Anda di halaman 1dari 12

Nama : Risma Dewi Lestari

Nim : 53020210047

Kelas : IAT - D

UTS REVIEW
Jurnal 1 : Kusroni, “Mengenal Ragam Pendekatan,
Metode, Dan Corak Dalam Penafsiran Al-Qur’an”, KACA,
(Vol. 9 No. 1, 2019)
Jurnal 2 : Ummi Kalsum Hasibuan, Risqo Faridatul Ulya,
dan Jendri, J, “Tipologi Kajian Tafsir: Metode, Pendekatan
dan Corak dalam Mitra Penafsiran Al-Qur’an”, Ishlah,
(Vol. 2 No. 2, 2020)

Mata kuliah : Ushul at-tafsir wa qawa’iduh

Dosen pengampu : Dr. Tri Wahyu Hidayati, M. Ag.


A. TEMA
1. Jurnal 1 : Kusroni, “Mengenal Ragam Pendekatan, Metode, Dan Corak Dalam
Penafsiran Al-Qur’an”, KACA, (Vol. 9 No. 1, 2019).
Penulis berusaha memaparkan ragam pendekatan yang digunakan ulama tafsir
Al-Qur’an sejak periode klasik sampai modern-kontemporer. Penulis menggunakan
tipologi yang dibuat oleh Abdullah Saeed, selain itu ia juga mengembangkan gagasan
mengenai penekanan pada pendekatan kontekstual, terutama mengenai penafsiran
etika-hukum.
2. Jurnal 2 : Ummi Kalsum Hasibuan, Risqo Faridatul Ulya, dan Jendri, J, “Tipologi
Kajian Tafsir : Metode, Pendekatan dan Corak dalam Mitra Penafsiran Al-
Qur’an”, Ishlah, (Vol. 2 No. 2, 2020).

Penulis berusaha mememaparkan makna-makna dari metode, pendekatan dan


corak penafsiran Al-Quran. Dalam memaparkan tulisannya penulis menggunakan
metode deskriptif-kualitatif.

B. METODE TAFSIR
1. Metode Tahlili (Analitis)

Kata tahlili berasal dari bahasa Arab (halalla-yuhalillu-tahlilan) yang berarti


mengurai atau menganalisa.

Metode tafsir tahlili adalah suatu metode penafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an


secara rinci dan jelas dengan cara memaparkan dan mendeskripsikan makna-makna
yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai segi dan mengikuti urutan
dalam mushaf itu sendiri serta memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara koheren tanpa
beralih pada ayat-ayat lain yang berkaitan kecuali untuk memberikan pemahaman
lebih baik.

Contoh kitab tafsir metode tahlili :

a. Kitab Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an karya Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H/
922 M), terdapat 15 jilid dengan 7.125 halaman.
b. Kitab Tafsir Al-Qur’an al- ‘Azhim karangan al-Hafizh Imam al-Din Abi al-Fida’
Isma’il bin Katsir alQuraisyi al-Dimasyqi (w. 774 H/ 1343 M), kitabnya
berjumlah 4 jilid dan 2.414 halaman (termasuk 58 halaman sisipan ilmu tafsir
pada jilid terakhir).
c. Kitab Adhwa’ al-Bayanfi Idhah Al-Qur’an bi Al-Qur’an disusun oleh Muhammad
al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Jakani al-Syanqithi dalam 10 jilid dengan
6.771 halaman.

Kelebihan metode tafsir tahlili :

a. Mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas ketika memahami Al-Qur’an.


b. Memuat berbagai ide maupun gagasan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.

Kekurangan metode tafsir tahlili :

a. Membuat petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga


seakan-akan terlihat bahwa Al-Qur’an memberikan pedoman secara tidak utuh,
tidak mendalam dan tidak pula konsisten sebab penafsiran yang diberikan pada
suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama
dengannya.
b. Menggunakan penafsiran secara subjektif, sehingga dapat memberikan peluang
yang luas bagi mufasir untuk menyampaikan ide-ide dan pemikirannya.
c. Masuknya pemikiran israiliyat, dan biasanya bersifat kisah-kisah ataupun cerita-
cerita.
2. Metode Ijmali (Global)
Metode tafsir ijmali adalah memahami dan menjelaskan makna ayat
terkandung dalam Al-Qur’an secara ringkas, umum dan menggunakan bahasa yang
mudah dimengerti maupun gaya bahasa yang populer digunakan. Mufasir berusaha
untuk mengaitkan antara teks Al-Qur’an dengan makna, yaitu mengutarakan makna
tersebut dengan menyebutkan teks Al-Qur’an yang berkaitan dengan makna-makna
itu secara jelas.

Contoh kitab tafsir ijmali :


a. Tafsir al-Jalalain karangan Jalaluddin al-Suyuthiy.
b. Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya Muhammad Farid Wajdi.

Kelebihan metode tafsir ijmali :

a. Metode yang praktis, ringkas dan mudah untuk dipahami.


b. Bebas dari pemahaman israiliyat, maksudnya tafsir ijmali ini relatif murni, asli
sehingga terbebas dari pemikiran-pemikiran israiliyat.

Kekurangan metode tafsir ijmali :

a. Terdapatnya petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial.


b. Tidak terdapat ruangan untuk mengemukakan ataupun menjelaskan analisis yang
memadai.
3. Metode Maudhu’i (Tematik)

Maudhu’i secara bahasa berasal dari kata(‫ – مو ضع‬I‫ )وضع – يضع – وضعا‬:
yang berarti menaruh, meletakkan sesuatu.

Metode tafsir maudhu’i adalah penafsiran Al-Qur’an tidak berdasarkan urutan


ayat atau surat melainkan dengan tema atau topik yang dikaji. Pertama
mengumpulkan ayat dan surat yang berkaitan dengan tema tersebut layaknya
menghimpun bagian-bagian badan yang terpisah, kemudian mengikatnya satu sama
lain, dengan itu terbentuklah gambaran tema secara utuh sehingga ayat-ayat Al-
Qur’an akan saling menafsirkan satu sama lain.

Contoh kitab tafsir metode maudhu’i :

a. Kitab al-Tafsir al-Wadhih karya Muhammad Mahmud al-Hija’i.


b. Kitab al-Mar’ah fi al-Qur’an karya ‘Abbas Mahmud al-Aqqad.

Langkah-langkah yang ditempuh mufasir dengan metode maudhu’i :

a. Menentukan masalah atau tema yang akan dibahas.


b. Mengumpulkan atau menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan judul.
c. Menelusuri latar belakang turunnya ayat-ayat yang telah dihimpun.
d. Meneliti dengan serius seluruh kata atau kalimat yang digunakan dalam ayat
tersebut, yaitu mengenai kosakata yang menjadi pokok permasalahan didalam
ayat itu.
e. Mengkaji pemahaman terhadap ayat-ayat itu dari berbagai macam pemahaman
aliran maupun pendapat para mufasir, baik mufasir klasik maupun kontemporer.
f. Mengkaji secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang
objektif melalui kaidah tafsir, didukung oleh fakta (bila ada) dan argumen-
argumen dari Al-Qur’an.

Kelebihan metode tafsir maudhu’i :

a. Dapat menjawab tantangan zaman, berarti metode ini mampu mengatasi


perkembangan zaman yang selalu berubah dan berkembang.
b. Praktis dan sistematis. Metode ini sangat cocok dengan kehidupan ummat yang
memiliki mobilitas yang sangat tinggi, karena mereka tidak memiliki waktu untuk
membaca kitab-kitab tafsir yang besar.
c. Dinamis, artinya menimbulkan kesan bahwa Al-Qur’an selalu mengayomi dan
membimbing ummat.
d. Membuat pemahaman menjadi utuh.

Kekurangan metode tafsir maudhu’i :

Adanya penetapan judul dalam penafsiran, maka dengan sendirinya membuat suatu
permasalahan jadi terbatas (sesuai dengan topik itu saja), padahal jika dilihat pada
ketentuan Al-Qur’an, tidak mungkin ayat-ayat yang ada padanya mempunyai
keterbatasan itu tidak mencakup seluruh makna yang dimaksud.

4. Metode Muqarin (Perbandingan)


Secara etimologi muqaran berasal dari kata (‫ )قارن – يقارن – مقارنة‬: berarti
perbandingan (komparatif), menyatukan atau menggandengkan.
Tafsir muqarin adalah upaya yang dilakukan oleh mufasir dalam memahami
satu ayat atau lebih kemudian membandingkan dengan ayat lain yang memiliki
kedekatan atau kemiripan tema tapi redaksinya berbeda, atau memiliki kemiripan
redaksi tapi maknanya berbeda, atau membandingkannya dengan teks hadits Nabi
Saw., perkataan sahabat, dan tabi’in.

Diklasifikasikan menjadi empat macam :

a. Perbandingan antar ayat Al-Qur’an (muqaranah bain al ayat Al-Qur’an).


b. Perbandingan antara ayat Al-Qur’an dengan teks hadits Nabawi.
c. Perbandingan pendapat antar mufassir.
d. Perbandingan pendapat antar mufassir.

Kelebihan metode ini memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas
kepada pembaca apabila dibandingkan dengan metode-metode lain. Sebab dalam
penafsiran terlihat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu dapat ditinjau dari berbagai disiplin
ilmu pengetahuan sesuai keahlian mufasir. Selain itu untuk selalu bersikap toleran
terhadap berbagai pendapat orang lain yang terkadang jauh berbeda dari pendapat
seseorang dan tidak mustahil ada yang bertentangan atau kontradiktif. Serta metode
komparatif ini mendorong mufasir untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis
serta pendapat ulama tafsir lain.

Kekurangan dari metode muqarin bahwa penafsiran menggunakan metode


komparatif ini tidak bisa diberikan kepada para pemula, seperti mereka yang sedang
belajar pada tingkat sekolah menengah ke bawah dan metode ini belum bisa
diandalkan untuk menjawab persoalan-persoalan sosial yang tumbuh ditengah-tengah
masyarakat.

5. Metode Hermeneutika

Hermeneutika secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, yakni hermeneuein


berarti menjelaskan. Sedangkan dalam bahasa Jerman kata tersebut adalah
hermeneutik dan dalam bahasa Inggris menjadi hermeneutics.

M. Quraish Shihab mendefenisikan hermeneutika adalah suatu alat yang


digunakan terhadap suatu teks dalam menjelaskan, memahami dan menganalisis
maksudnya serta memperlihatkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Pembahasan hermeneutik ini telah ada dalam tulisan Aristoteles berjudul peri
hermenians dan diterjemahkan kepada bahasa latin dengan nama De Interpretation.
Tahun 1980-an muncul hermeneutik Al-Qur’an feminis yang dikemukakan oleh
Riffat Hassan. Dan sepuluh tahun kemudian muncullah hermeneutik Al-Qur’an
tentang pluralism religious dan pembebasan berdasarkan dengan pengalaman sosial
penafsir.

C. PENDEKATAN PENAFSIRAN
1. Pendekatan Tekstual
Suatu pendekatan dalam menafsirkan Al-Qur’an lebih menekankan pada teks
dalam dirinya. Suatu tafsir yang menggunakan pendekatan tekstual, biasanya
analisisnya itu lebih cenderung bergerak dari teks kepada konteks dan bersifat lebih
kearaban. Adapun buku tafsir Indonesia yang menggunakan objek ini, secara umum
menekankan perspektif tekstual-reflektif, seperti Kitab Tafsir al-Mishbah, Al-Qur’an
dan Tafsirnya.
2. Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kontekstual adalah pendekatan yang lebih berorientasi pada


konteks pembaca atau penafsir teks Al-Qur’an. Pendekatan ini, kontekstualitas dalam
pendekatan tekstual, yaitu dengan latar belakang sosialhistoris, yang mana teks
muncul dan dikelolah menjadi penting. Bisa dilihat dalam Tafsir Kebencian Argumen
Kesetaraan Gender, Tafsir bil Ra’yi dan Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan
Antar Umat Beragama.

3. Pendekatan Bahasa (Sastra) / Berbasis Linguistik

Pendekatan bahasa adalah dimana seseorang yang ingin menafsirkan Al-


Qur’an dengan pendekatan bahasa harus mengetahui bahasa yang digunakan Al-
Qur’an yakni bahasa Arab dengan mengetahui seluk-beluknya dahulu, baik terkait
dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Dengan mengetahui bahasa Al-Qur’an,
seorang mufasir akan lebih mudah untuk melacak dan mengetahui makna dan
susunan kalimat-kalimat Al-Qur’an sehingga mampu menjelaskan atau mengungkap
makna di balik kalimat tersebut.
4. Pendekatan Historis / Berbasis Tradisi (Riwayah)

Maksud dari pendekatan ini adalah memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan


memperhatikan konteks sejarah turunnya ayat Al-Qur’an tersebut yang disebut
sebagai asbab al-nuzul. Dengan memahami pendekatan ini seseorang bisa
mengetahui hikmah kandungan dari suatu ayat. Kemudian para sahabat yang lebih
tahu tentang sebab-sebab turunya ayat maka, pendapatnya itu lebih didahulukan
terhadap pengertian dari suatu ayat, dibandingkan dengan sahabat yang tidak
mengetahi sebab-sebab turunnya ayat.

5. Pendekatan Sosio-Historis

Pendekatan sosio-historis merupakan pendekatan yang sangat penting untuk


melihat setiap data, yaitu memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan melihat konteks
sosio-historisnya dan setting sosial pada saat dan menjelang ayat Al-Qur’an
diturunkan ketika dalam mengkaji suatu penafsiran tersebut.

6. Pendekatan Berbasis Logika

Seorang mufasir harus mengaktifkan seluruh daya pikirnya (ijtihad) untuk


menghubungkan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan atau menjelaskan hal-hal gaib
yang tidak bisa dinalar dengan cara tertentu, sehingga tidak bertentangan dengan
sains modern. Muhammad Abduh misalnya, memaknai batu-batu dari sijjil yang
dibawa oleh burung-burung Ababil sebagai mikrobia atau virus pembawa penyakit.

7. Pendekatan Berbasis Tasawuf

Seorang mufasir yang mendekati Al-Qur’an secara mistis melihat ayat-ayat


Al-Qur’an sebagai simbol atau isyarat, merujuk pada perkara yang melampaui makna
kebahasaannya. Dengan kata lain, menurut para pengguna pendekatan ini, Al-Qur’an
memiliki dua tingkat makna, yakni makna lahir dan makna batin. Makna lahir Al-
Qur’an adalah makna kebahasaan yang dibahas oleh para mufasir pada umumnya,
sedangkan makna batin adalah pesan tersembunyi di balik kata-kata.

D. CORAK PENAFSIRAN
1. Corak Lughawi

Corak lughawi adalah penafsiran yang dilakukan dengan kecenderungan atau


pendekatan melalui analisa kebahasaan. Tafsir model seperti ini biasanya banyak
diwarnai dengan kupasan kata per kata (tahlil al-lafz), mulai dari asal dan bentuk kosa
kata (mufradat), sampai pada kajian terkait gramatika (ilmu alat), seperti tinjauan
aspek nahwu, sarf, kemudian dilanjutkan dengan qira’at. Tak jarang para mufasir juga
mencantumkan bait-bait syair arab sebagai landasan dan acuan. Oleh karena itu,
seseorang yang ingin menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan bahasa harus
mengetahui bahasa yang digunakan Al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala seluk-
beluknya, baik yang terkait dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Diantara kitab
tafsir yang menekankan aspek bahasa atau lughah adalah Tafsir al-Jalalain karya
bersama antara al-Suyuti dan al-Mahalli, Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi,
dan lain-lain.

2. Corak Filsafat

Di antara pemicu munculnya keragaman penafsiran adalah perkembangan


kebudayaan dan pengetahuan umat Islam. Maksud dari corak ini adalah menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan logika dan teori-teori filsafat bersifat
radikal atau liberal.

Munculnya corak penafsiran ini seiring dengan berkembangnya ilmu-ilmu


agama dan sains diberbagai wilayah kekuasaan Islam yakni ketika periode
penterjemahan dimasa Abbasiyah. Pada waktu itu buku-buku filsafat Yunani banyak
diterjemahkan dalam bahasa Arab dan saat itu adalah karya Plato dan Aristoteles.
Adapun tafsir yang menggunakan corak ini adalah tafsir Mafatih al-Ghaib karya
Imam Fakhr al-Din Razi dan Tahafut al-Tahafut karya Ibnu Rusyd.

3. Corak Ilmiah (Sciens)

Corak ini muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tafsir
‘ilmi adalah penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan melakukan pendekatan ilmiah
atau mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an berorientasi pada teori-teori ilmu pengetahuan.
Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk memerdekakan akal dari belenggu keraguan,
melepaskan belenggu-belenggu berfikir, dan mendorongnya untuk mengamati
fenomena alam.

Kitab-kitab tafsir yang menggunakan corak penafsiran ini adalah kitab al-
Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an karangan Thanthawi Jawhari (1287-1358 H) terdiri 13
jilid, 26 juz dan 6.335 halaman, kitab al-Tafsir al-Ilmi li al-Ayat al-Kawniyah fi Al-
Qur’an karya Hanafi Ahmad dan kitab al-Isyarat al-Ilmiyah fi Al-Qur’an al-Karim
karya Dr. Muhammad Syawqi al-Fanjari.

4. Corak Fikih

Corak fiqhi merupakan corak yang berkembang. Tafsir fiqhi lebih popular
disebut tafsir ayat al-Ahkam atau tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-
ayat hukum dalam Al-Qur’an. Dilihat dari sisi pro-kontranya, tafsir corak fiqhi
merupakan jenis corak yang banyak diterima hampir semua mufasir. Tafsir ini berusia
sudah sangat tua, karena kelahirannya bersamaan dengan kelahiran tafsir Al-Qur’an
itu sendiri.

Banyak sekali judul kitab yang layak untuk disebutkan dalam deretan daftar
nama-nama kitab tafsir ayat al-Ahkam, baik dalam bentuk tahlili maupun maudu’i,
antara lain : Ahkam Al-Qur’an karya al-Jassas (917-980 M), seorang faqih mazhab
Hanafi. Ahkam Al-Qur’an karya ibn al-‘Arabi (1075-1148 M). al-Jami’ li ahkam Al-
Qur’an karya al-Qurtubi (w:1272 M). ahkam Al-Qur’an karya al-Shafi’i (w: 204 H.).
dan masih banyak lagi karya tafsir di bidang fikih atau Tafsir Ahkam.

Contoh tafsir fiqhi antara lain adalah: kalimat ‫ وأرجلكم‬dalam masalah wudhu’
yang terdapat dalam surah al-Maidah ayat 6. Jika dibaca mansub (fathah) maka yang
wajib dilakukan pada kaki ketika berwudhu’ adalah membasuh bukan mengusap.
Akan tetapi jika majrur (kasrah) maka yang wajib hanya mengusap.

5. Corak Tasawuf

Menurut Quraish Shihab, corak ini muncul akibat munculnya gerakan-gerakan


sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai
kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. Disamping karena dua faktor yang
dikemukakan oleh Qurais Shihab di atas, faktor lain adalah karena berkembangnya
era penerjemahan karya-karya filsafat Yunani di dunia Islam, maka muncul pula
tafsir-tafsir sufi falsafi.

Corak ini dibagi menjadi dua macam :

a. Tafsir Sufi al-Nazhariy adalah tafsir yang disusun oleh ulama-ulama dalam
penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang berpegang pada teori-teori tasawuf yang
mereka perpegangi dan dikembangkan.
b. Tafsir Sufi al-Isyari berarti penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang berusaha
mentakwilkan berdasarkan isyarat-isyarat yang tersembunyi dan hanya diketahui
oleh para sufi ketika mereka melaksanakan suluk.
Diantara kitab-kitab tafsir yang bercorak sufi :
a. Tafsir Al-Qur’an al-Azhim karya Abdullah al-Tustariy (w.283 H).
b. Kitab Ara’is al-Bayan fi Haqaiq Al-Qur’an karya Imam al-Syiraziy (w. 606
H).
c. Tafsir Al-Qur’an karya Sahal ibn Abdillah al-Tustari (w: 283H).
d. Haqaiq al-Tafsir karya Abu Abdurrahman al-Sulamiy (w: 412 H).
6. Corak al-Adabi wa al-Ijtima’i

Al-Adabi wa al-Ijtima’i terdiri dari dua kata, yaitu al-Adabi dan al-
Ijtima’i. Corak tafsir yang memadukan filologi dan sastra (tafsir adabi), dan corak
tafsir kemasyarakatan. Corak tafsir kemasyarakatan ini sering dinamakan juga
ijtima’i.

Kata al-Adabi dilihat dari bentuknya termasuk masdar dari kata kerja
(madi) aduba, yang berarti sopan santun, tata krama dan sastra. Sedangkan kata
al-Ijtima’i bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan
kemasyarakatan/sosial. Jadi secara etimologis tafsir al-Adabi al-Ijtima’i adalah
tafsir yang berorientasi pada sosial- kemasyarakatan, atau bisa disebut dengan
tafsir sosio-kultural.
Kepopuleran corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh
(1849-1905). Corak tafsir al-Adabi al-Ijtima’i adalah corak tafsir yang
menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung
dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit
masyarakat atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan
mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti
tapi indah didengar. Jadi, corak penafsiran al-Adabi al-Ijtima’ adalah corak
penafsiran yang berorientasi pada budaya kemasyarakatan.

Anda mungkin juga menyukai