Anda di halaman 1dari 9

PENDEKATAN SASTRAWI SEBAGAI METODE

PENDEKATAN ANALISIS AL-QUR`AN

Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pendekatan Bahasa dalam Tafsir al-Qur`an

Dosen Pengampu:
Nur Huda, S.Hum., MA.

Oleh:
Amririjal Sholikhul Akmal NIM: 2021.01.01.2144
Muhammad Ibnul Bahril `Amiq NIM: 2021.01.01.2026

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR


SARANG REMBANG
2023
A. Pendahuluan
Dalam artian bahasa Arab, sastra disebut dengan al-adāb yang
bermakna kehalusan budi, adab dan sopan santun. Berarti juga sebagai
percakapan yang tertuang dalam bentuk puisi maupun prosa. Oleh sebab itu,
sastra adalah ungkapan yang dicurahkan oleh seorang sastrawan berdasarkan
apa yang mereka rasakan dan alami dengan ungkapan kata-kata yang inspiratif.
Adapun pendekatan sastra dalam al-Qur`an pendekatan yang mengarah untuk
menggugah perasaan pembaca secara rohani sehingga menimbulkan
kegembiraan didalam jiwa, atau mendatangkan kepedihan.1
Secara bahasa, tafsir berarti menyingkap (al-kashf) dan menjelaskan
makna yang sukar.2 Sedangkan secara istilah, tafsir adalah ilmu untuk
memahami al-Qur`an, menjelaskan maknanya, menggali hukum-hukum serta
hikmah-hikmah yang terkandung didalamnya.3 Adapun yang dimaksud dengan
tafsir sastrawi adalah suatu upaya yang dilakukan oleh seorang mufasir dalam
memahami ayat-ayat al-Qur`an dengan menggunakan pendekatan sastra. al-
Qur`an adalah firman Tuhan yang diturunkan dengan berbahasa arab, sehingga
pemahaman ilmu bahasa Arab merupakan perangkat penting dalam memahami
teks tersebut.
B. Al-Qur`an dan Sastra Arab
Sebagai kitab berbahasa Arab yang kaya akan sastra, Metode Sastra
(al-Manhaj al-Adabī) dalam Tafsir menjadi kajian yang menarik dalam
mengkaji al-Qur`an. Keindahan bahasa inilah yang membidani minat para
intelektual muslim kontemporer untuk menggunakan interpretasi susastra atas
al-Quran, sebagai cara lain untuk merekonnstuksi pesan Ilahi yang dibawanya.
Ia berawal dari keinginan kuat untuk menyingkap sisi keindahan bahasa Al-
Quran. Dari mulai gaya bertutur yang komunikatif sampai banyaknya simbol
yang sarat makna yang sebenarnya bisa mengantar “penafsiran teks” pada
makna yang terdalam dari teks itu sendiri.4 Seperti yang ditawarkan oleh Amin
al-Khuli, Ia menawarkan dua agenda besar yang semestinya dilakukan dalam
1
Habibur Rahman, “Amīn Al-Khūlī, Pendekatan Kritik Sastra Terhadap al-Qur`an, Al-Irfan, 1
(Maret 2019), 94.
2
Mannā` al-Qaṭṭān, Mabāḥīth fī ‘Ulūm al-Qur`ān (Riyad: Manshūrat al-‘Ashr al-Hadīth, 1973),
323.
3
Ibid., 324.
4
Ibid., 103.
proses menafsirkan al-Qur`an, yaitu kajian seputar al-Qur`an (dirasah ma
hawla al-Qur`an) dan kajian terhadap al-Qur`an itu sendiri (dirasah ma fi al-
Qur’an).5
C. Amīn al-Khūlī dan Tafsir Sastrawi
Sebelum lebih jauh membahas tentang tafsir sastrawi, seyogyanya kita
menengok sejenak profil singkat Amīn al-Khūlī, tokoh yang merumuskan
metode tafsir sastrawi ini. Amīn al-Khūlī lahir pada tahun 1895 di kota
Shūshay dari pasangan ‘Abd al-Bāqī’ dan Fāṭimah Bint ‘Alī. Amīn al-Khūlī
merupakan sosok cendikiawan yang amat cerdas. Kepintaran dan
kecerdasannya ini membuatnya diangkat sebagai guru besar studi al-Qur`an di
Universitas Kairo. Di masa ini, Amīn al-Khūlī leih fokus pada bidang sastra
dan studi al-Qur`an. Dia menggagaskan ilmu sastra sebagai bagian primer
dalam studi al-Qur`an dan begitu pula sebaliknya. Namun sayangnya
jabatannya sebagai guru besar harus terhenti akibat kontroversi tesis
Myḥammad Aḥmad Khalafullāh di mana al-Khūlī sebagai supervisornya. Pada
tahun 1966 al-Khūlī wafat di usia 71 tahun dengan meninggalkan berbagai
karya serta murid-murid yang melestarikan pemikirannya.6
Penulisan metode tafsir sastrawi Amīn al-Khūlī ini tidak terlepas dari
gagasan pembaharuan yang digagas oleh Muhammad Abduh. Menurut
Muhammad Abduh, al-Qur`an semestinya menjadi petunjuk bagi umat
manusia, bukan menjadi alat legitimasi bagi suatu golongan ataupun ideologi.
Berangkat dari gagasan Muhammad Abduh tersebut al-Khūlī menggagas
pendekatan tafsir sastrawi. Adapun Landasan utama yang menjadi fondasi
tafsir sastrawi ini adalah cara memandang al-Qur`an sebagai kitab sastra
teragung. Sebsgai kitab sastra teragung, maka al-Qur`an harus mengkajinya
menggunakan pendekatan sastrawi, sebagai bentuk pemenuhan hak atad kitab
ini.
Metode sastrawi sendiri merupakan metode kritik al-Qur`an yang
meninjau dua haluan besar, ekstrinsik dan intrinsik. Kritik ekstrinsik disebut
sebagai dirāsat mā ḥawla al-Qur`ān, sedangkan unsur intrinsik disebutnya

5
Amīn al-Khūlī, Manāhij Tajdīd fī al-Naḥw wa al-Balāghah wa al-Tafsīr wa al-Adab (Kairo: Dār
al-Ma’rifah, 1961), 307.
6
Habibur Rahman, “Amin Al-Khuli”, 5.
sebagai dirāsat mā fī al-Qur`ān. Metodenya ini merupakan langkah awal yang
harus ditempuh oleh peneliti al-Qur’an sebelum kemudian menafsir
1. Dirāsat Mā Ḥawla al-Qur`ān (Kajian Seputar al-Qur`an)
Dirāsat Mā Ḥawla al-Qur`ān atau kajian seputar al-Qur`an dibagi
menjadi dua oleh Amīn al-KhullI, yaitu dirāsat khāṣṣat (kajian khusus)
yang dekat dengan al-Qur`an dan dirāsat al-‘āmmah (kajian umum) yang
sekilas nampak jauh dari diskursus al-Qur`an, namun dalam manhaj tafsir
adabī kajian ini sangat penting guna memperoleh pemahaman yang akurat
dan mendalam.
Yang dimaksud sebagai kajian khusus dalam hal ini adalah kajian
terhadap hal-hal yang harus diketahui seputar al-Qur`an. Kajian ini terfokus
kepada kajian mengenai proses turunnya al-Qur`an, penghimpunannya,
perkembangan dan sirkulasinya dalam masyarakat Arab sebagai objek
wahyu beserta variasi cara baca (qira’ah) dan seterusnya yang kemudian
lebih dikenal dengan istilah ‘ulum al-Qur’an.7
Adapun yang dimaksud dengan kajian umum seputar al-Qur`an
adalah kajian terhadap aspek sosial-historis al-Qur`an, termasuk di
dalamnya situasi intelektual, kultural, dan geografis masyarakat Arab pada
abad ke tujuh ketika al-Qur`an diturunkan. 8 Dengan menyelidiki konteks ini,
penelitian umum memberikan pemahaman yang lebih luas tentang pengaruh
dan relevansi al-Qur`an dalam masyarakat pada waktu itu. Dengan kata lain,
penelitian ini tidak hanya memeriksa teks itu sendiri tetapi juga menjelajahi
konteks historis dan budaya di mana al-Qur`an diturunkan.
2. Dirāsat Mā fī al-Qur`ān (Kajian Intrinsik al-Qur`an)
Kajian ini dimulai dengan penelitian terhadap kosakata. Dalam hal
ini, seorang penafsir harus meneliti entrilinguistik sebuah lafal yang hendak
ditafsirkannya untuk menyingkirkan makna-makna etimologis dari yang
lain; kemudian mengamati makna-makna etimologis entri tersebut, lalu
mengurutkan pengertian yang paling terdahulu atau yang paling dekat
dengan masa nabi, hingga ia benar-benar mantap pada satu pengertian yang
diperolehnya melalu proses pengunggulan (tarjih).
7
Amīn al-Khūlī, Manāhij Tajdid, 308.
8
Nur Kholis Setiawan, Pemikiran Progresif dalam Kajian al-Qur’an (Jakarta: Kencana, 2008), 56.
Setelah melakukan penelitian terhadap makna etimologis suatu
lafal, dilanjutkan dengan mencari makna fungsional lafal tersebut dalam al-
Qur`an dengan cara mencari lokasi-lokasi pemakaiannya, kemudian dikaji
dan diteliti untuk menemukan kesimpulan mengenai pemakaian kata
tersebut. Dengan begitu, penafsir bisa sampai pada kedua tataran
pemaknaan; dari makna-makna etimologis ke makna fungsional yang ada
dalam al-Qur`an. Dengan usaha ini, ia bisa melangkah dengan tenang untuk
melakukan penafsiran atas lafal tersebut pada posisinya di dalam ayat yang
sedang dijadikan obyek penafsiran.9
Adapun pada tahap selanjutnya adalah meneliti susunan kata
(murakkabat). Dalam hal ini, penafsir bisa menggunakan bantuan ilmu-ilmu
bahasa dan sastra, seperti nahwu, balagah dan seterusnya. Alat bantu ini
berguna untuk menjelaskan makna, mendefinisikannya, mengamati titik
kesamaan makna beragam versi qira’at terhadap satu ayat dan titik
perjumpaan makna-makna fungsional yang sejenis di dalam al-Qur`an. 10
Dengan melihat tawaran penafsiran sastrawi yang digagas oleh
Amin al-Khuli, tentunya meniscayakan tafsir tematik (at-tafsir al-maudui).
Dalam artian bahwa pendekatan sastrawi terhadap tafsir tidak akan banyak
berarti tanpa melibatkan tafsir tematik (at-tafsir al-maudui). 11 Hal ini
berangkat dari kenyatan bahwa tata urutan al-Qur`an sama sekali tidak
memperhatikan rentetan waktu.
Melihat pandangan Amin al-Khuli mengenai tafsir sastrawi,
muncul konsep tafsir tematik (at-tafsir al-maudui). Ini mengindikasikan
bahwa pendekatan sastrawi terhadap tafsir tidak akan sepenuhnya bermakna
tanpa melibatkan tafsir tematik (at-tafsir al-maudui). 12 Hal ini disadari
karena urutan Al-Qur'an tidak mengikuti rentetan waktu.
Begitulah Amīn al-Khūlī memaparkan konsep tafsir sastrawi dalam
kitabnya Manāhij al-Tajdīd yang mencakup dua aspek pembahasan,
pembahasan seputar al-Qur`an dan pembahasan al-Qur`an itu sendiri. Namun,
agaknya metode yang dipaparkan Amīn al-Khūlī dalam kitabnya tidak tersusun
9
Amīn al-Khūlī, Manāhij Tajdid, 312-313.
10
Ibid., 314-315.
11
Nur Kholis Setiawan, Pemikiran Progresif dalam Kajian al-Qur’an, 62.
12
Ibid., 62
secara sistematis. Dalam hal ini, secara simpel ‘Āishah bint al-Shāṭi’
menyimpulkan langkah-langkah metode tafsir sastrawi karya Amīn al-Khūlī
pada empat poin, yaitu.13
1. Mengumpulkan semua ayat-ayat dan surah-surah terkait tema yang akan
dikaji.
2. Memahami kajian seputar naṣṣ, Dalam hal ini, ayat-ayat diruntutkan sesuai
dengan urutan turunnya sehingga diketahui waktu dan tempat turunnya ayat.
Hal ini dapat dilakuka dengan menggunakan bantuan riwayat dalam asbāb
al-nuzūl karena asbāb al-nuzūl sendiri merupakan petunjuk penting yang
melingkupi turunnya ayat.
3. Memahami petunjuk-petunjuk dari lafal (dilālāt al-alfāẓ). Sebagaimana
diketahui bahwasanya Bahasa Arab adalah bahasa al-Qur`an. Oleh karena
itu, diharuskan untuk memperoleh petunjuk-petunjuk tersebut dari sumber
aslinya yang memberikan kita rasa kebahasaan dalam penggunaannya yang
berbeda-beda, baik dalam makna hakiki maupun makna majaz. Kemudian,
disimpulkan petunjuk-petunjuk nas tersebut dengan meneliti seluruh
konteks lafal dalam al-Qur`an, baik konteks khusus dalam ayat dan surah
maupun konteksnya secara global dalam al-Qur`an secara keseluruhan.
4. Memahami rahasia-rahasia ungkapan (ta’bīr). Hal ini dilakukan dengan
menghukumi konteks nas dalam kitab dengan berpegang pada apa yang
dimuat dalam nas tersebut beserta semangatnya. Kemudian
membandingkannya dengan pendapat para ulama tafsir dengan menerima
apa yang selaras dengan nas serta menjauhkan diri dari konten-konten
seperti isrāīliyyat, kecacatan fanatisme mazhab dan takwil-takwil yang
bidah.
Lebih simpel lagi, Lailatul Wardah dalam sekripsinya menyingkat
empat langkah tersebut secara lebih simpel. Pertama, mengumpulkan ayat
berdasarkan term. Kedua, mencari asbāb al-nuzūl berdasarkan tartīb al-nuzūl.
Ketiiga, mencari makna awal al-Qur`an dengan merujuk Lisān al-‘Arab.
Keempat, menentukan makna.14

13
‘Āishah bint Abdurraḥmān al-Shāṭi`, Tafsīr al-Bayānī li al-Qur`ān al-Karīm (t.tp.: Dār al-
Ma’ārif, t.th.), 10.
14
Skripsi 96
Dalam skripsi tersebut Lailatul Wardah juga mencoba
mengimplementasikan metode al-Khūlī ini pada penafsiran al-mawt dan al-
ḥayāh. Pertama, dalam pengumpulan ayat-ayat sesuai term yang dikaji, Lailatul
Wardah menemukan bahwa lafal ḥayah dan mawt masing-masing ditemukan
sebanyak 189 dan 161 kali. Untuk mengetahui hal tersebut, peneliti dapat
merujuk pada kitab-kitab seperti Fatḥ al-Raḥmān dan Mu’jam al-Mufahras li
Alfāẓ al-Qur`ān al-Karīm. Namun, di antara ayat-ayat yang mengandung lafaal
hayah tersebut, Laila hanya mengambil sepuluh ayat yang menghimpun kedua
kata tersebut secara bersandingan dengan konjungsi kata wāwu dan thumma.15
Setelah menghimpun ayat-ayat terkait yang akan dikaji, kemudian ayat-
ayat tersebut diurutkan berdasarkan tartīb al-nuzūl-nya. Dalam hal ini, Laila
mengurutkan ayat-ayat yang telah dikumpulkannya dengan urutan sebagai
berikut, al-Najm ayat 44, al-Shu’arā` ayat 81, al-Ghāfir ayat 11, al-Jāthiyyah
ayat 24, al-Mu’minūn ayat 37, al-Mulk ayat 2, al-Rūm ayat 40, al-Ḥajj ayat 66,
sl-Baqarah ayat 28 dan 243. Untuk mengetahui tartīb al-nuzūl ini, peneliti
dapat merujuk kitab seperti karya Muhammad Abid al-Jabiri yang dalam
kitabnya tafsir disusun dengan urutan nuzūl-nya.16
Kemudian, Lailatul Wardah melakukan analisis pada kedua lafal
tersebut dengan merujuk pada kitab mu`jam intralingual seperti Lisān al-‘Arab
dan Mufradāt li Alfāẓ al-Qur`an yang dari analisisnya tersebut Lailatul Wardah
menarik kesimpulan bahwa kata al-mawt dalam al-Qur`an dapat diartikan
sebagai perpindahan sebuah kondisi pada kondisi lain. Al-mawt tidak melihat
dari sisi obyeknya saja, tapi lebih kepada pemaknaan kata al-mawt itu sendiri,
yaitu perubahan kondisi sehingga kata al-mawt tidak hanya diarahkan pada
sesuatu yang memiliki ruh dan dapat berkembang saja, melainkan juga
mencakup pada hal-hal yang lain seperti benda mati namun dapat bergerak dan
diam. Sedangkan hakikat kata al-ḥayāh adalah kebalikannya atau sesuatu yang
memiliki ruh yang mencakup dua hal, yaitu sesuatu yang memiliki ruh (hewan)
dan sesutau yang dapat berkembang. Makna al-ḥayāh secara majaz bisa
diarahkan pada selain makna hakikat di atas, yaitu selain yang memiliki ruh

15
Lailatul Wardah, “Aplikasi Teori Sastra Amīn al-Khūlī Terhadap Ayat-Ayat al-Mawt wa al-
Ḥayah (Skripsi di UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019),75.
16
Ibid., 76.
dan dapat berkembang seperti kata al-ḥayāh yang diartikan memisahkan orang
mukmin dari golongan kafir17

D. Simpulan
Dari penjelasan di atas, diketahui bahwa Amin al-Khuli adalah sosok
cendekiawan muslim modern. Ia terlahir dari keluarga yang agamis sehingga
pemahamannya terhadap agama begitu kuat. Ini terbukti dari berbagai karya-
karya yang telah ditulis olehnya dalam berbagai disiplin ilmu Islam. Diantara
pemikiran-pemikirannya yang menarik adalah upayanya yang ingin
mengintegrasikan antara studi sastra arab dengan al-Qur`an. Ini yang penulis
sebut dengan metode tafsir sastrawi. Ia menawarkan dua metode dalam
menafsirkan al-Qur`an secara sastrawi, yaitu kajian seputar al-Qur`an (dirāsat
mā ḥawla al-Qur`ān) dan kajian mengenai al-Qur`an itu sendiri (dirāsat mā fī
al-Qur`ān). Kajian seputar al-Qur`an mencakup kajian mengenai proses
turunnya al-Qur`an, penghimpunannya, perkembangan dan sirkulasinya dalam
masyarakat Arab sebagai objek wahyu beserta variasi cara baca dan
seterusnya.Begitu pula kajian aspek sosial-historis al-Qur`an, termasuk
didalamnya situasi intelektual, kultural, dan geografis masyarakat Arab pada
abad ke tujuh ketika al-Qur`an diturunkan. Kajian mengenai al-Qur`an itu
sendiri dimulai dengan penelitian terhadap kosakata, berupa pencarian makna
entri-linguistik, etimologis, dan fungsional lafal. Setelah itu, kajiannya beralih
kepada penelitian susunan kata (kajian Nahwu, Saraf dan Balagah) yang
bertujuan untuk menemukan makna yang dimaksud dari ayat tersebut.

17
Wardah, “Aplikasi Teori Sastra Amīn al-Khūlī “, 97.
Daftar Pustaka

Khūlī (al), Amīn. Manāhij Tajdīd fī al-Naḥw wa al-Balāghah wa al-Tafsīr wa al-


Adab. Kairo: Dār al-Ma’rifah. 1961.
Qaṭṭān (al), Mannā`. Mabāḥīth fīi ‘Ulūm al-Qur`ān. Riyad: Manshūrat al-‘Ashr
al-Hadīth, 1973.
Rahman, Habibur. “Amin Al-Khuli, Pendekatan Kritik Sastra Terhadap al-
Qur`an”. Al-Irfan, 1, 2019.
Setiawan, Nur Kholis. Pemikiran Progresif dalam Kajian al-Qur’an. Jakarta:
Kencana, 2008.
Shāṭī (al), ‘Āishah bint ‘Abdurraḥmān. Al-Tafsīr al-Bayānī li al-Qur`ān al-Karīm.
T.tp: Dār al-Ma’ārif, t.th.
Wardah, Lailatul., “Aplikasi Teori Sastra Amīn al-Khūlī Terhadap Ayat-Ayat al-
Mawt wa al-Ḥayah”. Skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019.

Anda mungkin juga menyukai