Anda di halaman 1dari 3

Aliran Interessenjurisprudenz

DEFINISI
Sebagai reaksi terhadap Begriffjurisprudenz lahirlah pada abad ke 19 di
Jerman Interessejurisprudenz yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering (1818-1892) suatu
aliran yang menitikberatkan pada kepentingan-kepentingan (interessen) yang difiksikan.
Oleh karena itu aliran ini disebut interessejurisprudenz. Interessenjurisprudenz ini
mengalami masa jayanya sebagai aliran ilmu hukum pada dasa warsa pertama abad ke 20
di Jerman.
Aliran ini berpendapat bahwa peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh hakim sebagai formil-
logis belaka, tetapi harus dinilai menurut tujuannya. Menyadari bahwa sistematisasi hukum
tidak boleh dibesar-besarkan, maka von Jhering mengarah kepada tujuan yang terdapat di
belakang sistem dan merealisasi “idée keadilan dan kesusilaan yang ta’ mengenal waktu”.
Aliran ini berpendapat bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk melindungi,
memuaskan atau memenuhi kepentingan atau kebutuhan hidup yang nyata. Dalam
putusannya hakim harus bertanya kepentingan manakah yang diatur atau dimaksudkan oleh
pembentuk undang-undang. Philip Heck, yang termasuk salah seorang penganut aliran ini,
berpendapat bahwa tanpa pengetahuan tentang kepentingan sosial, moral, ekonomi kultural
dan kepentingan lainnya, dalam peristiwa tertentu atau yang berhubungan dengan
peraturan tertentu, pelaksanaan atau penerapan hukum yang tepat dan berarti, tidak
mungkin.
Pembentuk undang-undang sewaktu merumuskan peraturan telah mempertimbangkan
pelbagai kepentingan dan akhirnya mengambil pilihan. Dalam ketentuan undang-undang
telah ditetapkan kepentingan-kepentingan mana yang dimata pembentuk undang-undang
itu mempunyai nilai. Apabila kemudian diminta putusan dari hakim (dalam konflik
kepentingan), maka ia harus menyesuaikan dengan ukuran nilai yang dimuat dalam undang-
undang. Ia tidak boleh atas kemauannya sendiri menilai kepentingan konkrit pihak-pihak
yang bersangkutan, akan tetapi mengeluarkan unsur-unsur itu yang telah dinilai oleh
pembentuk undang-undang dan berkaitan dengan itu mengambil putusan. Yang
menentukan terutama adalah selalu penilaian oleh pembentuk undang-undang. Hakim
dalam putusannya harus bertanya kepentingan manakah yang diatur atau dimaksudkan oleh
pembentuk undang-undang.
CONTOH
A menjadi seorang hakim, kemudian ada sebuah kasus tentang seseorang yang mencuri
uang dengan menggunakan internet (hacking), lalu didalam kodifikasi tidak diatur mengenai
pidana pencurian uang dengan menggunakan internet, karena A adalah seorang hakim
yang menggunakan aliran Interessenjurisprudenz atau hukum bebas, maka A bisa memutus
perkara tersebut tanpa menitikberatkan pada undang-undang.
KELEBIHAN
Hukumnya selalu mengikuti perkembangan zaman sehingga mampu dirasakan keadilan.
Hakim juga mampu dan diberi kebebasan menilai dan menimbang kepentingan-kepentingan
masyarakat.
KEKURANGAN / KELEMAHAN
Aliran ini terlalu menitikberatkan kepada kebebasan hakim, sehingga dapat menimbulkan
akibat bahwa seorang hakim dapat saja dengan leluasa menciptakan hukum yang berlaku
bagi semua masyarakat (umum) hal mana adalah menjadi tugas dari badan legislatif atau
hakim dapat melakukan kesewenangan atas kebebasan yang diberikan.
Aliran Legisme
DEFINISI
Pada abad ke-19, lahir suatu pemikiran, bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-
undang. Kemudian, hakim di pengadilan hanya menerapkan undang-undang terhadap
peristiwa konkret.
Aliran legisme berpendapat bahwa semua hukum bersumber dari penguasa tertinggi, dalam
hal ini yaitu pembentuk undang-undang. Di Indonesia, penguasa yang berwenang untuk
membentuk undang-undang adalah DPR RI (Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945).
Aliran legisme dipengaruhi oleh ajaran trias politica. Yang mana, tidak ada tempat untuk
hukum kebiasaan (custom law) sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri.
Pembagian hukum dapat dibedakan antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Lahirnya
hukum tertulis tentunya pada saat tatkala orang mulai pandai menulis dan membaca.
Hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis sudah lama dikenal pada saat orang hidup
bermasyarakat.
Sebelum tahun 1800 SM sebagian besar hukum yang digunakan pada saat itu adalah
hukum kebiasaan. Sedangkan hukum tertulis untuk pertama kalinya dalam sejarah adalah
undang-undang Hamurabi pada zaman Kerajaan Babilonia Irak pada sekitar tahun 1950
SM.
Hukum kebiasaan sumbernya adalah kebiasaan sehari-hari yang didasarkan pada
pandangan dan kesadaran orang-orang dalam masyarakat yang bersangkutaan bahwa
kebiasaan itu adalah memang seharusnya ditaati. Sejalan dengan kemajuan
kemasyarakatan dan kenegaraan yang makin lama makin luas, orang mulai merasa tidak
puas dengan hukum yang tidak tertulis.
Sebagai reaksi terhadap ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum kebiasaan. Di Eropa
muncul gerakan kodifikasi sekitar abad 19 dengan berupaya menuangkan semua hukum
secara lengkap dan sistematis dalam kitab undang-undang. Hukum kebiasaan sebagai
sumber hukum mulai ditinggalkan. Di Perancis pada akhir abad 18
diadakan kodifikasi undang-undang yang dicontoh oleh seluruh Eropa. Di
Belanda kodifikasi hukum dilakukan pada tahun 1838 M. Timbulnya gerakan kodifikasi ini
disertai dengan lahirnya aliran legisme.
Sesuai dengan teori Montequieu ataupun Rousseau, aliran legisme berpendapat bahwa
kedudukan Pengadilan adalah pasif. Ia hanya terompet undang-undang, ia hanya bertugas
melakukan sesuatu hal yang konkrit dalam peraturan undang-undang dengan
jalan silogisme hukum, secara deduksi yang logis. Pengadilan tidaklah merupakan penentu
(determinant) pembentuk hukum. Satu-satunya adalah badan pembentuk undang-undang
saja. Penganut teori ini antara lain Montequieu, Rousseau, Robbespierre, Fenenet,
Rudolf Van Jhering, G. Jllineck. Carre de Malberg, H. Nawiastski dan Hans Kelsen.
CONTOH
Ada seorang nenek yang mengambil 2 batang cokelat tanpa meminta dan membayar. Lalu
hakim menyelesaikan perkara ini dengan menggunakan Pasal 362 KUHPidana yang
berbunyi “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam
karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah”. Berdasarkan pasal dari UU tersebut, dapat diyakinkan dan
sah bersalah nenek tersebut melakukan tindak pidana pencurian sebagaimana diatur dalam
Pasal 362 KUHPidana.
KELEBIHAN
Aliran ini melandaskan bahwa sumber hukum ialah Undang-Undang yangmana peraturan
tersebut bersifat pasti dan tetap. Kemudian, dapat terjamin sebanyak-banyaknya
kepentingan masyarakat, terjaminnya kepastian hukum sehingga tindakan sewenang-
wenang dapat terhindarkan, adanya pegangan pasti bagi para penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya.
KEKURANGAN
Para hakim akan menganalisa, mempelajari dengan menggunakan deduksi logis, juga
banyaknya peraturan perundang-undangan yang relative terbatas atau minimnya UU untuk
menghukum. Kekurangan lainnya, seperti contoh diatas, tidak terciptanya keadilan dimana
pencurian yang dimaksud tidak spesifik karena besar atau kecilnya yang dicuri hukumannya
tetap sama.

Anda mungkin juga menyukai