Anda di halaman 1dari 14

TUGAS REVIEW BUKU

STUDI 1 ILMU HADIS

Redaksi 18 November 2023

Disusun Oleh:
Iwan Setiawan, S.Pd
2351010033

PROGRAM STUDI
MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NIDA EL-ADABI
2023
A. PENDAHULU

AN Identitas Buku

Judul buku : Studi Ilmu Hadits

Pengarang : Drs, KH. M. Abduh Almahar,

M.Ag Penerbit :

Gaung Persada Press

Reviewer : Lisa Rachmawati

a. Pengantar

Hadits merupakan sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an yang bersumber


dari Rasulullah SAW, berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya.
Hadits yang diterima dari Rasul tersebut berjumlah 800 ribu, suatu jumlah
yang sangat banyak ketimbang Al-Qur’an yang hanya sekitar 6 ribu ayat.
Ilmu Hadits adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang sesuatu
yang disandarkan kepada Rasul SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir atau sifat-sifatnya. Akan tetapi para ulama menjadikan Ilmu Hadits
sebagai ilmu yang berdiri sendiri, yang secara otomatis para ulama telah
merumuskan secara khusus tentang batasan ilmu ini. Ada sebuah hadits
yang artinya : “Aku tinggalkan kepadamu dua perkara. Kau tidak akan
pernah tersesat, selama kau berpegang teguh pada keduanya yakni; kitab
Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul”. (H.R. Al-Hakim) (Al-Suyuthi, TT :
130). Hadits diatas menunjukan bahwa Al-Qur’an dan Hadits merupakan
petunjuk dan pedoman hidup umat Islam. Jika kedua pedoman itu dipegang
teguh dalam mengarungi dunia, umat Islam akan selamat sejahtera dunia
akhirat, demikian pula sebaliknya, Umat Islam akan tersesat selamanya,
apabila meninggalkan kedua pedoman tersebut. Hadits diatas juga
memberi
petunjuk bahwa hadits meruapakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-
Qur’an. Oleh karena itu, keharusan mengikuti Sunnah Rasul sama halnya
dengan kewajiban mengikuti ajaran Al-Qur’an, hal ini karena hadits
merupakan mubayyin terhadap Al-Qur’an, yang oleh karenanya siapapun
tidak akan bisa memahami Al-Qur’an secara utuh tanpa memahami Hadits.

b. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah diuraikan dalam latar belakang di atas,


Adapun permasalahan yang akan dianalisis sebagai berikut:

1. Apa gagasan utama dari buku ini ?

2. Apa sajakah manfaat kita jika kita memperdalam ilmu hadits ?

3. Apa sajakah yang dibahas dalam buku ini ?

4. Apa sajakah kekurangan dan kelebihan dari buku ini ?

B. ISI BUKU

Bab 1 menjelaskan tentang Pengertian dan struktur tentang hadis yang


terdiri dari pengertian Hadis, Sunnah, Khabar dan Atsar serta menjelaskan
tentang struktur dari hadis itu sendiri. Yang pada intinya Pengertian hadis
adalah hadits secara terminologis sinonim dengan Sunnah, keduanya
diartikan sebagai segala sesuatu yang diambil dari Rasulullah sebelum dan
sesudah diangkat menjadi Rasul. Akan tetapi bila disebut kata Hadits,
umumnya dipakai sebagai segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah
SAW setelah kenabian, baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir.
Dengan demikian Sunnah lebih luas pengertiannya daripada hadits. (Al-
Khatib, 1998:8). Sunnah dalam terminologi Ulama’ Hadits adalah segala
sesuatu yang diambil dari Rasulullah SAW, baik berupa sabda, perbuatan,
taqrir, sifat-sifat fisik dan non-fisik ataupun sepak terjang beliau sebelum
diutus
menjadi Rasul, seperti tahannus (berdiam diri) di gua Hira, ataupun sesudah
menjadi Rasul, baik berupa konsekuensi hukum syara’ ataupun tidak.
Adapun yang dimaksud dengan Khabar secara terminologis ialah verita dari
Nabi SAW, sahabat maupun dari Tabi’in (Ash-Shiddiqi, 1997:14). Dikatakan
bahwa antara Hadits dan Khabar terdapat makna umum dan khusus yang
mutlak. Jadi setiap Hadits adalah Khabar, tetapi tidak sebaliknya.

Menurut terminologi jumhur ulama yang dimaksud dengan Atsar sama


artinya dengan Khabar dan Hadits. Kata Khabar dan Atsar disebut secara
mutlak, dan dimaksudkan sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada
sahabat dan Tabi’in. Hanya saja fuqaha Khurasan menyebut Mauquf
dengan sebutan Atsar dan Marfu’ dengan sebutan Khabar.

Struktur Hadits meliputi Sanad, Matan dan Mukharij (Rawi). Kita perhatikan
sebuah terjemahan hadits yang mengandung ketiga istilah tersebut. Imam
Bukhori meriwayatkan yang artinya :

Berkata Imam Bukhori: Telah menceritakan kepada kami Adam (ia berkata):
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b (ia berkata): Telah
menceritakan kepada kami Sa’id Al-Maqburiy dari Abu Hurairah dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa Sallam beliau bersabda: “ Sesungguhnyya kami akan
datang kepada manusia satu zaman dimana seseorang tidak akan
memperdulikan lagi tentang harta yang ia peroleh, apakah dari (hasil) yang
halal atau dari (hasil) yang haram.” (H.R. Bukhari)

Rangkaian kata “Berkata Imam Bukhari.....” disebut Sanad, redaksi Hadits


“Sesungguhnya akan datang.....” disebut Matan, dan sebagai penutup Hadits
“Imam Bukhari” disebut Mukhaarij (Rawi).

Bab 2 Menjelaskan tentang Hadits Seabagai Sumber Ajaran Islam


dengan membahas Dalil Kehujjahan Hadits dan Fungsi Hadits Terhadap Al-
Quran.
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa hadits meruapakan ajaran Islam banyak
kita jumpai, diantaranya seperti dikemukakan oleh ‘Ajaj Al-Khitab (1998:23-
31) sebagai berikut : (Q.S. An-Nisa’ : 136) , (Al-A’raf: 158) , (Q.S. An-Nisa’ :
59) , (Q.S. Al-Maidah : 92) , (Q.S. An-Nisa’ : 80) , (Q.S. Al-Hasyr : 7) dan (Q.S.
An-Nisa’ : 113) serta masih banyak lagi. Salah satu dalil kehujjahan hadits
dari hadits Nabi SAW sebagai berikut :

“Aku telah tinggalkan kepada kamu dua hal yang sekali-kali kamu tidak
akan tersesat selama kamu masih berpegang kepada keduanya, yaitu
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya” (H.R. Imam Malik)

Hadits diatas menunjukan bahwa Rasulullah SAW diberi Al-Kitab dan


Sunnah dan mewajibkan kita berpegang teguh kepada keduanya kerta
mengambil apa yang ada pada Sunnah seperti mengambil apa yang ada
pada Al-Kitab.

Fungsi Hadits terhadap Al-Quran yang dikemukakan dalam buku ini yaitu
Bayan Ta’kid dan Bayan Tafsir. Fungsi Hadits sebagai Bayan Ta’kid
maksudnya ialah menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang
terdapat dalam isi kandungan Al-Qur’an. Dan fungsi hadits sebagai Bayan
Tafsir yaitu memperjelas, merinci, bahkan membatasi pengertian lahir
dari ayat-ayat Al-Qur’an.

Bab 3 menjelaskan tentang Hadits Pada Masa Rasulullah SAW yang


membahas Pengantar dan Penyampaian haditsnya. Ada beberapa sahabat
yang popular dalam meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa Nabi
tidak suka bila haditsnya ditulis, ada juga yang memakruhkan penulisan
hadits, sementara itu beberapa hadits justru mengizinkan penulisan hadits.

Dalam menerima ajaran agama Islam dari Rasulullah terdapat beberapa


point yang dapat mewakili sekaligus mencerminkan penyampaian hadits
dari Rasulullah, diantaranya melalui Majlis Rasulullah, Peristiwa yang terjadi
pada Rasulullah, Kejadian yang menimpa umat Islam dan Perbuatan
Rasulullah yang disaksikan Sahabat.
Bab 4 menceritakan tentang Hadits Pada Masa Sahabat yang akan
membahas tentang pengertian sahabat , metode hadits pada masa sahabat ,
perjalanan mencari sebuah hadits, sahabat terbanyak dalam periwayatan
hadits, nama-nama sahabat dalam meriwayatkan hadits dan kritikan
terhadap Abu Hurairah . Pada masa sahabat ini dikenal sebagai Masa
Pengetatan Periwayatan Hadits. Metode hadits pada masa sahabat, dalam
meriwayatkan hadits, ada dua jalan, yaitu : Metode periwayatan secara lafzi
dan periwayatan secara maknawi. Hanya karena khawatir lupa akan hadits,
seorang sahabat perlu mengukuhkan dan mengecek kesahihannya kepada
sahabat yang lain, dengan cara melakukan perjalanan ilmiah dari Hijaz ke
Mesir, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Ayyub. Sahabat yang
terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasul ada tujuh orang , yaitu Abu
Hurairah, Abdullah Ibn Umar ibn Al-Khattab, Anas ibn Malik, Aisyah ibn Abu
Bakar Ash-Shiddiq, Abdullah ibn Abbas ibn Abu Muthalib, Jabir ibn Abdillah Al-
Anshari dan Abu Sa’id Al-Khudri, Sa’d ibn Malik ibn Sinan Al-Anshari. Banyak
sekali nama-nama sahabat yang meriwayatkan hadits yang tersebar di
berbagai negara yang tidak bisa kita sebutkan satu-satu disini. Kedudukan
Abu Hurairah sebagai perawi hadits, yang kedhabithannya luar biasa, tak
luput dari kritikan yang dilakukan oleh para sahabat Rasul seperti Ibnu Abbas
dan Siti Aisyah.

Bab 5 menjelaskan tentang Hadits pada masa Tabi’in. Menurut para ahli
hadits, Tabi’in adalah orang yang pernah bertemu dengan seorang sahabat
atau lebih walaupun tidak sempat (ikut) bersamanya; dan seseorang dapat
dikategorikan tabi’ bila hanya pernah melihat sahabat (Al-Khatib, 1989 : 80).
Dalam bab ini membahas tentang Cara menerima dan menyampaikan hadits
pada masa tabi’in dengan sumber penerimaan hadits bagi tabi’in, perhatian
tabi’in dalam pengajaran hadits, metode tabi’in dalam menjaga Sunnah yaitu
Kehati-hatian (ihtiyath) dalam menyampaikan atau meneroma hadits dan
mencari kepastian (Al-Tatsabbut) dalam penerimaan hadits, beberapa asas
yang dipakai tabi’in dalam majlis hadits yaitu dengan memperhatikan
kemampuan penerima hadits, tabi’in tidak menyampaikan hadits kecuali
yang mampu, harus mempelajari Al-Qur’an terlebih dahulu, menjauhi hadits
munkar, syadz dan semacamnya, penyampaian bervariasi (Al-Tanw’ wa Al-
Taghyir daf’an li Al-Milal), penghormatan terhadap hadits Nabi SAW dan
Muzakarah. Selain itu dalam bab ini juga membahas tentang Munculnya
gerakan pemalsu Hadits dan penanggulangannya dengan Iltizam Al-Isnad,
Mudha’afat Al-Nasyat Al-‘ilmiy wa Al-Tatsabbut fi Al-Hadits, Tatabbu’ Al-
Kadzbah, Bayan Ahwal Al-Ruwat, Peletakan dasar kaidah untuk mengetahui
kebohongan suatu hadits dan Tadwin Al-Hadits. Jumlah tabi’in tidak dapat
dihitung secara pasti, sedangkan sahabat sendiri berjumlah lebih kurang
seratus ribu orang yang tersebar diseluruh pelosok wilayah Islam yang dapat
saja dijumpai oleh ribuan Tabi’in.

Bab 6 menjelaskan tentang Periwayatan Hadits Bi Al-Lafzhi dan Bi Al-


Makna. Yang dimaksud dengan periwayatan bi Al-Lafzhi adalah
memindahkan kata-kata Nabi SAW sesuai dengan aslinya (Al-Jawabi, TT :
207). Mereka yang meneguhkan setiap apa yang diterima Nabi dan tidak
meriwayatkan kepada yang lain kecuali setelah menelaah huruf demi huruf
dan memahami maknanya. Mereka tidak merubah sedikitpun atau
memalingkan yang didengarnya dari Nabi SAW. Sedangkan Bi Al-Makna
adalah meriwayatkan dengan redaksi yang berbeda tetapi sesuai dengan
yang dimaksud Nabi, tentu redaksi yang berbeda ini membutuhkan sejumlah
syarat yang ketat (Al-Jawabi, TT : 207). Mereka umumnya meriwayatkan
karena hal darurat dan kesulitan untuk secara terperinci menghafal lafazh
demi lafazh secara terperinci. Dalam bab ini juga menjelaskan tentang
pandangan Ulama terhadap Periwayatan bi al-Lafzhi dan bi al-Makna. Dan
juga memberitahukan beberapa contoh hadits.

Bab 7 didalamnya menjelaskan tentang Hadits maudhu’ atau disebut


juga dengan Hadits palsu. Dalam sejarah, kegiatan pemalsuan hadits tidak
hanya dilakukan oleh orang-orang yang memusuhi Islam, tetapi juga
dilakukan kalangan pemeluk Islam sendiri. Pengertian Maudhu’ menurut
terminologi ulama hadits adalah sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi
SAW secara mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau
kerjakan, ataupun beliau taqrirkan (Al-Khatib, 1981 : 415). Berdasarkan
fakta historis, dapat diketahui bahwa pemalsuan hadits itu bermula dari
tujuan-tujuan politik yang mulai muncul menjelang pertengahan abad
pertama Hijriyah, kemudian berkembang pada masalah akidah dan
kepentingan-kepentingan lain yang hampir mencakup seluruh aspek
kehidupan. Di bab ini juga membahas tentang faktor-faktor pendorong
timbulnya Hadits maudhu’, pemalsuan Hadits yang disengaja disebabkan
pertentangan politik, usaha kaum zindik, perbedaan Ras dan Fanatisme
suku, negara dan Imam, Para tukang Cerita (Menarik simpati kaum awam),
senang kebaikan tanpa pengetauan Agama yang cukup, perbedaan
madzhab dan Teologi dan disebabkan karena ingin menjilat atau mencari
muka kepada penguasa. Ada juga pemalsuan Hadits yang tidak disengaja.
Ada pembahasan tentang Ciri- ciri Hadits Maudhu’ , usaha para ulama
membendung Hadits Maudhu’ , Hukum memalsukan dan meriwayatkan
Hadits, tokoh-tokoh Hadits Maudhu’ dan tentang kitab-kitab Hadits yang
memuat Hadits Maudhu’ .

Bab 8 menjelaskan tentang ‘Ilm Al-Jarh wa Al-Ta’dil. Yang terdiri dari


Pengertian Ilmu Al-Jarh dan Al-Ta’dil, legalitas ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil, sejarah
perkembangan Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil, syarat pentarjihan dan penta’dilan
serta cara mengetahui keadilan perawi, tingkatan Jarh dan Ta’dil , juga
Literatur Al-Jarh wa Al-Ta’dil. Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil sendiri mempunyai
posisi yang sangat penting dalam disiplin ilmu Hadits, ini untuk menentukan
diterima atau ditolaknya suatu Hadits. Kedudukan ilmu ini semakin signifikan
ketika seseorang hendak melakukan penelitian Hadits atau biasa dikenal
dengan sebutan Takhrij Al-Hadits. Secara terminologis, Nurudin Al-‘Atar
mendefinisikan Al-Jarh sebagai kecacatan seorang perawi yang disebabkan
oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau ke-dhabit-annya.(Al-‘Atar,
1979 : 92) Sedangkan Al-Ta’dil berarti membersihkan seorang perawi dan
menetapkannya bahwa ia adalah seorang yang adil atau dhabit.(Al-‘Atar,
1979 : 92)

Tentang definisi ‘Ilm Al-Jarh wa Al-Ta’dil Al-Khatib (1989 : 261)


mengatakan sebagai Ilmu yang membahas keadaan perawi dari segi
penerimaan atau penolakan riwayatnya. Legalitas ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil
adalah keberadaanya didasari oleh alasan Syar’i (naqli) dan alasan
obyektivitas ilmu (aqli). Sejarah perkembangan Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil
awalnya muncul bersamaan dengan tumbuhnya tradisi periwayatan dalam
Islam. Di bab ini juga ditulis beberapa syarat dan kriteria bagi orang yang
hendak melakukan praktek Tarjih dan Ta’dil. Terdapat tingkatan Jarh dan
Ta’dil yang masing- masing mempunyai 6 peringkat yang menurut ahli
ulama ada tingkatan yang memeperbolehkan Hadits tersebut diterima dan
ada pula tingkatan yang membuat Hadits tersebut ditolak. Dengan melihat
perjalanan sejarah ilmu ini, nampaknya masih terbuka lebar bagi kalangan
pemerhati Hadits Nabi untuk berkiprah di dalamnya. Semakin banyak ilmuwan
dibidang ilmu Jarh wa Ta’dil maka keterpeliharaan hadits-hadits Nabi semakin
terjamin, karena merekalah sesungguhhya penjaga warisan Nabi.

Bab 9 memaparkan tentang Ulumul Hadits, Sejarah dan Perkembangannya


yang membahas tentang Pengertian Ilmu Hadits, Sejarah dan Perkembangan Ilmu
Hadits, Macam-macam Ilmu Hadits dan Tokoh-tokoh Ilmu Hadits dan Karya
Ilmiahnya. Ulumul Hadits sendiri atau biasa disebut dengan Ilmu Hadits adalah
Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang sesuatu yang disandarkan kepada
Rasul SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat-sifatnya. Sejarah dan
perkembangan Ilmu Hadits cikal bakalnya sebenarnya mulai tumnbuh sejak masa
Rasulullah SAW, sejalan dengan penyampaian Hadits-hadits kepada para sahabat.
Setelah Rasul wafat umat Islam menghadapi kesulitan dalam hal penerimaan atau
periwayatan suatu hadits, terutama hadits-hadits yang hanya diterima yang
disampaikan oleh seorang saja. Selanjutnya, tentang perkembangan Ilmu Hadits ini,
Syeikh Nurudin Al-‘Athar, dalam karyanya Al-Madkhal ila ‘Ulumil Hadits (Al-
Syahrazuri, 1972 : 18-19), membagi ke dalam tujuh periode.

Cabang-cabang ilmu hadits yang hampir tak terhitung jumlahnya itu, diantaranya
adalah Ilmu Rijalul Hadits, Al-Jarh wa Al-Ta’dil, ‘Ilmu ilal Hadits, ‘Ilmu Mukhtalif Al-
Hadits, ‘Ilmu Gharieb Al-Hadits, ‘Ilmu Nasikh wa Mansukh Hadits, ‘Ilmu Asbab Wurud
Al-Hadits, ‘Ilmu Tarikh Ar-Ruwah. Di bab ini juga terakhir mambahas tentang tokoh-
tokoh ilmu hadits dan karya-karya ilmiahnya yang tidak bisa disebutkan satu-satu
disini.

Bab 10 ini akan menjelaskan tentang Pembagian Hadits Ditinjau dari Segi
Kuantitasnya. Yang terdiri dari Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.

Pengertian Hadits Mutawatir sendiri adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah
rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang
semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad, dan semuanya bersandar pada
panca indera. Hadits Mutawattir terbagi menjadi 2 bagian, yaitu Hadits Mutawattir
Lafzhiy dan Hadits Mutawattir Ma’nawiy.

Hadits Ahad adalah hadits yang jumlah rawi-rawi pada thabaqat pertama, kedua,
ketiga, dan seterusnya pada hadits tersebut, mungkin satu orang, dua orang, tiga
orang atau lebih. Hadits Ahad dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Masyhur, Aziz dan
Gharib.

Hadits Mutawattir berfaidah sebagai ilmu dharuriy’ , suatu keharusan untuk


menerimanya dengan keyakinan yang qath’iy (pasti). Sedangkan Hadits Ahad
berfaidah sebagai ilmu nazhariy’, harus diadakan penelitian pada status hadits ini,
jika akan dijadikan sebagai hujjah atau dalil.

Bab 11 ini akan memaparkan tentang Pembagian Hadits ditinjau dari Segi
Kualitasnya. Persoalan yang muncul seputar topik ini yaitu, pembagian hadits ke
dalam tiga klasifikasi yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan dan Hadits Dha’if.

Suatu Hadits dapat dinilai shahih apabila memenuhi syarat-syarat berikut :


Sanadnya bersambung, Perawinya adil, perawinya dhabith, haditsnya bukan Hadits
Syad dan Haditsnya bukan Hadits Mu’allal. Para ahli membagi hadits ke dalam dua
bentuk Shahih li Dzatihi (dengan sendirinya) dan Shahih li Ghairihi (Shahih karena
ditopang hadits yang lain). Hukum mengamalkan Hadits Shahih menurut para ahli
hadits adalah wajib.

Seperti halnya Hadits Shahih, Hadits Hasan pun terbagi atas dua bentuk yaitu,
Hasan li Dzatihi dan Hasan li Ghairihi. Hukum mempergunakan Hadits Hasan
dimana dapat dijadikan Hujjah (sandaran dalam beramal) (Al-Nawawi, 1991 : 68).
Hadits Dha’if adalah Hadits yang tidak memuat semua syarat-syarat Hadits
Shahih dan Hadits Hasan. Sebaiknya Hadits Dha’if tidak dipergunakan dalam
beramal.
Termasuk dalam Fadhil Al-A’mal dan Targhib wa Tarhib. Apabila masih ada Nash Al-
Qur’an dan Hadits Shahih dalam persoalan yang dibahas atau dibicarakan.

Bab 12 ini adalah bab terakhir yang akan membahas tentang Ilmu Takhrij Al-Hadits
yang terdiri dari Pengertian Takhrij, Sejarah dan tujuan ilmu Takhrij, Metode Takhrij
dan Analisis : Takhrij sebagai Ilmu Penelitian. Takhrij sendiri maksudnya adalah
sipulan menyebutkan hadits-hadits dengan sanad-sanad miliknya sendiri dan dalam
sanad bertemu dengan perawi dalam sanad pengarang kitab sebelumnya, baik
pada pihak guru yang diatas lagi, maka pengarang yang kedua disebut
mustakhrij.Sejarah dan tujuan ilmu Takhrij menurut Al-Mahdi (TT : 4) bahwa ilmu
takhrij pada mulanya hanyalah berupa tuturan yang belum tertulis menjadi sebuah
kitab. Ada beberapa metode takhrij yaitu sebagai berikut :

1. Takhrij melalui perawai hadits pertama

2. Takhrij melalui lafadz pertama matan hadits

3. Takhrij menurut kata-kata dalam matan hadits

4. Takhrij melalui tema hadits, dan

5. Takhrij berdasarkan status hadits (Al-Thahhan, 1991 : 35)

Langkah-langkah penelitian hadits yaitu sebagai berikut :

1. Melacak hadits di kitab Mana berada

2. Menyusun Struktur Sanad perawi Hadits, dan

3. Melakukan Verifikasi persambungan Sanad.

C. GAGASAN PENTING

Buku ini berisi tentang Pengertian dan Struktur hadits, Hadits sebagai sumber
ajaran Islam, Hadits pada masa Rasulullah pada masa sahabat dan pada masa
Tabi’in, Periwayatan hadits bi al-Lafzdi dan bi al-Ma’na, Hadits Maudhu’ (palsu),
Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, Ulumul Hadits, Hadits ditinjau dari segi kuantitas dan
kualitasnya serta berisi tentang Ilmu Takhrij al-Hadits sebagai petunjuk praktis
untuk melakukan penelusuran dan penelitian tentang keshahihan hadits.

D. ANALISIS BUKU

Keunggulan dan Kelemahan buku :


Di dalam studi Al-Qur’an dan hadist ini, kita mengetahui tentang pengertian, istilah-istilah Al-
Qur-an dan hadits, sejarah dan perkembangan Al-Qur’an dan Hadits, Al-Qur’an dan hadits
ditinjau dari segi kuantitas dan kualitasnya, hadits palsu dan masih banyak lagi. Jadi, tidak
ada salahnya bagi para santri mengoleksi buku ini agar bisa memperdalam pengetahuan
tentang Al-Qur’an dan Hadis .Adapun bagi para umat Islam dan kaum terpelajar mahasiswa
perguruan tinggi
Islam khususnya, buku ini dapat menjadi sumber acuan untuk memahami Ilmu tentang Al-
Qur’an danHadits dan mendapat wawasan ilmu keislaman klasik yang pada saat ini sering
dilupakan oleh umat Islam pada khususnya. Dalam buku ini, pengarang mencoba membahas
segala sesuatu tentang Al-Qur’an dan hadits sampai dengan perkembangannya secara
gamblang membuat buku ini menarik untuk dipelajari.

Namun, buku ini agak sedikit kurang dipahami karena terlalu banyaknya sub-sub judul yang
menjadi penjelasan terhadap pokok bahasannya. Sehingga dalam pemahamannya ditemukan
berbagai kesulitan. Kemampuan penulis dalam menjabarkan contoh tidak begitu menekankan
kepada inti permasalahannya, sehingga diperlukan analisis dan pemahaman yang mendalam.

E. PENUTUP

Kesimpulan :

Hadits merupakan sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an yang bersumber dari
Rasulullah SAW, berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya. Hadits yang
diterima dari Rasul tersebut berjumlah 800 ribu, suatu jumlah yang sangat
banyak ketimbang Al-Qur’an yang hanya sekitar 6 ribu ayat. Di dalam buku ini
menjelaskan tentang pengertian Ilmu Hadits yang berarti ilmu hadist adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang sesuatu yang disandarkan kepada Rasul
SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat-sifatnya. Di buku ini juga
membahas istilah-istilah hadits, sejarah dan perkembangannya, hadits palsu juga
memaparkan hadits ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya, dan juga ilmu cara
dan langkah- langkah untuk menganalisis suatu hadits. Buku ini sangat cocok bagi
para umat Islam dan kaum terpelajar mahasiswa perguruan tinggi Islam
khususnya, buku ini dapat menjadi sumber acuan untuk memahami Ilmu Hadits
dan mendapat wawasan ilmu keislaman klasik yang pada saat ini sering dilupakan
oleh umat Islam pada khususnya. Namun, buku ini agak sedikit kurang dipahami
karena terlalu banyaknya sub-sub judul yang menjadi penjelasan terhadap pokok
bahasannya. Sehingga dalam pemahamannya ditemukan berbagai kesulitan.

Anda mungkin juga menyukai