Anda di halaman 1dari 2

SISTEM POLITIK IBNU TAIMIYAH

1. Bentuk Negara
Berdasarkan karyanya yang berjudul Minhāj al-Sunah al-Nabawiyah ibnu Taimiyah
memaparkan bahwa negara merupakan kelanjutan dari telah masalah-masalah teologis dari
kalangan mazhab islamiyah qodariyah, syiah, murjiah. Dalam pandangan ibnu taimiyah asal
usul negara, dasarnya tidak ditemukan secara eksplisit didalam Al-Qur’an dan hadis.
Sehingga timbul perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang ada dan tidaknya imamah
dalam kepemimpinan. Para pemikir muslim mempunyai pendapat tentang konsep Negara
dan kepemimpinan negara dalam bentuk yang berbeda-beda. Ibn taimiyah berpendapat sama
dengan golongan sunni. Ibn taimiyah berpendapat bahwa yang mengatur urusan umat
merupakan kewajiban agama. Namun, bukan berarti agama tidak bisa tegak tanpa adanya
negara. Yang dimaksud dengan urusan manusia yaitu tidak bisa terpenuhinya segala urusan,
kecuali dengan bergabung menjadi satu menjadi satu masyarakat. Alasan ibnu taimiyah
dalam mendirikan negara yaitu agar terwujudnya kemaslahatan manusia ( maslahah ), dan
melaksanakan syariat islam (iqamat al-syariah al-islamiyah). Dalam agama terdapat
seperangkat hukum, perintah dan larangan. Maka dari itu Allah SWT memrintahkan manusia
untuk ber amar ma’ruf nahi munkar. Semua perntah itu tidak dapat terlaksana kecuali dengan
adanya kekuasaan dan kepemimpinan. Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa mengatur orang
banyak adalah kewajiabn agama. Maka dari itu dia menganggap bahwa tidak penting sistem
khilafah , institusi khilafah boleh dihilangkan. Ia menolak sistem khilafah karena persoalan
pokok dan teori Islam bukan bukanlah pada lembaga khalifah retapi pada hukum syara’
2. Pengangkatan kepala negara
Ibnu Taimiyah sepaham dengan teori politik sunni dalam otoritas politik atau imamah.
Menurutnya memimpin dan mengendalikan rakyat adalah hak asasi dalam agama bahkan
kepemimpinan diperlukan dalam merealisasikan dalam penegakan agama. Begitu pentingnya
pemimpin, dalam karyanya al-syiyasah al-syar’iyyah mensyaratkan pemimpin, yaiti sebagai
berikut :
a. Sesuai dengan Q.S. al-Nisā’/4:58-59, pemimpin itu harus diangkat yang paling Baik
(aṣlaḥ).
b. Memilih yang terbaik kemudian yang dibawahnya.
c. Negara harus didasarkan atas hukum dan moral atau syariat dan etik, yaitu pemimpin
harus berlaku adil, bermusyawarah, dan amanah serta berakhlak mulia.
d. Perlu ada kerjasama antara umara dan ulama dalam mewujudkan kemaslahatan
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa membentuk imarah (pemimpin), juga merupakan
kewajiban agama. Salah satu faktor instrumental dalam mewujudkan kesejahteraa bersama
yaitu, adanya kepala negara. Rasulullah SAW, bersabda “ bahwa tujuh puluh tahun
kehidupan sosial idbawah kekuasaan represif masih lebih baik dari hidup sosial tanpa ada
kepemimpinanatau lebih baik dari anarkhi”.
Dapat disimpulkan bahwa Ibn taimiyah mensyaratkan dua hal utama yang harus ada pada
diri kepala negara yaitu memiliki kualilfikasi kekuatan ( al-quwwah) dan integritas (al-
amanat).
Kekuasaan integirtas dapat diperoleh melalui cara mubaya’ah ( sumpah setia ) yang diberikan
oleh al-syawkah. Yang efektif kepada kepala negara. Mubaya’ah menjadi kontrak sosial
antara kepala negara dengan masyarakat. Yang dimaksud dengan ahl-syawkah adalah semua
orang, tanpa memandang profesi dan kedudukan mereka,a dihormati dan ditaati masyarakat.
Dalam menunjuk pengangkatan pembantu dari kepala negara, bahawa seorang kepala negara
harus menacari orang yang secara objektif betul-betul mempunyai kecakapan, dan
mempunyai kemamppuan dalam megemban jabatan tersebut. Adapun mengenai tugas utama
dari kepala negara yaitu menciptakan kemslahatan bersama dan dapat menjalankan Amanah
dengan sebaik-baiknya serta mampu menciptakan keadilan.

3. Bentuk pemerintahan
Bentuk kepemimpinan ibnu taimiyah cenderung berbentuk demokratis. Bentuk demokratis
yang dikehendaki Ibnu Taimiyah adalah demokratis konstitusional yang berlandaskan nilai-
nilai syariat dan berlandaskan keinginan rakyat dan memberikan rakyat berpartisipasi dalam
politik. Maka dari itu praktik kenegaraan Ibnu Taimiyah bukan atas dasar formal (tekstual),
melainkan karena kemaslahatan. 1 Dalam karyanya minhaj dan siyasah Ibnu Taimiyah
Menyusun teori politik sesuai Al-Qur’an dan sunah. Dasar teori yang digunakan Ibnu
Taimiyah berdasarkan atas nusus Al-Quran dan hadis beserta asar sahabat nabi. Oleh kerena
itu Ibnu Taimiyah ketat dalam menerapkan Al-Qur’an dan sunah dalam berbagai bidang
kehidupan. Dari teori ibnu Taimiyah tersebut tidak hanya sebagai jawaban terhadap teori
mazhahib islamiyah yang ada pada waktu itu, tetapi beliau mengembalikan apa yang terjadi
dikalangan intelektual masyarakat Islam dan mengembalikan pola kepemimpinan seperti apa
yang tetjadi pada masa Rasulullah Saw dan sahabat, seperti yang telah dilakukan oleh
Khulafaur Rasyidin. 2
Ibnu Taimiyah menolak konsep Ahlu Halli w aqdi yang mana suatu kelompok mempunyai
kekuasaan besar dalam menentukan hasil proses konstitusi, sehingga mereduksi praktek
sunpah setia ( bai’at ). Ibmu Taimiyah lebih menawarkan Konsep Ahlu al-Syaukah , yaitu
orang yang memegang kekuasaan. Karena sebuah negara tidak didirikan oleh sekelompok
ulama yang disebut ahlu halli, melainkan negara dibentuk oleh sekelompok masyarakat
melalui kerjasama karena sebuah kekuasaan politik tidak dapat berdiri kokoh tanpa didukung
kekuatan pisik. Dalam Islam titik berat pemerintahan terletak pada kooperasi ( kerjasama ),
konstitusi,dan hubungan perjanjian melalui bai’at.3

1
Zaman, Qamaruz. "Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah." Politea: Jurnal Politik Islam 2.2 (2019): 111-129.
2
Bakry, Kasman, Abdul Haris Abbas, and Abdullah Nazhim Hamid. “Konsep Kepemimpinan Negara Islam (Studi
Komparasi Pemikiran al-Mawardi dan Ibnu Taimiyah).” NUKHBATUL’ULUM: Jurnal Bidang Kajian Islam 7.1
(2021): 1-19.
3
Mahmuddin, Mahmuddin. “Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah.” Tahdis: Jurnal Kajian Ilmu Al-Hadis 6.2 (2015).

Anda mungkin juga menyukai