Anda di halaman 1dari 20

Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes

Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

TRANSFORMASI SOSIAL PEREMPUAN BEKERJA PERSPEKTIF GENDER


DALAM HUKUM KELUARGA ISLAM
(PROBLEMATIKA GENDER DI ERA VUCA)

1 Eva
Nur Hopipah 2 Neng Hannah
Postgraduate Family Law Study Program, Sunan Gunung Djati State Islamic University
Bandung, West Java, Indonesia
1evanurkhofifah@gmail.com 2nenghannah@uinsgd.ac.id

Abstrak
Problematika gender dalam hal perempuan bekerja jika ditinjau dari hukum Islam terus berkembang
dari masa ke masa, terlebih saat ini memasuki era VUCA (volatility, uncertaintanty, complexity and
ambiguity) yang menggambarkan suatu kondisi ketika perubahan terjadi begitu cepat, tidak pasti,
kompleks dan ambigu. Menyikapi problematika hukum perempuan bekerja tersebut perlu di dalami
dalam perspektif lain, salah satunya perspektif gender karena transformasi sosial adalah sesuatu hal
yang pasti terjadi. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan sumber
primernya adalah fiqh wanita, analisis gender dan transformasi sosial, hukum keluarga kontemporer,
psikologi keluarga, transformasi sosio-kultural dalam keluarga, dan sumber lain yang membantu
penelitian ini agar komprehensif digunakan sebagai sumber skunder. Hasil penelitian dari analisis ini
menunjukkan bahwa tidak ada larangan khusus dari nash yang secara qath’i melarang perempuan
bekerja, semuanya berjalan sesuai dengan kemaslahatan diri dan keluarga masing-masing, semuanya
mengambil peran, entah laki-laki atau perempuan. Adakalanya perempuan memutuskan bekerja itu
mashlahat adakalanya pula banyak mudharatnya. Semuanya kembali pada mukallaf itu sendiri, namun
pada dasarnya jika ditinjau dari perspektif gender, entah laki-laki atau perempuan memiliki peran yang
sama, konsep mubadalah (kesalingan), komunikasi efektif, dan kerjasama harus di kedepankan demi
kuatnya ketahanan keluarga.

Kata kunci : Analisis Gender, Transformasi Sosial, Perempuan Bekerja, Hukum Keluarga
Kontemporer, Era VUCA

Abstract
Gender problems in terms of working women, if viewed from Islamic law, continue to develop from time
to time, especially now that we are entering the VUCA (volatility, uncertainty, complexity and
ambiguity) era, which describes a condition where change occurs very quickly, uncertainly, complexly
and ambiguously. Addressing the legal problems of working women needs to be explored from another
perspective, one of which is a gender perspective because transformation is something that will
definitely happen. The research method used is literature study with the primary sources being women's
fiqh, gender analysis and social transformation, contemporary family law, family psychology, socio-
cultural transformation in the family, and other sources that help this research to be comprehensive
are used as secondary sources. The research results from this analysis show that there is no specific
prohibition in the text which qath'i forbids women from working, everything goes according to the
benefit of themselves and their families, everyone takes a role, whether male or female. Sometimes
women decide that working is beneficial, sometimes it also has many disadvantages. It all comes back
to themukallaf itself, but basically if viewed from a gender perspective, whether men or women have
the same role, the concept of mubjadi (mutuality), effective communication and cooperation must be
put forward for the sake of strong family resilience.

Keywords: Gender Analysis, Social Transformation, Working Women, Contemporary


Family Law, VUCA Era
Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes
Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

Pendahuluan
Peran wanita saat ini telah bergeser dari peran tradisional menjadi lebih modern. Dari
hanya memiliki peran tradisional semisal melahirkan anak (reproduksi) ataupun mengurus hal
domestik lainnya, kini wanita memiliki peran sosial dimana dapat berkarir di bidang kesehatan,
ekonomi, sosial, maupun politik dengan didukung pendidikan yang tinggi.1 Namun perihal
konsep perempuan bekerja di era VUCA ini, era dimana segala sesuatu serba cepat dan mudah
menerima informasi apapun, entah hal positif ataupun negatif. Banyak sekali persepektif yang
bisa dijadikan landasan hukum, salah satunya perspektif gender. Gender yang jelas bukan
hanya sekadar jenis kelamin atau hal-hal lainnya secara biologis, namun lebih kepada peran
sosial dari laki-laki ataupun perempuan. Dan dalam hal ini yang sering kali menjadi
problematika di era VUCA ialah bagaimana hukumnya perempuan yang bekerja.
Dalam Islam, ketahanan keluarga tidak mungkin terjadi tanpa adanya rasa saling
menghormati. Tidak dapat dipungkiri bahwa mengabaikan perempuan sama saja dengan
mengabaikan separuh potensi masyarakat dan lebih jauh lagi mengabaikan seluruh umat
manusia, karena seluruh umat manusia adalah keturunan perempuan. Ada beberapa
keuntungan bagi perempuan yang bekerja dan menekuni pekerjaan.2
Demikian pengamatan Zainuddin al-Maibari dalam bukunya yang banyak dibaca, Fath
al-Mu'in, yang mendukung pandangan tersebut. Menurutnya, seorang istri boleh meninggalkan
rumahnya tanpa dianggap nusyuz dalam keadaan sebagai berikut: ketika rumahnya akan
runtuh, ketika penjahat mengancam nyawa atau harta bendanya, ketika dia sedang membela
diri di pengadilan, ketika dia mengetahui ilmu fardhu 'ain, ketika dia perlu meminta fatwa
karena suaminya bodoh, ketika dia harus mencari nafkah dengan berdagang atau meminta
sedekah kepada orang lain, atau ketika dia harus bekerja karena suaminya tidak mampu
menafkahinya.3 Jika mengacu pada pendapat tersebut, maknanya sangat luas sekali sehingga
perlu dikupas secara mendalam.
Sejauh ini, studi-studi yang membahas permasalahan perempuan bekerja ditinjau dari
persspektif gender ini masih belum komprehensif menyajikan berbagai permasalahan sekaligus
penyelesaiannya untuk fenomena kontemporer yang terjadi. Pertama, kedudukan perempuan
dalam Islam dan problem ketidakadilan gender (Ratna Dewi, 2020).4 Kedua, peranan istri

1 Oktaviani. (2021). Peran Wanita Karir dalam Pemenuhan Nafkah Keluarga dalam Masyarakat Bugis di Kota Pare-Pare
(Analisis Gender dan Fiqh Sosial). Tesis. Program Studi Hukum Keluarga Islam Pascasarjana Pare-Pare.
2 Rahman, dkk. (2022). Wanita karir; studi kritis perspektif Maqashid syariah. Ulumuddin: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol.

12, No. 1. Hal 1-18.


3 Muhammad, Husein, K.H. (2009). Fiqih Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta : LKIS.
4 Ratna Dewi. (2020). Kedudukan perempuan dalam islam dan problem ketidakadilan gender. Noura: Jurnal Kajian Gender

Dan Anak Vol. 4, No. 1. Hal 1-43.


Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes
Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

dalam mencari nafkah perspektif hukum Islam (studi pemikiran Madzhab Syafi’iyah) (Rifki
Rufaida, 2019).5 Ketiga, relevansi kesetaraan gender dan peran perempuan bekerja terhadap
kesejahteraan keluarga di indonesia (perspektif ekonomi Islam) (Fitriyaningsih dan Faizah,
2020).6 Dengan demikian, terlihatlah bahwa konsep dan praktik terkait perempuan bekerja
dalam perspektif gender dan bagaimana relevansinya terhadap fenomena saat ini masih di
bedah secara parsial, kurang komprehensif mengupas berbagai permasalahan yang tidak sedikit
dan perlu dibedah mendalam.
Tujuan penulisan ini yaitu melengkapi kekurangan dari studi terdahulu yang cenderung
menganalisa problematika terkait perempuan bekerja perspektif gender secara parsial dari sisi
transformasinya dengan fenomena di era VUCA dewasa ini, sehingga kurang komprehensif.
Mengingat banyaknya permasalahan yang perlu di dalami dari perspektif gender, maka
dibutuhkan pendekatan yang integral (utuh dan menyeluruh), khususnya dihubungan dengan
fenomena saat ini. Sejalan dengan itu, terdapat beberapa pertanyaan dalam penelitian ini yaitu;
(1) Bagaimana perbedaan antara wanita karir dan perempuan bekerja; (2) Bagaimana
transformasi perempuan bekerja dari masa ke masa; (3) Bagaimana perempuan bekerja
perspektif gender; (4) Bagaimana hukum keluarga Islam perempuan bekerja di era VUCA.
Tulisan ini berargumen bahwa penyelesaian masalah hukum perempuan bekerja
ditinjau berdasarkan perspektif gender dan dihubungkan dengan era kontemporer jika dibahas
secara parsial maka kurang efektif. Jika hanya mengacu pada fenomena dari zaman tradisional
saja, tanpa mengindahkan berbagai masalah lainnya di era VUCA dengan berbagai kekurangan
dan kelambahannya, maka dalam realitanya permasalahan lain sering kali muncul dewasa ini.
Oleh karenanya, penelitian ini akan fokus pada penyelesaian terkait hukum perempuan bekerja
ditinjau dari perspektif gender dan sejauhmana relevansinya terhadap fenomana yang banyak
terjadi dewasa ini. Problematika terkait hukum perempuan bekerja akan dipaparkan satu
persatu dengan tujuan agar kongruen dengan praktik terkait masalah perempuan bekerja yang
banyak terjadi dewasa ini.

5 Rifki Rufaida. (2019). Peranan Istri Dalam Mencari Nafkah Perspektif Hukum Islam (Studi Pemikiran Madzhab
Syafi’iyah). Iqtisodina : Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam. Volume 1 Nomor 1. hal 1-20.
6 Fitriyaningsih dan Faiza. (2020). Relevansi Kesetaraan Gender dan Peran Perempuan Bekerja terhadap Kesejahteraan

Keluarga di Indonesia (Perspektif Ekonomi Islam). AL-MAIYYAH Media Transformasi Gender dalam Paradigma Sosial
Keagamaan. Vol 13 no 1. Hal 39-50.
Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes
Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian kualitatif merupakan hal baru karena popularitasnya baru-baru
ini meningkat. Karena didasarkan pada teori postpositivis, maka dikenal juga dengan
pendekatan postpositivistik. Proses penelitian kadang-kadang dikenal sebagai teknik artistik
karena dianggap kurang lebih berpola. Karena sebagian besar data penelitian berfokus pada
cara menafsirkan data lapangan, pendekatan interpretatif juga digunakan. Terakhir, karena
khalayak akan menganggap temuan data yang tersebar dan perkembangan subjek selanjutnya
lebih relevan dan mudah dipahami, strategi ini terkadang disebut sebagai metode konstruktif.7
Cresswell (2009)8 mengatakan bahwa ada enam jenis metode kualitatif: penelitian
fenomenologis, penelitian grounded theory, penelitian etnografi, studi kasus dan penelitian
naratif, serta penelitian kepustakaan. Penelitian ini menggunakan analisis data induktif dan
deduktif sesuai dengan isu-isu yang muncul dan termasuk dalam kategori penelitian
kepustakaan. Dalam kajian pustaka ini, sumber primer meliputi buku-buku dan artikel tentang
fiqh wanita, hukum keluarga, perempuan persepektif gender, fiqh munakahat, hukum keluarga
kontemporer, dan lain-lain. Sementara itu, sumber sekunder termasuk buku-buku lain yang
berhubungan dengan penelitian ini.

Hasil dan Pembahasan


Perbedaan Antara Wanita Karir dan Perempuan Bekerja
Wanita adalah sebutan halus yang di gunakan untuk kaum perempuan atau kaum putri.
lawan jenis dari wanita adalah pria atau laki-laki. Sinonim dari sebutan wanita adalah
perempuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Perempuan berarti juga Wanita. Sedangkan
dalam bahasa Arab, perempuan di sebut al-mar’ah
‫( المراة‬atau al-untsa ) ‫ ( االنثى‬al-mar’ah jamaknya al nisa ) ‫ النساء‬dan (al niswah) 9‫النسوة‬
Karir adalah istilah Belanda yang berarti kemajuan dan pertumbuhan dalam bidang
pekerjaan seseorang. Ini juga bisa merujuk pada posisi seseorang dalam pekerjaan tertentu.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan karir sebagai kemajuan dan pertumbuhan
kehidupan, pekerjaan, atau status seseorang. Biasanya, tenaga kerja yang dimaksud adalah
tenaga kerja yang dibayar dengan uang atau upah. Namun kerja dalam konteks Islam dipahami
sebagai segala usaha yang memajukan keselamatan dan keluhuran manusia.10

7 Sugiyono. (2019). Metodelogi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Dan R&D. Bandung: ALFABETA.
8 Creswell, John W. (2017). Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif dan Campuran. Yogya: Pustaka Pelajar.
9 Qudsiah dan Widyawati. (2017). Peranan Wanita Karir Dalam Membantu Kebutuhan

Keluarga Menurut Mazhab Syafi-iyyah. MIZAN: Journal of Islamic Law, FAI Universitas Ibn khaldun (UIKA) Bogor. Vol. 1
No. 2 (2017), pp: 155-172. https://doi.org/10.32507/mizan.v1i2.10.
10 Qudsiah dan Widyawati. (2017). Peranan Wanita Karir Dalam Membantu Kebutuhan
Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes
Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

Banyak ahli yang mengemukakan banyak definisi karir. Karir selalu dikaitkan dengan
kekuasaan dan kekayaan. Karir seseorang diartikan sebagai seluruh pekerjaan atau jabatan
yang pernah disandangnya selama hidupnya, menurut Handoko (2001:123). Di sisi lain Gibson
(dalam Ghufron, 2013:114), mengartikan karir seseorang sebagai sikap dan perilakunya yang
dihubungkan dengan pengalaman kerja dan aktivitasnya selama hidupnya. Oleh karena itu,
karier seseorang mewakili kemajuannya ke posisi atau pangkat tertinggi yang mampu
dicapainya dalam suatu organisasi. Dengan kata lain, Ghufron (2013: 114) menegaskan bahwa
pekerjaan memiliki atribut yang memerlukan waktu untuk maju. Karir membutuhkan tingkat
komitmen dan personal investment yang berbeda dari bekerja (job).11
Berdasarkan dua pernyataan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa wanita karir
adalah wanita yang bekerja dan mandiri, baik melalui usahanya sendiri maupun untuk orang
lain. Dia adalah lambang wanita kontemporer yang cerdas. Ketiga sebutan ini mungkin
menguntungkan atau merugikan, berdasarkan perilaku keagamaan dan sosialnya.12
Peran perempuan didefinisikan sebagai partisipasinya dalam suatu pekerjaan atau
pekerjaan yang tujuannya adalah untuk meningkatkan keselamatan dan kemuliaan manusia
melalui pekerjaan yang memajukan kehidupan. Sebagai seorang istri dan ibu, tanggung jawab
utama seorang wanita adalah menciptakan lingkungan rumah yang damai, harmonis, gembira,
dan sehat bagi anak-anaknya. Memiliki profesi bukanlah tugas utamanya di lingkungan rumah
tangga. Namun seiring berjalannya waktu dan modernisasi yang terus berlanjut, serta
kecenderungan kuat terhadap materialisme yang tidak terkendali, muncul pula kebutuhan dan
keinginan baru yang mendesak bagi keluarga dan seringkali tidak dapat dipenuhi tanpa banyak
kerja keras dan dedikasi.13
Wanita profesional harus mampu menyelesaikan tugas yang diberikan; pekerjaan-
pekerjaan ini menuntut perhatian yang besar, memerlukan waktu terpisah, dan perempuan yang
bekerja harus berada di luar rumah. Dampaknya, wanita karir yang juga berperan sebagai ibu
rumah tangga akan mempunyai beban kerja yang tinggi. Karena harus mengurus dirinya sendiri
karena lelah sepulang kerja, ia melayani suami dan anak-anaknya dengan kurang semangat.14

Keluarga Menurut Mazhab Syafi-iyyah. MIZAN: Journal of Islamic Law, FAI Universitas Ibn khaldun (UIKA) Bogor. Vol. 1
No. 2 (2017), pp: 155-172. https://doi.org/10.32507/mizan.v1i2.10.
11 Ghufron, M. N. (2013). Makna Karir bagi Wanita Karir. Proceedings Seminar Nasional Gender dan Islam, Menggagas

Pendidikan Islam Sensitif Gender di Indonesia hlm. 111-124, Kudus: PSG STAIN Kudus.
12 Ismiyati Muhammad. (2019). Wanita Karir Dalam Pandangan Islam. Al-wardah: Jurnal Kajian Perempuan, Gender dan

Agama. Volume : 13 No 1. http://doi.org/10.46339/al-wardah.v13i1.161.


13 Rifki Rufaida. (2019). Peranan Istri Dalam Mencari Nafkah Perspektif Hukum Islam (Studi Pemikiran Madzhab

Syafi’iyah). Iqtisodina : Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam. Volume 1 Nomor 1. hal 1-20.
14 Ghufron, M. N. (2013). Makna Karir bagi Wanita Karir. Proceedings Seminar Nasional Gender dan Islam, Menggagas

Pendidikan Islam Sensitif Gender di Indonesia hlm. 111-124, Kudus: PSG STAIN Kudus.
Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes
Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

Pekerjaan dan karier seorang perempuan ditentukan oleh sejumlah faktor, seperti
kebutuhan untuk menunjang perekonomian keluarga karena hal tersebut mengharuskan
perempuan untuk meninggalkan rumah. Ini adalah persoalan kompleks yang tentu saja
memunculkan pertanyaan mengenai kewenangan, motivasi, kepatuhan dan ketidaktaatan,
pekerjaan dan perlunya keluar rumah, serta moda transportasi perempuan. Jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan ini menentukan apakah suatu tindakan pantas atau diperbolehkan
berdasarkan waktu dan lokasi, yang mana keduanya sangat bergantung satu sama lain. Mencari
jawaban dengan kepastian penuh tidak ada gunanya.15
Jika ditarik benang merah, maka karir (carrier) dengan bekerja (job) adalah dua hal
yang berbeda meski saling berhubungan. Wanita karir adalah ketika ia beraktualisasi diri untuk
kemajuan dirinya, namun materi bukan menjadi tujuan utama jika kebutuhannya masih
terpenuhi oleh suami, materi hanyalah bonus untuk dirinya. Sedangkan wanita bekerja adalah
ketika ia bekerja memang untuk mencari nafkah untuk keluarga, menjadi tulang punggung
keluarga, atau membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Dan fokus dari penelitian ini
adalahbagaimana hukumnya wanita bekerja perspektif gender.

Transformasi Perempuan Bekerja dari Masa ke Masa


Posisi perempuan saat ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan berada dalam anggapan yang
buruk, bahkan sampai menjadi keyakinan bahwa perempuan adalah makhluk sumber 'fitnah',
lemah, mewarisi kejahatan, tidak mempunyai kemampuan intelektual, dan kosong dari
spiritualitas; karena itu, perempuan "tidak setara dengan kaum lelaki". Konsekuensinya,
perempuan dianggap tidak mampu dan tidak layak untuk memikul peran-peran publik dan
segala hal yang memiliki akses ke dalam wilayah publik. Perempuan dicukupkan hanya
mengurusi, bukan mengatur, hal-hal yang berada pada wilayah domestik belaka.16
Ternyata norma-norma gender di masyarakat juga dapat menyebabkan perempuan
disubordinasikan, khususnya di tempat kerja. Karena anggapan bahwa perempuan bersifat
emosional atau tidak logis, mereka tidak mampu menduduki posisi kepemimpinan, sehingga
berujung pada terbentuknya sikap yang meminggirkan perempuan. Berbagai jenis subordinasi
dapat muncul bergantung pada konteks dan durasi hubungan. Misalnya, dulu ada kepercayaan
di Jawa bahwa perempuan tidak perlu menyelesaikan sekolah menengah karena mereka akan
bekerja di dapur. Sudah menjadi rahasia umum dalam keluarga bahwa laki-laki akan mendapat

15 Sunuwati dan Rahmawati. (2017). Transformasi Wanita Karir Perspektif Gender Dalam Hukum Islam (Tuntutan Dan
Tantangan Pada Era Modern). An Nisa’a: Jurnal Kajian Gender dan Anak Volume 12, Nomor 02. Hal 107-120.
16 Hannah, N. (2017). Seksualitas dalam Alquran, Hadis dan Fikih: Mengimbangi Wacana Patriarki. Wawasan: Jurnal

Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 1 : 45-60. http://doi.org/10.15575/jw.v2i1.795.


Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes
Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

prioritas pendidikan jika dana terbatas dan orang tua harus memilih untuk menyekolahkan
anaknya.17
Hal yang sama berlaku untuk pekerjaan. Perempuan tidak diperbolehkan bekerja di
kepolisian atau militer. Potensi perempuan sering kali dinilai secara tidak adil. Oleh karena itu,
sulit bagi perempuan untuk menduduki peran penting yang strategis dalam masyarakat
termasuk pengambilan keputusan. Di sektor pertanian pedesaan, mayoritas perempuan adalah
buruh tani. Sektor tekstil, pakaian jadi, sepatu, perlengkapan rumah tangga, dan elektronik
mempekerjakan sebagian besar perempuan di sektor industri perkotaan. Perempuan biasanya
bekerja di perdagangan skala kecil di industri perdagangan, seperti menjual sayur-sayuran di
pasar tradisional.18
Perempuan di masa lalu hanya diizinkan bekerja di dapur dan tidak diizinkan untuk
mengenyam pendidikan tinggi. Masyarakat melihat pendidikan seolah-olah menuntut fisik dan
membutuhkan otot yang kuat untuk menyelesaikannya. Selain itu, perempuan yang tanggung
jawab utamanya di rumah adalah membesarkan anak-anaknya hanya perlu melek huruf agar
bisa mendapatkan pendidikan sejak usia dini. Mereka tidak memerlukan tingkat pendidikan
yang lebih tinggi. Keyakinan yang berlaku di masyarakat adalah bahwa pendidikan dan
pengajaran perempuan tidak penting. Perempuan bebas untuk mencari pendidikan tinggi saat
ini; ini adalah momen kemerdekaan mereka. Perempuan mulai mengupayakan kesetaraan
gender, dan keinginan untuk kesetaraan gender mulai berkembang.19
Proporsi perempuan yang bekerja di sektor publik meningkat pesat akhir-akhir ini,
termasuk di Indonesia. Kondisi tersebut menurut Sumiyatiningsih (2014:130) disebabkan oleh
beberapa faktor, seperti: (1) perempuan lebih besar kemungkinannya dibandingkan laki-laki
untuk dapat mengakses pendidikan tinggi; (2) kebijakan baru pemerintah memberikan peluang
besar bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan; dan (3) laju pembangunan
ekonomi dan industri yang semakin cepat membuat perempuan lebih cenderung bekerja di
sektor publik.20
Kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai tugas dan tanggung jawab yang
sama meskipun mereka memiliki perbedaan biologis merupakan indikasi adanya pergeseran
dalam perspektif pribadi. Mobilitas nilai-nilai pribadi juga tercermin dalam kesetaraan nilai

17 Khusnul Khotimah. (2009). Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan Dalam Sektor Pekerjaan. Jurnal Studi Gender &
Anak Yin Yang. hal 1-12.
18 Khusnul Khotimah. (2009). Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan Dalam Sektor Pekerjaan. Jurnal Studi Gender &

Anak Yin Yang. hal 1-12.


19 Sunuwati dan Rahmawati. (2017). Transformasi Wanita Karir Perspektif Gender Dalam Hukum Islam (Tuntutan Dan

Tantangan Pada Era Modern). An Nisa’a: Jurnal Kajian Gender dan Anak Volume 12, Nomor 02. Hal 107-120.
20 Sumiyatiningsih, D. (2014). Pergeseran Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam Kajian Feminis. WASKITA Jurnal Studi

Agama dan Masyarakat, hlm. 125-138.


Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes
Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

antara laki-laki dan perempuan. Perubahan dalam norma-norma dan nilai-nilai masyarakat
dapat dilihat dari kenyataan bahwa perempuan (istri) dan laki-laki (suami) semakin banyak
berbagi kewajiban ketenagakerjaan publik dan terbentuknya kemitraan antara kedua jenis
kelamin. Perubahan nilai-nilai keluarga ditunjukkan dengan semakin berkembangnya
kolaborasi gender dalam menangani tanggung jawab ekonomi keluarga, yang ditunjukkan
dengan adanya bantuan bersama dalam menghasilkan pendapatan keluarga.21
Interaksi suami istri sering digambarkan dalam kajian fiqih ditinjau dari hak dan
tanggung jawab masing-masing pihak terhadap pasangannya. Ya, sebagaimana halnya dalam
akad lainnya seperti hutang, piutang, perjanjian jual beli, suami istri mempunyai hak dan
kewajiban ketika akad nikah terpenuhi. Peneliti menggambarkan tugas masing-masing suami
dan istri dalam keluarga dalam kaitannya dengan peran yang adil sambil berbicara tentang
kehidupan keluarga. Dibandingkan dengan frasa hak dan kewajiban yang sering kali bersifat
biner, frasa ini dianggap lebih netral. Setiap pasangan dihormati karena mempunyai identitas
yang sama dalam hal tugas. Aktivis gender juga sering menggunakan frasa “peran” untuk
menekankan aspek kesetaraan gender.22
Saya ingin tahu mengapa kedudukan seorang istri bisa saja lebih rendah dari suaminya
di hadapan suaminya, mengingat kedudukan seorang ibu mungkin tiga kali lebih tinggi di mata
anaknya dibandingkan kedudukan seorang ayah. Dan seperti yang telah dikatakan sebelumnya,
penafsiran agama serta keyakinan budaya semakin mempertegas rendahnya kedudukan istri di
mata suami.23
Zaman tidak akan pernah sama. Selalu mengalami perubahan atau transformasi, entah
ke arah yang positif ataupun sebaliknya. Termasuk pandangan hukum bagaimana perempuan
bekerja dalam setiap era itu berbeda-beda yang intinya semuanya kasuistik. Tidak bisa sama
nata satu perempuan dengan perempuan lainnya. Semuanya demi kenyamanan, kesepakatan
dan kemaslahatan bersama. Namun meski demikian, sebagai ilmuwan atau praktisi yang ikut
menyuarakan eksistensi perempuan, alangkah lebih baik mengetahui ilmu secara keseluruhan
agar mampu bijak dan dinamis menyikapi setiap persoalan yang berbeda-beda.

21 Puspitawati, H. (2014). Fungsi Keluarga, Pembagian Peran dan Kemitraan Gender dalam Keluarga.
http:/ikk.fema.ipb.ac.id/v2/images/karyailmiah/kemitraan_gender.pdf.
22 Syafitri, dkk. (2022). Tanggung jawab nafkah keluarga dari istri yang bekerja menurut kompilasi hukum islam (KHI) dan

hukum adat (studi penelitian di kota lhokseumawe). Suloh: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Vol. 10, No.
2, pp. 313-337.
23 Mas’udi, Masdar F. (1997). Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqih Perempuan. Bandung: Mizan.
Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes
Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

Perempuan Bekerja Perspektif Gender


Pemahaman mayoritas masyarakat mengenai gender sering kali berprasangka buruk
dan dipandang sempit, hanya membahas persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan karena
feminitasnya. Terlepas dari kenyataan bahwa gender dan jenis kelamin berbeda satu sama lain,
studi gender lebih dari sekedar laki-laki dan perempuan atau perbedaan biologis antara
keduanya.
Menurut Fakih (1999: 8), gender adalah atribut yang diproduksi secara sosial dan
budaya yang merupakan bawaan dari laki-laki dan perempuan. Wanita dilahirkan dengan ciri-
ciri yang berhubungan dengan jenis kelamin tertentu. Misalnya, perempuan umumnya disebut
"feminin" karena mereka dipandang baik hati, menarik, emosional, atau keibuan, sedangkan
laki-laki biasanya dianggap "maskulin" karena mereka kuat, logis, berkuasa, dan jantan. Baik
pria maupun wanita mampu bertukar kualitas-kualitas ini. Dengan kata lain, ada laki-laki yang
sensitif, baik hati, dan keibuan, dan ada perempuan yang kuat dan logis.24
Laki-laki lebih suka bersosialisasi di masyarakat, sedangkan perempuan lebih terbiasa
tinggal di rumah. Inilah dua perbedaan utama dalam kehidupan sosial antara laki-laki dan
perempuan. Ada hubungan tidak langsung antara keduanya. Daripada kondisi biologis bawaan
mereka, ketidakberuntungan perempuan di seluruh lapisan masyarakat lebih disebabkan oleh
penafsiran terhadap biologis mereka. Secara umum, perempuan kurang dikenal dan kurang
mempunyai pengaruh dalam praktik budaya di seluruh dunia. Berdasarkan pemahaman ini,
mereka wajib mengasuh anak-anaknya semata-mata dan tinggal di rumah.25
Banyak ketidakadilan terhadap gender tertentu dan kebanyakan perempuan adalah
akibat dari prasangka buruk terhadap gender tertentu. Misalnya, premis yang mendasari mereka
adalah bahwa perempuan berpakaian untuk menarik perhatian laki-laki; oleh karena itu, setiap
kejadian kekerasan atau pelecehan seksual secara otomatis dikaitkan dengan stereotip ini.
Bahkan ketika seorang perempuan diperkosa, ia biasanya dianggap bertanggung jawab oleh
masyarakat. Tanggung jawab utama perempuan, menurut masyarakat, adalah melayani
pasangannya. Pendidikan perempuan tentu saja gagal akibat prasangka ini. Perempuan adalah
kelompok orang lain yang tidak cocok untuk peran kepemimpinan karena mereka lemah baik
secara intelektual maupun fisik. Berbeda dengan laki-laki, perempuan penuh dengan batasan.
Aktivitas laki-laki lebih berkualitas, lebih fleksibel, dan bebas.26

24 Fakih, M. (1999). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
25 Abdul Rahim. (2016). Peran kepemimpinan perempuan dalam perspektif gender. Jurnal Al-Maiyyah, Volume 9 No. 2. hal
1-28.
26 Khusnul Khotimah. (2009). Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan Dalam Sektor Pekerjaan. Jurnal Studi Gender &

Anak Yin Yang. hal 1-12.


Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes
Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

Menuntut istri bekerja untuk menghidupi keluarganya sebagai pencari nafkah utama.
Mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap karena bakat atau keterampilan suaminya yang
buruk, dan beberapa dari mereka bahkan tidak mampu bekerja untuk menghidupi keluarga
secara finansial. Banyak dari mereka yang bekerja di luar rumah karena keterbatasan keuangan,
dan sebagainya. Peran istri sebagai pencari nafkah utama keluarga hanya bersifat sementara.
Waktu yang dihabiskan bersama keluarga dan jarak sangatlah berbeda. Dengan demikian,
untuk saat ini perempuan belum mampu menunaikan tanggung jawab dan tugasnya sebagai
istri di rumah.27
Kejadian saat ini terbalik; Selain sebagai ibu rumah tangga, perempuan juga merupakan
pencari nafkah utama keluarga karena keluarga mempunyai kebutuhan finansial yang besar,
sehingga perempuan menjadi pemberi nafkah utama bagi kelangsungan hidup keluarga.28
Permasalahan sosial ekonomi dalam masyarakat, seperti perceraian, perselisihan
keluarga, kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, kenakalan remaja, dan sebagainya,
merupakan sebagian besar tantangan yang dihadapi keluarga pada umumnya. Kesejahteraan
masyarakat secara umum belum mampu ditingkatkan oleh kemajuan perekonomian nasional
selama ini. Kemiskinan dan ketimpangan ekstrem menjadi penanda utamanya. Ketimpangan
antara laki-laki dan perempuan dalam hal akses terhadap peluang penyediaan uang merupakan
salah satu aspek ketidaksetaraan gender yang masih terjadi di Indonesia, khususnya di sektor
ketenagakerjaan. Di sisi lain, perempuan lebih banyak yang menganggur dibandingkan
bekerja. Biasanya, perempuan mempunyai penghasilan lebih sedikit dibandingkan laki-laki.29
Dari sudut pandang gender, perempuan pekerja tidak seharusnya memikul dua beban
karena suami dan laki-laki berbagi tanggung jawab dalam urusan rumah tangga. Artinya
seorang pria dan pasangannya dapat saling membantu dalam melakukan pekerjaan rumah.
Islam, sebaliknya, menekankan bahwa ketidakadilan adalah salah satu jenis ketidakadilan
tetapi tidak mendefinisikan ketidakadilan atau istilah “double burden” atau “beban ganda”.
Beban ganda tersebut sungguh patut dipuja jika dilakukan dengan tulus dari sudut pandang
agama. Hal ini tersirat dalam QS. An-Nisa : 32 bahwa apapun yang dilakukan laki-laki dan
perempuan dalam hidup ini, maka amal baik mereka akan diberi pahala dan usaha mereka akan

27 Rosydiana, W,N. (2023). Wanita Karier Dalam Perspektif Gender Dan Hukum Islam. Journal of Gender And Social
Inclusion In Muslim Societes Vol. 4, No.1. hal 39-51.
28 Syafitri, dkk. (2022). Tanggung jawab nafkah keluarga dari istri yang bekerja menurut kompilasi hukum islam (KHI) dan

hukum adat (studi penelitian di kota lhokseumawe). Suloh: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Vol. 10, No.
2, pp. 313-337.
29 Yusrini, A. (2017). Tenaga Kerja Wanita Dalam Perspektif Gender Di Nusa Tenggara Barat. Jurnal Al-Maiyyah, Volume

10 No. 1. Hal 115-131.


Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes
Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

diberi balasan. Suatu upaya untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya perbuatan baik dalam
kedua hal tersebut. 30
Sebelumnya dalam sejarah peradaban Islam wanita karir bukanlah fenomena yang baru.
Dahulu dizaman Nabi, sudah ada wanita yang ikut dalam urusan publik. Di antara para wanita
itu adalah penata rias pengantin Umm Salim binti Malham, pedagang Siti Khadijah dan penulis
Raisa. (Shihab, 2007). Karir wanita itu tidak dilarang, asalkan harus diperhatikan beberapa
ketentuan syariah agar karier wanita tidak menyimpang dari syariat Islam. Pertama, wanita
karir harus terlebih dahulu meminta izin kepada suami atau walinya, karena hukum Islam wajib
untuk meminta izin. Kedua, pekerjaannya tidak bercampur dengan orang asing. Pekerjaan
perempuan profesional harus dihindarkan dari iktilath (bercampur dengan orang yang bukan
mahram) dan khalwat (diam) dengan laki-laki asing. Nabi SAW. bersabda “Tidaklah seorang
laki-laki berkhalwat (bersunyi-sunyi, menyendiri) dengan seorang wanita kecuali bila bersama
laki-laki (yang merupakan mahramnya”. (H.R Bukhari).31
Ketiga, wanita karir hendaknya menyembunyikan auratnya dari laki-laki yang bukan
mahram dan menghindari segala sesuatu yang dapat menimbulkan fitnah, baik dalam pakaian
maupun hiasan dan wewangian (parfum). Keempat, komitmen terhadap moralitas Islam dan
harus menunjukkan bersungguh-sungguh dan keikhlasan saat berbicara. Allah berfirman dalam
Al-Qur’an yang artinya “maka janganlah sekali-kali kalian melunak-lunakkan ucapan
sehingga membuat condong orang yang didalam hatinya terdapat penyakit dan berkata-
katalah dengan perkataan yang ma’ruf/baik” (Q.S Al-Ahzab: 32). Kelima, dalam bekerja
wanita harus bisa memilih memilih pekerjaan yang sesuai dengan karakter dan kodratnya
sebagai wanita, seperti pendidikan dan kebidanan.32
Perempuan bekerja perspektif gender memiliki banyak interpretasi yang tentunya ada
kondisi ketika perempuan bekerja itu sangat maslahat untuk ketahanan keluarga, jika istri pun
tidak melanggar syarat atau batasan yang syar’i. Dan adapula kondisi dimana dengan
perempuan bekerja ternyata banyak sekali mudharatnya, entah dari segi tempat ataupun jenis
pekerjaan yang memang melanggar syari’at yang telah ditentukan. Sama saja dengan laki-laki,
ia harus mundur dari suatu pekerjaan tertentu jika ternyata banyak mudharat dalam
pekerjaannya, dan tentu harus mencari penggantinya. Namun jika ditinjau secara keseluruhan,
perempuan bekerja dalam persepktif gender, artinya tidak ada perbedaan yang berarti. Laki-

30 Sunuwati dan Rahmawati. (2017). Transformasi Wanita Karir Perspektif Gender Dalam Hukum Islam (Tuntutan Dan
Tantangan Pada Era Modern). An Nisa’a: Jurnal Kajian Gender dan Anak Volume 12, Nomor 02. Hal 107-120.
31 Rosydiana, W,N. (2023). Wanita Karier Dalam Perspektif Gender Dan Hukum Islam. Journal of Gender And Social

Inclusion In Muslim Societes Vol. 4, No.1. hal 39-51.


32 Rosydiana, W,N. (2023). Wanita Karier Dalam Perspektif Gender Dan Hukum Islam. Journal of Gender And Social

Inclusion In Muslim Societes Vol. 4, No.1. hal 39-51.


Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes
Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

laki atau perempuan sama-sama memiliki kesempatan yang tentu disesuaikan dengan berbagai
aspek yang niscaya ada pada individu itu sendiri.

Hukum Keluarga Islam Perempuan Bekerja di Era VUCA


VUCA adalah sebuah akronim dari volatility, uncertaintanty, complexity and ambiguity
yang menggambarkan suatu kondisi ketika perubahan terjadi begitu cepat, tidak pasti,
kompleks dan ambigu. Volatilitas ditandai dengan munculnya tantangan baru yang
penyebabnya sulit ditentukan. Tidak ada pola yang konsisten untuk tantangan baru ini, karena
perubahannya yang sangat cepat. Uncertainty bermakna ketidakpastian. Complexity
(kompleksitas) bermakna sulitnya memahami penyebab masalahnya karena banyaknya faktor
yang dapat memengaruhinya. Hal ini disebabkan interdependensi dan interkoneksi dari
berbagai peristiwa yang dapat saling mempengaruhi dan menimbulkan permasalahan yang ada.
Adapun ambiguity sama dengan “membingungkan atau menyesatkan” dicirikan oleh fakta
sulitnya mengonseptualisasikan tantangan yang ada dan mengembangkan model solusi. 33
Fakta bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi di seluruh dunia
menunjukkan banyaknya hambatan yang masih dihadapi dalam pengetahuan dan upaya untuk
mencapai kesetaraan gender. Perempuan terus diposisikan dalam stereotip dan peran yang
dirugikan karena kuatnya masyarakat patriarki. Percepatan proses pertumbuhan yang
berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi memang dapat didorong dengan adanya
interaksi yang seimbang (kesetaraan gender) antara laki-laki dan perempuan di segala bidang
kehidupan, tanpa adanya supremasi salah satu jenis kelamin terhadap jenis kelamin lainnya.34
Sebenarnya banyak terjadi marginalisasi di masyarakat yang berujung pada kemiskinan
dan hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Meskipun demikian, ada jenis kemiskinan berbasis
gender yang berdampak pada gender tertentu, dalam hal ini perempuan. Peraturan pemerintah,
keyakinan pribadi, interpretasi agama, adat istiadat, kepercayaan tradisional, dan bahkan
anggapan ilmiah semuanya bisa menjadi sumbernya.35
Karena adanya anggapan bahwa perempuan harus menangani pekerjaan rumah tangga,
perempuan terpaksa memikul seluruh beban pekerjaan. Perempuan, khususnya yang bekerja,
memandang beban kerja ini sebagai beban yang sangat berat (Fakih, 1999: 21). Karena selain
dapat bekerja dengan baik, perempuan juga diharapkan mampu melakukan pekerjaan rumah

33 Dyah Retna Puspita, dkk. (2022). Era VUCA: jalan masuk bagi eksistensi perempuan pemimpin? (kajian tentang
kepemimpinan perempuan di masa pandemi covid-19). Prosiding Seminar Nasional Jurusan Administrasi Publik Fisip –
Unsoed. hal 105-119.
34 Anita Rahmawaty. (2015). Harmoni dalam Keluarga Perempuan karir: Upaya Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan

Gender dalam Keluarga. PALASTREN, Vol. 8, No. 1. hal 1-34.


35 Fakih, M. (1999). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes
Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

tangga yang secara tradisional dipandang sebagai tanggung jawab perempuan di masyarakat.
Bagi perempuan pekerja, muncul istilah “beban ganda”. Namun, tidak ada yang namanya
“beban ganda” bagi pekerja laki-laki karena, tidak seperti perempuan, mereka tidak dipaksa
melakukan pekerjaan rumah tangga, sehingga sering kali mereka tidak melakukan dua
pekerjaan.36
Perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki secara individu, namun porsi
dan kadarnya berbeda dalam hal hak waris. Pada zaman sebelum Islam, perempuan tidak
mendapat warisan. Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 7:

ً ‫َصيبًا َّم ْف ُرو‬


‫ضا‬ ِّ َ‫َصيبٌ ِّم َّما ت ََر َك ٱ ْل َٰ َو ِّلد‬
ِّ ‫ان َوٱ ْْل َ ْق َربُونَ ِّم َّما قَ َّل ِّم ْنهُ أ َ ْو َكث ُ َر ۚ ن‬ ِّ َ‫َصيبٌ ِّم َّما ت ََر َك ٱ ْل َٰ َو ِّلد‬
ِّ ‫ان َوٱ ْْل َ ْق َربُونَ َو ِّللنِّ َسا ٓ ِّء ن‬ ِّ ‫ِّل ِّلر َجا ِّل ن‬
Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Dalam hal studinya, seorang perempuan mempunyai hak dan tanggung jawab yang
sama. Mereka mampu belajar sama seperti laki-laki. Hal ini disebabkan karena seorang
perempuan akan mempunyai keturunan dan mempunyai kewajiban untuk mendidik mereka di
kemudian hari. Dalam ayat 9 surat Az-Zumar, Allah SWT menyatakan bahwa ilmu itu sangat
penting.
۟ ‫اخ َرة َ َو َي ْر ُج‬
‫وا َر ْح َمةَ َر ِّب ِّهۦ ۗ قُ ْل ه َْل َي ْست َ ِّوى ٱلَّذِّينَ َي ْعلَ ُمونَ َوٱلَّذِّينَ ََل‬ ِّ ‫اجدًا َوقَا ٓ ِّئ ًما َي ْحذَ ُر ٱ ْل َء‬ ِّ ‫أ َ َّم ْن ه َُو َٰقَ ِّنتٌ َءانَا ٓ َء ٱلَّ ْي ِّل َس‬
۟ ُ‫يَ ْعلَ ُمونَ ۗ إِّنَّ َما يَتَذَ َّك ُر أ ُ ۟ول‬
ِّ َ‫وا ٱ ْْل َ ْل َٰب‬
‫ب‬
Artinya: (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang
beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab)
akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran.
Nabi juga bersabda bahwa perempuan terikat oleh hadis berikut untuk menuntut ilmu,
yang menyatakan bahwa perempuan tidak dikecualikan dari tanggung jawab atau hukum ini:
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya”. (HR.
Bukhari).
Stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Dalam
hal ini, stereotip tersebut bermula dari pandangan bahwa perempuan tidak mampu menjadi

36 Fakih, M. (1999). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes
Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

pemimpin dalam masyarakat, dan perempuan yang banyak beraktivitas di luar rumah
merupakan tindakan yang melanggar 'kodratnya' sebagai perempuan.37
Islam tidak melarang perempuan mengejar karir karena tidak ada larangan tegas
terhadapnya. Wanita profesional harus sangat mahir dalam mengatur jadwal mereka untuk
memastikan bahwa mereka tidak mengabaikan tugas-tugas penting di rumah. Mereka juga
harus mampu mengalokasikan waktu mereka dengan bijak, dan penting untuk diingat bahwa
mereka harus menjunjung tinggi standar sosial dan Islam agar tidak membuat keluarga mereka
kesal.38
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan sering kali lebih teliti, hemat,
dan hemat, sehingga membantu membangun kredibilitas mereka untuk peran-peran penting.
Namun mengapa perempuan justru diabaikan, dianiaya, diremehkan, ditindas, tidak berdaya,
dan bahkan dimanfaatkan dalam berbagai bidang masyarakat, termasuk politik, di mana
mereka mempunyai peran besar dalam merumuskan kebijakan publik dan mengambil
keputusan?39
Setelah dianalisis, ditemukan dua variabel yang bertanggung jawab atas situasi ini:
faktor internal perempuan dan faktor eksternal. Antara lain : 1) Faktor internal yaitu perempuan
bersumber dari sifat-sifat yang melekat pada perempuan. Meskipun jumlah perempuan banyak,
banyak dari mereka berpotensi kehilangan peluang untuk meningkatkan kualitas hidup mereka
dengan mengembangkan kesadaran, pengetahuan, pengendalian diri, keterampilan
komunikasi, dan kemampuan untuk bertindak sesuai dengan keyakinan mereka yang lurus
secara moral. , sehingga memungkinkan mereka untuk melakukan yang terbaik dari
kemampuan mereka dalam peran apa pun sebagai seorang profesional, seorang ibu, seorang
istri, dan seorang pemimpin dalam masyarakat; 2) Variabel eksternal, atau yang berasal dari
luar diri wanita. Faktor lainnya, dominasi laki-laki untuk tetap menduduki posisi
kepemimpinan, yang banyak mempengaruhi.40
Menurut Al-Qur’an dan hadis, tidak ada perbedaan signifikan antara laki-laki dan
perempuan kecuali dalam ranah publik yang mengharuskan berbeda. Pada prinsipnya Islam
menyerukan adanya kemerdekaan, dan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan.

37 Hannah, N. (2020). Social Capital of Women Leaders in the Indigenous Community of Osing, East Java, Indonesia: A
Feminist Ethnography Research. Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 5, 2: 157-166.
http://doi.org/10.15575/jw.v5i2.10482.
38 Ratna Dewi. (2020). Kedudukan perempuan dalam islam dan problem ketidakadilan gender. Noura: Jurnal Kajian

Gender Dan Anak Vol. 4, No. 1. Hal 1-43.


39 Abdul Rahim. (2016). Peran kepemimpinan perempuan dalam perspektif gender. Jurnal Al-Maiyyah, Volume 9 No. 2. hal

1-28.
40 Abdul Rahim. (2016). Peran kepemimpinan perempuan dalam perspektif gender. Jurnal Al-Maiyyah, Volume 9 No. 2. hal

1-28.
Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes
Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

Ini merupakan sebuah konsekuensi untuk mewujudkan nilai kemanusiaan dengan adanya
pemerataan yang tidak bias gender (Ulandari, 2017).41
Salah satu produk hukum yang muncul dari ijtihad ulama adalah undang-undang
tentang perempuan yang bekerja atau berkarir. Hukum seperti ini dikenal dengan hukum
ijtihadi, atau hukum Islam yang ditentukan oleh ijtihad (penalaran) ketika tidak ada teks dari
Al-Qur'an atau Sunnah, atau ketika ada teks tetapi tidak qath'i (dilalah- dzani) karena
petunjuknya kabur atau tidak jelas, atau bila petunjuknya sudah pasti tetapi keabsahan
ijtihadinya masih diragukan. Penulis tidak menemukan pendapat ulama mazhab Syafi'iyyah
yang melarang perempuan berkarir; Sebaliknya, penulis menemukan sebuah aturan fiqih yang
berkaitan dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan ketenagakerjaan perempuan.”42
Q.S. al-Baqarah ayat 228 membahas tentang hak dan kewajiban. Menurut Imam Syafi’i
dan Hambali, seorang istri tidak diwajibkan mengurus atau melakukan pekerjaan yang
berkaitan dengan kebutuhan rumah tangga sehari-hari karena kewajibannya yang sebenarnya
adalah melayani “kebutuhan” suaminya dengan sebaik-baiknya (Aulia, 2017). Selain itu,
Quraish Shihab menjelaskan bahwa perempuan mempunyai hak untuk bekerja jika pekerjaan
tersebut memerlukannya dan/atau jika mereka membutuhkan pekerjaan tersebut, asalkan
dilakukan dengan cara yang sopan dan penuh hormat serta dapat mencegah dampak negatif
dari pekerjaan tersebut terhadap kehidupan mereka. lingkungan sekitar dan dirinya sendiri
(Aulia, 2017).43
Islam memberi perempuan kebebasan untuk mengejar pekerjaan dan memenuhi
kewajiban sosial; namun hal ini tidak berarti bahwa Islam mendukung hak-hak perempuan
sama seperti laki-laki. Dukungan terhadap pembebasan perempuan diperlukan jika tujuan-
tujuannya mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat, khususnya
dalam menghadapi kesulitan-kesulitan di abad baru ini.44
Berdasarkan Fatwa Organisasi Islam NU tahun 1939, perempuan diperbolehkan keluar
rumah karena keperluan, namun tidak dikecualikan jika kepergiannya bermanfaat untuk hal
lain. Sebab persoalan tersebut berkaitan dengan kewenangan, motif, ketaatan dan kemaksiatan,

41 Sa’adah, S dan Hannah, N. (2021). The Role of Women in the Public Domain in the View of the Qur'an (Peran Perempuan
di Ranah Publik dalam Pandangan Al-Qur’an). Gunung Djati Conference Series, Volume 4 (2021) Proceedings The 1st
Conference on Ushuluddin Studies. hal 586-595.
42 Qudsiah dan Widyawati. (2017). Peranan Wanita Karir Dalam Membantu Kebutuhan

Keluarga Menurut Mazhab Syafi-iyyah. MIZAN: Journal of Islamic Law, FAI Universitas Ibn khaldun (UIKA) Bogor. Vol. 1
No. 2 (2017), pp: 155-172. https://doi.org/10.32507/mizan.v1i2.10.
43 Hannah, N. (2020). Social Capital of Women Leaders in the Indigenous Community of Osing, East Java, Indonesia: A

Feminist Ethnography Research. Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 5, 2: 157-166.
http://doi.org/10.15575/jw.v5i2.10482.
44 Rifki Rufaida. (2019). Peranan Istri Dalam Mencari Nafkah Perspektif Hukum Islam (Studi Pemikiran Madzhab

Syafi’iyah). Iqtisodina : Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam. Volume 1 Nomor 1. hal 1-20.
Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes
Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

pekerjaan, serta kebutuhan Madzhab Syafi'iyah pada umumnya. Hal-hal yang diharamkan:
Imam Fakhruddin Ar-razi berpendapat bahwa beliau membolehkan perempuan berdagang
asalkan menutupi seluruh wilayah pribadinya, kecuali wajah dan telapak tangannya, hal itu
diperbolehkan; Imam Nawawi meyakini dalam kitab Al-majmu, perempuan diperbolehkan
keluar rumah untuk berdagang namun harus tinggal bersama Mahrom. Landasan hukum yang
mengizinkan perempuan.45
Untuk itu, penting adanya kerjasama positif antara laki-laki/suami di ruang domestik,
sehingga perempuan yang memiliki peran ganda tidak terlalu berat. Dalam QS. At-Taubah: 71,
menyebutkan bahwa Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan
zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ungkapan “menyuruh mereka melakukan kebajikan dan mencegah kemunkaran” pada
ayat di atas, menurut Shihab, menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai
hubungan kerja sama dalam rumah tangga. Hubungan ini dapat diterapkan baik di lingkungan
publik maupun domestik, sehingga meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup.
bermanfaat bagi rumah tangga (M. Quraish Shihab, 2013).46
Memberikan nafkah adalah kewajiban suami sebagaimana diatur dalam Undangundang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 34 ayat (1) “Suami adalah kepala keluarga
didasarkan karena kelebihan (tubuh/fisik) yang diberikan Tuhan kepadanya dan berdasarkan
ketentuan Tuhan bahwa suami berkewajiban untuk membiayai kehidupan keluarga”. Sejalan
dengan KHI Pasal 80 sebagai berikut. 1) Suami wajib melindungi dan memberikan segala
sesuatu keperluan berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 2) Suami wajib memberikan
pendidikan agama kepada istrinya dan memberikan kesempatan belajar pengetahuan yang
berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa. 3) Sesuai dengan penghasilannya suami
menanggung: nafkah dan tempat tinggal bagi istrinya, biaya rumah tangga, biaya perawatan
dan biaya pengobatan bagi istri dan anak, biaya pendidikan bagi anak.47

45 Qudsiah dan Widyawati. (2017). Peranan Wanita Karir Dalam Membantu Kebutuhan
Keluarga Menurut Mazhab Syafi-iyyah. MIZAN: Journal of Islamic Law, FAI Universitas Ibn khaldun (UIKA) Bogor. Vol. 1
No. 2 (2017), pp: 155-172. https://doi.org/10.32507/mizan.v1i2.10.
46 Fitriyaningsih dan Faiza. (2020). Relevansi Kesetaraan Gender dan Peran Perempuan Bekerja terhadap Kesejahteraan

Keluarga di Indonesia (Perspektif Ekonomi Islam). AL-MAIYYAH Media Transformasi Gender dalam Paradigma Sosial
Keagamaan. Vol 13 no 1. Hal 39-50.
47 Syafitri, dkk. (2022). Tanggung jawab nafkah keluarga dari istri yang bekerja menurut kompilasi hukum islam (KHI) dan

hukum adat (studi penelitian di kota lhokseumawe). Suloh: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Vol. 10, No.
2, pp. 313-337.
Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes
Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

Menurut para ulama fiqih, seorang perempuan boleh bekerja di luar rumah dan mencari
nafkah karena dua alasan: suami sakit atau meninggal dunia, atau rumah tangga membutuhkan
uang dalam jumlah besar untuk menutupi pengeluaran sehari-hari dan mengurus tanggung
jawab keluarga. Oleh karena itu, ia harus menghidupi dirinya dan anak-anaknya dengan
bekerja. Kedua, perempuan memainkan peran penting dalam masyarakat dengan melakukan
aktivitas yang wajar bagi mereka, termasuk mengajar, keperawatan, dan profesi lain yang
memerlukan bantuan mereka.
Ulama modern terkemuka Syekh Muhammad Al-Ghazali membuat empat pengamatan
berikut mengenai pekerjaan perempuan: Hal ini menyiratkan bahwa: (1) pekerjaan yang
dilakukan oleh perempuan harus sesuai untuk perempuan; dan (2) perempuan memiliki kualitas
luar biasa yang jarang dimiliki laki-laki. pendidik, bidan, pengacara, dan lain sebagainya. (3)
Ditemukan di daerah pedesaan di mana istri membantu suaminya bertani, dll., dan perempuan
bekerja untuk membantu suami dalam pekerjaannya. (4) Perempuan harus bekerja untuk
menghidupi keluarganya, dan tenaga mereka tidak akan mencukupi jika tuntutan tersebut tidak
dipenuhi (M. Quraish Shihab, 2005). Islam, misalnya, tidak melarang perempuan mengambil
cuti kerja selama mereka berintegrasi ke dalam masyarakat dan mematuhi hukum syariah. Di
sejumlah domain, termasuk sosial, agama, budaya, dan politik.48
Meskipun laki-laki bertanggung jawab untuk menafkahi keluarga, bekerja di luar
rumah tidak dilarang oleh Islam bagi perempuan. Islam sebenarnya tidak memuat undang-
undang atau peraturan yang melarang perempuan bekerja di luar rumah. terutama mengingat
posisi ini melibatkan pengajaran narkoba kepada anak-anak, seperti yang dilakukan perawat.
Tidak diragukan lagi, gaji seorang wanita yang melebihi gaji suaminya merupakan suatu
nikmat lain dari Allah SWT. Para ulama fiqih berpendapat bahwa perempuan diperbolehkan
bekerja di luar rumah karena dua alasan. Awalnya untuk mencari nafkah. Kedua, ketika
perempuan memasuki dunia kerja, mereka tentu perlu berperan dalam melakukan beberapa
aktivitas yang dikhususkan untuk mereka.

Kesimpulan
Simpulan dari penelitian kepustakaan ini adalah bahwa transformasi dari masa ke masa terkait
perempuan bekerja adalah sesuatu hal yang tidak bisa dihindari, karena zaman terus bergerak,
entah ke arah positif atau negatif. Jika zaman tradisional masih sangat melekat budaya,

48Rosydiana, W,N. (2023). Wanita Karier Dalam Perspektif Gender Dan Hukum Islam. Journal of Gender And Social
Inclusion In Muslim Societes Vol. 4, No.1. hal 39-51.
Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes
Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

marginalisasi ataupun stereotipe tertentu pada perempuan bekerja, namun berbeda dengan era
VUCA seperti sekarang ini. Bahkan jika menelisik pada perempuan-perempuan di zaman
Rasulullah pun, perempuan itu tetap aktif atau beraktulisasi diri dengan kemampuannya
masing-masing. Meski diakui atau tidak, di zaman itu tidak banyak perempuan yang demikian,
namun tetap saja menggambarkan jelas terkait hukum perempuan bekerja. Tidak ada larangan
khusus dari nash yang secara qath’i melarang perempuan bekerja, semuanya berjalan sesuai
dengan kemaslahatan diri dan keluarga masing-masing, semuanya mengambil peran, entah
laki-laki atau perempuan. Adakalanya perempuan memutuskan bekerja itu mashlahat
adakalanya pula banyak mudharatnya. Ada syarat-syarat mengikat ketika perempuan bekerja,
namun jika ditelisik lebih dalam, ketika laki-laki bekerja pun tetap ada syarat syar’i yang harus
dijaga. Semuanya kembali pada mukallaf itu sendiri, namun pada dasarnya jika ditinjau dari
perspektif gender, entah laki-laki atau perempuan memiliki peran yang sama, konsep
mubadalah (kesalingan), komunikasi efektif, dan kerjasama harus di kedepankan demi kuatnya
ketahanan keluarga.

Daftar Pustaka
Abdul Rahim. (2016). Peran kepemimpinan perempuan dalam perspektif gender. Jurnal Al-
Maiyyah, Volume 9 No. 2. hal 1-28.
Anita Rahmawaty. (2015). Harmoni dalam Keluarga Perempuan karir: Upaya Mewujudkan
Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Keluarga. PALASTREN, Vol. 8, No. 1. hal 1-
34.
Creswell, John W. (2017). Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif dan Campuran. Yogya:
Pustaka Pelajar.
Dyah Retna Puspita, dkk. (2022). Era VUCA: jalan masuk bagi eksistensi perempuan
pemimpin? (kajian tentang kepemimpinan perempuan di masa pandemi covid-19).
Prosiding Seminar Nasional Jurusan Administrasi Publik Fisip – Unsoed. hal 105-119.
Fakih, M. (1999). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fitriyaningsih dan Faiza. (2020). Relevansi Kesetaraan Gender dan Peran Perempuan Bekerja
terhadap Kesejahteraan Keluarga di Indonesia (Perspektif Ekonomi Islam). AL-
MAIYYAH Media Transformasi Gender dalam Paradigma Sosial Keagamaan. Vol 13
no 1. Hal 39-50.
Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes
Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

Ghufron, M. N. (2013). Makna Karir bagi Wanita Karir. Proceedings Seminar Nasional
Gender dan Islam, Menggagas Pendidikan Islam Sensitif Gender di Indonesia hlm.
111-124, Kudus: PSG STAIN Kudus.
Handoko, T. H. (2001). Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia, Yogyakarta: BPFE.
Hannah, N. (2017). Seksualitas dalam Al-Qur’an, Hadis dan Fikih: Mengimbangi Wacana
Patriarki. Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, 1 : 45-60.
http://doi.org/10.15575/jw.v2i1.795.
Hannah, N. (2020). Social Capital of Women Leaders in the Indigenous Community of Osing,
East Java, Indonesia: A Feminist Ethnography Research. Wawasan: Jurnal Ilmiah
Agama dan Sosial Budaya 5, 2: 157-166. http://doi.org/10.15575/jw.v5i2.10482.
Ismiyati Muhammad. (2019). Wanita Karir Dalam Pandangan Islam. Al-wardah: Jurnal
Kajian Perempuan, Gender dan Agama. Volume : 13 No 1. http://doi.org/10.46339/al-
wardah.v13i1.161.
Khusnul Khotimah. (2009). Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan Dalam Sektor
Pekerjaan. Jurnal Studi Gender & Anak Yin Yang. hal 1-12.
Mas’udi, Masdar F. (1997). Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqih
Perempuan. Bandung: Mizan.
Muhammad, Husein, K.H. (2009). Fiqih Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender. Yogyakarta : LKIS.
Oktaviani. (2021). Peran Wanita Karir dalam Pemenuhan Nafkah Keluarga dalam
Masyarakat Bugis di Kota Pare-Pare (Analisis Gender dan Fiqh Sosial). Tesis.
Program Studi Hukum Keluarga Islam Pascasarjana Pare-Pare.
Puspitawati, H. (2014). Fungsi Keluarga, Pembagian Peran dan Kemitraan Gender dalam
Keluarga. http:/ikk.fema.ipb.ac.id/v2/images/karyailmiah/kemitraan_gender.pdf.
Rahman, dkk. (2022). Wanita karir; studi kritis perspektif Maqashid syariah. Ulumuddin:
Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 12, No. 1. Hal 1-18.
Ratna Dewi. (2020). Kedudukan perempuan dalam islam dan problem ketidakadilan gender.
Noura: Jurnal Kajian Gender Dan Anak Vol. 4, No. 1. Hal 1-43.
Rifki Rufaida. (2019). Peranan Istri Dalam Mencari Nafkah Perspektif Hukum Islam (Studi
Pemikiran Madzhab Syafi’iyah). Iqtisodina : Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam.
Volume 1 Nomor 1. hal 1-20.
Rosydiana, W,N. (2023). Wanita Karier Dalam Perspektif Gender Dan Hukum Islam. Journal
of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes Vol. 4, No.1. hal 39-51.
Journal of Gender And Social Inclusion In Muslim Societes
Vol. xx, No.xx, Tahun xxxx

Sa’adah, S dan Hannah, N. (2021). The Role of Women in the Public Domain in the View of
the Qur'an (Peran Perempuan di Ranah Publik dalam Pandangan Al-Qur’an). Gunung
Djati Conference Series, Volume 4 (2021) Proceedings The 1st Conference on
Ushuluddin Studies. hal 586-595.
Sugiyono. (2019). Metodelogi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Dan R&D. Bandung:
ALFABETA.
Sumiyatiningsih, D. (2014). Pergeseran Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam Kajian
Feminis. WASKITA Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, hlm. 125-138.
Sunuwati dan Rahmawati. (2017). Transformasi Wanita Karir Perspektif Gender Dalam
Hukum Islam (Tuntutan Dan Tantangan Pada Era Modern). An Nisa’a: Jurnal Kajian
Gender dan Anak Volume 12, Nomor 02. Hal 107-120.
Syafitri, dkk. (2022). Tanggung jawab nafkah keluarga dari istri yang bekerja menurut
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan hukum adat (studi penelitian di kota lhokseumawe).
Suloh: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Vol. 10, No. 2, pp. 313-337.
Qudsiah dan Widyawati. (2017). Peranan Wanita Karir Dalam Membantu Kebutuhan
Keluarga Menurut Mazhab Syafi-iyyah. MIZAN: Journal of Islamic Law, FAI
Universitas Ibn khaldun (UIKA) Bogor. Vol. 1 No. 2 (2017), pp: 155-172.
https://doi.org/10.32507/mizan.v1i2.10.
Yusrini, A. (2017). Tenaga Kerja Wanita Dalam Perspektif Gender Di Nusa Tenggara Barat.
Jurnal Al-Maiyyah, Volume 10 No. 1. Hal 115-131.

Anda mungkin juga menyukai