Husein akan
penindasan perempuan muncul ketika pada tahun 1993 beliau
diundang dalam seminar tentang perempuan dalam pandangan
agama-agama sejak itu Husein mengetahui ada masalah besar yang
dihadapi dan dialami perempuan.30
Pembelaan terhadap perempuan menurut Husein dapat
membawa dampak sangat strategis bagi pembangunan manusia.
Husein juga mengatakan banyak orang berangapan bahwa masalah
penindasan terhadap perempuan adalah masalah yang tidak besar,
padahal masalah yang dihadapi perempuan adalah masalah besar,
karena perempuan adalah bagian dari manusia dan bagian dari jenis

30Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2009),


24.

MA’MAL | Volume 03 Nomor 05 Oktober 2022 458


manusia, ketika perempuan dijadikan nomor dua maka ini
sebenarnya adalah masalah besar bagi manusiaan. Namun dalam
pembelaan Husein terhadap perempuan masih sangat sulit untuk
dimasuki oleh mayoritas aktivis perempuan untuk melakukan
pembelaan. Hal ini dikarenakan dominasi laki-laki di pesantren tidak
saja menjadi budaya prilaku, tetapi sudah menjadi keyakinan ajaran
agamadengan legimitasi teks-teks agama.31
Husein Muhammad menggunakan al-Qur’an sebagai
landasan epistemologi dalam membahas konsep tentang kesetaraan
gender. Beliau juga memandang relasi (hubungan) laki-laki dan
perempuan dihadapan Allah sama derajatnya dan setara. Melalui
pengalaman kehidupan yang panjang, ia menganggap turunnya al-
Qur’an dapat dipandang sebagai langkah yang sangat spektakuler
dan revolusioner. Pada masa Pra-Islam, harga diri seorang
perempuan sangat rendah. Mereka dianggap barang atau benda yang
dapat diperlakukan kapan saja, bahkan sering kali orang
menganggap melahirkan perempuan sebagai sesuatu yang
memerlakukan dan ditolerir jika anak perempuan tersebut dibunuh
hidup-hidup.
Husein Muhammad menyatakan, ketika kita memahami al-
Qur’an maka pertama-tama yang mesti disadari adalah bahwa di
dalam al-Qur’an terdapat petunjuk bagi manusia dan sebagai rahmat
untuk alam semesta dan tentunya mengenai hubungan antara
sesama mahluk (laki-laki dan perempuan). Sesungguhnya cita-cita al-
Qur’an adalah tegaknya kehidupan manusia yang bermoral luhur
dan menghargai nilai kemanusian universal. Prinsip-prinsip
kemanusiaan universal itu antara lain terwujudnya dalam upaya
penegakan keadilan gender, kesetaraan, kebebasan, dan
penghargaan terhadap hak-hak orang lain, siapa pun dia.32
Husein Muhammad memandang misi al-Qur’an untuk
membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan
penindasan termasuk diskriminasi perbedaan jenis kelamin gender.
Husein Muhammad, sangat menjunjung tinggi kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan. Dengan keadilan gender akan tercipta
keharmonisan baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan,
diranah domestik maupun publik.

31 Ibid., 25.
32 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2012), 20–21.

MA’MAL | Volume 03 Nomor 05 Oktober 2022 459


Misi al-Qur’an ialah membebaskan manusia dari berbagai
bentuk diskriminasi, baik deskriminasi jenis kelamin gender
terhadap perempuan maupun laki-laki. Gender merupakan realitas
sosial oleh karena itu, dengan pendekatan hermeneutika, semiotik,
ilmu sosial, dan corak pamikiran bahasanya yang sangat luas
sehingga dapat menganalisis bahasa al-Qur’an secara komprehensif.
Ayat-ayat gender harus dikaitkan dengan konteks sosio-historis
ketika al-Qur’an diturunkan.33
Husein Muhammad menggunakan metode fiqh
emansipatoris dan hal tersebut mudah diterima oleh masyarakat.
Istilah ini dimaksudkan sebagai upaya melahirkan fiqh yang lebih
berorietasi pada pembebasan manusia dari belenggu-belenggu
tradisi yang menjerat. Proses-proses fiqh dalam prespektif ini
diharapkan dapat menghasilkan produk hukum di mana manusia
sebagagai subjek hukum ditempatkan pada posisi yang tidak saling
mensubordinasi, mendiskriminasi atau memarginalkan satu atas
yang lain atas dasar apapun: etnisitas, gender, agama, ras dan
sebagainya.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
Husein Muhammad membolehkan perempuan bekerja sebagaimana
laki-laki. Hal tersebut dikarekan bahwa latar belakang pendidikan,
sosial dan pemikirannya yang memiliki visi kesetaraan gender dalam
Islam. Perempuan yang selama ini dianggap menjadi korban ketidak
adilan gender, dengan berbasis teologi harus diselamatkan. Beliau
mencoba membaca teks keagamaan ke arah yang lebih berkeadilan
gender dan menjunjung tinggi al-Qur’an sebagai landasan hukum
terhadap hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Husein Muhammad dikenal sebagai ‘Kiai Feminis” ini
mengugkapkan bahwa ada kesenjangan dan ketimpangan antara
idealitas agama dan realitas sosial. Sehingga apa yang terletak di kitab
klasik merupakan interpretasi dan responsi ulama terdahulu
terhadap kebudayaan setempat.
Daftar Pustaka
Budi. “Biografi Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar., MA.” Laduni.Id.

33
Nasaruddin Umar, “Metode Penelitian Berperspektif Jender Tentang
Literatur Islam,” Al-Jami’ah 64, no. 12 (1999): 176–202,
https://doi.org/https://doi.org/10.14421/ajis.1999.3764.176-202.

MA’MAL | Volume 03 Nomor 05 Oktober 2022 460


September 2, 2022.
https://www.laduni.id/post/read/67683/biografi-prof-dr-
kh-nasaruddin-umar-ma.
Fakih, Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013.
Handayani, Ricka. “Multi Peran Wanita Karir Pada Masa Pandemi
Covid-19.” Jurnal Kajian Gender Dan Anak 04, no. 1 (2020): 1–
10.
Muda, Fauzi Ahmad. “Nalar Perempuan: Upaya Rekonstruksi
Konstruksi Sosial Setara Gender.” EGALITA: Jurnal
Kesetaraan Dan Keadilan Gender 2, no. 1 (2007): 134–57.
https://doi.org/https://doi.org/10.18860/egalita.v0i0.1954.
Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan. Yogyakarta: LKiS, 2012.
———. Ijtihad Kyai Husein Upaya Membangun Keadilan Gender. Jakarta:
Rahima, 2011.
———. Islam Agama Ramah Perempuan. Yogyakarta: LKiS, 2009.
———. Menuju Fiqh Baru. Yogyakarta: IRCiSoD, 2020.
———. Modul Kursus Islam Dan Gender; Dawrah Fiqh Perempuan.
Cirebon: Fahmina Institute, 2007.
———. Spiritualitas Kemanusiaan; Perspektif Islam Pesantren.
Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2006.
Musyafa’ah, Nur Lailatul. “Relevansi Antara Medis Dan Fikih
Tentang Perdarahan Pervaginam.” Jurnal Studi Gender Indonesia
05, no. 2 (2016): 143–77.
http://repository.uinsby.ac.id/id/eprint/1144/.
———. “Studi Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Perspektif
Gender.” AL-HUKAMA’ 4, no. 2 (2014): 409–30.
Musyafa’ah, Nur Lailatul, Elda Kusafara, Firda Maknun Hasanah,
Anas Bustomi, and Hammis Syafaq. “The Role of Women
Workers in Surabaya, East Java, Indonesia, in Meeting
Families’ Needs During the Covid- 19 Pandemic: A Maqāṣid
Sharīah Perspective.” Al-Ihkam: Jurnal Hukum Dan Pranata
Sosial 17, no. November 2021 (2022): 60–90.
https://doi.org/https://doi.org/10.19105/al-
lhkam.v17i1.5509.
Nuruzzaman. Kiai Husein Membela Perempuan. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2005.
Rusydi, Muhammad. “Esoterisme Pemikiran Gender Nasaruddin
Umar.” An-Nisa 12, no. 2 (2019): 710–16. https://jurnal.iain-

MA’MAL | Volume 03 Nomor 05 Oktober 2022 461


bone.ac.id/index.php/annisa/article/view/670.
Sari, Eka Kartika, and Biko Nabih Fikri Zufar. “Perempuan Pencari
Nafkah Selama Pandemi Covid-19.” Al-Mada: Jurnal Agama,
Sosial, Dan Budaya 4, no. 1 (2021): 13–29.
https://doi.org/10.31538/almada.v4i1.1106.
Sobariyah, Amin. “Kesetaraan Gender Dalam Pandangan DR.
Nasaruddin Umar. MA.” UIN Walisongo Semarang, 2001.
Swasti, Keksi Girindra, Wahyu Ekowati, and Eni Rahmawati.
“Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Burnout Pada Wanita
Bekerja Di Kabupaten Banyumas.” Jurnal Keperawatan Soedirman
12, no. 3 (2018): 190–98.
https://doi.org/10.20884/1.jks.2017.12.3.738.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Prespektif Al-Qur’an.
Jakarta: Dian Rakyat, 2010.
———. Argumentasi Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: PT
Sapdodadi, 2001.
———. “Metode Penelitian Berperspektif Jender Tentang Literatur
Islam.” Al-Jami’ah 64, no. 12 (1999): 176–202.
https://doi.org/https://doi.org/10.14421/ajis.1999.3764.176
-202.
———. “Teologi Menstruasi: Antara Mitologi Dan Kitab Suci.”
Musãwa Jurnal Studi Gender Dan Islam, 2007.
https://doi.org/10.14421/musawa.2007.51.1-20.
Utami, Tri Niswati, Nurhayati Nurhayati, Reni Agustina Harahap,
and Zuhrina Aidha. “Reproductive Health of Women Workers
in Villages, Cities in Islamic Perspective.” Health Notions 4, no.
4 (2020): 123–28. https://doi.org/10.33846/hn40404.
Widiyani, Noviyati. “Peran KH. Husein Muhammad Dalam
Gerakan Kesetaraan Jender Di Indonesia.” UIN Syarif
HIdayatullah, 2010.

MA’MAL | Volume 03 Nomor 05 Oktober 2022 462

Anda mungkin juga menyukai